commit to user
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Fenomena anak jalanan tidak pernah lepas dari kehidupan kota besar, baik di negara   maju   maupun   negara   berkembang.   Adanya   kondisi   perekonomian   di
Indonesia yang sejak tahun 1997 mengalami krisis memunculkan berbagai macam fenomena,   salah   satunya   adalah   munculnya   fenomena   anak   jalanan  yaitu   anak
yang   sebagian   besar   menghabiskan   waktunya   untuk   mencari   nafkah   atau berkeliaran di jalanan  atau tempat-tempat umum lainnya.
Menurut   Mulyadi   2008   faktor   utama   yang   menimbulkan   peningkatan jumlah   anak   jalanan   di   negara   yang   sedang   berkembang   adalah   kemiskinan.
Kemiskinan   telah   menyebabkan   kurang   terperhatikan   bahkan   terabaikannya kesejahteraan fisik dan mental anak-anak sebagai generasi penerus. Kemiskinan
tidak dapat dipisahkan dari pembangunan manusia yang mencakup semua unsur yang   menjadi   akar   kemiskinan,   mencakup   kebudayaan,   sistem   kehidupan
ekonomi dan politik serta hak asasi manusia. Sebuah fenomena yang berhubungan dengan   kemiskinan   kota   adalah   keberadaan   kelompok-kelompok   anak   usia
sekolah di kota-kota besar, yang menghabiskan sebagian besar waktu mereka di jalanan   atau   tempat-tempat   umum   lainnya,   dan   di   Indonesia   mereka   biasanya
disebut anak jalanan. Anak jalanan berada dalam kondisi serba kekurangan atau miskin, karena banyak diantara anak jalanan yang harus bekerja keras daripada
pergi ke sekolah atau bermain-main. 1
commit to user Menurut Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia Tauran, 2000 salah satu
karakteristik   anak   jalanan   antara   lain   anak-anak   yang   berusia   enam   sampai   21 tahun.   Jumlah   anak   jalanan   di   DKI   Jakarta   mengalami   peningkatan   hingga   50
persen. Jika pada 2008 jumlahnya sekitar 8.000 jiwa, pada 2009 jumlah mereka mencapai   lebih   dari  12.000   jiwa.   Jumlah   ini  tergolong   besar  dibanding   jumlah
keseluruhan anak jalanan di 12 kota besar yang mencapai lebih dari 100.000 jiwa. Padahal, Pemprov DKI menjadikan penekanan jumlah anak jalanan sebagai salah
satu agenda kerja prioritas tahun lalu Wisnu, 2010. Jumlah anak yang turun ke jalan untuk mencari nafkah dari hari ke hari terus naik. Data dari Kementerian
Sosial  menunjukkan,  jumlah   anak  jalanan  yang   pada tahun   1997  masih  sekitar 36.000   jiwa  sekarang   menjadi   sekitar   232.894   jiwa.   Kenaikan   itu   dapat   dilihat
secara kasatmata di perempatan jalanan ibu kota ataupun di kota kecil. Dengan mudah   kita   dapat   menjumpai   anak   lelaki   atau   perempuan   meminta-minta   atau
mengamen. Padahal, fenomena anak jalanan seperti itu sebelum tahun 2000 hanya bisa dilihat di kota besar, seperti Jakarta atau  Surabaya.  Di Kota Solo terdapat
1.200 anak jalanan Kesra, 2010. Di Kota Solo saja, dari data yang didapat dari LSK Bina Bakat Surakarta
pada   tahun   2008   dan   2009   terdapat   90   anak   laki-laki   dan   perempuan   yang melakukan aktivitas di jalanan. Aktivitas anak jalanan tersebut pada tahun 2008
terdapat 25 anak yang bekerja sebagai pengamen, empat anak meminta-minta, dua anak menjadi pemulungmayeng, sepuluh anak sebagai pedagang asongan, lima
anak sebagai tukang semir sepatu, dua anak bekerja lap kaca. Pada tahun 2009 terdapat 18 anak yang bekerja sebagai pengamen, tiga anak meminta-minta, enam
commit to user anak menjadi pemulungmayeng, tujuh anak sebagai pedagang asongan, tiga anak
sebagai tukang semir sepatu, empat anak bekerja lap kaca dan satu anak bekerja mencuci bus. Daerah asal anak jalanan yang berada di Surakarta pada tahun 2008
terdapat 51 anak yang berasal Surakarta. Pada tahun 2009 terdapat 35 anak yang berasal Surakarta, satu anak dari Karanganyar, tiga anak dari Boyolali dan dua
anak dari daerah lainnya. Di   Indonesia   banyak   didirikan   rumah   binaan   untuk   melakukan
pendampingan,  pemberdayaan,  dan membina anak-anak jalanan yang  berada di jalanan.   Di   Solo   saja   terdapat   tiga   lembaga   kemasyarakatan   yang   mengurusi
masalah anak jalanan yaitu LSK Bina Bakat, Seroja dan Kapas. LSK Bina Bakat merupakan lembaga yang paling awal berdiri.
