Latar Belakang Masalah Optimalisasi Peran KPAI Sebagai State Auxiliary Organs Dalam Perlindungan Terhadap Anak Terlantar

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masalah-masalah sosial di Indonesia yang kompleks dan muncul di berbagai bidang menuntut pemerintah melalui lembaga-lembaga negara yang ada untuk dapat menyelesaikan masalah tersebut. Lembaga-lembaga negara yang dimaksud adalah lembaga negara primer yaitu lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif sesuai dengan doktrin Trias Politica yang dikemukakan oleh John Locke dan dikembangkan oleh Montesquieu. Trias Politica adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri atas tiga macam kekuasaan : Pertama, kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat undang-undang; kedua, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang; ketiga, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang. Trias Politica adalah suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan functions ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. 1 Doktrin ini berkembang cukup lama dan banyak diterapkan di berbagai negara di dunia. Selain itu, bentuk kelembagaan negara seperti itu juga menjadi model baku yang diterapkan dalam sistem ketatanegaraan di beberapa negara. 1 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cetakan ke-8, Jakarta : PT.Gramedia Pustaka Utama, 2013, h. 282. Saat ini, negara-negara abad ke-20, apalagi negara yang sedang berkembang di mana kehidupan ekonomi dan sosial telah menjadi demikian kompleksnya serta badan eksekutif mengatur hampir semua aspek kehidupan masyarakat, Trias Politika dalam arti “pemisahan ke dalam tiga kekuasaan” tidak dapat dipertahankan lagi. Dengan berkembangnya konsep mengenai Negara Kesejahteraan Welfare State di mana pemerintah bertanggung jawab atas kesejahteraan seluruh rakyat, dan karena itu harus menyelenggarakan perencanaan perkembangan ekonomi dan sosial secara menyeluruh, maka fungsi kenegaraan sudah jauh melebihi tiga macam fungsi yang disebut oleh Montesquieu. 2 Montesquieu mengidealkan bahwa ketiga fungsi kekuasaan negara itu harus dilembagakan masing-masing dalam tiga lembaga atau organ negara. Satu organ hanya boleh menjalankan satu fungsi dan tidak boleh saling mencampuri urusan masing-masing dalam arti yang mutlak. Jika tidak demikian maka kebebasan akan terancam. Hanya saja konsep trias politika yang diidealkan Montesquieu ini jelas tidak relevan lagi dewasa ini, mengingat tidak mungkin lagi mempertahankan bahwa ketiga organ negara hanya berurusan secara ekslusif dengan salah satu dari ketiga fungsi kekuasaan tersebut. Kenyataan dewasa ini menunjukkan bahwa hubungan antar cabang kekuasaan itu tidak mungkin tidak saling bersentuhan, dan bahkan ketiganya bersifat sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip check and balances. 3 2 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cetakan ke-8, h. 286. 3 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006, h. 35-36 Ketika ketiga cabang kekuasaan utama negara tersebut tidak dapat lagi bekerja secara maksimal akibat tuntutan pergerakan masyarakat yang semakin dinamis dan masalah sosial yang semakin kompleks, maka diperlukan adanya lembaga-lembaga baru yang lebih efektif dan bebas dari intervensi politik. Hal-hal inilah yang melatarbelakangi lahirnya state auxiliary organs di beberapa negara termasuk di Indonesia. Pasca reformasi dan pasca amandemen Undang-Undang Dasar 1945, bermunculan lembaga-lembaga negara yang sifatnya mandiri dan independen state auxiliary organs baik yang memiliki tupoksi dalam lingkup eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, diantaranya 4 : Nama Lembaga E L Y Dasar Hukum Komisi Yudisial X Pasal 24B UUD 1945 dan UU No. 22 Tahun 2004 Komisi Pemberantasan Korupsi X X X UU No. 30 Tahun 2002 Komisi Penyiaran Indonesia X X UU No. 32 Tahun 2002 Komisi Kepolisian Nasional X UU No. 2 Tahun 2002 Komisi Perlindungan Anak