Badan Arbitrase Syariah Nasional a. Pengertian

“Yazid Ibn al-Miqdam bin Syuraih menceritakan kepada kami, riwayat dari Syuraih bin Hani dari ayahnya Hani, bahwa ketika ia Hani menemui Rasulullah SAW banyak orang memanggilnya dengan panggilan Abul Hakam, kemudian Rasul memanggil Hani seraya bersabda: sesungguhnya Hakam itu adalah Allah dan kepadaNyalah dimintakan hukum. Mengapa kamu dipanggil Abu al- Hakam?” Abu Syuraih menjawab: jika kaumku bersengketa maka mereka mendatangiku untuk meminta penyelesaian dan kedua belah pihak akan rela dengan putusanku”, kemudian nabi mengomentari jawaban Abu Syuraih : “Alangkah baiknya perbuatanmu ini Apakah kamu mempunyai anak ?”. Abu Syuraih menjawab: “Ya, saya punya anak yaitu Syuraih, „Abdullah, dan Musallam”. Siapa yang paling tua? “. Tanya Nabi. Jawab Abu Syuraih: “Syuraih” kata Rasul: “kalau begitu, engkau adalah Abu Syuraih”. HR. Al-Nasa‟i. Kemudian MUI pun mengeluarkan SK Dewan Pimpinan MUI No. Kep-09MUIXII2003 Tanggal 30 Syawal 1424 H 24 Desember 2003 tentang Badan Arbitrase Syariah Nasional. Sedangkan dasar hukum arbitrase yang berlaku secara positif dapat dijelaskan bahwa, Alternatif penyelesaian sengketa yang bersifat umum, yaitu Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Kontruksi, Undang-undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, Undang-undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, dan Undang - undang No. 32 tentang Tata Letak Sirkuit Terpadu. c. Macam – macam Arbitrase dan Ketentuan Secara umum orang mengenal dua macam arbitrase dalam praktek, yaitu sebagai berikut: a. Arbitrase Ad-Hoc Volunter Arbitrase Disebut dengan arbitrase ad-hoc atau volunteer arbitrase karena sifat dari arbitrase ini yang tidak permanen atau insidentil. Arbitrase ini keberadaannya hanya untuk memutus dan menyelesaikan suatu kasus sengketa tertentu saja. Setelah sengketa selesai diputus, maka keberadaan arbitrase ad-hoc ini pun lenyap dan berakhir dengan sendirinya. Para arbiter yang menangani penyelesaian sengketa ini ditentukan dan dipilih sendiri oleh para pihak yang bersengketa; demikian pula tata cara pengangkatan para arbiter, pemeriksaan dan penyelesaian sengketa, tenggang waktu penyelesaian sengketa tidak memiliki bentuk yang baku. Hanya saja dapat dijadikan patokan bahwa pemilihan dan penentuan hal hal tersebut terdahulu tidak boleh menyimpang dari apa yang telah ditentukan oleh undang-undang. 24 Dalam arbitrase ad hoc proses beracara dalam arbitrase ditentukan sendiri oleh para pihak menurut ketentuan yang lazim 24 Gunawana Wijaya dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis: Hukum Arbitrase, Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2001, Cet. Ke-2, h. 19 berlaku, atau jika dikehendaki dapat diikuti proses beracara pengadilan. Pada arbitrase ad hoc para pihak dapat mengatur cara-cara bagaimana pelaksanaan pemilihan arbiter, kerangka kerja prosedur arbitrase dan aparatur administrasi dan arbitrase. Namun demikian dalam pelaksanaannya, arbitrase ad hoc ini memiliki kesulitan antara lain kesulitan dalam melakukan negosiasi dan menetapkan aturan-aturan prosedural dan arbitrase serta kesulitan dalam merencanakan metode metode pemilihan arbiter yang dapat diterima kedua belah pihak. Karena ada beberapa kesulitan itu sering kali dipilih bentuk arbitrase kedua yaitu arbitrase institusional. b. Arbitrase Institusional Lembaga Arbitrase Sedikit berbeda dari arbitrase ad-hoc, arbitrase institusional keberadaannya praktis bersifat permanen, dan karenanya juga dikenal dengan nama permanent arbitral body. Arbitrase institusional ini merupakan suatu lembaga arbitrase yang khusus didirikan untuk menyelesaikan sengketa terbit dari kalangan dunia usaha hampir dari semua Negara-negara maju terdapat lembaga arbitrase ini, yang pada umumnya pendiriannya diprakarsai oleh Kamar Dagang dan Industri Negara tersebut. Lembaga arbitrase ini mempunyai aturan main sendiri sendiri yang telah dibakukan. Secara umum dapat dikatakan bahwa penunjukan lembaga ini berarti menunjukkan diri pada aturan-aturan main dari lembaga ini. Untuk jelasnya, hal ini dapat dilihat dari peraturan - peraturan yang berlaku untuk masing-masing lembaga tersebut. 25 Proses beracara dalam arbitrase institusional biasanya memutus proses beracara yang sudah baku menurut ketentuan lembaga tersebut. Dalam arbitrase institusional, di samping ketentuan yang berlaku umum tata cara pengangkatan arbiter biasanya sudah ditentukan oleh lembaga tersebut, termasuk perlawanan yang mungkin ditiadakan terhadap arbiter yang ditunjuk. Selain itu bagi arbitrase institusional, proses beracara dalam arbitrase institusional biasanya memutuskan proses beracara yang sudah baku menurut lembaga tersebut.