Anak  jalanan   yang  dibina  kondisinya   tidak  tinggal  menetap   di  LSK Bina Bakat   Surakarta,   walaupun   anak   jalanan   tersebut   terdaftar   dibina   di   tempat
tersebut   akan   tetapi   anak   jalanan   tersebut   masih   bekerja   di   jalanan   dan   masih tinggal   bersama   keluarga.   Karakteristik   anak   jalanan   yang   dibina   di   tempat
tersebut   masih   bisa   keluar   masuk   dengan   leluasa.   LSK   Bina   Bakat   di   sini berfungsi   sebagai   rumah   singgah   dengan   memberikan   pendampingan   dan
pemberdayaan  anak jalanan. Hal tersebut diperkuat dengan data yang  diperoleh dari LSK Bina Bakat sebagai berikut pada tahun 1999 ada 120 anak, tahun 2000
ada 150 anak, tahun 2001 ada 200 anak, tahun 2002 ada 150 anak, tahun 2003 ada 150 anak, tahun 2004 ada 150 anak, tahun 2005 ada 120 anak, tahun 2006 ada 75
anak, tahun 2007 ada 30 anak, tahun 2008 ada 20 anak dan pada tahun 2009 ada 20 anak LSK Bina Bakat, 2010.
commit to user Anak   jalanan   merupakan   sebuah   fenomena   di   masyarakat   yang
menunjukkan terganggunya social functioningfungsi sosial. Dikatakan terganggu social   functioning,   karena  seharusnya   seorang  anak   berada   pada  situasi  rumah,
sekolah   atau   lingkungan   bermain   yang   di   dalamnya   terdapat   interaksi   yang mendukung   bagi   perkembangan   anak   tersebut,   baik   itu   perkembangan   fisik,
motorik,   sosial,   psikologis   maupun   moralnya.   Akan   tetapi   kondisi   yang disebutkan tadi tidak terpenuhi atau diperoleh dalam kehidupan anak jalanan.
Anak yang hidup di jalanan memiliki latar belakang sosial yang bermacam- macam misalnya sosok anak jalanan dengan berbagai latar belakang sosial, seperti
anak broken home, anak yatim yang terbuang, anak-anak yang kelahirannya tidak dikehendaki,   atau   anak-anak   yang   harus   membantu   ekonomi   orang   tuanya
maupun   anak-anak   yang   lari   dari   berbagai   problema   keluarga   maupun masyarakatnya. Latar belakang seperti itulah yang memaksa anak untuk hidup dan
mencari   uang   di   jalanan.   Jalanan   mampu   memberikan   penghasilan   uang   untuk anak   jalanan   baik   sebagai   seorang   penyemir   sepatu,   pengasong,   penjaja  koran,
makanan,   minuman,   pemulung,   pengamen,   penjual   jasa   dan   sebagainya. Penghasilan       tersebut   selain   dipergunakan   untuk   memenuhi   kebutuhan   hidup
anak jalanan sendiri juga dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Adanya   anak   jalanan   sudah   lazim,   bukan   hal   yang   luar   biasa   dan   bukan
merupakan pemandangan yang aneh lagi yang dapat dilihat pada kota-kota besar di Indonesia. Hampir di setiap persimpangan jalan, pasar, alun-alun kota, stasiun,
terminal, dan dalam bus-bus kota kita kerap menjumpainya. Sebagian besar anak jalanan tidur disembarang tempat yang dianggap bisa digunakan, seperti taman,
commit to user halte-halte,   masjid,   pasar,   gerbong-gerbong   kereta   api   yang   kosong   dan
sebagainya.   Seringkali   anak   jalanan   tidur   hanya   dengan   beralaskan   koran   atau tanpa menggunakan alas apapun. Anak jalanan dapat dengan mudahnya tidur di
mana saja tanpa memperhatikan tempat tersebut bersih atau tidak. Dari kondisi tersebut   dapat   dilihat   bahwa   anak   jalanan   kurang   mengahargai   dirinya   sendiri,
kalau anak jalanan dapat menghargai dirinya sendiri maka anak jalanan tidak akan membiarkan dirinya tidur di sembarang tempat.
