e Dalam putusan ditetapkan suatu jangka waktu putusan tersebut harus
dilaksanakan. f
Apabila pemeriksaan sengketa telah selesai, pemeriksaan harus ditutup dan ditetapkan sidang mengucapkan putusan arbitrase dan diucapkan
dalam waktu paling lama 30 hari setelah pemeriksaan ditutup. g
Dalam waktu paling lama 14 hari setelah putusan diterima, para pihak dapat mengajukan permohonan kepada Arbiter atau Majelis Arbiter
untuk melakukan koreksi terhadap kekeliruan administrasi dan atau menambah atau mengurangi seuatu tuntutan putusan.
Berdasarkan ketentuan-ketentuaun prosedur di atas, dimaksudkan untuk menjaga agar jangan sampai penyelesaian sengketa melalui arbitrase
termasuk juga arbitrase syariah menjadi berlarut-larut, sehingga dengan demikian dalam arbitrase tidak terbuka upaya hukum banding, kasasi
maupun peninjauan kembali. Dengan demikian, putusan yang sudah tandatangani arbiter bersifat final and binding artinya putusan Basyarnas
mempunyai kekuatan mengikat dan padanya tidak dapat dilakukan upaya hukum apapun.
Namun, di sini ada pengecualian apabila telah terjadi kekhilafan, atau penipuan di dalamnya mengenai suatu fakta atau dengan adanya
novum. Setelah putusan tersebut sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka salinan otentik putusan diserahkan dan didaftarkan di kepeniteraan
PN Pengadilan Negeri. Bilamana putusan tidak dilakukan secara sukarela, maka dilaksanakan berdasarkan perintah ketua PN Pengadilan Negeri.
Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 8 Tahun 2008 perubahan No. 02 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah,
disebutkan bahwa dalam hal putusan Badan Arbitrase Syariah tidak dilaksanakan secara sukarela, maka putusan tersebut berdasarkan perintah
Pengadilan Agama.
b. Litigasi Pengadilan Agama
Langkah ini akan diambil bilamana nasabah tidak beritikad baik yaitu menunjukkan kemauan untuk memenuhi kewajibannya sedangkan
nasabah sebenarnya masih mempunyai harta kekayaan lain yang tidak dikuasai oleh bank atau sengaja disembunyikan atau mempunyai sumber-
sumber lain untuk mengatasi kredit macetnya. Sejak diundangkannya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang
Peradilan Agama maka bilamana terjadi sengketa dalam bidang muamalah maka diselesaikan lewat Pengadilan Agama. Perubahan penting yang ada
dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 adalah perluasan kekuasaan atau kewenangan pengadilan agama yang meliputi juga sengketa di bidang
Ekonomi Syariah . Hal ini terdapat pada Pasal 49 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006, yang dimaksudkan dengan ekonomi syariah adalah perbuatan
atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut syariah, meliputi Bank
Syariah, Asuransi Syariah, Reasuransi Syariah, Reksadana Syariah, Obligasi dan surat berharga jangka menengah syariah, Sekuritas Syariah, Pembiayaan
Syariah, Pegadaian Syariah, Dana Pensiun Lembaga Keuangan Syariah, Bisnis Syariah serta Lembaga Keuangan Mikro Syariah.
28
. Perbedaan yang sangat mendasar pada kedudukan Peradilan Agama
sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, adalah terletak pada kewenangan absolutnya. Ketika masih diberlakukannya Undang-
Undang Nomor 7 tahun 1989 sebagai payung hukum terakhir bagi tugas- tugas Peradilan Agama, kewenangan Pengadilan Agama hanya sebatas
menyelesaian perkara-perkara yang menyangkut perkawinan, warisan, wasiat, hibah, waqaf dan shadaqoh. Sehingga bilamana terjadi sengketa
menyangkut ekonomi syariah hanya bisa dilakukan di Pengadilan Negeri.
a. Penyelesaian Melalui Proses Persidangan Litigasi
Adapun hal hal penting yang harus dilakukan terlebih dahulu tersebut antara lain yaitu :
1 Pastikan Lebih Dahulu Perkara Tersebut Bukan Perkara Perjanjian
yang Mengandung Klausula Arbitrase. 2
Pelajari Secara Cermat Perjanjian Akad yang Mendasari Kerja Sama Antar Para Pihak.
3 Prinsip Utama dalam Menangani Perkara Ekonomi syari‟ah.
28
Indonesia, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, pasal 49 huruf i.
penyelesaian perkara perba nkan syari‟ah di lingkungan peradilan
agama akan dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum acara perdata sebagaimana yang berlaku di lingkungan peradilan umum. Artinya,
setelah upaya damai ternyata tidak berhasil maka hakim melanjutkan proses pemeriksaan perkara tersebut di persidangan sesuai dengan
ketentuan hukum perdata dimaksud. Dengan demikian dalam hal ini proses pemeriksaan perkara tersebut akan berjalan sebagaimana lazimnya
proses pemeriksaan perkara perdata di pengadilan yang secara umum akan dimulai dengan pembacaan surat gugatan penggugat, lalu disusul
dengan proses menjawab yang akan diawali dengan jawaban dari pihak tergugat, kemudian replik penggugat, dan terakhir duplik dari pihak
tergugat. Setelah proses jawab menjawab tersebut selesai, lalu persidangan
dilanjutkan dengan acara pembuktian. Pada tahap pembuktian ini kedua belah pihak beperkara masing-masing mengajukan bukti-buktinya guna
mendukung dalil-dalil yang telah dikemukakan di persidangan. Setelah masing-masing pihak mengajukan bukti-buktinya, lalu tahap berikutnya
adalah kesimpulan dari para pihak yang merupakan tahap terakhir dari proses pemeriksaan perkara di persidangan. Setelah seluruh tahap
pemeriksaan perkara di persidangan selesai, hakim melanjutkan kerjanya untuk mengambil putusan dalam rangka mengadili atau memberikan