Aspirasi Feminisme Liberal Beretika dalam Dw ilogi Novel PB dan CDG

202 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012 Ditambahkan pula bahwa, feminisme liberal termasuk paling moderat di antara kelompok feminis –radikal dan marxis-sosialis.

B. PEMBAHASAN 1. Catatan Berangkai

Dwilogi novel PB dan CDG yang terbit pada tahun 2010 merupakan karya yang dikelompokkan ke dalam jenis karya sastra novel motivasi. Novel motivasi adalah karya fiksi inspiratif yang menghadirkan cerita tentang anak-anak atau orang-orang, dan atau tokoh cerita yang luar biasa, pantang menyerah, dan mampu melahirkan semangat serta kreativitas yang mencengangkan. Dalam pengertian lain, novel motivasi merupakan karya yang sangat menggerakkan hati untuk berbuat lebih banyak, terkait pesan moral. Melalui karya inspiratif dwilogi novel PB dan CDG ini, Andrea Hirata menghadirkan cerita dengan protagonis perempuan suku Melayu bernama Enong, seorang gadis berumur 14 tahun murid kelas VI SD Muhamadiyah Belitung Timur yang mempengaruhi dan membentuk pola pikir kedua orang tuanya yang miskin terutama sang ayah, bahwa belajar bahasa Inggris dan bercita-cita menjadi guru bahasa Inggris merupakan bekal untuk masa depan. Sepeninggal ayahnya, Enong berhenti sekolah, dan demi menafkahi kehidupan ibu dan ketiga adik perempuannya. Di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang di dominasi suku Melayu dikuti suku Sawang dan suku Tionghoa, Enong menjadi perempuan pertama sebagai penambang pendulang timah di daerahnya. Enong melanjutkan pendidikan melalui lembaga kursus bahasa I nggris, dan menyelesaikannya dengan hasil lulusan terbaik kelima dalam waktu bersamaan oleh narator, nama Enong diubah menjadi Maryamah binti Zamzami. Enong menceraikan Matarom suaminya, pada saat mengetahui bahwa Matarom telah beristeri dan sedang hamil. Di tengah-tengah masyarakat yang mengharamkan perempuan melawan laki-laki berdasarkan hukum syari’ah, Maryamah tetap tampil “mencairkan kebekuan” akibat pelarangan tersebut dengan cara bertanding melawan, dan bahkan hingga memenangkan permainan catur melawan laki-laki.

