Keterbatasan Penelitian Pola Konsumsi Tuak pada Peminum Tuak di Desa Lumban Siagian Jae

94

BAB VI PEMBAHASAN

A. Keterbatasan Penelitian

Pada penelitian ini terdapat keterbatasan-keterbatasan yang tidak dapat dihindari ketika penelitian dilakukan. Beberapa keterbatasan penelitian tersebut adalah sebagai berikut: 1. Kurangnya keakuratan alat ukur untuk mengukur jumlah tuak yang dikonsumsi, karena alat yang digunakan adalah gelas ukur dengan batas pengukuran terendah ± 5 mL; 2. Adanya bias informasi yang kemungkinan terjadi pada saat responden menentukan usia mulai mengonsumsi tuak.

B. Pola Konsumsi Tuak pada Peminum Tuak di Desa Lumban Siagian Jae

Konsumsi tuak adalah tindakan seseorang menghabiskan tuak untuk memenuhi kepuasan seseorang tersebut sebagai respon dari stimulus, baik dari diri sendiri maupun lingkungannya. Pola konsumsi tuak dapat diukur berdasarkan jumlah tuak yang dikonsumsi dan lama waktu mengonsumsi tuak. Pola konsumsi juga dianalisis secara mendalam mengenai orang yang mengajak untuk mengonsumsi tuak dan waktu mengonsumsi tuak. Selanjutnya pola konsumsi tuak akan dijabarkan dan dijelaskan sebagai berikut: 95 1. Jumlah Tuak yang Dikonsumsi Berdasarkan data penelitian, diperoleh informasi bahwa sebagian besar 89,5 peminum tuak di Desa Lumban Siagian Jae meminum tuak dengan jumlah yang banyak, yaitu lebih dari 500 mL Besarnya jumlah tuak yang dikonsumsi diduga karena para peminum merasa betah duduk di lapo tuak bersama teman-temannya sambil berdiskusi dan bermain kartu atau domino, sehingga tuak yang diminum semakin banyak. Penelitian ini sesuai dengan penelitian Anggraeny 2013 di Pattingalloang Kota Makassar yang menunjukkan bahwa responden yang mem inum alkohol sebanyak ≥ 3 tiga gelas kurang lebih 500 ml lebih banyak 52,8 dari pada responden yang meminum alkohol 3 tiga gelas 47,2. Pola konsumsi responden pada penelitian Anggraeny sama dengan responden pada penelitian ini, dimana minuman alkohol yang dikonsumsi sebanyak kurang lebih 3-5 gelas per hari. Kesamaan pola perilaku tersebut diduga karena adanya tradisi dan kebiasaan konsumsi minuman keras di kedua lokasi tersebut. Seperti halnya masyarakat Batak Toba, masyarakat Bugis juga memiliki kebiasaan meminum tuak, yang sering disebut sebagai ballo. Ballo adalah minuman yang selalu ada dalam pelaksanaan ritual tradisional dan sering digunakan sebagai minuman pelengkap pesta adat di Sulawesi Selatan BPOM, 2014. Sejak peradaban Kerajaan Gowa, pohon lontar disebut sebagai simbol maskulinitas bagi pria, maka ballo juga diyakini 96 sebagai minuman tradisional yang dapat memaksimalkan energi untuk bekerja dan memunculkan keberanian untuk menghadapi lawan Mae, 2012. Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa peminum tuak mengonsumsi tuak dalam jumlah yang berlebihan, hasil tersebut berbeda dengan penelitian Handayani dkk 2009 yang menyebutkan bahwa kebanyakan penduduk Indonesia yang berdomisili di pedesaan meminum minuman berlakohol pada batas standar dan tidak berlebihan karena status ekonomi marginal. Perbedaan ini kemungkinan terjadi karena menurut Handayani, kata ‘berlebihan’ diukur berdasarkan dampak psikologis yang ditimbulkan minuman keras, sementara penelitian ini mengukur kata ‘berlebihan’ secara kuantitatif, yaitu berdasarkan jumlah tuak yang