Penilaian   anak   jalanan   terhadap   diri   sendiri   yang   rendah   dan   negatif diungkap dalam penelitian yang dilakukan oleh Nasution 2007 yang menyatakan
bahwa anak jalanan cenderung negatif dalam menghadapi permasalahannya. Anak jalanan merasa tidak memiliki kemampuan untuk melakukan pekerjaan lain selain
mengamen.   Pada   saat   mengamen,   anak   jalanan   merasa   malu   terutama   ketika bertemu dengan teman lawan jenisnya, dan untuk berhubungan atau berinteraksi
dengan teman lawan jenisnya pun mereka akan merasa malu. Dari hasil penelitian tersebut dikatakan juga bahwa anak jalanan menilai dirnya sendiri secara negatif
dan   banyak   kekurangannya.   Ada   yang   merasa   dirinya   pemarah,   bodoh,   nakal, biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa bahkan cenderung bunuh diri. Selain itu
ada   juga   anak   jalanan   yang   minder   dan   malu   dengan   penampilannya   yang dikatakannya seperti gembel. Anak jalanan cenderung kurang dapat menghargai
dirinya sebagai pribadi. Coopersmith 1967 mengatakan bahwa self esteem is a personal judgement
of worthiness that is a personal that is expressed in attitude the individual holds toward himself. Pendapat ini menerangkan bahwa harga diri merupakan penilaian
commit to user individu terhadap kehormatan dirinya, yang diekspresikan melalui sikap terhadap
dirinya.   Lebih   lanjut   lagi   menurut   Coopersmith   1967   bahwa   individu   dalam melakukan penilaian terhadap kehormatannya tersebut bisa berkisar pada rentang
nilai yang positif sampai negatif. Penilaian terhadap diri sendiri secara positif maupun negatif tersebut seperti
yang diungkap oleh Baron dan Byrne 2003 bahwa  self esteem  atau harga diri adalah   evaluasi   yang   dibuat   oleh   individu;   sikap   seseorang   terhadap   dirinya
sendiri   dalam   rentang   dimensi   positif-negatif.  Self   esteem  merujuk   pada   sikap seseorang terhadap dirinya sendiri mulai dari sangat negatif sampai sangat positif.
Memiliki harga diri yang tinggi berarti seorang individu menyukai dirinya sendiri dan memiliki harga diri yang rendah berarti seorang individu kurang menyukai
dirinya sendiri. Lebih  jauh Berne 1988 mengungkapkan  tentang  individu yang  memiliki
rasa harga diri yang sehat, bahwa rasa harga diri yang sehat adalah kemampuan untuk menggambarkan dan melihat diri sendiri berharga, berkemampuan, penuh
kasih   sayang   dan   menarik,   memiliki   bakat-bakat   pribadi   yang   khas   serta kepribadian   yang   berharga   dalam   hubungan   dengan   orang   lain.   Kebalikannya,
orang   yang   merasa   rendah   diri   biasanya   memiliki   suatu   gambaran   diri   yang negatif   dan   hanya   sedikit   mengenal   dirinya,   sehingga   menghalangi
kemampuannya   untuk:   menjalin   hubungan,   merasa   tidak   terancam,   merasa berhasil, mengalami pertalian yang erat dengan dunia, memperlihatkan keyakinan
dirinya, mengatasi rasa takut serta emosi-emosi yang kuat, dan menyatakan cinta kasihnya  kepada orang lain.