2. Aspirasi Feminisme Liberal Beretika dalam Dw ilogi Novel PB dan CDG

“Mulai sekarang, jangan kau cemas lagi, Nong, Ayah akan belikan kamus untukmu. Kamus Bahasa Inggris Satu Miliar Kata” PB, hlm. 12. Peran seorang ayah mendukung keinginan dan cita-cita seorang anak merupakan hal yang mutlak. Sosok Zamzami sebagai ayah yang taat pada agama, bahkan penganut syari’ah, adalah seorang yang dinilai sebagai pembaca Alquran yang lebih baik daripada membaca huruf Latin PB, hlm. 3, merupakan ambivalen dengan cita-cita Enong anaknya menjadi guru bahasa I nggris. Mendukung Enong belajar dan mendalami bahasa I nggris, adalah salah satu bentuk pemikiran pengarang yang mengedepankan kondisi kekinian. Enong berhak menentukan keinginan dan cita-cita demi masa depan. Belajar bahasa Inggris, walaupun sudah merupakan mata pelajaran favorit bagi Enong, akan tetapi ciri khas Enong sebagai sosok yang taat pada ajaran agama tetap diperlihatkan melalui penampilan, seperti pada kutipan berikut. 203 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012 “Menjelang pukul 10, pesaing Enong berdatangan. Mereka adalah gadis-gadis muda berbadan padat dan berbibir penuh. Make up tebal macam perempuan di televisi, potongan rambut masa kini, berbaju bak orang kota. Merona-rona. Sementara Enong, pakaiannya seperti orang yang mau mengaji khatam Quran. Jilbabnya lusuh.” PB, hlm. 33. Pemandangan kontras diperlihatkan pengarang dengan menampilkan dua sisi yang berbeda terkait keberadaan perempuan. Perempuan yang modern, kontras perempuan tradisional yang lugu dan miskin. Tipe yang pertama tergolong perempuan sekuler, sedangkan yang kedua sakral. Khusus tipe sakral, keberadaannya menampilkan nilai-nilai agama mengaji khatam Quran, dan jilbaban. Simbol-simbol agama jilbab yang melekat terkait keberadaan perempuan, merupakan kebiasaan yang mengetengahkan nilai spiritual bagi perempuan suku Melayu. “Usai salat subuh, ia melilit jilbabnya kuat-kuat, mengemasi pacul, dulang, dan sepeda, mencium tangan ibunya, menggendong adik-adiknya sebentar, lalu muncul dengan sukacita sambil menyiulkan lagu-lagu kebangsaan menuju bantaran danau. Kadang kala ia menyiulkan lagi anak-anak berbahasa I nggris yang dulu pernah diajarkan Bu Nizam padanya: I f you’re happy and you know it, clap your hands. Ia adalah pendulang perempuan pertama dalam sejarah penambangan timah. Usianya tak lebih dari 14 tahun.” PB, hlm. 50. Sosok perempuan yang miskin, dan taat melaksanakan perintah agama ini merupakan perempuan yang putus sekolah tidak tamat SD, penyayang keluarga, pekerja keras pendulang timah pertama di Belitung, namun menggandrungi pelajaran bahasa I nggris merupakan gambaran perempuan Melayu di Belitung. Perempuan yang bercita-cita menjadi guru bahasa I nggris bukan guru ‘ngaji, dengan tidak meninggalkan status perempuan muslimah yang sholeha. Fenomena perempuan dalam novel CDG yang diperlihatkan pengarang melalui tokoh cerita Enong adalah mengambil alih pekerjaan laki-laki sepeninggal ayahnya, sehingga menjadi perempuan pendulang timah pertama di kampungnya. Perempuan yang mampu bekerja ini telah mendapatkan hasil. Seperti pada kutipan berikut. “Enong, bekerja keras menjadi pendulang timah sejak usianya baru 14 tahun. … I a memenuhi apa yang diperlukan ketiga adiknya dari seorang ayah. … membelikan mereka baju Lebaran” CDG, hlm. 9. Tanpa keberadaan sosok laki-laki yang menjadi andalan untuk bekerja, seorang perempuan yang bekerja sebagai pendulang timah ternyata mampu dan menguasai sektor ekonomi sehingga dapat menghidupi keluarganya. Perempuan bekerja sebagai buruh tambang pendulang timah, merupakan bentuk pekerjaaan yang berada di arena publik. Tempat di mana antara perempuan dan laki-laki seolah berlomba bekerja mendapatkan hasil timah. Di samping menjadi buruh tambang, Enong melanjutkan pendidikan melalui lembaga kursus bahasa I nggris, dan menyelesaikannya dengan hasil lulusan terbaik kelima dalam waktu bersamaan oleh narator cerita, nama Enong diubah menjadi Maryamah binti Zamzami, seperti tampak dalam kutipan berikut. I bu I ndri, direktur kursus naik podium dan berpidato. Pada akhir pidatonya, ia mengumumkan lima lulusan terbaik. Lulusan terbaik pertama adalah seorang wanita muda Tionghoa berkaca mata tebal yang tampak sangat cerdas. Hadirin bertepuk tangan untuknya. Terbaik kedua, seorang anak muda Melayu kelas dua SMA. Lulusan ketiga dan keempat juga adalah anak-anak kelas tiga SMA. 204 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012 “Lulusan terbaik kelima,” kata Bu I ndri. I a menunda menyebutkan namanya, mungkin karena sangat istimewa. Wajahnya tegang bercampur gembira. “Maryamah binti