Tugas dan Wewenang KPAI dalam Penanganan Anak Telantar

58 BAB IV KONTRIBUSI KPAI DALAM PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK TELANTAR

A. Tugas dan Wewenang KPAI dalam Penanganan Anak Telantar

Indonesia telah meratifikasi CRC ke dalam peraturan perundang-undangan melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Di dalam mukaddimahnya juga CRC menegaskan, karena alasan ketidakdewasaan fisik dan mentalnya, anak membutuhkan perlindungan dan pengasuhan khusus, termasuk perlindungan hukum yang tepat, baik sebelum maupun setelah kelahiran. Pernyataan ini menunjukkan bahwa anak adalah manusia yang membutuhkan pemajuan dan perlindungan HAM. Ada empat butir pengakuan masyarakat internasional atas hak-hak yang dimiliki oleh kaum anak, yakni 1 hak terhadap kelangsungan hidup anak survival rights; 2 hak terhadap perlindungan protection rights; 3 hak untuk tumbuh kembang development rights 4 hak untuk berpartisipasi participation rights. 1 Hak-hak yang telah disebutkan di atas merupakan hak dasar yang harus dipenuhi oleh negara-negara yang berpartisipasi dan meratifikasi konvensi internasional seperti CRCKHA termasuk Indonesia. 1 Majda El Muhtaj, Dimensi-dimensi HAM,Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2009, h. 229 Melalui berbagai peraturan perundang-undangan khususnya melalui Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pemerintah berupaya menjaga agar hak-hak dasar anak dapat terjamin dalam masa tumbuh kembangnya. Selain itu, Undang-undang Perlindungan Anak tersebut juga telah melahirkan lembaga Komisi Perlindungan Anak Indonesia KPAI sebagai lembaga independen yang berfungsi untuk meningkatkan efektivitas pengawasan penyelenggaraan pemenuhan hak anak. KPAI sebagai lembaga negara independen diharapkan mampu secara optimal melakukan tupoksinya agar pelaksanaan perlindungan terhadap hak-hak anak terjamin. Sebagai lembaga pengawas, KPAI memang tidak memiliki tugas dan wewenang langsung untuk melakukan kegiatan penyelenggara pemenuhan hak anak termasuk dalam penanganan terhadap anak telantar. KPAI hanya mampu menerima pengaduan, melakukan pengawasan, berkordinasi dengan lembaga berwenang dan memberikan masukan, saran, serta pendapat kepada pemerintah terkait penelantaran terhadap hak-hak anak. 2 Secara teknis, KPAI dapat menerima pengaduan dari masyarakat terkait pelanggaran terhadap hak-hak anak termasuk di dalamnya penelantaran anak. Pengaduan dapat berupa pengaduan langsung, melalui surat, telepon atau melalui email. Selain itu, KPAI dapat memperoleh data mengenai pelanggaran hak anak melalui pemantauan media baik media cetak, media online, dan media elektronik. Hasil investigasi kasus dan data dari berbagai lembaga Mitra KPAI Se-Indonesia 2 Wawancara penulis dengan Retno Adji Prasetiaju, Kepala Sekretariat KPAI, 20 Agustus 2015. juga menjadi sumber rujukan bagi KPAI untuk memperoleh data mengenai pelanggaran hak anak. 3 Data statistik kasus-kasus perlindungan anak KPAI periode tahun 2011 hingga Juli 2015 menyebutkan jumlah kasus yang termasuk kategori penelantaran anak sebagai berikut 4 : Kasus 2011 2012 2013 2014 2015 Juli Jumlah Anak telantar Anak PMKS 54 39 69 84 24 270 Anak korban penelantaran ekonomi hak nafkah 94 154 237 223 91 799 Anak korban kebijakan bidang pendidikan 88 195 89 76 27 475 Anak sebagai korban kelalaian orangtua atau lingkungan 10 10 173 158 36 387 Jumlah 246 398 568 541 178 1931 3 Wawancara Penulis tanggal 20 Agustus 2015 kepada Bidang Data dan Informasi KPAI 4 Bidang Data Informasi dan Pengaduan, Data Statistik Kasus-Kasus Perlindungan Anak Tahun 2011-2015 KPAI bentuk tabel disesuaikan oleh penulis Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa kasus-kasus yang dapat dikategorikan penelantaran anak sejak tahun 2011 hingga 2015 