dikonsumsi dalam satuan mL. Mengonsumsi tuak dengan jumlah yang berlebihan akan memicu munculnya penyakit-penyakit degeneratif. Menurut NHS United Kingdom 2008, masalah kesehatan akibat minuman beralkohol, termasuk tuak, didasarkan kepada jumlah yang diminum per hari. WHO 2014 mendukung pernyataan tersebut dengan menyatakan adanya hubungan dose-response antara jumlah konsumsi dan penyakit atau cidera yang diakibatkan oleh minuman beralkohol seperti tuak. Hal ini didukung oleh konsep Biology Gradient dalam Teori Kausalitas Hills yang menyatakan bahwa peningkatan level, intensitas, durasi atau total 97 paparan agen akan meningkatkan risiko masalah kesehatan secara progresif Gertsman, 2003. Beberapa zat yang terkandung dalam tuak akan memberikan dampak yang semakin besar jika zat tersebut semakin banyak dikonsumsi. Misalnya adalah protein yang terkandung sebesar 0,38 Noviyanti, 2014, dalam jumlah yang sesuai, protein dapat berperan sebagai bahan dasar untuk membangun tubuh. Namun apabila tuak dikonsumsi secara berlebihan, maka protein yang masuk ke dalam tubuh juga akan melebihi batas dan menimbulkan efek negatif dalam tubuh. Menurut Shinya 2008, protein yang berlebihan pada awalnya akan merusak DNA dalam sel, kemudian jika dikonsumsi semakin banyak, maka protein tersebut akan merusak seluruh bagian sel, sehingga sel-sel yang normal berubah menjadi abnormal, termasuk sel darah putih. Sel darah putih yang berfungsi sebagai komponen pertahanan terhadap virus dan bakteri menjadi tidak berfungsi, sehingga tubuh menjadi sangat rentan mengalami infeksi dan kemudian infeksi tersebut pada akhirnya memunculkan sel-sel kanker. Sel-sel kanker tersebut berkembang biak dengan sendirinya, hal ini menyebabkan penyakit kanker pada peminum tuak. 2. Lama Mengonsumsi Tuak Selain jumlah tuak yang dikonsumsi, perilaku konsumsi tuak juga diukur berdasarkan lama konsumsi tuak. Hasil penelitian menunjukkan 98 bahwa responden paling banyak telah mengonsumsi tuak dalam jangka waktu lebih dari delapan tahun. Hal ini diduga karena tradisi dan kebiasaan yang dianut oleh masyarakat Desa Lumban Siagian Jae sehingga masyarakat telah mengonsumsi tuak sejak remaja bahkan sejak anak-anak. Pernyataan tersebut didukung oleh data yang menunjukkan bahwa peminum tuak paling banyak memulai mengonsumsi tuak pada saat remaja akhir, 77,5 peminum tuak di Desa Lumban Siagian Jae telah mengonsumsi tuak sejak usia 17 sampai 25 tahun. Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian Setiawan 2013 di Maluku Tengah yang menyebutkan bahwa responden yang meminum sopi minuman tradisional beralkohol khas Maluku Tengah selama 5 sampai 10 tahun lebih banyak dari pada responden yang meminum sopi selama kurang dari 5 tahun. Menurut Setiawan 2013, penduduk Maluku Tengah telah memiliki kebiasaan mengonsumsi sopi sejak lama karena letak lokasi berada dibawa kaki gunung sehingga suhu terasa sangat dingin, konsumsi sopi menjadi salah satu upaya untuk menghangatkan tubuh. Sama halnya dengan masyarakat Desa Lumban Siagian Jae, masyarakat Maluku Tengah juga menganggap konsumsi sopi sebagai kebiasaan adat masyarakat sejak dulu. Sopi dikonsumsi sebagai obat, rempah-rempah makanan dan dapat dijual sebagai salah satu sumber ekonomi masyarakat. Hasil yang berbeda diperoleh oleh Kurniawati dkk 2010 melalui penelitiannya pada mahasiswa D3 Fakultas Teknik Universitas Gadjah 99 Mada. Hasil penelitian Kurniawati dkk 2010 menunjukkan bahwa responden paling banyak telah mengonsumsi alkohol dalam jangka waktu ≤ 1 tahun, sementara hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa peminum tuak paling banyak telah mengonsumsi tuak dalam jangka waktu 8 tahun. Perbedaan tersebut menunjukkan bahwa jangka waktu konsumsi minuman beralkohol pada penelitian Kurniawati dkk lebih singkat dari pada durasi konsumsi tuak pada penelitian ini. Jangka waktu konsumsi alkohol yang singkat disebabkan oleh karakteristik responden penelitian, dimana responden merupakan mahasiswa D3 yang sebagian besar masih berusia 19 hingga 20 tahun. Jangka waktu konsumsi alkohol akan berpengaruh terhadap masalah kesehatan yang terjadi pada peminumnya. Konsumsi alkohol dalam jangka waktu yang semakin lama akan semakin meningkatkan risiko dan menimbulkan masalah kesehatan. Halim dkk 2006 menyebutkan bahwa gangguan dalam tubuh yang sering timbul akibat penggunaan alkohol dalam jangka waktu yang lama antara lain ulserasi traktus gastrointestinal, pankreatitis, neuropati perifer, hepatitis alkoholik, fatty liver, hipertensi dan gangguan pada serebrovaskular. Atrofi cerebellum penyusutan otak kecil merupakan salah satu contoh gangguan pada serebrovaskular yang berhubungan dengan penggunaan tuak dalam jangka waktu yang lama. Halim dkk 2006 menyebutkan bahwa paparan alkohol sebesar 4-5 Noviyanti, 2014, 100 sebagai salah satu komponen dalam tuak, dapat menyebabkan lesi pada pada pembuluh darah dari jantung ke otak. Semakin lama tuak dikonsumsi maka akan semakin banyak lesi yang terbentuk pada pembuluh darah, dengan demikian suplai darah dari jantung hanya digunakan untuk regenerasi pembuluh darah tersebut. Hal tersebut secara otomatis akan mengurangi suplai darah ke otak sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan volume lapisan granular dan molekular serta penipisan korteks pada otak kecil. 3. Orang yang Mengajak Peminum untuk Mengonsumsi Tuak Perilaku konsumsi tuak pada masyarakat Lumban Siagian Jae terbentuk karena adanya baik dari diri sendiri maupun orang lain. Data penelitian menyebutkan bahwa sebesar 71,1 peminum tuak mengonsumsi tuak atas kemauan sendiri dan 28,9 diajak oleh teman. Kemauan dari diri sendiri untuk mengonsumsi bisa saja terjadi karena adanya persepsi dan kepercayaan yang telah terbentuk Stacy dkk, 1994. Emqi 2013 menyebutkan bahwa keinginan dari dalam diri seseorang untuk melakukan penyalahgunaan alkohol disebabkan oleh adanya kepercayaan terhadap manfaat yang akan dimiliki dari alkohol tersebut. Penelitian ini berbeda dengan penelitian Siswendi 2014 yaitu responden paling banyak 66,6 memulai minuman keras dari pengaruh temannya. Penelitian Kurniawati dkk 2013 juga memberikan hasil yang berbeda yaitu sebesar 73,3 responden mengonsumsi alkohol karena 101 ajakan teman. Bremner dkk 2011 mendukung kedua penelitian tersebut dengan menyatakan bahwa salah satu faktor utama yang mendorong munculnya perilaku konsumsi alkohol adalah bagaimana mereka memandang perilaku teman-teman mereka. Perbedaan tersebut diduga terjadi karena perbedaan lingkungan sosial dan budaya. Masyarakat di lokasi penelitian Siswendi 2014 di Riau, dan Kurniawati dkk 