Indikator Kinerja Lembaga Legislatif Perempuan DPRD Provinsi Sumatera Utara.

3.2. Indikator Kinerja Lembaga Legislatif Perempuan DPRD Provinsi Sumatera Utara.

A. Akuntabilitas

Akuntabilitas dapat diukur dari seberapa besar kegiatan anggota legislatif perempuan di DPRD dalam pengambilan kebijakan dalam memperjuangkan kepentingan perempuan sesuai dengan fungsi, tugas dan wewenangnya yang dapat merespon kepentingan perempuan dan dapat di pertanggungjawabkan kepada masyarakat. Berdasarkan hasil pengamatan dan temuan penulis di DPRD Provinsi Sumatera Utara mengenai kegiatan dan kebijakan yang dilakukan anggota legislatif perempuan dalam merespon kegiatan perempuan di Sumatera utara sangat jauh dari apa yang diharapkan masyarakat pada umumnya. Dalam fungsi legislasi untuk kinerja lembaga legislatif perempuan di DPRD Propinsi Sumatera Utara periode 2009-2010 ini sejauh ini setelah kurang lebih setahun mereka menduduki jabatan sebagai pengemban aspirasi masyarakat dalam membuat suatu kebijakan untuk kepentingan perempuan masih belum terlaksana. Sebagaimana yang dikatakan Ibu Hj. Nurazizah Tambunan anggota dewan dari Fraksi PKS “Dengan adanya tahun 2004 tentang isu trafiking dan perlindungan tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga sehingga dirasa hal ini tidak perlu dibuat baru hanya saja bagaimana agar penerapan hukumnya ini jelas sehingga bagi yang melakukan pelanggaran tersebut dapat dijatuhkan hukum yang pasti sesuai KUHP yang akan ditetapkan nantinya” . 43 Dari penjelasan tersebut diatas dan berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan langsung dilapangan bahwa tidak adanya inisiatif dari anggota dewan perempuan ini untuk membuat terkait dalam hal mengangkat derajat 43 Hasil Wawancara Dengan Ibu Hj. Nurazizah Tambunan, SS Pada Hari Kamis Tanggal 7 Oktober Pukul 11.00 kaum dan merespon kepentingan perempuan yang tidak bisa di pungkiri bahwa perempuan-perempuan khususnya di Sumatera Utara mengharapkan perhatian lebih dari pemerintah. Dari pernyataan diatas berarti anggota dewan perempuan hanya mengharapkan pembuatan yang bersifat Undang-Undang tanpa mencoba melihat kondisi perempuan yang kini jauh belum terpenuhi kebutuhannya dan berusaha Memperjuangkan Kebijakan yang Pro Perempuan dalam bentuk pembuatan yang bersifat inisiatif dari anggota dewan perempuan. Dalam penyusunan peraturan daerah, seharusnya anggota DPRD harus banyak berperan sebagai sumber ide dan gagasan sesuai kedudukannya sebagai insani politik dan penyalur aspirasi masyarakat. Anggota DPRD tidak dituntut untuk menguasai secara teknis materi dan bahasa hukum dalam peraturan daerah, karena hal tersebut dapat diserahkan kepada para ahli dalam bidangnya masing- masing. Keputusan dan kebijakan yang dikeluarkan DPRD dari segi politisinya hanya lebih mementingkan pada golongan partai yang diwakilinya tanpa masyarakat perlu dilibatkan dalam proses pembuatan dan penentuan kebijakan Pemerintah Daerah. Dengan kata lain dapat disebutkan bahwa anggota legislatif belum menjalankan fungsinya secara maksimal dalam bidang legislasi terutama dalam merespon dan memperjuangkan kepentingan perempuan belum berjalan dengan baik sebagaimana yang diharapkan oleh kaum perempuan di Sumatera Utara.

