13 Maria menunjukkan kepada kita sikap beriman yang sejati yakni, percaya sepenuhnya
kendatipun bagi akal manusia hal tersebut tidak mungkin. Selain dipahami sebagai kegiatan percaya, iman juga dimaknai sebagai
karunia atau anugerah dari Allah. Artinya, iman sesungguhnya bukanlah hasil dari usaha manusia, melainkan anugerah yang diberikan oleh Allah. Kata anugerah
mengisyaratkan bahwa iman merupakan pemberian cuma-cuma oleh Allah bagi manusia. Dalam suratnya kepada jemaat di Efesus, Paulus menyatakan bahwa
manusia seharusnya binasa karena perbudakan hawa nafsu. Tetapi melalui Yesus, Allah menyelamatkan manusia. Iman akan Kristus inilah yang menyelamatkan
manusia dari kehancuran dan ini adalah karunia Allah Ef 2:1-10; Kol 1:23.
Iman berkaitan dengan pengharapan akan keselamatan kekal yang diberikan
karena kasih karunia Allah. Kendati iman adalah sikap penyerahan diri seseorang dan merupakan anugerah dari Allah, bukan berarti iman tidak ada hubungannya dengan
sesama. Rasul Yakobus mengajarkan, bahwa iman itu harus disertai perbuatan- perbuatan kasih agar iman itu menyelamatkan. Iman memiliki kaitan yang sanga erat
dengan perbuatan, sebab hanya dengan perbuatan iman menjadi sempurna. Yakobus menceritakan kembali kisah Abraham yang dibenarkan karena perbuatan-
perbuatannya, bukan hanya karena imannya. Sama seperti halnya tubuh tanpa nyawa akan mati, demikian juga iman tanpa perbuatan adalah mati
Yak 2:22,24,26. Gagasan ini menegaskan bahwa iman bukan hanya soal seberapa sering kita berdoa
dan merenungkan sabda Tuhan, tetapi juga menyangkut tindakan konkret dari apa yang kita imani.
Berdasarkan uraian-uraian di atas maka iman dalam Perjanjian Baru dapat dipahami sebagai penyerahan diri kita sepenuhnya kepada Allah dan menjadi bagian
14 dari kisah-Nya, melaksanakan sabda-Nya, menerima setiap anugerah cinta dan
keprihatinan-Nya bagi kita sebagai kebenaran dan mewujudkannya dalam setiap aspek hidup kita. Bukan sekedar melaksanakan sesuai dengan yang baik menurut pikiran
kita, tetapi juga harus melibatkan hati dan seluruh hidup kita Mardiatmadja. 1985: 154-155.
b. Pengertian Iman Menurut Dokumen Gereja
Pada bagian ini penulis akan menguraikan pandangan dokumen-dokumen Gereja terkait dengan iman. Dokumen yang digunakan dalam pembahasan ini adalah
Konstitusi Dogmatis Konsili Vatikan II tentang Wahyu Ilahi yakni, Dei Verbum dan
Katekismus Gereja Katolik KGK. 1
Dei Verbum Iman memiliki korelasi dengan wahyu Ilahi, sebelum mendefinisikan iman
maka, wahyu harus dipahami terlebih dahulu. Konstitusi Dogmatis Konsili Vatikan II tentang Wahyu Ilahi yakni,
Dei Verbum merumuskan Wahyu sebagai berikut : Allah telah berkenan mewahyukan diri-Nya dan memaklumkan rahasia
kehendak-Nya. Dengan wahyu itu Allah yang tidak kelihatan dari kelimpahan cinta kasih-Nya menyapa manusia sebagai sahabat-Nya dan
bergaul dengan mereka, untuk mengundang mereka ke dalam persekutuan dengan diri-Nya dan menyambut mereka di dalamnya DV art.2.
