Penciptaan Arti Baru creating

namun tidak bisa menjawabnya. Burung yang jengkel itu memuji hanya untuk menyindirnya c. Nonsense Nonsense secara linguistik tidak mempunyai arti leksikal. SB sebagai sebuah karya sastra lama tidak memiliki nonsense seperti halnya puisi atau syair modern. SB terkait pula sebagai sajak atau syair lama masih menggunakan satu kata yang tidak akan ditemukan maknanya secara leksikal kecuali dalam bahasa Minangkabau. Kata yang dimaksud adalah nan. Nan bisa dimasukkan dalam kategori nonsense sebab tidak semua kata nan dalam syair ini mengandung makna ‘yang’ seperti makna leksikal dalam bahasa Minangkabau, namun nan sebagai kata pelengkap sebuah sajak. Analisis nonsense pada SB adalah sebagai berikut. Kalau ia sudah nan fana Sesalpun tidak lagi berguna SB, 3:2 Berkata ia sudah nan lama Sekarang tidak dapat dijama SB, 7:12 Jikalau ia sudah nan mati Maka tak mau menyahuti SB, 9:4 Kata ’nan’ dalam tiga halaman tersebut di atas tidak dapat dimasukkan dalam kata Minangkabau yang berarti ’yang’. Hal ini karena, bila kata tersebut tetap diartikan sebagai ’yang’, maka kalimat yang ada menjadi tidak koheren. ’Nan’ yang tidak mempunyai arti secara leksikal ini menjadi pelengkap sajak atau syair. Kata ’nan’ bila dihilangkan akan mengubah irama dalam sajak tersebut, meski kata itu tidak bermakna.

3. Penciptaan Arti Baru creating

Penciptaan arti dalam sajak merupakan sebuah konvensi kepuitisan. Konvensi atau aturan ini berupa bentuk visual yang secara linguistik tidak mempunyai arti tetapi menimbulkan makna bagi puisi itu. Penciptaan arti terdiri dari simitri, rima, enjambemen, homologue dan tipografi. a. Simitri Simitri digunakan sebagai sebuah alat atau sarana kepuitisan untuk mendapatkan nilai keindahan atau seni dengan bentuknya yang teratur. Simitri sebgai bentuk keseimbanagn yang ikut membantu pembentukan homologue. Simitri pada SB adalah sebagai berikut. Banyak juga orang begitu Sembahyang haram barang sewaktu Sembahyang fardlu kifayah mereka itu Angkanya hendak zaidnya itu SB, 28:14-15 Simitri pada bait di atas adalah sembahyang. Keseimbangan muncul pada bait di atas. Pengulangan kata sembahyang pada ’sembahyang haram sewaktu’ dan sembahyang fardlu kifayah mereka itu’ merupakan bentuk keseimbangan. Keseimbangan itu berupa bentuk pelaksanaan sembahyang. Sembahyang ini tidak dilaksanakan pada waktu-waktu yang sudah ditentukan seperti sembahyang lima waktu tetapi dilakukan bila memang ada yang meninggal. Hal itu juga pada hukumnya. Hukum sembahyang ini tidak seperti sembahyang lima waktu yang harus ditanggung oleh masing-masing muslim bila tidak mengerjakannya. Hukum sembahyang ini fardlu kifayah, yang artinya kewajiban muslim yang lain akan gugur bila sembahyang ini telah dilakukan oleh muslim yang lain. Dangan kehendak Tuhan yang ghinaa Sekalian dunia habislah fana Sekalian mereka banyak yang terkena Sesalpun tidak lagi berguna SB, 37:11-12 ’Sekalian dunia habislah fana’ sejajar dengan ’sekalian mereka banyak yang terkena’. Dunia ini bersifat fana dan banyak akan menjadi korban dari kefanaan dunia atas kehendak Tuhan yang kaya. Hal ini membuktikan kesejajaran bahwa ketika Tuhan berkehendak untuk menutup dunia ini, maka tidak ada satu orang pun yang dikehendaki Tuhan dapat menghindarinya. b. Homologue Homologue merupakan ekuivalensi-ekuivalensi makna semantik di antara persamaan-persamaan posisi dalam bait. Persejajaran