commit to user Menurut Coopersmith faktor-faktor yang melatar belakangi harga diri yaitu:
pengalaman,   pola   asuh,   lingkungan,   dan   sosial   ekonomi   Coopersmith,   1967; Sriati, 2008. Pengalaman merupakan hal-hal yang pernah dialami individu dan
memiliki   makna   khusus   bagi   kehidupan   individu   tersebut,   baik   yang   bersifat emosional,   tindakan   ataupun   kejadian.   Pola   asuh   disini   merupakan   sikap   yang
digunakan oleh orang tua untuk berinteraksi dengan anak-anaknya.  Lingkungan disekitar   individu   bisa   terdiri   orangtua,   teman   sebaya,   dan   lingkungan   sekitar.
Sosial   ekonomi   merupakan   pendapatan   berupa   finansial   yang   digunakan   untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Berasal dari faktor pola asuh dan lingkungan yang disebutkan di atas, dapat diartikan bahwa orang tua memiliki peran penting dalam mempengaruhi harga diri
anak. Interaksi individu dengan individu lain dari awal mula kehidupannya adalah interaksinya dengan orang tuanya.
Harga   diri   mulai   terbentuk   setelah   anak   lahir,   ketika   anak  berhadapan dengan dunia luar dan berinteraksi dengan orang-orang di lingkungan sekitarnya.
Interaksi secara minimal memerlukan  pengakuan, penerimaan peran yang saling tergantung   pada   orang  yang   bicara   dan   orang   yang   diajak   bicara.   Interaksi
menimbulkan  pengertian   tentang   kesadaran   diri,   identitas,   dan   pemahaman tentang diri. Hal ini akan membentuk penilaian individu terhadap dirinya sebagai
orang   yang   berarti,   berharga,   dan   menerima  keadaan   diri   apa  adanya   sehingga individu mempunyai perasaan harga diri Burn, 1998.
Adanya   interaksi   dengan   orang   lain   mampu   menimbulkan   perasaan menghargai   dirinya   sendiri.   Tidak   semua   orang   tua   yang   ekonominya   rendah
commit to user menginginkan anaknya hidup dijalanan, walaupun begitu ada pula sebagian orang
tua   yang   menginginkan   anaknya   mencari   uang   dijalanan   untuk   membantu memenuhi   kebutuhan   hidup   mereka.   Menjadi   anak   jalanan   bukanlah   sebagai
pilihan hidup yang menyenangkan, melainkan   keterpaksaan yang harus mereka terima.   Walaupun   demikian   tetap   saja   anak   jalanan   membutuhkan   adanya
dukungan sosial. Dukungan  sosial  social  support  didefenisikan   oleh  oleh  Gottlieb   dalam
Kuntjoro,  2002  sebagai  informasi   verbal  atau   non-verbal,  saran,   bantuan  yang nyata   atau   tingkah   laku   yang   diberikan   oleh   orang-orang   yang   akrab   dengan
subjek   di   dalam   lingkungan   sosialnya   atau   yang   berupa   kehadiran   dan   hal-hal yang   dapat   memberikan   keuntungan   emosional   atau   berpengaruh   pada   tingkah
laku penerimanya. Seseorang yang merasa memperoleh dukungan sosial, secara emosional   merasa   lega   karena   diperhatikan,   mendapat   saran   atau   kesan   yang
menyenangkan pada dirinya. Cara pemberian dan asal dari dukungan sosial dijelaskan oleh Taylor 2009
bahwa social support atau dukungan sosial bisa diberikan melalui beberapa cara. Pertama   perhatian   emosional   yang   diekspresikan   melalui   rasa   suka,   cinta   dan
empati,   bantuan   instrumental,   memberikan   informasi   tentang   situasi   yang menekan.   Dukungan   sosial   dapat   berasal   dari   pasangan   atau   partner,   anggota
keluarga, kawan, kontak sosial dan masyarakat, teman sekelompok, jamaah gereja atau masjid, dan teman kerja atau atasan anda ditempat kerja.
commit to user Thoist   Purba,   2006   menyatakan   dukungan   sosial   bersumber   dari   orang-
orang   yang   memiliki   hubungan   yang   berarti   bagi   individu,   misalnya   keluarga, teman dekat maupun tetangga terdekat dengan rumah.
