Pengaruh Penggunaan Air Yang Mengandung Ion Dan Yang Tidak Mengandung Ion Terhadap Stabilitas Sediaan Krim Ekstrak Etilasetat Daun Senduduk (Melastoma malabathricum L.) Sebagai Obat Luka Bakar Pada Kelinci Putih Jantan.

(1)

PENGARUH PENGGUNAAN AIR YANG MENGANDUNG ION DAN YANG TIDAK MENGANDUNG ION TERHADAP STABILITAS SEDIAAN KRIM EKSTRAK ETILASETAT DAUN SENDUDUK (Melastoma malabathricum L.) SEBAGAI OBAT LUKA BAKAR

PADA KELINCI PUTIH JANTAN SKRIPSI

OLEH:

DIAN NOVITA HSB 060824050

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PENGARUH PENGGUNAAN AIR YANG MENGANDUNG ION DAN YANG TIDAK MENGANDUNG ION TERHADAP STABILITAS SEDIAAN KRIM EKSTRAK ETILASETAT DAUN SENDUDUK (Melastoma malabathricum L.) SEBAGAI OBAT LUKA BAKAR

PADA KELINCI PUTIH JANTAN SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

Oleh:

DIAN NOVITA HSB NIM 060824050

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah melimpahkan kasih-Nya, sehingga penulis dapat melaksanakan penelitian dan menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada: 1. Ayahanda tercinta M.Yusup Hsb (Alm), dan Ibunda Nurdiah karena telah

memberikan kasih sayangnya yang melimpah kepada penulis dan memberikan dukungan sehingga penulis bisa menyelesaikan pendidikan Sarjana Farmasi. 2. Dra. Azizah Nasution, M.Sc., Apt. dan Dra. Suwarti Aris, M.Si., Apt selaku

pembimbing yang telah memberikan waktu, bimbingan, kesabaran dan petunjuk kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

3. Kepala Laboratorium Farmakognosi Bapak Drs. Panal Sitorus, M.Si, Apt. yang telah memberikan izin penggunaan fasilitas laboratorium kepada penulis selama penelitian.

4. Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi USU Medan yang telah memberikan fasilitas sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan.

5. Ibu Dra. Saodah, M.Sc. Apt., Bapak Drs. Awaluddin Saragih, M.Si., Apt, Drs. Saiful Bahri M.S., Apt, selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik, saran dan arahan sehingga penulis bisa menyelesaikan sripsi ini.


(4)

6. Mahasiswa ekstensi Farmasi 2006, teman farmasi regular dan teman-teman baikku Mnizz, Sandra, Dian, Lia, Pasri, Nita, Mezu, Kak wiq, Sari, Lala, Mute, Yani, Fat, leli, helvi dan teman teman lainnya yang telah memberikan semangat dan keceriaannya sehingga penulis menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini.

7. Rekan rekan yang lain yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang memberikan dukungan, semangat, kritik dan saran kepada penulis selama penelitian dan penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih belum sempurna. Untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat menjadi kontribusi yang bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya di bidang farmasi.

Medan, September 2009 Penulis


(5)

PENGARUH PENGGUNAAN AIR YANG MENGANDUNG ION DAN YANG TIDAK MENGANDUNG ION TERHADAP STABILITAS SEDIAAN KRIM EKSTRAK ETILASETAT DAUN SENDUDUK