Berdasarkan uraian ini, kita dapat memahami bahwa wahyu adalah tindakan Allah menyatakan diri-Nya bagi manusia dengan memberikan jawaban atas keresahan
manusia akan makna hidupnya. Jawaban tersebut berupa janji Allah mengenai karya keselamatan-Nya bagi manusia. Keselamatan itu adalah kesatuan antara Allah dan
manusia yang sepenuhnya terlaksana dalam diri Yesus Kristus. Inilah yang dimaksud PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15 sebagai wahyu yakni, pernyataan diri Allah dan rencana keselamatan-Nya yang
mengundang manusia untuk ambil bagian di dalamnya. Atas perbuatan Allah ini, manusia perlu memberikan tanggapan dalam
bentuk sikap percaya dan berserah sepenuhnya pada penyelenggaraan Allah. Penyerahan diri ini merupakan suatu keputusan yang dilakukan dengan bebas dan
menyangkut seluruh aspek manusia: akal budi dan kehendak. Konsili Vatikan II menyatakan :
Kepada Allah yang menyampaikan wahyu, manusia wajib menyatakan “ketaatan iman”. Demikianlah manusia dengan bebas menyerahkan diri
seutuhnya kepada Allah, dengan mempersembahkan kepatuhan akal budi serta kehendak yang sepenuhnya kepada Allah yang mewahyukan, dan
dengan sukarela menerima sebagai kebenaran, wahyu dikaruniakan oleh-Nya DV art.5.
Berdasarkan rumusan ini maka iman dapat dimengerti sebagai penyerahan seluruh hidup kehendak dan budi secara bebas kepada Allah yang telah mewahyukan dan
menyatakan diri-Nya kepada kita manusia. Penyerahan ini berupa kepatuhan akal budi terhadap Allah, terutama dalam karya penciptaan dan sejarah keselamatan-Nya.
2 Katekismus Gereja Katolik KGK
Salah satu dokumen Gereja yang berbicara khusus mengenai iman adalah Katekismus Gereja Katolik. KGK mendefinisikan iman sebagai berikut :
Iman adalah ikatan pribadi manusia dengan Allah dan sekaligus tidak terpisahkan dari itu, persetujuan secara bebas terhadap segala kebenaran yang
diwahyukan Allah. Sebagai ikatan pribadi dengan Allah dan persetujuan terhadap kebenaran yang diwahyukan Allah, iman Kristen berbeda dengan
kepercayaan yang diberikan kepada seseorang manusia. Menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah dan mengimani secara absolut apa yang Ia katakan
adalah tepat dan benar. Sebaliknya adalah sia-sia dan salah memberikan kepercayaan yang demikian itu kepada seorang makhluk KGK, art. 150.
16 Uraian dokumen ini menjelaskan bahwa unsur yang paling mendasar dari iman adalah
ikatan pribadi manusia dengan Allah yang berlandaskan kebebasan. Dalam ikatan tersebut dengan penuh kebebasan manusia menyerahkan diri kepada Allah dan
percaya akan kebenaran yang diwahyukan-Nya. Dalam artikel yang lainnya KGK juga menjelaskan bahwa iman merupakan
suatu rahmat cuma-cuma yang kita terima saat kita dengan sungguh-sungguh memohonkannya. Iman menjadi kekuatan adikodrati yang mutlak diperlukan jika
ingin mencapai keselamatan. Kendati iman adalah rahmat yang diberikan secara cuma-cuma, iman tetap menuntut kehendak bebas dan pemahaman yang jelas dari
seseorang ketika menerima undangan Ilahi ini. iman adalah kepastian yang mutlak karena Yesus sendiri yang menjaminnya. Iman tidak akan mendapat kepenuhan jika
tidak dinyatakan lewat perbuatan cinta kasih yang nyata. Iman akan semakin bertumbuh ketika kita semakin cermat mendengarkan sabda Tuhan dan menjalin relasi
dengan-Nya melalui doa. Iman memberikan kita kesempatan untuk menikmati suasana surgawi KGK, art.153-165, 179-180,183-184 .