d. Mekanisme Penyelesaian Sengketa

Terkait dengan prosedur, bahwa arbitrase adalah suatu prosedur penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan persetujuan para pihak yang berkepentingan untuk menyerahkan sengketa mereka kepada seorang wasit atau arbiter. 26 Sedangkan yang dimaksud dengan prosedur berperkara melalui badan arbitrase adalah keseluruhan proses yang harus ditempuh sejak awal pendaftaran perkara dari segi administratif, penunjukan arbitermajelis arbiter, persidangan, pemeriksaan perkara, pembuktian dan kesimpulan, kemudian diputuskan. 25 Ibid. hlm. 19 26 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum : Suatu pengantar, Yogyakarta: Penerbit Liberty, 1999, h. 144 Berkaitan dengan prosedur dan proses penyelesaian sengketa lembaga keuangan syariah melalui Basyarnas harus didasarkan pada UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Peraturan Prosedur Basyarnas dulu BAMUI. Adapun ketentuan-ketentuan umum yang terkait prosedur penyelesaian sengketa UU No. 30 Tahun 1999 adalah sebagai berikut: 27 a Pemeriksaan sengketa harus diajukan secara tertulis, namun demikian dapat juga secara lisan apabila disetujui para pihak dan dianggap perlu oleh Arbiter atau Majelis Arbiter. b Arbirter atau Majelis Arbirter terlebih dahulu mengusahakan perdamaian antara pihak yang bersengketa. c Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180 hari sejak Arbiter atau Majelis Arbiter terbentuk, namun demikian dapat diperpanjang apabila diperlukan dan disetujui para pihak. d Putusan Arbitrase harus memuat kepala putusan yang berbunyi “Demi keadilan Berdasarkan Ketuhana n Yang Maha Esa” nama sengkat sengketa, uraian singkat sengketa, pendirian cara pihak, nama lengkat dan alamat Arbiter atau Majelis Arbiter mengenai keselurhan sengketa, pendapat masing-masing Arbiter dalam hal terdapat perbedaan pendapat dalam Majelis Arbitrase, amar putusan, tempat dan tanggal putusan, dan tanatangan Arbiter atau Majelis Arbiter. 27 Indonesia, “UU No. 30 Tahun 1999 : Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. e Dalam putusan ditetapkan suatu jangka waktu putusan tersebut harus dilaksanakan. f Apabila pemeriksaan sengketa telah selesai, pemeriksaan harus ditutup dan ditetapkan sidang mengucapkan putusan arbitrase dan diucapkan dalam waktu paling lama 30 hari setelah pemeriksaan ditutup. g Dalam waktu paling lama 14 hari setelah putusan diterima, para pihak dapat mengajukan permohonan kepada Arbiter atau Majelis Arbiter untuk melakukan koreksi terhadap kekeliruan administrasi dan atau menambah atau mengurangi seuatu tuntutan putusan. Berdasarkan ketentuan-ketentuaun prosedur di atas, dimaksudkan untuk menjaga agar jangan sampai penyelesaian sengketa melalui arbitrase termasuk juga arbitrase syariah menjadi berlarut-larut, sehingga dengan demikian dalam arbitrase tidak terbuka upaya hukum banding, kasasi maupun peninjauan kembali. Dengan demikian, putusan yang sudah tandatangani arbiter bersifat final and binding artinya putusan Basyarnas mempunyai kekuatan mengikat dan padanya tidak dapat dilakukan upaya hukum apapun. Namun, di sini ada pengecualian apabila telah terjadi kekhilafan, atau penipuan di dalamnya mengenai suatu fakta atau dengan adanya novum. Setelah putusan tersebut sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka salinan otentik putusan diserahkan dan didaftarkan di kepeniteraan