Pentingnya adanya dukungan sosial keluarga dikemukakan oleh   Ruwaida 2006   dukungan   keluarga   diperlukan   untuk   memberi   perhatian,   membantu,
mendukung   dan   bekerja   sama   dalam   menghadapi   tentangan   kehidupan.   Setiap anggota keluarga memiliki peranan spesifik dan setiap anggota bergantung pada
anggota yang lain. Menurut   Soekanto   1990   ada   dua   macam   jenis   keluarga   yaitu  nuclear
familykeluarga  batih    terdiri  dari  suamiayah,  istriibu   dan  anak-anaknya  dan extended   familykeluarga   besar   terdiri   dari   keluarga   inti   ditambah   dengan
sanak   saudara,   misalnya   :   nenek,   kakak,   keponakan,   saudara   sepupu, paman, bibi dan sebagainya. Anak jalanan sudah pasti memiliki keluarga, bisa
memiliki   kedua   jenis   keluarga   di   atas   nuclear   family  dan  extended   family, maupun hanya memiliki salah satu jenisnya saja. Seorang anak yang  mendapat
dukungan   yang   positif   dari   keluarganya   akan   lebih   positif   juga   dalam   menilai dirinya, sedangkan anak yang kurang atau tidak mendapat dukungan dari keluarga
akan cenderung negatif dalam menilai dirinya. Faktor   lain   yang   mempengaruhi   harga   diri   adalah   sosial   ekonomi.   Status
sosial   disini   berhubungan   dengan   sosial   ekonomi   orang   tua.    Menurut  Hidayat 2007 yang berkaitan dengan status ekonomi orang tua adalah tingkat pendapatan
yang   diperoleh  orang   tua.   Dalam   rangka   mempertahankan   hidup   dan mengembangkan   kehidupannya,   manusia   harus  dapat   memenuhi   kebutuhan
commit to user hidupnya   baik   kebutuhan,   primer,   sekunder,   maupun   tertier,   agar   dapat   hidup
layak   sesuai   dengan   harkat   dan   martabatnya   sebagai   anggota   masyarakat. Kemampuan   untuk   memenuhi   kebutuhan   hidup   disini   erat   kaitannya   dalam
masalah  pembiayaan dan pembiayaan itu sendiri diperoleh dari pendapatan atau penghasilan.
Pendapatan   berdasarkan   kamus   ekonomi   adalah   uang   yang   diterima   oleh seseorang   dalam   bentuk   gaji,  upah   sewa,   bunga,   laba   dan   lain   sebagainya.
Sedangkan   menurut   Tarigan   pendapatan  perseorangan   dapat   diartikan   sebagai semua pendapatan yang diterima oleh rumah tangga. Jadi pendapatan seseorang
dapat   berasal   dari   gaji,   komisi,   honorarium,   bunga   deviden  dan   banyak   lagi sumbernya.
Coopersmith 1967 mengatakan  perhaps the clearest and most striking index of prestige and success is an individual’s social status. Social position is
based largely on occupations, income, and residence. Person higher in the system have more prestigious occupation, have higher income, and tend to live in large
and   more   luxurious   house   located   in   more   desirable   neighborhoods.   These persons are more successful in the eyes of the community and receive the material
and cultural benefits that should lead them to believe that they are generally more worthy than others.