Zamzami” Enong menutup mulutnya. Matanya terbelalak. I a sangat terkejut mendengar namanya disebut Bu I ndri CDG, hlm. 30 Kutipan di atas, secara eksplisit memperlihatkan keberadaan perempuan sebagai pemimpin sebuah lembaga pendidikan kursus bahasa I nggris, dan perempuan yang memiliki kecerdasan. Memimpin sebuah lembaga tentunya terkait erat dengan pengambilan keputusan, dan tanggung jawab organisasi. Perempuan I bu I ndri selaku direktur memperlihatkan ketegasan, naik podium dan berpidato. Di sisi lain, kecerdasan yang dimiliki perempuan dalam menyelesaikan kursus bahasa I nggris, membuahkan hasil sebagai lulusan terbaik pertama dan kelima. Ketegasan sosok perempuan diperlihatkan Enong terkait dengan kelanjutan kehidupan rumah tangganya. Keberadaan rumah tangga yang dibangun sejak Syalimah ibunya masih hidup tampaknya tidak dapat dipertahankan. Seperti dalam kutipan berikut. Tak seperti perkawinan ibu dan ketiga adiknya, Enong tidak beruntung. Kelakuan buruk suaminya telah tampak sejak awal perkawinan, namun ia bertahan. Seburuk apapun ia diperlakukan, ia menganggap dirinya telah mengambil keputusan dan dia selalu berusaha menjaga perasaan ibunya. Namun, pertahanan Enong berakhir ketika suatu hari datang seorang perempuan yang mengaku sebagai isteri Matarom. Perempuan itu dalam keadaan hamil. I a tidak datang dengan marah-marah karena tahu apa yang telah terjadi bukan kesalahan Enong. Enong meminta maaf dan mengatakan bahwa sepanjang hidupnya ia tak pernah mengenal lelaki dan tak tahu banyak tentang Matarom. Enong mengakhiri perkawinannya secara menyedihkan. Ia minta diceraikan CDG, hlm. 17. Posisi kedua perempuan dengan status sebagai isteri, tampaknya tidak ada yang diuntungkan. Keduanya merupakan korban laki-laki yang sama, yakni Matarom. Matarom yang pada awalnya telah beristeri dan sedang hamil, mengawini perempuan lain bernama Enong, perempuan pendulang timah yang lugu dan pekerja keras. Mengetahui Matarom ternyata telah berkeluarga maka Enong pun meminta diceraikan. Tampaknya Matarom adalah sosok laki-laki yang hendak melaksanakan praktik poligami, namun ternyata hal tersebut tanpa disadari mendapat penolakan Enong, perempuan yang sudah sempat dinikahinya. Nasib yang sama juga dialami tokoh cerita perempuan yang lain, bernama Selamot. Selamot yang juga merupakan sahabat Enong, telah dinikahi seorang lelaki bersarung berasal dari daerah seberang yakni Bagan Siapi-api. Selamot belakangan mengetahui bahwa lelaki bersarung yang menikahinya ternyata telah memiliki isteri dan lima anak hlm. 103 adalah sosok laki-laki yang hendak melaksanakan praktik poligami. Akan tetapi mendapat penolakan Selamot. Arus penolakan di tengah-tengah masyarakat yang mengharamkan perempuan melawan laki-laki berdasarkan hukum syari’ah, pun diungkap pengarang seperti dalam kutipan berikut. “Alasanku menolak Maryamah adalah karena pertimbangan syariat. Tak perlu aku berpanjang-panjang dalih. Tak perlu kusitir ayat-ayatnya. Di dalam I slam, perempuan tak bole berlama-lama bertatapan dengan lelaki yang bukan muhrimnya. Dalam pertandingan catur, hal itu akan terjadi, dan hal itu nyata melanggar hukum agama” CDG, hal.:96. 205 Konferensi Int ernasional Kesusast raan XXII UNY-HISKI, 2012 Pertandingan catur yang memperhadapkan antara perempuan dan lelaki, mendapat reaksi penolakan dari sebagian masyarakat penganut I slam syari’ah. Masyarakat yang menolak tetap beranggapan bahwa antara lelaki dan perempuan yang bukan muhrimnya tidak diperkenankan saling berhadapan, dan bertatapan dalam waktu yang lama. Walaupun telah muncul antara pro dan kontra terkait perlawanan antara perempuan dan lelaki dalam pertandingan catur, namun oleh pengarang, melalui muatan pemikirannya berhasil menjembataninya. Seperti dalam kutipan berikut. “Maryamah hanya tampak garis matanya karena ia memakai burkak. Burkaknya penuh wibawa. Rasanya aku tak percaya melihat sebuah papan kecil di atas meja bertulisan nama Maryamah berseberangan dengan papan nama Aziz Tarmizi. Pertama kali terjadi dalam sejarah kejuaraan catur hari kemerdakaan, perempuan ikut bertanding dan akan melawan laki-laki. Di tengah meja pertandingan telah dipasang selendang berwarna merah sehingga kedua pecatur tak dapat saling memandang” CDG, hlm. 126. Pertandingan catur antara perempuan dan laki-laki tetap dilaksanakan. Pengarang tetap mengakomodasi masyarakat yang pro dan kontra, melalui sosok perempuan yang menggunakan burkak sedangkan meja tempat pertandingan dipasang selendang berwarna merah. Demikian beberapa contoh analisis terkait aspirasi feminisme liberal beretika sebagai pemikiran pengarang dalam dwilogi novel PD dan CDG.

C. SI MPULAN