Berdasarkan uraian dokumen-dokumen ini dapat dipahami bahwa iman adalah sebuah relasi pribadi yang terjalin antara manusia dengan Allah. Di mana Allah
terlebih dahulu mewahyukan diri-Nya kepada manusia. Kemudian, dengan rahmat dan dorongan Roh Kudus, manusia tergerak untuk memberikan tanggapan terhadap wahyu
tersebut. Manusia memberi tanggapan terhadap Wahyu Allah ini dalam bentuk penyerahan diri sepenuhnya pada Allah yang didasari dengan kebebasan KWI, 2012:
127-129. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
c. Pengertian Iman Menurut Para Ahli
1 Pengertian Iman Menurut Thomas H. Groome
Groome 2010: 81 menyatakan bahwa iman Kristen sebagai realitas yang hidup memiliki tiga ciri yang mendasar, yakni : 1 keyakinan, 2 hubungan yang
penuh kepercayaan, 3 kehidupan agape yang hidup. Namun bila berbicara secara
khusus iman Kristen sebagai realitas yang hidup maka, ketiga ciri ini diekspresikan dalam tiga dimensi, yakni iman sebagai keyakinan
faith as believing, iman sebagai kepercayaan
faith as trusting dan iman sebagai tindakan faith as doing. Dalam iman Kristen, ketiga dimensi ini merupakan kesatuan yang tidak dapat dihayati secara
terpisah. Iman akan berkembang apabila tiga dimensi ini dapat berkembang secara serentak. Groome menguraikan ketiga dimensi iman tersebut sebagai berikut:
a Iman sebagai keyakinan faith as believing
Iman sebagai keyakinan faith as believing adalah dimensi iman yang
menekankan segi intelektual. Iman dipahami sebagai sebuah keyakinan, oleh sebab itu iman harus direnungkan, dipahami dan didalami agar iman dapat diyakini dengan
teguh. Salah satu bentuk dari dimensi kognitif ini adalah kemampuan untuk mengkritisi informasi yang diterima, bukan hanya menolak tetapi juga memandang
berbagai hal sebagai jalan untuk memperkembangkan iman. Dimensi kognitif iman menekankan bahwa iman dapat dipertanggungjawabkan menurut daya akal budi.
Groome 2010: 82 mengungkapkan kembali pandangan David Tracy bahwa keyakinan adalah simbol yang menjelaskan pernyataan kognitif, moral atau historis
tertentu yang terkandung dalam sikap iman. Sejauh keyakinan-keyakinan itu dapat digunakan, dimengerti dan diterima maka ada dimensi iman yang kognitif atau
18 dimensi intelektual iman. Santo Agustinus adalah salah seorang tokoh Gereja yang
menekankan dimensi intelektual dalam iman yang menyatakan bahwa pemahaman kognitif adalah hadiah dari iman. Artinya, keyakinan terhadap terang anugerah Allah
harus menuju pada pengertian tentang apa yang diyakini . Dalam hal ini “mengerti”
datang melalui kemampuan akal yang dibimbing oleh pernyataan dan pengajaran Gereja.
Iman sebagai keyakinan faith as believing berkenaan dengan hal-hal yang
bersifat kognitif dari iman. Thomas Aquinas seorang tokoh Gereja yang juga memberi perhatian pada dimensi kognitif dari iman menyatakan bahwa tindakan percaya adalah
tindakan kecerdasan berpikir yang menyetujui kebenaran Ilahi atas perintah kehendak yang digerakkan oleh Allah. Pernyataan ini memang cenderung menyamakan iman
dengan kepercayaan yang maknanya direduksi menjadi persetujuan intelektual terhadap ajaran-ajaran yang dinyatakan secara resmi. Dalam pemahaman Gereja
Katolik iman berarti memberi persetujuan intelektual terhadap ajaran magisterium.
Penekanan segi kognitif iman ini memang penting, tetapi harus dipahami bahwa iman tidak bisa dianggap sama dengan keyakinan. Jika iman dianggap sama
dengan keyakinan maka dimensi lain dari iman akan terabaikan. Oleh karena itu haruslah dipahami bahwa iman Kristen selalu merupakan anugerah Allah. Oleh
anugerah yang sama dan pengaruh kecerdasan berpikir milik kita sendiri, kecenderungan untuk percaya diekspresikan dalam kepercayaan-kepercayaan yang
kita yakini dan setujui. Tetapi harus selalu dipahami bahwa deskripsi intelektual bukanlah definisi yang lengkap dari iman Kristen, melainkan hanya sebagai salah satu
dimensi iman Groome , 2010: 81-87.