B. Responsivitas

Responsivitas dapat diukur dari kemampuan anggota legislatif perempuan DPRD Provinsi Sumatera Utara dengan memanfaatin lembagaorganisasi kaukus yang telah dibentuk di DPRD Provinsi Sumatera Utara untuk tanggap terhadap kondisi yang terjadi di masyarakat dan menjadi prioritas untuk ditangani khususnya terhadap masalah yang dihadapi kaum perempuan. Responsivitas dimasukkan menjadi salah satu indikator karena secara langsung menguji kemampuan anggota dewan perempuan di DPRD. Khususnya lembaga legislatif daerah yang berfungsi sebagai regulator konflik yaitu fasilitator yang mampu menjembatani kepentingan-kepentingan perempuan dengan Pemerintah Daerah. Dalam operasionalnya, responsivitas lembaga legislatif dijabarkan melalui adanya beberapa keluhan masyarakat, bagaimana sikap anggota dewan perempuan ini ketika merespon keluhan-keluhan perempuan serta bagaimana keluhan-keluhan ini menjadi bahan referensi bagi penyusunan kebijakan yang menyangkut tentang perhatian Pemerintah Daerah terhadap perempuan dan langkah perbaikan dimasa yang akan datang. Berdasarkan hasil temuan di DPRD Provinsi Sumatera Utara mengenai kemampuan anggota legislatif perempuan dalam merespon kondisi yang berkembang dan memprioritaskan pekerjaannya sesuai dengan aspirasi masyarakat khususnya dalam merespon kepentingan perempuan. hal ini dapat dilihat dari adanya pertemuan-pertemuan resmi dalam rangka merespon kepentingan-kepentingan perempuan, seperti pembentukan kaukus perempuan yang berfungsi sebagai tempat menyampaikan aspirasinya, serta merupakan tempat konsultasi bagi perempuan di Sumatera Utara. Sebagaimana yang dikatakan Ibu Hj. Melizar Latif SE, MM anggota dewan dari fraksi Demokrat, ia mengatakan : “DPRD Provinsi Sumatera Utara saat ini juga sudah terbentuk Kaukus Perempuan yang berangggotakan seluruh perempuan anggota dewan dari lintas fraksi sehingga bagi kaum perempuan di daerah ini yang ingin menyampaikan aspirasinya, serta merupakan tempat konsultasi bagi perempuan di Sumut dipersilakan berurusan dengan kaukus perempuan karena kaukus ini berkomitmen memerangi kemiskinan, ketidaksetaraan, dan mencari solusi terhadap masalah-masalah perempuan” 44 44 Hasil Wawancara Dengan Ibu Hj. Meilizar Latif, SE, MM , Pada Hari Rabu Tanggal 2 Februari 2011 Pukul 14.00. . Berdasarkan observasi dilapangan, sikap anggota legislatif perempuan DPRD dalam menanggapi masalah yang terjadi di masyarakat dan menjadikan prioritas untuk ditangani khususnya terhadap masalah yang dihadapi kaum perempuan sudah cukup baik dan telah memiliki niatan yang baik juga tetapi belum maksimal. Hal ini akibat dari kurangnya sosialisasi keberadaan Kaukus perempuan di DPRD Provinsi Sumatera Utara sebagai sarana bagi masyarakat khususnya kaum perempuan untuk menjadikan Kaukus ini sebagai tempat mencari solusi atas masalah yang dihadapi oleh kaum perempuan. Disamping itu keluhan-keluhan yang selama ini disampaikan oleh masyarakat belum semuanya digunakan sebagai referensi bagi penyusunan kebijakan dan perbaikan. Seperti dalam mengatasi permasalahan eksploitasi wanita dan anak pemerintah telah memiliki payung hukum yang jelas, namun belum bisa di implementasikan dengan maksimal karena berbagai hal. Negara Republik Indonesia telah memiliki peraturan yang jelas untuk mengatasi masalah mulai dari menjadi pembantu rumah tangga, pekerja seks komersial atau hidup sebagai tenaga kerja wanita di luar negeri yang kerap berada dalam ancaman trafficking, pernikahan dini dan wanita yang sehari-harinya rentan terhadap tindakan kekerasan dalam rumah tangga KDRT, bahkan perempuan yang kini banyak terjangkit oleh berbagai macam penyakit yang pada umumnya hanya di idap oleh para kaum perempuan. Begitu banyak keluhan-keluhan perempuan saat ini seperti, sedikitnya 50 persen perempuan mengalami anemia dan 18 persen kekurangan energi kalori. Aborsi masih terjadi di mana-mana dan setidaknya 500 ribu diantaranya adalah remaja perempuan. HIV AIDS juga menjadi ancaman perempuan dengan jumlah penderita yang terus meningkat. Kondisi buruk ini diperparah oleh tingginya angka kematian ibu AKI akibat hamil dan melahirkan. Bahkan di tingkat ASEAN, dalam kasus ini Indonesia tertinggi. Simak saja hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia SDKI 1997, maka akan didapat 340 per 100.000 kelahiran hidup. Celakanya, AKI bersinergi dengan usaha-usaha peningkatan status perempuan, kesetaraan dan keseimbangan gender serta kesehatann terproduksi, termasuk keluarga berencana. Berarti, dibanyak sektor kehidupan, perempuan Indonesia belum benar-benar menghirup udara segar sepenuhnya. Kemauan memajukan perempuan memang membutuhkan sebuah proses panjang. Hal ini akan sangat terasa bila kita menengok perempuan di sektor pendidikan. Pasalnya, di sektor ini pun perempuan tertinggal. Perempuan yang pernah mencicipi bangku SD, SLTP, SLTA dan perguruan tinggi dari tahun ke tahun tidak pernah melebihi angka 14 persen. Bahkan, perempuan yang lulus perguruan tinggi tak lebih dari dua persen. 45 Dengan demikian anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara yang berfungsi sebagai regulator konflik yaitu anggota legislatif perempuan seharusnya harus mampu bertindak arif dan adil tanpa memihak pada kepentingan kelompok tertentu sehingga solusi yang diambil merupakan jalan tengah bahkan sekaligus sebagai alternatif terbaik pula bagi perempuan-perempuan di Sumatera Utara. 45 http:www.gemari.or.idartikel850.shtml, Diakses Pada Hari Minggu, 6 Februari 2011 Pukul 13.00