kata dapat memunculkan makna baru. Homologue pada SB adalah sebagai berikut. Disahut oleh burung Belatuk Janganlah gusar kiranya datuk Orang tuah sudahlah suntuk Tunduk tengadah mata mengantuk SB, 5:5-6 Homologue pada halaman 5 ini terdapat pada baris ketiga dan keempat. Orang yang sudah tua telah saatnya suntuk, yakni telah habis waktunya. Baris selanjutnya memperjelas makna bahwa suntuk yang dimaksud adalah tenaganya mudah terkuras, lebih cepat dari yang muda. Orang tua sudah mulai suntuk dengan pertanda kepalanya tunduk dan tengadah, matanya menganmtuk pula. Hambapun tidak ada perkasa Akan harti pahala dan dosa Hendak berguru tidak kuasa Negeripun tidak lagi sentausa SB, 6:3-4 Homologue terdapat pada baris pertama dan ketiga. Kesejajaran yang terjadi pada bait di atas adalah ’perkasa’ dan ’kuasa’. Kedua kata itu memiliki kesejajaran makna. Seseorang yang tidak lagi perkasa atau kuat, maka dia tidak akan kuasa atau sanggup untuk berguru sehingga mengerti pahala dan dosa. Hal kekuatan pada seseorang ini sejajar dengan sebuah negeri yang tidak sentosa yang tidak memiliki kekuatan untuk mengayomi warganya. Lihatlah akal burung Belatuk Purak-purak pula ia mengantuk Sungguhpun ia duduk terjelantuk Tidak berbunyi bersin dan batuk SB, 8:14-15 Kesejajaran makna pada bait ini terdapat pada baris kedua dan ketiga. Burung Belatuk yang berpura-pura mengantuk, menyengajai diri untuk terjelantuk agar kepura-puraannya terlihat lebih nyata. Kata ’mengantuk’ dan ’terjelantuk’ merupakan satu makna, sebab orang yang mengantuk dan akhirnya tertidur saat dia duduk maka kepalanya akan terjelantuk karena ketidaksadarannya saat tertidur. Pergam menyahut mukanya merah Katanya jangan ayahanda bergerah Jika tak tentu khabar dan surah Akhirnya anakanda jua yang marah SB, 11:3-4 Kesejajaran makna pada bait ini terdapat pada baris pertama dan keempat. Kata ’merah’ dan ’marah’ merupakan bentuk kesejajaran. Pergam menyahut dengan muka yang merah. Muka merah memiliki makna marah karena sebagai simbol api. Hal ini juga dipertegas dengan kata ’marah’ pada baris keempat. Unggas Nuri seraya bersabda Benar sangat kata adinda Di sebelah tuan orang yang muda Soal datang jawab pun ada SB, 16:12-13 Homologue pada bait ini terdapat pada baris kedua dan ketiga. Kata ’adinda’ dan ’muda’ merupakan sebuah kesejajaran. ’Adinda’ merupakan panggilan untuk adik dengan rasa hormat. Kata ’adik’ bermakna orang yang lebih muda. Bentuk itu menjadikan bait bermakna: bahwa berdekatan dengan adinda orang yang masih muda ketika ada soal yang datang, jawaban pasti akan ada. Unggas Nuri burung di awan Ia berkata kepada kawan Hakikat makrifat apalah tuan Jawablah jangan malu-maluan SB, 16:14-15 ’Kawan’ dan ’tuan’ merupakan kesejajaran arti. Kata ’kawan’ memiliki makna orang yang sudah lama dikenal. Kata ’tuan’ merupakan penyebutan kepada seseorang dengan nilai rasa yang tinggi. Hal ini membuktikan bahwa Nuri, tokoh yang mengucap kalimat ini sudah mengenal lawn bicaranya sekaligus menghormatinya. Kata ’tuan’ dan ’kawan’ disejajarkan oleh penyair untuk memberikan rasa penghormatan meski orang itu adalah kawan sepermainan. Belatik menjawab lakunya marah Peluhnya merecik dadanya merah Katanya dangar daging dan darah Fakir yang hina hendak bersuarah SB, 24:12-13 Homologue terakhir pada SB terdapat pada halaman 24 baris 12-13. Kesejajaran terdapat pada kata ’marah’ dan ’merah’. Kedua kata