Peristiwa Tutur Kesembilan Putri Ginting Pase .1 Peristiwa Tutur Kedelapan

Dari contoh di atas dapat diketahui bahwa reaksi dari para partisipan berupa reaksi mendengar dan berusaha mengerti apa yang disampaikan oleh lawan tuturnya. Dalam hal ini reaksi yang timbul adalah reaksi tanya jawab. Reaksi dari pendengar dan penutur tidak ada yang berbeda, partisipan yang satu menuturkan, partisipan kedua mendengarkan yang dituturkan lawan tuturnya. Jadi, dalam hal ini persepsinya menginformasikan dan mengetahui. Diketahui pula dalam hal reaksi yang timbul dengan lawan tutur dikategorikan sebagai kalimat interogatif yang isinya meminta agar pendengar atau orang yang mendengar tuturan itu memberi jawaban. Jadi, yang diminta bukan hanya sekedar perhatian, melainkan jawaban.

4.2.3.2 Peristiwa Tutur Kesembilan

Setting peristiwa tutur kesembilan ini berlangsung setelah beberapa minggu berjalan kaki hingga sampai di Kahe ketika paman dan bibi Putri Ginting Pase menyuruh Putri Ginting Pase menunggu dan beristirahat di satu warung. Kemudian mereka mencari orang yang mau membeli Putri Ginting Pase. Scene peristiwa tutur itu berlangsung pada situasi ketika paman dan bibi Putri Ginting Pase datang kembali bersama seorang laki-laki yang hendak membeli Putri Ginting Pase. Contoh: “Maaf, saya tidak berani membelinya.” “Mengapa? Tanya paman Putri Ginting Pase. “Tidak apa-apa, tapi saya tidak berani membelinya,” jawab laki-laki itu Lubis, 1997: 24. Universitas Sumatera Utara Participants peristiwa tutur kesembilan ini melibatkan beberapa pihak, yaitu seorang laki-laki, paman, bibi, dan Putri Ginting Pase. Bentuk peristiwa tutur ini ialah komunikasi dua arah, yaitu terdapat respon verbal dari pihak penutur dan lawan tutur yakni antara seorang lelaki dan paman Putri Ginting Pase. Contoh: “Maaf, saya tidak berani membelinya.” “Mengapa? Tanya paman Putri Ginting Pase. “Tidak apa-apa, tapi saya tidak berani membelinya,” jawab laki-laki itu Lubis, 1997: 24. Pada peristiwa tutur kesembilan ini yang aktif berbicara hanya seorang laki-laki dan paman Putri Ginting Pase, namun demikian tidak berarti partisipan yang lain tidak terlibat di dalamnya, mereka terlibat secara mental. Ends peristiwa tutur yang kesembilan ini mempunyai dua tujuan, yaitu tujuan argumentatif dan interogatif. Pertama tujuan argumentatif, maksudnya memaparkan jawaban dari pertanyaan paman Putri Ginting Pase. Kedua tujuan interogatif maksudnya paman Putri Ginting pase menanyakan sesuatu kepada laki-laki itu. Contoh tujuan pertama:  Laki-laki menolak tawaran paman dan bibi Putri Ginting Pase untuk membeli Putri Ginting Pase. “Maaf, saya tidak berani membelinya.”  Laki-laki itu mejawab pertanyaan dari paman Putri Ginting Pase. “Tidak apa-apa, tapi saya tidak berani membelinya,” Universitas Sumatera Utara Contoh tujuan kedua:  Paman Putri Ginting Pase menanyakan alasan laki-laki itu menolak membeli Putri Ginting Pase. “Mengapa” Act sequences atau bentuk bahasa pada peristiwa tutur tanya jawab kesembilan ini biasa-biasa saja, tidak ada yang berbeda seperti puitis dan dengan gaya bahasa. Peristiwa tutur ini merupakan tuturan yang memberikan pengetahuan kepada para partisipan bahwa laki-laki itu tidak berani membeli Putri Ginting Pase. Contoh: “Maaf, saya tidak berani membelinya.” “Mengapa? Tanya paman Putri Ginting Pase. “Tidak apa-apa, tapi saya tidak berani membelinya,” jawab laki-laki itu Lubis, 1997: 24. Dari segi isi, peristiwa tutur dalam bentuk tuturan ini mengandung dua pokok pikiran, yakni pertanyaan dari paman Putri Ginting Pase dan jawaban dari seorang laki-laki. Isinya sangat sesuai dengan peristiwa tutur yang biasa kita lihat pada komunikasi lain, yaitu berupa ruang pertanyaan dan jawaban. Key pada peristiwa tutur mengacu pada sikap, cara, dan suasana saat peristiwa berlangsung. Seperti yang kita ketahui bahwa Putri Ginting Pase akan dijual oleh paman dan bibinya. Oleh sebab itu mereka membawa seorang laki-laki yang hendak membeli Putri Ginting Pase, maka setelah bertemu dengan Putri Ginting Pase laki-laki itu memeriksa keadaan Putri Ginting Pase. Setelah melakukan pemeriksaan ternyata laki-laki itu tidak berani membelinya, oleh sebab Universitas Sumatera Utara itu paman Putri Ginting Pase menanyakan sebab mengapa laki-laki itu tidak berani membelinya, tanpa mengutarakan alasan yang jelas laki-laki itu menjawab pertanyaan dari paman Putri Ginting Pase itu. Instrumentalities atau jalur komunikasi pada peristiwa tutur yang kesembilan ini disampaikan secara lisan oleh paman Putri Ginting Pase dan laki- laki itu dengan ragam resmi. Norm of interaction and interpretation mengacu kepada norma, aturan dan tingkah laku dalam berinteraksi. Seperti yang kita ketahui bagaimana percakapan antara penjual dan pembeli, maka dapat kita bayangkan bagaimana aturan percakapan antara paman Putri Ginting Pase dan laki-laki itu dalam peristiwa tutur kesembilan ini. Bisa jadi sikap dalam percakapan itu terjadi dalam percakapan semuka setelah laki-laki itu melakukan pemeriksaan terhadap Putri Ginting Pase. Genre atau jenis bentuk penyampaian tuturan pada peristiwa tutur kesembilan ini disampaikan dalam dua bentuk, yaitu berupa pertanyaan paman Putri Ginting Pase dan jawaban seorang laki-laki. Contoh: “Mengapa” tanya paman Putri Ginting Pase. “Tidak apa-apa, tapi saya tidak berani membelinya,” jawab laki-laki itu. Dari contoh diatas dapat diketahui bahwa reaksi dari paman, bibi, dan Putri Ginting Pase berupa reaksi menyimak dan berusaha mengerti apa yang disampaikan laki-laki itu, sedangkan reaksi yang berupa emosi berasal dari paman Universitas Sumatera Utara Putri Ginting Pase, karena adanya reaksi berupa pertanyaan atas peryataan laki- laki yang hendak membeli Putri Ginting Pase. Reaksi dari pendengar dan penutur tidak ada yang berbeda. Artinya ketika satu orang berbicara orang lain mendengarkan apa yang dibicarakan. Diketahui pula dalam hal reaksi yang timbul dengan lawan tutur dikategorikan sebagai kalimat interogatif yang isinya meminta agar pendengar atau orang yang mendengar tuturan itu memberi jawaban. Jadi, yang diminta bukan hanya sekedar perhatian, melainkan jawaban.

4.2.3.3 Peristiwa Tutur Kesepuluh