(Melastoma malabathricum L.) SEBAGAI OBAT LUKA BAKAR

PADA KELINCI PUTIH JANTAN ABSTRAK

Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontak dengan sumber panas, bahan kimia, listrik dan radiasi, akibat yang ditimbulkan adalah luka melepuh. Kulit yang melepuh berisi cairan sebagai reaksi untuk mendinginkan luka. Krim tipe minyak dalam air cocok untuk luka bakar karena mempunyai kemampuan mengabsorpsi cairan yang diproduksi luka tersebut. Salah satu tumbuhan yang berkhasiat sebagai obat, dikenal dan digunakan oleh masyarakat adalah tumbuhan senduduk (Melastoma malabathricum L) dari suku Melastomataceae. Telah dilakukan karakterisasi simplisia, penapisan fitokimia, ekstraksi dari daun senduduk (Melastoma malabathricum.L), formulasi ekstrak dalam sediaan krim tipe emulsi minyak dalam air, efeknya terhadap penyembuhan luka bakar dan stabilitasnya. Sebagai kontrol digunakan dasar krim dengan menggunakan air yang tidak mengandung ion (A) dan air yang mengandung ion (E). Kadar ekstrak yang diformulasikan untuk krim yang menggunakan air yang tidak mengandung ion adalah 3% (B), 5% (C), dan 7% (D). Kadar ekstrak yang diformulasikan untuk krim yang menggunakan air yang mengandung ion adalah 3% (F), 5% (G) dan 7% (H).Hasil karakteristik simplisia dan ekstrak diperoleh kadar air 5,66%, 11,64%, kadar sari yang larut dalam air 15,80%, 8,92%, kadar abu total 5,81%, 0,67% dan kadar abu yang tidak larut dalam asam 1,6%, 0,22%. Hasil penapisan fitokimia dan pemeriksaan ekstrak menunjukkan adanya golongan senyawa flavonoida, saponin, tanin, glikosida, dan streroida/triterpenoida. Hasil pengujian stabilitas fisis sediaan krim menunjukkan bahwa semua formula stabil selama 6 minggu pada suhu kamar dan suhu -4oC, pada suhu 40oC, krim B lebih stabil dibandingkan krim C dan krim D. Krim C mengalami pemisahan pada minggu ke-5 dan krim D mengalami pemisahan pada minggu ke-4, sedangkan krim F dan krim G lebih stabil daripada krim H. Krim F dan krim G mengalami pemisahan pada minggu ke-4, krim H mengalami pemisahan pada minggu ke-1, dan krim E pecah pada


(6)

minggu ke-5. Berdasarkan hasil pengujian efek sediaan krim terhadap penyembuhan luka bakar dengan diameter 2cm menunjukkan bahwa formula yang paling efektif adalah krim G yang mampu menyembuhkan luka bakar selama 16 hari setelah penggunaan dan formula yang paling stabil adalah krim B stabil selama 6 minggu.


(7)

THE IMFLUENCE OF USING IONIZED AND NON IONIZED WATERS ON THE STABILITY OF CREAM OF MELASTOMA LEAF

ETYLACETAT EXTRACT (MELASTOMA MALABATHRICUM.L)

ON HEALING OF WHITE RABBIT

ABSTRACT

Burn injury is form damage net or losed net because source of hot, chemical, electric and radiation, the effect is raised by burning, skin raised by burning content fluid as reactiont cold injury. Cream of oil-in-water emulsion type suitable for injury because it has the ability absorb fluid produced by the injury. On of the plant has an effect for burn injury by people is senduduk (Melastoma malabathricum L) from family of Melastomataceae. The characterization of simplex, phytochemical screening, extraction of the leaf of Melastoma malabathricum.L and formulation of extract in a cream of oil-in-water emulsion type, effect on healing of burn injury and stability has been done. As controls were used cream base containing ionized (E) and deionized waters (A). The concentrations extract formulated for cream containing deionized water were 3% (B), 5% (C), and 7% (D). The concentrations extract formulated for cream containing ionized water were 3% (F), 5% (G), and 7% (H). The simplex and the extract characteristics obtained were as follow: the water content was 5.66%, 11.64%, the water-soluble extract was 15.80%, 8.92%, the total ash 5.81%, 0.67 % and the acid-soluble ash was 1.6%, 0.22%. The result of phytochemical screening and the extract examination showed the presence of flavonoid, saponin, tannin, glycocide and steroid/triterpens. The result of physical stability testing showed that either the cream that contain ionized water or non ionized water was stable for 6 weeks at room temperature and -4oC. At 40oC, cream B was more stable than the cream C and cream D for 6 week-observation. Cream C separated at the fifth weeks, Cream D separated at the fourth weeks. But cream F and cream G were more stable than the cream H. Cream F and cream G separated at the fourth weeks, cream H separated at the first week, and cream H experienced phase separation at the fifth weeks. Based on the result of healing effect of these formulations on burn injury with diameter of 2 cm showed that the most effective formula was cream G in which it was able to heal burn injury 16 days after used, And the formula most stable was cream B, stable for 6 weeks .