berjumlah 1931. Jumlah yang sangat besar jika kita menyadari bahwa tindakan penelantaran anak sebenarnya memiliki pengertian yang lebih luas dari keempat kategori di atas. Pada dasarnya anak telantar menurut Undang-undang Perlindungan Anak adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial 5 sehingga banyak kasus yang sebenarnya mengandung unsur penelantaran terhadap anak. Dalam kasus konflik masyarakat dan kasus anak menggunakan Napza narkotika, rokok, minuman keras, dsb misalnya, sebenarnya terdapat pula unsur adanya penelantaran terhadap anak. Namun, berdasarkan data yang penulis peroleh, maka penulis mengkategorikan empat jenis kasus yang dapat langsung disebut penelantaran anak. Anak sebagai Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial PMKS adalah anak sebagai perseorangan, keluarga, kelompok, danatau masyarakat yang karena suatu hambatan, kesulitan, atau gangguan, tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya, sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhan hidupnya baik jasmani, rohani, maupun sosial secara memadai dan wajar. 6 Selanjutnya anak korban penelantaran ekonomi hak nafkah adalah anak yang akibat tidak dinafkahi 5 Pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak 6 Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Sosial RI No. 8 Tahun 2012 Tentang Pedoman Pendataan dan Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial secara layak secara ekonomi maka akan mengganggu pemenuhan terhadap hak dasarnya. Anak korban kebijakan di bidang pendidikan dapat berupa anak yang tidak memperoleh hak dasarnya di bidang pendidikan akibat adanya pungli di sekolah, penyegelan sekolah, tidak boleh ikut ujian, anak putus sekolah, dan lain sebagainya. Sementara anak korban kelalaian orangtua atau lingkungan tentu mengakibatkan terganggunya pemenuhan hak dasar anak karena ketidakpedulian orangtua dan lingkungan sekitarnya. Dari sekian banyak kasus penelantaran anak yang terjadi di Indonesia, maka dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya di bidang pengawasan penyelenggaraan pemenuhan hak anak, khususnya anak telantar, KPAI melakukan kordinasi dan bersinergi dengan lembaga-lembaga lain yang terkait. KPAI dapat berkordinasi dengan Kementrian Perberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk menangani anak sebagai korban penelantaran. KPAI dapat pula berkordinasi dengan lembaga hukum seperti kepolisian untuk melakukan tindakan lebih lanjut kepada pelaku penelantaran. Lembaga-lembaga lain seperti pemerintah daerah atau lembaga swadaya masyarakat yang fokus terhadap permasalahan anak dapat pula berkordinasi dengan KPAI apabila hal tersebut dirasa perlu. 7 7 Wawancara penulis dengan Retno Adji Prasetiaju, Kepala Sekretariat KPAI, 20 Agustus 2015. B. Peran KPAI pada Penanganan Kasus Penelantaran Anak Kasus Penelantaran Anak Cibubur dan Kasus Pembunuhan Angeline Dalam berbagai kajian tentang tindak pelanggaran terhadap hak anak, kasus penelantaran anak sebenarnya masih termasuk dalam kategori child abuse. Secara teoritis, penelantaran adalah sebuah tindakan baik disengaja maupun tidak disengaja yang membiarkan anak tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya sandang, pangan, papan. Penelantaran terhadap anak tidak mengenal motivasiintensi. Disengaja maupun tidak, jika ada anak dibiarkan tidak memperoleh makan, tidak mendapatkan tempat tinggal yang layak, dan pakaian yang layak untuk melindunginya dari berbagai penyakit dan bahaya, maka insiden ini dikatakan penelantaran dan akan dikenakan sanksi. 