Dari   pendapat   Coopersmith   di   atas   dapat   diartikan   bahwa   kemungkinan paling nyata dan lebih mencolok dari indeks  status dan sukses adalah status sosial
individu. Posisi sosial mendasari sebagian besar pekerjaan, pendapatan dan tempat tinggal.   Seseorang   pada   status   yang   tinggi   lebih   memiliki     lebih   tinggi   status
pekerjaan, memiliki pendapatan yang tinggi, dan cenderung tinggal di rumah yang lebih   besar   dan   mewah   dan   tetangga   yang   sangat   menarik.   Individu   ini   lebih
sukses   di   kelompoknya   dan   mendapat   materi   dan   kultur   yang   berguna   yang
commit to user seharusnya   menempatkan   mereka   pada   posisi   yang   utama   untuk   lebih
mempercayai bahwa mereka lebih layak dari yang lainnya. Manusia   adalah   makhluk   yang   tidak   pernah   puas   dengan   apa   yang
dimilikinya, ada kalanya ketika manusia dilimpahi dengan materi yang melimpah ruah individu tersebut tidak merasa puas. Anak jalanan yang sebagian besar hidup
kekurangan dari segi materi atau ekonomi belum tentu merasa kekurangan materi dari   sudut   pandang   psikisnya.   Ada   kalanya   anak   jalanan   merasa   puas   dengan
sedikit   materi   yang   dimilinya.   Tentang   bagaimana   seseorang   melihat   dan mengartikan sesuatu tergantung dari persepsi individu masing-masing.
Pengertian persepsi menurut Walgito  2004 merupakan  pengorganisasian, penginterpretasian,   terhadap   stimulus   yang   diinderanya   sehingga   merupakan
sesuatu yang berarti dan merupakan respon yang integrated dalam diri individu. Dalam persepsi stimulus dapat datang dari luar, tetapi juga dapat datang dalam
diri individu. Namun demikian sebagian besar stimulus datang dari luar individu yang bersangkutan.
Jadi   persepsi   terhadap   status   sosial   ekonomi   adalah   tentang   bagaimana seseorang   mengorganisasikan   dan   menginterpretasi   pekerjaan   yang   dimiliki,
pendapatan yang diperoleh, dan tempat tinggal atau rumah yang dimiliki. Status sosial ekonomi berhubungan dengan pendapatan seseorang yang digunakan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Menurut   penelitian   Zhang   2000,   didapatkan   hasil  bahwa   higher   self-
esteem tend to be students from higher socio economic status and self-esteem and socio   economic   status   are   positive   correlated.   Hasil   penelitian   ini   mengatakan
commit to user bahwa harga diri yang tinggi cenderung terjadi pada siswa dengan status sosial
ekonomi   yang   tinggi   dan   harga   diri   dengan   status   sosial   ekonomi   memiliki hubungan  yang  positif.   Zhang   juga menyebutkan   untuk  mengukur  status   sosial
ekonomi dapat dilihat dari level pendidikan orang tua, pendapatan keluarga dan kondisi fisik lingkungan rumah.
Penelitian-penelitian   tentang   dukungan   sosial   keluarga,   status   sosial ekonomi dan harga diri sebelumnya sudah pernah diteliti oleh para ahli. Misalnya
seperti penelitian yang dilakukan oleh Sugihartiningsih 2008 meneliti hubungan antara dukungan keluarga dengan kecemasan, Istiqori 2008 meneliti hubungan
antara   dukungan   keluarga   dengan   keteraturan   minum   obat,   Rusmawati   2006 meneliti   hubungan   status   sosial   ekonomi   dengan   prestasi   belajar,   Putri   2009
meneliti   hubungan   antara  self   esteem  dengan   kecemasan   sosial,   dan   Wardhani 2009 yang meneliti hubungan antara harga diri dengan perilaku konsumtif.
Peneliti-peneliti   tersebut   menyarankan   kepada   peneliti   lain   supaya melakukan   penelitian   selanjutnya   dengan   variabel   lain   yang   lebih   kompleks.
Berdasarkan   data   yang   diperoleh   penulis   belum   pernah   ada   penelitian   yang meneliti  tentang  hubungan dukungan  sosial keluarga dan status sosial ekonomi
terhadap harga diri. Berdasarkan latar belakang masalah di atas penulis tertarik untuk melakukan
penelitian   dengan   judul   “Hubungan   antara   Dukungan   Sosial   Keluarga   dan Persepsi   terhadap   Status   Sosial   Ekonomi  dengan   Harga   Diri   Anak   Binaan   di
Lembaga Studi Kemasyarakatan LSK BINA BAKAT Surakarta”.
commit to user
B. Rumusan Masalah