(8)

DAFTAR ISI

Isi Halaman

JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT. ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah. ... 3

1.3. Hipotesis ... 3

1.3. Tujuan ... 4

1.4. Manfaat... 4

BAB II METODE PENELITIAN ... 5

2.1. Alat-alat yang digunakan ... 5

2.2. Bahan-bahan yang digunakan ... 5

2.3. Hewan Percobaan ... 6

2.4. Identifikasi Sampel ... 6

2.5.Pengambilan Sampel dan Pengolahan Sampel ... 6

2.5.1.Pengambilan Sampel ... 6


(9)

2.6. Pemeriksaan Karakteristik ... 7

2.6.1. Pemeriksaan Makroskopik ... 7

2.6.2. Pemeriksaan Mikroskopik ... 8

2.6.3. Penetapan Kadar Air Simplisia ... 8

2.6.4. Penetapan Kadar Sari Yang Larut Dalam Air ... 9

2.6.5. Penetapan Kadar Sari Yang Larut Dalam Etanol ... 9

2.6.6. Penetapan Kadar Abu Total ... 9

2.6.7. Penetapan Kadar Abu Yang Tidak Larut Dalam Asam ... 10

2.7. Penapisan Fitokimia ... 10

2.8. Pembuatan Ekstrak Daun Senduduk ... 12

2.10. Pembuatan Krim ... 13

2.11. Pemeriksaan Krim ... 16

2.11.1. Pemeriksaan homogenitas ... 16

2.11.2. Pemeriksaan pH sediaan ... 16

2.11.3. Pemeriksaan organoleptis ... 16

2.11.4. Pemeriksaan stabilitas fisis sediaan krim... 17

2.12. Pengujian Efek Sediaan Krim Terhadap Luka Bakar ... 17

2.13. Perhitungan Diameter Rata-rata Luka Bakar ... 19

2.14. Analisis Data ... 19

BAB III HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN ... 21

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 33

4.1. Kesimpulan ... 33

4.2. Saran ... 34

DAFTAR PUSTAKA ... 35


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman


(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Cara mengukur diameter luka bakar ... 19 2. Grafik diameter luka bakar rata-rata versus waktu ... 25


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Hasil identifikasi tumbuhan... . ... 37

2. Bagan metodologi penelitian ……… 38

3. Gambar Tumbuhan senduduk (Melastoma malabathricum L.) ... 39

4. Gambar Daun senduduk segar (Melastoma malabathricum L.) ... 40

5. Gambar Simplisia daun senduduk (Melastoma malabathricum L.) ... 40

6. Mikroskopik serbuk daun senduduk (Melastoma malabathricum L.) ……....41

7. Bagan Pembuatan ekstrak kental ...42

8. Tabel hasil pemeriksaan karakteristik simplisia dan ekstrak ... 43

9. Tabel hasil analisa air mata air ... 44

10. Bagan pembuatan krim ekstrak ... 45

11. Gambar sediaan krim dengan variasi konsentrasi ekstrakekstrak etilasetat daun senduduk (Melastoma malabathricum L.) ... 46

12. Tabel hasil pemeriksaan krim ... 47

13. Gambar Kandang kelinci dan lingkungan tempat karantina selama Penyembuhan luka bakar ... 50

14. Perubahan diameter luka bakar yang diobati dengan krim A (kontrol) ... 51

15. Perubahan diameter luka bakar yang diobati dengan krim B (ekstrak senduduk 3%)... ... 52

16. Perubahan diameter luka bakar yang diobati dengan krim C (ekstrak senduduk 5%)... ... 53

17. Perubahan diameter luka bakar yang diobati dengan krim D (ekstrak senduduk 7%)... ... 54

18. Perubahan diameter luka bakar yang diobati dengan krim E (kontrol) ... 55 19. Perubahan diameter luka bakar yang diobati dengan krim F (ekstrak


(13)

senduduk 3%)... ... 56 20. Perubahan diameter luka bakar yang diobati dengan krim G (ekstrak

senduduk 5%)... ... 57 21. Perubahan diameter luka bakar yang diobati dengan krim H (ekstrak

senduduk 7%)... ... 58

14. Contoh perhitungan ... ... 59 15. Tabel diameter luka bakar rata-rata dengan interval pengukuran

setiap hari ... 62 16. Tabel Hasil analisis variansi diameter rata-rata luka bakar... ... 64 17. Tabel Hasil uji Duncan terhadap perubahan diameter rata-rata luka bakar

pada hari ke 1 ... 67

18. Tabel. Hasil uji Duncan terhadap perubahan diameter rata-rata luka bakar pada hari ke 2 ... .. 67 19. Tabel Hasil uji Duncan terhadap perubahan diameter rata-rata luka bakar

pada hari ke 3 ... 68 20. Tabel Hasil uji Duncan terhadap perubahan diameter rata-rata luka bakar

pada hari ke 4... .... 68

21.Tabel hasil uji Duncan terhadap perubahan diameter rata-rata luka bakar pada hari ke 5 ... ... 69 22.Tabel hasil uji Duncan terhadap perubahan diameter rata-rata luka bakar pada hari ke 6 ... ... 69 23. Tabel hasil uji Duncan terhadap perubahan diameter rata-rata luka bakar pada hari ke 7... ... 70