C. Efektivitas

Efektifitas akan diukur melalui apakah fungsi, tujuan, dan tugas dari anggota legislatif perempuan sebagai penyambung aspirasi masyarakat serta memberikan layanan dan amanat fungsi yang diembannya telah dilaksanakan dengan baik atau tidak. Melalui data yang telah diperoleh, dapat dianalisa bahwa, anggota dewan perempuan dalam menjalankan fungsi yang dimiliki sebagai anggota dewan kurang Efektif. Dalam melaksanakan fungsi legislasi, anggota legislatif perempuan selama kurang lebih satu tahun kinerjanya belum ada Perda Inisiatif untuk merespon kepentingan perempuan. kurangnya Efektifitas anggota legilslatif dalam bidang legislatif dapat dilihat dari belum ada Perda di Sumatera Utara yang dihasilkan menyangkut Gender. Dalam budgeting, juga dari data diatas dapat belum ada anggaran yang berhasil di perjuangkan. Dan dalam melaksanakan controling, Menjalankan fungsi pengawasan tentunya terlebih dahulu melahirkan peraturan perundangan-undangan yang dijadikan sebagai acuan dalam melakukan pengawasan terhadap pemerintah dalam menjalankan tugasnya. Sehingga, karena perda belum ada yang dihasilkan maka sejauh ini pengawasan yang dilakukan sejauh ini masih pengawasan terhadap SKPD yang berkaitan tentang Gender. Dari analisis diatas , sehingga dapat kita simpulkan bahwa dari segi efektifitas, kinerja anggota dewan legislatif perempuan kurang efektif dalam menjalankan fungsinya seperti yang diharapkan Masyarakat, khususnya kaum perempuan di Sumatera Utara.

3.3. Hambatan Anggota Dewan Perempuan Dalam Memperjuangkan