perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 9
`
B. Tinjauan Pustaka
1. Pangan
Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi manusia. Pengertian pangan menurut Undang-Undang No.7 Tahun 1996 adalah segala
sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi
manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau
pembuatan makanan dan minuman BPOM RI, 1996. Permasalahan yang dihadapi dalam mengkonsumsi pangan dan
penganekaragaman pangan adalah: a banyaknya jumlah penduduk miskin dan pengangguran dengan akses yang rendah terhadap pangan b kurangnya
pengetahuan dan kesadaran penduduk terhadap nutrisi c masih dominannya konsumsi beras sebagai sumber energi utama d kurangnya kesadaran sistem
sanitasi dan kebersihan rumah tangga e kurangnya kesadaran masyarakat tentang ketahanan pangan. Akses rumah tangga untuk mendapat pangan
dipengaruhi oleh kemampuan membeli diukur dari tingkat pendapatan rumah tangga dan harga komoditas pangan dan institusi sosial yang terlibat
dalam pendistribusian pangan Thompson, et al., 2008. Hafsah dalam Widowati dan Damardjati 2001 menyatakan bahwa
pangan perlu beragam, karena beberapa alasan, yaitu : 1 Mengkonsumsi pangan yang beragam adalah alternatif terbaik untuk pengembangan
sumberdaya manusia berkualitas, 2 Meningkatkan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya pertanian dan kehutanan, 3 Memproduksi pangan yang
beragam mengurangi ketergantungan impor pangan, dan 4 Akan mewujudkan ketahanan pangan, yang merupakan kewajiban bersama
pemerintah dan masyarakat.
2. Pengeluaran Untuk Konsumsi
Perbedaan tingkat pendapatan menimbulkan perbedaan-perbedaan pola distribusi pendapatan, termasuk pola konsumsi rumah tangga dan
penguasaan modal bukan tanah. Sebagai contoh, rumah tangga petani kecil
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 10
`
atau buruh tani, karena pendapatannya relatif kecil untuk konsumsi rumah tangga hanya mampu membeli kebutuhan pokok saja, misalnya beras dan
lauk-pauk sekedarnya.
Sedangkan petani
bertanah luas,
karena pendapatannya besar disamping mampu membeli barang-barang konsumsi
pokok rumah tangga, juga mampu membeli kebutuhan barang-barang kebutuhan sekunder, seperti barang perlengkapan rumah tangga, alat
transportasi, alat-alat hiburan dan masih mempunyai sisa untuk ditabung atau diinvestasikan dalam barang-barang modal. Barang-barang modal tersebut
dapat berupa tanah, traktor atau modal untuk usaha di luar usaha sektor pertanian Djiwandi, 2002.
Menurut Hukum Engel, pada saat terjadinya peningkatan pendapatan konsumen akan membelanjakan pendapatannya untuk pangan dengan
proporsi yang semakin mengecil. Sebaliknya apabila pendapatan menurun, porsi yang dibelanjakan untuk pangan semakin meningkat. Terkait dengan
Hukum Engel, M.K. Bennet menemukan bahwa peningkatan pendapatan akan mengakibatkan individu cenderung meningkatkan kualitas konsumsi
pangannya dengan harga yang lebih mahal per unit zat gizinya. Pada tingkat pendapatan per kapita yang lebih rendah, permintaan terhadap pangan
diutamakan pada pangan yang padat energi yang berasal dari hidrat arang, terutama padi-padian. Apabila pendapatan meningkat, pola konsumsi pangan
akan lebih beragam, serta umumnya akan terjadi peningkatan konsumsi pangan yang lebih bernilai gizi tinggi. Peningkatan pendapatan akan
meningkatkan keanekaragaman konsumsi pangan dan peningkatan konsumsi
pangan yang lebih mahal Soekirman, 2000.
Pengeluaran untuk konsumsi makanan bagi penduduk Indonesia masih mengambil bagian terbesar dari seluruh pengeluaran rumah tangga.
Hukum Engel menyatakan bahwa proporsi dari pengeluaran total yang disediakan untuk makanan menurun jika pendapatan meningkat. Dengan kata
lain makanan merupakan suatu kebutuhan pokok dalam arti bahwa konsumsinya naik lebih lambat dari pada kenaikan pendapatan. Hukum Engel
merupakan suatu penemuan empiris yang konsisten sehingga beberapa ahli
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 11
`
ekonomi telah menyatakan proporsi pendapatan yang dibelanjakan untuk
makanan sebagai suatu indikator kemiskinan Nicholson, 2002.
Secara garis besar alokasi pengeluaran konsumsi digolongkan ke dalam dua kelompok penggunaan yaitu konsumsi untuk makanan dan
konsumsi untuk bukan makanan. Orang desa dan orang kota berbeda dalam hal besarnya pengeluaran. Pengeluaran rata-rata orang kota hampir selalu dua
kali lipat pengeluaran orang desa. Alokasi pengeluaran untuk makanan di kalangan orang desa lebih besar dibandingkan di kalangan orang kota
Dumairy, 1997. Peningkatan proporsi pengeluaran untuk kelompok makanan dapat
menjadi indikator menurunnya kesejahteraan penduduk dan meluasnya kemiskinan karena dalam kondisi pendapatan yang terbatas, seseorang akan
mendahulukan pemenuhan kebutuhan makanan sehingga pendapatan yang terbatas
sebagian besar
dibelanjakan untuk
konsumsi makanan
Marwanti, 2002.
3. Kemiskinan