8 Melihat realita sosial yang ada, penelantaran anak memang kurang mendapat perhatian masyarakat dan pemerintah. Kasus penelantaran akan mendapat sorotan apabila telah berkembang menjadi kasus kekerasaan atau bahkan kasus pembunuhan terhadap anak. Padahal, tidak dapat dipungkiri kasus-kasus kekerasan, eksploitasi dan bahkan pembunuhan anak selalu diawali oleh ketidakpedulian terhadap anak. Tindakan ketidakpedulian tersebut dapat dikategorikan penelantaran anak karena tindakan tersebut dapat menyebabkan kebutuhan dasar anak tidak terpenuhi. Menteri Sosial, Khofifah Indar Parawansa menyebutkan bahwa jumlah anak telantar di Indonesia masih banyak terjadi. Mensos merincikan, ada 4,1 juta anak terlantar, diantaranya 5.900 anak yang jadi korban perdagangan manusia, 8 Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010, h. 215 3.600 anak bermasalah dengan hukum, 1,2 juta balita terlantar dan 34.000 anak jalanan. 9 Dapat disimpulkan bahwa usaha-usaha pemerintah melalui peraturan perundang-undangan serta pelaksanaannya masih belum efektif dalam penanganan masalah anak telantar di Indonesia. Bulan Mei 2015 muncul kasus penelantaran anak di perumahan Citra Grand Cibubur, Bekasi. Kasus ini berawal dari informasi yang diperoleh KPAI tentang adanya kasus penelantaran anak Cibubur pada Rabu, 13 Mei 2015 malam. Pada hari Kamis, 14 Mei 2015 Sekjen KPAI, Erlinda berkoordinasi dengan ketua RT setempat, Kementrian Sosial dan Dinas Sosial untuk menindaklanjuti laporan dengan berusaha ke lokasi yaitu Perumahan Citra Gran Cluster Nusa II Blok E nomor 37, Cibubur, Pondok Gede, Bekasi. Kunjungan tersebut diawali niat untuk melakukan mediasi kepada pihak keluarga korban. Namun setelah tiba di lokasi, ternyata D, salah satu putra dari lima anak Utomo yang berusia delapan tahun ditelantarkan dengan tidak diberi makan, pendidikan yang layak bahkan D harus tidur di pos jaga perumahan tersebut. Mediasi yang dilakukan pun gagal karena Utomo melakukan perlawanan dan bahkan mengancam sehingga tim harus berkoordinasi dengan aparat polsek dan polres setempat. 9 Media Antara Jateng, 15 Mei 2015, “Mensos: Jumlah Anak Terlantar di Indonesia Mencapai 4,1 Juta ”, diakses pada 1 September 2015 Tim Jatanras Polda Metro Jaya harus turun langsung ke lokasi kejadian dan akhirnya dilakukan penggeledahan. 10 Utomo dan istrinya, Nurindria Sari diamankan oleh aparat sedangkan kelima anaknya diamankan oleh tim lalu ditempatkan di safe house. Dalam penggeladahan, selain kondisi rumah yang tidak terurus, ditemukan pula narkoba jenis sabu-sabu di dalam rumah Utomo Punomo dan Nurindria Sari sehingga menimbulkan spekulasi adanya pengaruh narkoba terhadap tindakan penelantaran yang dilakukan oleh kedua pelaku. 11 Pada kasus penelantaran anak di Cibubur, kontribusi KPAI sangat jelas terlihat. Respon cepat dalam menanggapi laporan yang masuk mengenai penelantaran anak dengan melakukan koordinasi dengan lembaga-lembaga yang berwenang menunjukkan komitmen KPAI sebagai salah satu lembaga negara yang fokus pada kepentingan anak. Tindakan selanjutnya dari KPAI adalah pemantauan dan pengawasan terhadap penanganan kasus oleh lembaga hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan serta eksekusi putusannya. Hal ini bertujuan agar proses penegakan hukum dilaksanakan dengan dasar supremasi hukum yang adil. Selain itu, atas dasar amanat Pasal 76 Undang-undang No. 35 tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, KPAI juga berwenang melakukan mediasi untuk menentukan kuasa asuh untuk kelima anak tersebut. Prosedur pengalihan kuasa asuh diawali dengan dilaksanakannya rapat koordinasi antara KPAI dengan beberapa lembaga terkait stake holder diantaranya Kementrian Sosial, 10 Metrotvnews.com, 15 Mei 2015, “Kronologi Kasus Orangtua „Usir‟ Anak Terungkap”, dengan pendeskripsian kembali oleh penulis, diakses pada 2 September 2015. 11 CNN Indonesia, 16 Mei 2015, “KPAI : Narkoba Bisa Jadi Biang Keladi Penelantaran Anak ”, diakses pada 2 September 2015. Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, pihak kepolisian, dan pihak rumah aman save house. Selanjutnya, Kementrian Sosial sebagai lembaga yang berwenang melakukan penilaian terhadap pihak keluarga baik dari pihak ayah maupun pihak ibu sebagai calon penanggung jawab kuasa asuh. Setelah dilakukan rapat kordinasi maka berdasarkan pertimbangan yang mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak, maka yang berhak menerima kuasa asuh pengganti adalah nenek korban dari pihak keluarga ayah. Pengalihan kuasa asuh tidak memiliki batasan waktu, melainkan hingga orangtua sebagai penanggung jawab kuasa asuh yang sebenarnya sudah mampu menerima kembali kuasa asuhnya secara bertanggung jawab. Sedangkan pengalihan kuasa asuh sendiri memiliki batas masa uji coba untuk menilai apakah pihak penerima kuasa asuh pengganti mampu menerima hak kuasa asuh atau tidak. Masa uji coba tersebut selama 3 bulan dan jika diperlukan dapat diperpanjang selama 3 bulan. Selama masa uji coba pihak Kementrian Sosial melakukan kunjungan rutin, pendampingan, pelayanan, dan penguatan psikologis bagi anak. Selama masa itu pula KPAI dalam rangka melaksanakan fungsi dan wewenangnya di bidang pengawasan melakukan kunjungan dan komunikasi baik dengan pihak nenek untuk melakukan pemantauan ataupun dengan pihak Kementrian Sosial yang bersifat kordinatif. 12 12 Wawancara penulis dengan Naswardi, bidang Keluarga dan Pengalihan Kuasa KPAI, 18 September 2015. Selanjutnya, pada tanggal 16 Mei 2015 dilaporkan kasus hilangnya anak berumur delapan tahun bernama Angeline di Bali. Satu bulan berikutnya, pada tanggal 10 Juni 2015 Angeline ditemukan tewas di pekarangan rumahnya sendiri. Hingga saat ini, kasus tersebut masih berjalan namun telah ditentukan beberapa tersangka diantaranya penjaga rumah dan ibu angkat Angeline. Kasus ini menjadi sorotan publik dan menjadi berita utama di berbagai media. Seorang anak yang seharusnya mendapat perlindungan dan kasih sayang tewas dengan kondisi yang mengenaskan di pekarangan rumahnya sendiri. Dalam tahap penyidikan, ditemukan indikasi kuat bahwa dalang pembunuhan adalah orang dalam rumah Angeline. Beberapa saksi diantaranya tetangga korban dan guru korban memberikan keterangan bahwa Angeline sering ditelantarkan oleh ibu angkatnya selama beberapa waktu terakhir sebelum hilang hingga akhirnya ditemukan tewas. Ciri-ciri bahwa Angeline ditelantarkan dapat dilihat dari tubuh yang kurus, pucat, rambut kusam, pakaian tidak rapi, datang ke sekolah telat dengan jalan kaki walau jarak antara rumah dan sekolah cukup jauh dan bahkan saksi pernah melihat Angeline memakan makanan ternak. Pada kasus ini, KPAI menjalankan fungsi pengawasannya pada pelaksanaan penegakan hukum baik oleh aparat kepolisian, kejaksaan dan lembaga peradilan. Selain itu, KPAI juga melakukan penelaahan pada pangkal kasus yaitu prosedur dan mekanisme pengangkatan anakadopsi yang tidak sesuai dengan hukum yang berlaku karena proses adopsi Angeline oleh ibu angkatnya hanya berdasarkan akta notaris. 13 13 Wawancara penulis dengan Naswardi, bidang Keluarga dan Pengalihan Kuasa KPAI, 18 September 2015. Baik pada kasus penelantaran anak di Cibubur, maupun pada kasus Angeline, KPAI sebenarnya memiliki tupoksi yang sama, yaitu berwenang memantau dan mengawasi jalannya kasus dengan tetap berkoordinasi dengan lembaga-lembaga terkait, seperti lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan, kementrian dan lembaga swadaya masyarakat seperti Komnas PA. Tupoksi KPAI sebagai lembaga pengawas menjadi penting pada kedua kasus tersebut agar tidak adanya lembaga-lembaga terkait dapat optimal menjalankan tugas dan wewenangnya. Namun, banyak masyarakat tidak mengetahui hal tersebut, sehingga kritik terhadap lembaga KPAI sering muncul.

C. Hambatan dan Kendala KPAI