19 b
Iman sebagai kepercayaan faith as trusting Iman sebagai kegiatan kepercayaan
trusting lebih menekankan segi afektif dari iman yang berdasarkan kepercayaan. Dimensi iman yang bersifat afektif ini
merupakan hubungan pribadi seseorang yang penuh kepercayaan dengan Allah yang telah menyelamatkan manusia melalui Yesus Kristus Putera-Nya dalam bentuk
kesetiaan dan kasih. Karya penyelamatan Allah yang terlaksana dalam diri Yesus menimbulkan kepercayaan, kekaguman, hormat, pemujaan, rasa terima kasih, dan
permohonan dari pihak kita. Perasaan-perasaan ini kemudian diungkapkan melalui doa, baik secara pribadi maupun komunal. Doa merupakan dimensi dialogis dari
hubungan kita dengan Allah, tanpa dialog ini maka hubungan tersebut tidak akan bertahan. Groome 2010: 90 menyampaikan pendapat Bonhoeffer bahwa iman dan
ketaatan tidak dapat dipisahkan karena iman akan nyata ketika ada ketaatan. Iman sebagai kepercayaan
faith as trusting merupakan relasi pribadi seseorang dengan Tuhan. Relasi ini menekankan segi afeksi atau rasa yang terkait
dengan hati nurani. Segi afeksi ini membahas soal isi hati, oleh karena itu hal yang paling utama dalam dimensi afektif ini adalah mendengarkan suara hati. Selain itu,
untuk menjalin relasi tersebut harus ada rasa bangga terhadap apa yang di imani, kebebasan, dan tanggungjawab.
c Iman sebagai kegiatan melakukan faith as doing
Iman sebagai kegiatan melakukan faith as doing berkenaan dengan ungkapan nyata dari iman dalam wujud tindakan. Yesus sendiri menegaskan bahwa
orang yang masuk Kerajaan Allah bukanlah mereka yang selalu berseru “Tuhan,
Tuhan”, tetapi mereka yang melakukan kehendak Allah Mat 7:21. Dari kisah ini PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20 ingin ditegaskan kembali bahwa iman tidak cukup hanya dengan kata-kata saja, iman
membutuhkan sebuah tindakan nyata. Oleh sebab itu iman sebagai realitas hidup sangat penting. Artinya apa yang diimani harus sungguh dilaksanakan dalam
kehidupan nyata. Dalam tradisi Kristen tindakan tersebut terwujud dalam panggilan hidup untuk saling mengasihi. Groome, 2010: 90.
2 Pengertian Iman Menurut James W. Fowler
Groome 2010: 95-99 mengungkapkan pandangan Fowler tentang iman
berdasarkan prespektif strukturalis dengan berfokus pada struktur-struktur yang mendasari pikiran dan kepercayaan manusia. Berikut pengertian iman menurut
Fowler: a
Iman sebagai yang utama Menurut Fowler iman adalah inti hidup manusia yang mewarnai dan
membentuk seluruh kehidupan manusia. Oleh karena itu, iman adalah fokus atau orientasi utama manusia untuk memaknai kehidupan di dunia ini. Pengertian iman
sebagai yang utama ini menegaskan bahwa iman adalah hal yang mendasar bagi hidup manusia dan mempengaruhi seluruh aspek kehidupan manusia.
b Iman sebagai kegiatan mengetahui yang aktif
Iman bukanlah keadaan yang statis yang tidak dapat bergerak dan berkembang. Iman merupakan kegiatan mengetahui, mengartikan dan menafsirkan
pengalaman hidup. Pandangan ini menunjukkan bahwa iman adalah sebuah kegiatan. Melalui iman manusia dapat mengetahui, mengartikan dan menafsirkan pengalaman
hidupnya sehingga pengalaman-pengalaman tersebut menjadi bermakna. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21 c
Iman sebagai hubungan Bagi Fowler “iman adalah fenomena hubungan yang mutlak”. Hubungan
yang pertama adalah antara diri kita dengan sesama. Dalam hubungan ini iman memiliki dua kutub yang bersifat sosial atau hubungan antara satu dengan yang lain.
Selain hubungan dengan sesama, iman juga merupakan “hubungan seseorang dengan kondisi-
kondisi akhir dan eksistensi yang lebih dalam”. Hubungan ini membentuk kutub ketiga dari iman, dengan demikian iman adalah hubungan yang berkutub tiga.