ini memiliki makna yang sama, kemarahan ditandai dengan warna merah. Seseorang yang sedang marah diliputi dengan api kemarahan. Warna merah sebagai simbol api dan api merupakan awal dari rasa marah. c. Rima Rima merupakan pembeda antar sajak dan prosa. Fungsi rima dalam sajak adalah untuk memberikan bunyi yang dapat mendukung perasaan dan suasana puisi. SB merupakan syair atau puisi lama, sehingga mengikuti aturan puisi-puisi lama. SB terdiri dari 284 bait dan 2 baris. Penghitungan setiap bait pada SB dengan urutan baris pertama kolom kanan, baris kedua kolom kiri, baris ketiga kolom kanan dan baris keempat kolom kiri. Uraian mengenai cara pembacaan urutan baris-baris setiap seperti cara pengaturan ruang tulisan pada naskah. SB terdiri dari 193 aaaa, 53 iiii, dan 33 uuuu. Rima yang berbeda juga terdapat dalam SB, antara lain. 2 aiii, 2 iaii, 1 uauu. Rima berbeda ini adalah sebagai berikut. Wa shall ā ’l-Lāhu ’alā sayyidinā Muhammad Wa ’alā alihi wa ashhābihi ajma’īn Wa ’l-hamdu li ’l- Lāhi Rabbi ’l-alamin Yā khaira ’n-nāshirīn SB, 38:8-9 Kesebelas membelakang akan kiblatnya Satu binasa fardlu sholati Tiadalah sah berbuat bakti 32 Kepada Tuhan Rabbi ’l-izzati SB, 31:15-32:1 Kedua dikafan dangan kain putih 68 Ketiganya itu disembahyangkan mayat Supaya sempurna kepada yang mati Kepada yang hidup berolehlah bakti SB, 27:9-10 Saudara ini sangat perduli Bertanya tidak sudah sekalian Kalau hendak berjualbeli Berapa harganya biar aku bali SB, 32:12-13 Rukun yang kedua belas membacanya itu 31 Serta mengata At-tahiy yāt Al- mubārakatu ’sh-Shalawātu ’th-thayyibātu Hingga sampai kepada akhirnya itu SB, 31:1-2 d. Enjambemen Enjambemen merupakan bentuk pemutusan kalimat yang kemudian diletakkan pada baris selanjutnya. Pelompatan baris ini mempunyai tujuan untuk membangun kesatuan kata atau kalimat yang menunjukkan satu kesatuan makna tertentu. Enjambemen pada SB hanya ditemukan satu sebagai berikut. Tidak mengada-ngadah Akan ilmu di dalam dada Arang di dalam kertasnya walaulah Di lidah meraya nyawa guru dan kanda SB, 1:11-12 68 Terbaca, ‘puti’, tertulis ‘ ﻲﺗﻮﻓ’ Pelompatan baris dapat dilihat pada baris ketiga dan keempat. Kata ’walaulah’ seharusnya berada pada baris keempat, sebab bila sistem perberian tanda baca digunakan maka tanda koma , akan berada setelah kata ’kertasnya’. Peletakan kata ’walaulah’ pada baris ketiga merupakan suatu bentuk orkestrasi untuk memtuhi aturan rima dan pembaitan dalam sajak atau syair. Pelompatan yang terjadi in tidak membuat perubahan makna karena sudah merupakan satu kesatuan yang utuh. e. Tipografi Tipografi merupakan salah satu pembangun makna sebuah sajak. SB terdiri dari 284 bait yang merupakan sebuah rangkaian cerita utuh. Semua bait adalah kesatuan yang utuh yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Setiap bait pada SB berisi empat baris, dengan rincian dua baris di kolom kiri dan dua baris di kolom kanan, kecuali pada bait terakhir berisi dua baris. SB masih terikat dengan bentuk pembaitan puisi lama sebab SB sebuah karya sastra klasik. Tipografi SB tidak bebas seperti puisi modern. Bentuk SB yang lurus terdiri dari dua kolom ini merupakan sebuah perwujudan karakter sajak. SB merupakan sajak atau syair yang berisi tentang ilmu agama Islam. Syair ini tidak banyak hiasan tetapi rapi, ini menunjukkan bahwa SB tidak mementingkan bentuk tetapi isi yang termuat di dalamnya.

B. Pembacaan Heuristik