Indonesia X X UU No. 23 Tahun 2002 dan Keppres No. 77 Tahun 2003 Komisi Pemilihan Umum X Pasal 22E UUD 1945 dan UU No. 12 Tahun 2003 Komisi Pengawas Persaingan Usaha X X X UU No. 5 Tahun 1999 Komisi Hukum Nasional X Keppres No. 15 Tahun 2000 4 Evy Trisulo, Konfigurasi State Auxiliary Bodies dalam Sistem Pemerintahan Indonesia, Tesis, Jakarta : Universitas Indonesia, 2012, h. 93 dengan perubahan seperlunya oleh penulis Komisi Ombudsman X X UU No. 37 Tahun 2008 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia X X UU No. 39 Tahun 1999 dan Keppres No. 48 Tahun 2001 Dewan Riset Nasional X Keppres No. 94 Tahun 1999 Dewan Gula Nasional X Keppres No. 23 Tahun 2003 Dewan Ketahanan Pangan X Keppres No. 132 Tahun 2001 Ket : E eksekutif, L legislatif, Y yudikatif Istilah state auxiliary organsstates auxiliary bodies dipadankan dengan lembaga yang melayani, lembaga penunjang, lembaga bantu, dan lembaga negara pendukung 5 atau dapat juga disebut lembaga negara sekunder. Di Indonesia, biasanya istilah state auxiliary organs selanjutnya disingkat SAO merujuk kepada Lembaga, Dewan, Badan atau Komisi. Salah satu tujuan utama dibentuknya SAO adalah untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial yang belum mampu diselesaikan oleh lembaga-lembaga negara primer yang sudah ada. Karena itulah kemunculan SAO di suatu negara seharusnya efektif dan merupakan jawaban dari permasalahan-permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat. Salah satu masalah sosial yang dihadapi berbagai negara termasuk Indonesia adalah masalah sosial anak. Berbicara mengenai anak adalah sangat penting karena anak merupakan potensi nasib manusia hari mendatang. Dialah yang ikut berperan menentukan sejarah bangsa sekaligus cermin sikap hidup 5 Arifin Firmansyah, dkk, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, Jakarta : Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, 2005, h. 24. bangsa pada masa mendatang. 6 Anak merupakan salah satu aset pembangunan nasional, patut dipertimbangkan dan diperhitungkan dari segi kualitas dan masa depannya. Tanpa kualitas yang handal dan masa depan yang jelas bagi anak, pembangunan nasional akan sulit dilaksanakan dan nasib bangsa akan sulit pula dibayangkan. 7 Di Indonesia sendiri walaupun sudah ada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai anak, namun masih banyak anak yang dapat dikategorikan ke dalam Anak Rawan. Anak Rawan sendiri pada dasarnya adalah sebuah istilah untuk menggambarkan kelompok anak-anak yang karena situasi, kondisi, dan tekanan-tekanan kultur maupun struktur menyebabkan mereka belum atau tidak terpenuhi hak-haknya, dan bahkan acap kali pula dilanggar hak-haknya. 8 Beberapa kasus terhadap anak yang baru-baru ini menjadi sorotan publik adalah kasus penelantaran dan kekerasan terhadap anak. Pada bulan Mei 2015 masyarakat dihebohkan dengan kasus penelantaran lima orang anak yang dilakukan oleh kedua orangtuanya sendiri di perumahan Citra Grand Cibubur, Bekasi. Lalu dilanjutkan oleh berita hilangnya seorang anak bernama Angeline pada tanggal 16 Mei 2015 di Bali yang pada akhirnya anak tersebut ditemukan tewas di pekarangan rumahnya sendiri pada tanggal 10 Juni 2015. 6 Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Bandung : PT Refika Aditama, 2006, h. 5. 7 Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak Di Bawah Umur, Bandung : PT Alumni, 2010, h. 1. 8 Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010, h.4. Dari pemaparan tentang kasus-kasus di atas, dapat disimpulkan bahwa kekerasan bahkan pembunuhan dimana anak menjadi korban diawali karena ketidakpedulian dan penelantaran yang dilakukan baik oleh orangtua, masyakarat, dan pemerintah sehingga anak yang seharusnya mendapatkan kasih sayang dan perhatian yang cukup dalam masa tumbuh kembangnya justru tidak dapat memperoleh kebutuhan dasarnya tersebut dan hal ini dapat disebut penelantaran anak. Penelantaran anak menjadi salah satu kasus yang dapat dikategorikan anak rawan dan masih banyak terjadi di Indonesia, sehingga memerlukan perhatian lebih, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Dalam Buku Pedoman Pembinaan Anak Telantar yang dikeluarkan Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur 2001 disebutkan bahwa yang disebut anak telantar adalah anak yang karena suatu sebab tidak dapat terpenuhi kebutuhan dasarnya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani, maupun sosial. 