Hubungan tiga serangkai ini adalah antara diri kita dengan sesama dan Allah yang terwujud dalam diri Yesus Kristus.
d Iman sebagai sesuatu yang rasional dan berhubungan dengan perasaan
Iman merupakan cara mengetahui dunia secara aktif dan cara berhubungan dengan dunia, maka iman memiliki dimensi kognitif dan juga afektif. Dimensi
kognitif rasionalitas iman tidak dapat dipisahkan dari dimensi afektif perasaan. Dimensi perasaan adalah emosi afektif yang muncul dari iman sebagai cara
berhubungan, misalnya perasaan untuk mengasihi, memperhatikan, menghargai, kagum, hormat, takut. Maka dengan demikian beriman berarti berhubungan dengan
seseorang atau sesuatu dengan cara sedemikian rupa, sehingga hati kita diarahkan, perhatian diberikan dan harapan kita tertuju pada orang lain.
e Iman sebagai hal yang universal yang ada dalam diri manusia
Groome 2010: 99 mengungkapkan kembali pandangan Fowler yang menyatakan bahwa iman adalah hal yang universal dalam diri manusia. Fowler
menegaskan bahwa iman tidak selalu berhubungan langsung dengan agama, meskipun PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22 agama memiliki hubungan dengan iman. Agama hanya menyediakan model-model
kegiatan iman dan model-model untuk membentuk iman dan menambah iman. Tetapi iman jauh lebih luas dari ekspresi-ekspresi yang terorganisasi dalam agama.
B. Tahap-Tahap Perkembangan Iman Menurut Fowler
Cremers 1995: 95-96 mengungkapkan kembali pandangan Fowler bahwa tahap perkembangan iman sebagai keseluruhan operasi pengertian dan penilaian yang
terintegrasikan dan spesifik secara kualitatif memungkinkan pribadi memiliki gambaran tentang iman yang berbeda sesuai dengan masing-masing tahap. Cremers
berdasarkan pandangan Fowler membedakan dan mengidentifikasikan setiap tahap perkembangan iman berdasarkan tendensi perkembangan tertentu. Tahap tersebut
dimulai dari struktur yang paling sederhana dan belum terdiferensiasi menuju struktur yang lebih kompleks dan terdiferensiasi.
Penggunaan batas usia yang ditawarkan oleh Fowler dalam setiap tahap merupakan tanda minimal rata-rata. Artinya batas usia tersebut bukanlah patokan yang
tidak dapat diubah, karena dalam kasus tertentu banyak orang mencapai suatu tahap perkembangan iman pada umur yang berbeda dari patokan tersebut. Menurut Cremers
1995: 95-96 setiap tahap perkembangan iman mencerminkan suatu kesadaran diri yang semakin intens. Setiap tahap memiliki struktur yang utuh, tetapi tahap-tahap
tersebut juga saling berhubungan. Berikut adalah tahap-tahap perkembangan iman yang dikemukakan oleh Cermers berdasarkan pandangan Fowler :
23
1. Tahap Intuitif-Proyektif umur 2-6 tahun
Dalam tahap ini anak terdorong oleh keinginan untuk mengekspresikan dorongan hatinya yang disertai dengan ketakutan akan hukuman karena
kebebasannya. Anak mulai mempercayai orang lain, terutama orang tua yang telah mengasuhnya dan memberikan kasih sayang. Pada tahap ini juga anak mulai
mengembangkan konsep tentang yang baik dan buruk. Mereka sering berimajinasi tentang kekuasaan yang mengatur kelangsungan hidup setiap makhluk di muka bumi
ini. Bentuk-bentuk imajinasi yang sering muncul adalah gambaran tentang neraka, surga, Tuhan, yang pernah mereka dengar dari orang tua atau kisah dalam buku
dongeng. Imajinasi anak pada tahap ini masih bersifat tidak masuk akal. Mereka masih sulit untuk membedakan antara fantasi dan realitas Cremers, 1995 : 104-112.
Pada tahap ini anak bersifat egoistis, mudah berubah dan tidak logis magical. Kepercayaan yang ia dapatkan dibentuk secara intuitif dengan meniru
orang dewasa. Dalam masa ini anak mulai menemukan realitas yang melampaui pengalaman sehari-hari dan bertemu dengan batas-batas kehidupan, misalnya
kematian. Selain sikapnya yang masih egoistis, anak-anak juga sulit membedakan antara pandangan orang tua dengan pandangannya sendiri, terutama pandangan
tentang Tuhan, malaikat dan iblis. Ketuhanan digambarkan secara pra-antropomorfis dan magis berdasarkan kualitas fisik semata. Misalnya Allah digambarkan seperti
angin yang ada di mana-mana Cremers, 1995 : 113-117.
