Pengelolaan Lingkungan Hidup dari Norma Masyarakat Adat

14 Tempat-tempat suci yaitu tempat atau situs-situs dan lingkungan yang telah dibentuk dan hadir secara alami maupun semi alami dapat secara langsung berkontribusi pada upaya-upaya konservasi global. Ajaran agama memberikan pengaruh melalui filsafat, aksi dan pengaruh dan dampak dimana para pengikutnya memandang tentang perlindungan alam Mangunjaya. 2007: 31.

B. Pohon Beringin dalam Budaya Jawa

Menurut Sunjata et al, 1995, menyatakan bahwa masyarakat Jawa mengenal Ficus benjamina dengan sebutan beringin atau waringin. Pemaknaan terhadap pohon beringin ini diantaranya sebagai komponen simbol dalam lambang negara Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI yaitu Garuda Pancasila dan simbol partai politik. Penggunaan simbol pohon Beringin ini tidak serta merta muncul saat kemerdekaan Negara Indonesia. Namun, sudah ada sejak masa kerajaan Mataram yang terus berlangsung hingga saat ini. Dalam budaya Jawa, beringin merupakan simbol pohon kehidupan yaitu pohon yang mampu memberikan hayat atau kehidupan kepada manusia yang fungsinya dapat memberikan pengayoman dan perlindungan serta mempertebal semangat dan keyakinan masyarakat. Bentuknya yang besar dan rimbun menimbulkan rasa gentar dan hormat serta berkesan menakutkan. Oleh karenanya banyak masyarakat yang beranggapan bahwa pohon beringin mempunyai kekuatan istimewa. Beringin sering di tanam di halaman pusat pemerintahan maupun di pusat keramaian alun- alun, pasar, pertigaanperempatan jalan, dan di tempat lainnya. Hal ini tidak lepas dari makna yang terdapat di serat Salokapatra yang menyatakan bahwa pohon 15 beringin ditanam di lingkungan pusat pemerintahankeraton sebagai perwujudan lambang perlindungan, pengayoman pemimpin raja kepada rakyatnya serta melambangkan bersatunya raja dan rakyatnya Baskara dan Wicaksana: 2013. 22. Gambar 1. Pohon Beringin Ditanam Sejak Zaman Kerajaan Mataram di Halaman Masjid Besar Kota Gede Sumber: Dokumentasi Pribadi.

C. Keistimewaan Arsitektur Tata Ruang Kota Yogyakarta

Kota Yogyakarta memiliki filosofi dan histori penataan ruang yang erat kaitannya dengan aspek lingkungan. Sejak masa kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono I, pembentukan struktur ruang kota sudah direncanakan melalui keselarasan lingkungan yang didasari oleh nilai-nilai budaya yang kuat. Konsep pembentukan struktur ruang Kota Yogyakarta divisualisasikan melalui formasi linier yang meliputi garis imajiner Gunung Merapi, Kraton, Laut Selatan. Sumbu imajiner tersebut selaras dengan konsep Tri Hita Karana dan Tri Angga Parahyangan-Pawongan-Palemahan atau Hulu-Tengah-Hilir serta nilai Utama-