9 Seorang anak dikatakan telantar, bukan sekedar karena ia sudah tidak lagi memiliki salah satu orang tua atau kedua orang tuanya. Tetapi, telantar di sini juga dalam pengertian ketika hak-hak anak untuk tumbuh kembang secara wajar, untuk memperoleh pendidikan yang layak, dan untuk memperoleh pelayanan kesehatan memadai, tidak terpenuhi karena kelalaian, ketidakmengertian orang tua, ketidakmampuan atau kesengajaan. 10 9 Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak, h. 212. 10 Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak, h. 213. Kasus penelantaran anak di Indonesia, termasuk kasus penelantaran yang mengakibatkan kekerasan pada anak, tentu membutuhkan perhatian pemerintah melalui lembaga-lembaga negaranya. Kewajiban pemeliharaan dan pemenuhan kebutuhan dasar anak memang menjadi tanggung jawab utama orang tua, namun apabila orang tua tidak mampu menjalankan tugasnya dengan baik karena faktor kemiskinan, kelalaian atau karena gangguan psikologis, maka selanjutnya pemerintah yang dituntut untuk mampu mengambil peran orang tua tersebut melalui lembaga-lembaga negaranya. Bukan hanya kepolisian dan aparat penegak hukum lain yang berwenang memberikan hukuman bagi pelaku, namun diperlukan lembaga negara lain untuk memberikan perlindungan dan rehabilitasi bagi anak sebagai korban penelantaran. Melalui Pasal 74 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi “dalam rangka meningkatkan efektivitas penyelenggaraan perlindungan anak, dengan undang-undang ini dibentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang bersifat independen ” serta dipertegas dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2003, maka lahirlah Komisi Perlindungan Anak Indonesia selanjutnya disingkat KPAI. Sebagai salah satu SAO di Indonesia yang bersifat independen, KPAI memiliki tugas dan wewenang sebagai pengawas pemerintah dalam hal pelaksanaan kebijakan terkait perlindungan anak. KPAI pada dasarnya adalah lembaga negara yang independen, yang digolongkan sebagai lembaga non-struktural yang memiliki fungsi menjaga akuntabilitas pemerintahan terhadap masyarakat. 11 Selain tugas dan wewenang sebagai pengawas pemerintah, kedudukan KPAI sebagai SAO juga diharapkan mampu memberikan kontribusi lebih dalam rangka menciptakan situasi dan kondisi yang aman bagi anak, perlindungan terhadap hak anak serta menjamin tercapainya masa depan anak sebagai generasi penerus bangsa. Selama ini, peran dan kontribusi KPAI dikesankan hanya terlihat pada kasus-kasus yang mendapat sorotan publik dan sifatnya represif, bertindak setelah adanya kejadian. Selain itu, tugas dan wewenang KPAI masih sangat terbatas pada tingkat pengawasan sehingga kurang dapat memenuhi ekspektasi masyarakat, khususnya pada penanganan anak terlantar. Padahal, mengingat kedudukannya sebagai SAO atau lembaga negara independen, KPAI harus mampu mengatasi masalah sosial yang diamanahkan padanya secara optimal. Maka atas dasar pemikiran dan latar belakang yang telah diuraikan, penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai permasalahan tersebut untuk menjadi bahan skripsi yang berjudul “OPTIMALISASI PERAN KPAI SEBAGAI STATE AUXILIARY ORGANS DALAM PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK TELANTAR ”. 11 Enny Rosyidah Badawi, Komisi Perlindungan Anak Indonesia Sebagai Pengawas Penyelenggaraan Perlindungan Anak di Indonesia, Jakarta : Komisi Perlindungan Anak Indonesia, 2010, h.18.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah