11
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Keanekaragaman Hayati dan Norma Masyarakat Adat
1. Pengelolaan Lingkungan Hidup dari Norma Masyarakat Adat
Masyarakat adat menganggap dirinya sebagai bagian dari alam. Masyarakat berkembang bersama seluruh komponen yang ada di dalamnya, baik secara
individual maupun kelompok. Masyarakat adat tidak menjalani hidup yang hanya mementingkan hubungan dengan sesama manusia. Penting bagi
mereka untuk melakukan interaksi dengan ekosistem di sekitarnya. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa cara hidup masyarakat adat sangat berkaitan
dengan kondisi alam disekitarnya Keraf. 2010: 364-365. Masyarakat adat memandang alam, sumber daya, dan karakteristik ekosistem merupakan
komponen yang menentukan totalitas kegiatannya. Dengan kata lain, kegiatan masyarakat adat berkaitan dengan pengelolaan alam di sekitarnya Suryadarma,
2009: 46. Pada dasarnya pengelolaan dilakukan untuk memberikan pengawasan pada semua hal yang terlibat dalam pelaksanaan kebijaksanaan dan
pencapaian tujuan. Begitu pula, pada aspek pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan.
Menurut Mitchell 2010:253, aspek-aspek kunci pembangunan berkelanjutan meliputi pemberdayaan masyarakat lokal masyarakat adat,
swasembada dan keadilan sosial. Salah satu usaha untuk mencapai hal
12 tersebut adalah berpindah dari bentuk pengelolaan lingkungan dan
sumberdaya, yang didominasi oleh ahli professional dari sektor pemerintah dan swasta, menuju pendekatan yang mengkombinasikan pengalaman,
pengetahuan, dan pemahaman berbagai kelompok masyarakat tradisional.
2. Nilai Religius Masyarakat Adat dan Keanekaragaman Hayati
Kesamaan pemahaman merupakan hal yang paling mendasar dari seluruh masyarakat adat di dunia dipandang dari sudut etika lingkungan. Masyarakat
tradisional memandang alam dan interaksi antara dirinya dengan alam dari sudut pandang religius dan spiritual. Interaksi antar keduanya diwarnai oleh
kesadaran spiritual yang merupakan kesadaran paling tinggi. Spiritual mewarnai seluruh interaksi antara manusia dengan seluruh komponen yang ada
di alam termasuk interaksi antara manusia dengan sesamanya, manusia dengan alam, dan manusia dengan yang gaib. Dengan demikian, pandangan inilah yang
menjadikan agama sebagai sebuah cara hidup yang meuntun manusia untuk mencapai tujuan yang selaras dengan alam. Dengan kata lain yang spiritual
menyatu dengan yang material Keraf. 2010: 362-363. Menurut Mitchell, 2010: 298, pengetahuan masyarakat lokal yang
terakumulasi sepanjang sejarah hidupnya mempunyai peran sangat besar. Pandangan bahwa manusia merupakan bagian dari alam dan sistem
kepercayaan yang menekankan penghormatan terhadap lingkungan alam merupakan nilai yang sangat positif untuk pembangunan berkelanjutan.
13 Salah satu bentuk praktik kearifan lokal masyarakat adat Jawa ialah
menganggap beringin sebagai pohon keramat dan angker. Pandangan tersebut memberikan stigma bahwa sesuatu yang keramat tidak dapat diperlakukan
sembarangan. Jika, stigma tersebut dilanggar, maka pelakunya kana mendapat sanksi baik dari alam. Dengan demikian, konservasi terhadap keutuhan beringin
tetap lestari. Hal tersebut merupakan bentuk aksi konservasi yang bersumber dari masyarakat lokal. Pohon beringin memiliki akar yang dalam dan biasanya
di bawahnya terdapat sumber air. Berdasarkan hal tersebut, aksi masyarakat adat membantu melestarikan konservasi pohon beringin dan sumber air
Suhartini, 2009: 211-212. Menurut Zuhud 2007: 5, suatu spesies tumbuhan yang berinteraksi dengan
manusia dalam jangka waktu yang sangat lama, diyakini konservasi dan bioekologinya banyak terkait dengan sikap dan perilaku manusia. Hal ini
mengindikasikan bahwa sikap dan perilaku manusia menyesuaikan dengan kebutuhan hidup spesies tumbuhan tersebut. Dengan pengertian lain, bahwa
keberlangsungan suatu spesies tumbuhan tergantung pada sinyal sebagai informasi yang ditangkap oleh manusia. Sinyal tersebut dapat berupa infromasi
kelangkaan yang berhubungan dengan regenerasi spesies tumbuhan tersebut, sehingga dapat menjadi stimulus maupun pendorong terhadap sikap masyarakat
maupun pengelola untuk aksi konservasi. Beyond Belief
, melaporkan potensi ajaran agama dapat mendorong dan berkontribusi sebagai salah satu sarana dalam melindungi kawasan konservasi.
14 Tempat-tempat suci yaitu tempat atau situs-situs dan lingkungan yang telah
dibentuk dan hadir secara alami maupun semi alami dapat secara langsung berkontribusi pada upaya-upaya konservasi global. Ajaran agama memberikan
pengaruh melalui filsafat, aksi dan pengaruh dan dampak dimana para pengikutnya memandang tentang perlindungan alam Mangunjaya. 2007: 31.
B. Pohon Beringin dalam Budaya Jawa
Menurut Sunjata et al, 1995, menyatakan bahwa masyarakat Jawa mengenal Ficus benjamina dengan sebutan beringin atau waringin. Pemaknaan
terhadap pohon beringin ini diantaranya sebagai komponen simbol dalam lambang negara Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI yaitu Garuda Pancasila dan
simbol partai politik. Penggunaan simbol pohon Beringin ini tidak serta merta muncul saat kemerdekaan Negara Indonesia. Namun, sudah ada sejak masa
kerajaan Mataram yang terus berlangsung hingga saat ini. Dalam budaya Jawa, beringin merupakan simbol pohon kehidupan yaitu pohon yang mampu
memberikan hayat atau kehidupan kepada manusia yang fungsinya dapat memberikan pengayoman dan perlindungan serta mempertebal semangat dan
keyakinan masyarakat. Bentuknya yang besar dan rimbun menimbulkan rasa gentar dan hormat serta berkesan menakutkan. Oleh karenanya banyak masyarakat yang
beranggapan bahwa pohon beringin mempunyai kekuatan istimewa. Beringin sering di tanam di halaman pusat pemerintahan maupun di pusat keramaian alun-
alun, pasar, pertigaanperempatan jalan, dan di tempat lainnya. Hal ini tidak lepas dari makna yang terdapat di serat Salokapatra yang menyatakan bahwa pohon