2. Tahap Mitis-Harafiah 6-12 tahun
Tahap ini adalah tahap di mana anak mulai memasuki usia sekolah. Anak mulai berpikir secara logis dan membedakan hal-hal yang natural dari hal-hal
24 supranatural. Anak mulai mampu untuk menguji segala pikiran secara empiris atas
dasar pengamatan sendiri dengan mengecek apakah pandangan-pandangan kepercayaannya sesuai dengan ajaran dan pendapat orang dewasa yang dihargainya.
Mereka juga dapat menyusun dan mengartikan dunia pengalamannya melalui cerita sebagai sarananya. Mereka langsung mengambil pemahaman harafiah terhadap
pengalaman agama atau simbol-simbol agama seperti yang pernah mereka dengar. Dalam tahap ini kepercayaan menjadi soal bagaimana harus menilai cerita-cerita yang
secara konkret mengandung seluruh simbol, kebiasaan, gambaran dan tradisi kepercayaan dalam kelompok. Dimensi naratif menjadi sarana yang utama untuk
mengekspresikan kepercayaan anak pada suatu tatanan arti yang melampaui tingkat dunia konkret, serta menjadi sarana penjamin janji-janji di masa sekarang dan
mendatang Cremers, 1995 : 117-128. Dalam tahap ini seorang anak secara lebih sadar bergabung dengan kelompok
atau komunitas iman terdekatnya. Kepercayaannya dibentuk melalui cerita-cerita dan mitos-mitos yang diartikan secara harafiah. Allah tidak lagi dipandang sebagai orang
tua atau raja yang jauh dari jangkauan manusia, m elainkan sebagai “seorang sahabat”
yang dekat dan akrab dengannya. Artinya, sumber nilai kebenaran dan kekuasaan yang transenden mulai bersifat “pribadi” Cremers, 1995 : 134.
3. Tahap Sintetis-Konvensional 12 – 21 tahun
Pada umumnya yang masuk dalam tahap ini adalah anak usia remaja. Mereka mampu berpikir abstrak mulai dari bentuk ideologis sistem keyakinan dan komitmen
sampai pada hal-hal yang ideal. Pada usia remaja mereka memasuki masa pencarian identitas diri. Oleh sebab itu, mereka mengharapkan hubungan yang pribadi dan
25 bersifat intim dengan Tuhan. Remaja mulai berpikir bahwa kegiatan imannya tidak
dapat dipuaskan oleh jawaban-jawaban yang ada dalam masyarakat, sehingga mereka berupaya untuk mengikuti atau menjadi anggota organisasi keagamaan.
Dalam tahap ini iman masih ditafsirkan sesuai dengan petunjuk-petunjuk dan kriteria yang dikatakan oleh orang dalam kelompoknya atau sesuai dengan
pemahaman yang populer. Iman didasarkan pada pandangan orang lain, artinya dalam seluruh proses beriman seseorang akan menghidupi pandangan orang lain, sedangkan
jati dirinya yang sesungguhnya semakin tidak tampak atau hilang. Tahap ini merupakan tahap penyesuaian diri di mana seseorang ingin sekali merespons dengan
setia pengharapan-pengharapan dan keputusan orang lain yang dianggap penting. Mereka belum mampu memahami identitas pribadi untuk membuat keputusan-
keputusan yang otonom. Iman seseorang yang berada dalam tahap ini masih bersifat “konvensional” kesepakatan bersama dan sintesis diterima begitu saja dengan
otoritas yang berada di luar dirinya Groome, 2010 : 101-102.
4. Tahap Individuatif-Reflektif 21-35 tahun
Pada tahap ini muncul kesadaran diri dan refleksi diri yang mendalam. Orang dewasa muda semakin kritis melihat perbedaan jati dirinya yang dipersepsikan oleh
orang lain dengan yang ia alami sendiri. Dalam tahap ini refleksi diri tidak seluruhnya bergantung pada pandangan orang lain. Melalui sikap refleksivitasnya yang tinggi,
orang muda mulai mengajukan pertanyaan kritis tentang keseluruhan nilai, pandangan hidup, kepercayaan, dan komitmen yang selama ini ia terima dan jalani. Ia tidak dapat
lagi bersandar pada orang lain, tetapi dengan berani dan kritis ia harus memilih secara pribadi ideologi, filsafat dan cara hidup yang menghantar pada komitmen-komitmen
26 kritis serta mawas diri dalam segala hubungan dengan tugasnya. Orang dewasa muda
dalam tahap ini sudah memahami dirinya dan orang lain, tidak hanya menurut pola sifat “pribadi” atau “antar pribadi”, melainkan sebagai suatu bagian sistem sosial dan
institusional. Tahap ini menghasilkan sikap kritis terhadap seluruh simbol, mitos dan lain
sebagainya atau sering disebut sebagai tahap “demitologisasi”. Segala macam simbol dan mitos yang ia kenal selama ini mulai diselidiki dengan kritis dan radikal. Simbol
tidak lagi dipandang identik dengan kesakralan, melainkan sebagai sarana yang memuat sejumlah arti tertentu. Ia menganggap agama sebagai organisasi yang
“konvensional” serta bertentangan dengan pengalaman religius yang ia alami. Sebagai akibatnya, Allah tidak lagi dipandang sebagai pribadi yang paling mengenal hati dan
menentukan hidup seseorang, melainkan sebagai Pribadi yang bebas dan dinamis mengundang setiap orang menjadi rekan-Nya.
Kekhasan tahap kepercayaan individuatif-reflektif ini adalah seorang dewasa muda mengembangkan visi kepercayaannya sebagai hasil refleksi kritis semata-mata.
Dengan sikap kritis yang tinggi terhadap tradisi religiusnya, ia memeriksa satu persatu ajaran dan gambaran religius, kemudian mulai meninggalkan hal-hal yang baginya
tidak masuk akal. Ia menciptakan suatu integrasi baru dalam pola kepercayaannya dan berusaha memperoleh suatu pandangan religius pribadi yang baru. Kepercayaan
dalam tahap ini ditandai oleh kesadaran yang tajam akan individualitas dan otonomi. Jika ia mengakui tokoh religius tertentu, misalnya Yesus, maka pengakuan itu bukan
berdasarkan tradisi Kristen yang mengumumkan dan mengesahkan tokoh tersebut sebagai pendiri Gereja dan nabi yang utama, melainkan karena pribadi istimewa
tersebut dipandang sebagai tokoh yang sungguh menghayati hubungan dengan Allah. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27 Bagi orang dewasa muda yang dijadikan kriteria adalah aspek penghayatan yang
sungguh-sungguh pribadi dan mesra sebagaimana diilhami dan disemangati oleh Allah yang berkarya dan mendorong hati mereka. Dalam tahap ini seseorang
menemukan identitasnya dan terbuka pada realitas sosial yang ada Cremers, 1995: 160-179.
5. Tahap Konjungtif Setengah baya: 35-40 tahun
Kepercayaan konjungtif biasanya muncul setelah usia paruh baya, yakni sekitar usia 35 tahun. Pada tahap ini gambaran diri yang telah tersusun ditinjau
kembali secara lebih kritis. Berbagai pandangan hidup, kepribadian dan batas-batas diri yang sebelumnya telah ditetapkan dengan jelas, kini seakan-akan tidak ada.
Muncul kesadaran baru dan pengakuan kritis terhadap berbagai macam ketegangan yang dirasakan oleh sang pribadi dalam diri dan hidupnya. Kebenaran tidak lagi
dipandang sebagai hasil penangkapan arti yang bersifat rasional, konseptual dan jelas, melainkan hasil perpaduan berbagai paradoks. Dalam tahap ini seseorang mengalami
tingkat kepolosan kedua yang mempengaruhinya dalam menafsirkan arti simbol. Semua simbol, bahasa, cerita, mitos, dan lain sebagainya, diterima sebagai salah satu
sarana yang cocok untuk mengungkapkan realitas yang lebih mendalam Cremers, 1995 : 185-205.
Seorang yang berada dalam tahap ini mulai melihat bahwa kenyataan sekitar saling berkaitan. Mereka memiliki pengetahuan yang dialogis dengan pola komunikasi
yang lebih matang. Dialog dipahami sebagai jalan untuk mengenal dan memahami pihak lain, sekaligus memperteguh imannya. Mereka mampu hidup dalam situasi