2013 di Yogyakarta, sebagian besar tidak menganut tradisi dan kebiasaan konsumsi minuman beralkohol. Oleh karena tidak adanya paparan tradisi, maka persepsi dan kepercayaan terhadap alkohol tentu tidak terbentuk sehingga tidak ada dorongan dari diri sendiri untuk mengonsumsi alkohol dan cenderung karena ajakan teman sepergaulan. Aspek kepribadian akan memberikan respon yang berbeda terhadap ajakan sehingga membentuk perilaku yang berbeda pula. Menurut Sigelman dan Shaffer dalam Sumarlin 2009, terdapat dua aspek kepribadian seseorang yang kemudian membentuk perilakunya. Pertama, social cognition yaitu keinginan yang berpengaruh kuat terhadap minatnya untuk memperoleh manfaat atau membentuk persahabatan. Kedua adalah conformity yaitu keinginan untuk sama dengan kebiasaan, hobi atau budaya teman sebayanya. Social cognition dapat dikaitkan dengan hasil penelitian ini, dimana perilaku konsumsi tuak berasal dari diri sendiri, sebab keinginan untuk memperoleh manfaat dan membentuk persahabatan berasal dari 102 diri sendiri. Sementara conformity dikaitkan dengan hasil penelitian yang menyebutkan bahwa perilaku konsumsi alkohol dipengaruhi oleh teman. Remaja yang berada di lingkungan peminum akan mengikuti ajakan meminum alkohol dari temannya dengan tujuan agar bisa diterima oleh teman-temannya meskipun sebenarnya bertentangan dengan hati nurani Sumarlin, 2009. 4. Waktu Mengonsumsi Tuak Peminum tuak di Desa Lumban Siagian Jae memiliki waktu khusus untuk mengonsumsi tuak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi tuak di Desa Lumban Siagian Jae paling banyak dilakukan pada malam hari. Menurut Indraprasti dan Rachmawati 2008, konsumsi minuman keras dapat dilakukan di segala waktu, baik di pagi hari, siang, sore maupun malam hari, akan tetapi masyarakat lebih memilih sore hingga malam hari, karena pada pagi hingga siang hari, para peminum lebih memilih untuk bekerja dan malam hari merupakan waktu untuk beristirahat sehingga dimanfaatkan untuk meringankan rasa lelah setelah bekerja. Penelitian ini didukung oleh penelitian Ikegami 1997 yang menyatakan bahwa biasanya laki-laki di Tapanuli Utara mengonsumsi tuak pada sore hingga malam hari setelah menyelesaikan pekerjaannya. Lumban Gaol 2013 juga menyebutkan bahwa masyarakat Batak Toba lebih sering mengonsumsi tuak pada saat santai, yaitu pada sore hari 103 setelah pulang dari sawah. Hal tersebut berhubungan dengan kepercayaan masyarakat tentang pengaruh tuak yang dapat meningkatkan semangat dan melepaskan keletihan setelah bekerja. Berdasarkan pembahasan mengenai pola konsumsi tuak, dapat disimpulkan bahwa perilaku konsumsi tuak pada peminum tuak di Desa Lumban Siagian Jae dapat menjadi faktor yang memicu munculnya masalah kesehatan karena sebagian besar peminum telah mengonsumsi tuak dalam jangka waktu yang lama dengan jumlah yang banyak. Peminum tuak biasanya mengonsumsi tuak pada malam hari sebagai upaya untuk menghilangkan keletihan bekerja. Instansi kesehatan bersama dengan tokoh masyarakat perlu memperbaiki persepsi masyarakat terhadap konsumsi tuak, sebab faktor yang paling berpengaruh terhadap munculnya perilaku konsumsi tuak adalah faktor internal dimana keinginan untuk mengonsumsi berasal dari diri sendiri.

C. Pengetahuan Mengenai Konsumsi Tuak pada Peminum Tuak di Desa