Siklus Hidup Skabies Epidemiologi Skabies

34 bentuk ini sangat menular karena jumlah tungau yang menginfestasi sangat banyak ribuan. Skabies Norwegia terjadi akibat defisiensi imunologik sehingga sistem imun tubuh gagal membatasi proliferasi tungau dapat berkembangbiak dengan mudah. 6. Skabies pada bayi dan anak. Lesi skabies pada anak dapat mengenai seluruh tubuh, termasuk seluruh kepala, leher, telapak tangan, telapak kaki, dan sering terjadi infeksi sekunder berupa impetigo, ektima sehingga terowongan jarang ditemukan. Pada bayi, lesi di muka. 7. Skabies terbaring ditempat tidur bed ridden. Penderita penyakit kronis dan orang tua yang terpaksa harus tinggal ditempat tidur dapat menderita skabies yang lesinya terbatas.

2.2.6. Siklus Hidup Skabies

Setelah terjadi kopulasi perkawinan di atas kulit, jantan akan mati atau kadang-kadang masih dapat hidup beberapa hari didalam terowongan yang digali oleh tungau betina. Tungau betina yang telah dibuahi menggali terowongan dan dapat tinggal selama hidupnya yaitu kurang lebih 30 hari. Tungau betina bertelur sebanyak 2 – 3 butir perhari dapat bertelur sepanjang hidupnya 4 – 5 minggu dan telurnya akan menetes setelah 3 – 5 hari menjadi larva yang mempunyai tiga pasang kaki, larva ini dapat tinggal dalam terowongan, dan dapat juga keluar setelah 2 – 3 hari larva akan menjadi nimfa yang mempunyai dua bentuk jantan dan betina. Waktu yang diperlukan dari telur hingga bentuk dewasa adalah 10 – 14 hari. Tungau jantan mempunyai masa hidup yang lebih pendek Universitas Sumatera Utara 35 daripada tungau betina, dan mempunyai peran yang lebih kecil pada patogenesis penyakit biasanya hanya hidup di permukaan kulit dan akan mati setelah membuahi tungau betina. Tungau ini merupakan parasit obligat pada manusia dan hanya dapat hidup diluar tubuh manusia selama kurang lebih 2 – 3 hari Ginanjar, 2006.

2.2.7. Epidemiologi Skabies

Secara epidemiologi terjadinya suatu penyakit disebabkan oleh tidak adanya keseimbangan antara host manusia, agent penyebab dengan environment lingkungan, apabila salah satu faktor tersebut terjadi permasalahan maka akan menjadi efek terhadap permasalahan kesehatan. Demikian juga penyebab terjadinya penyakit skabies yaitu karena terjadinya ketidakseimbangan antara orang, penyebab dan lingkungan disekitarnya. Widoyono, 2011. Insiden skabies di negara berkembang menunjukkan siklus fluktuasi yang sampai saat ini belum dapat dijelaskan. Interval antara akhir dari suatu epidemi dan permulaan epidemi berikutnya kurang lebih 10-15 tahun. Insidennya di Indonesia masih cukup tinggi, terendah di Sulawesi Utara dan tertinggi di Jawa Barat. Amiruddin dkk, dalam penelitian skabies di Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya, menemukan insidens penderita skabies selama 1983-1984 adalah 2,7. Abu A dalam penelitiannya di RSU Dadi Ujung Pandang mendapatkan insidens skabies 0,67 pada tahun 1987-9188. Harahap, 2013 Dariansyah, 2006 dalam penelitiannya yang dilakukan juga di pesantren Oemar Diyan dari 61 santri yang diambil 37 orang menderita skabies dan 24 orang tidak menderita skabies. Hasil penelitian ini didapatkan OR 2,2. Di pesantren yang Universitas Sumatera Utara 36 padat penghuninya prevalensi skabies mencapai 78,7, tingginya prevalensi pada kelompok tersebut yang kebersihan dirinya kurang baik 72,7 dan pada kelompok yang kebersihan dirinya baik hanya 2,2 - 3,8. Menurut Departemen Kesehatan RI prevalensi skabies di Puskesmas seluruh Indonesia pada tahun 1996 adalah 4.6-12,9, dan skabies menduduki urutan ketiga dari 12 penyakit kulit tersering Kusnoputranto, 2002. Berdasarkan data KSDAI tahun 2001 yang dikumpulkan dari sembilan rumah sakit di kota besar Indonesia, jumlah penderita skabies yang tertinggi ditemukan di Ibu Kota Jakarta sebanyak 335 kasus. Hal ini sesuai dengan Kota Jakarta memiliki jumlah penduduk terbanyak sebagai salah satu faktor pendukung perkembangan skabies. Skabies ditemukan pada semua kelompok usia sekolah menduduki jumlah terbanyak Boediardja, 2003

2.2.8. Penularan Skabies