24. Tabel hasil uji Duncan terhadap perubahan diameter rata-rata luka bakar pada hari ke 8... ... 70 25. Tabel hasil uji Duncan terhadap perubahan diameter rata-rata luka bakar pada hari ke 9... ... 70 26. Tabel hasil uji Duncan terhadap perubahan diameter rata-rata luka bakar

pada hari ke 10... ... 71 27. Tabel hasil uji Duncan terhadap perubahan diameter rata-rata luka bakar


(14)

28. Tabel hasil uji Duncan terhadap perubahan diameter rata-rata luka bakar pada hari ke 12 ... 72 29. Tabel hasil uji Duncan terhadap perubahan diameter rata-rata luka bakar

pada hari ke 13... ... 72 30. Tabel hasil uji Duncan terhadap perubahan diameter rata-rata luka bakar

pada hari ke 14 ... ... 73 31. Tabel hasil uji Duncan terhadap perubahan diameter rata-rata luka bakar

pada hari ke 15 ... ... 73 32. Tabel hasil uji Duncan terhadap perubahan diameter rata-rata luka bakar

pada hari ke 16... .... 74 33. Tabel hasil uji Duncan terhadap perubahan diameter rata-rata luka bakar

pada hari ke 17... .... 74 34. Tabel hasil uji Duncan terhadap perubahan diameter rata-rata luka bakar

pada hari ke 18... .... 75 35. Tabel hasil uji Duncan terhadap perubahan diameter rata-rata luka bakar

pada hari ke 19... .... 75 36. Tabel hasil uji Duncan terhadap perubahan diameter rata-rata luka bakar

pada hari ke 20... .... 76 37. Tabel hasil uji Duncan terhadap perubahan diameter rata-rata luka bakar

pada hari ke 21 ... 76 38. Tabel hasil uji Duncan terhadap perubahan diameter rata-rata luka bakar

pada hari ke 22... ... 77 39.Tabel hasil uji Duncan terhadap perubahan diameter rata-rata luka bakar

pada hari ke 23 ... .... 77 40.Tabel hasil uji Duncan terhadap perubahan diameter rata-rata luka bakar

pada hari ke 24 ... ... 78 42. Tabel hasil uji Duncan terhadap perubahan diameter rata-rata luka bakar


(15)

PENGARUH PENGGUNAAN AIR YANG MENGANDUNG ION DAN YANG TIDAK MENGANDUNG ION TERHADAP STABILITAS SEDIAAN KRIM EKSTRAK ETILASETAT DAUN SENDUDUK

(Melastoma malabathricum L.) SEBAGAI OBAT LUKA BAKAR

PADA KELINCI PUTIH JANTAN ABSTRAK

Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontak dengan sumber panas, bahan kimia, listrik dan radiasi, akibat yang ditimbulkan adalah luka melepuh. Kulit yang melepuh berisi cairan sebagai reaksi untuk mendinginkan luka. Krim tipe minyak dalam air cocok untuk luka bakar karena mempunyai kemampuan mengabsorpsi cairan yang diproduksi luka tersebut. Salah satu tumbuhan yang berkhasiat sebagai obat, dikenal dan digunakan oleh masyarakat adalah tumbuhan senduduk (Melastoma malabathricum L) dari suku Melastomataceae. Telah dilakukan karakterisasi simplisia, penapisan fitokimia, ekstraksi dari daun senduduk (Melastoma malabathricum.L), formulasi ekstrak dalam sediaan krim tipe emulsi minyak dalam air, efeknya terhadap penyembuhan luka bakar dan stabilitasnya. Sebagai kontrol digunakan dasar krim dengan menggunakan air yang tidak mengandung ion (A) dan air yang mengandung ion (E). Kadar ekstrak yang diformulasikan untuk krim yang menggunakan air yang tidak mengandung ion adalah 3% (B), 5% (C), dan 7% (D). Kadar ekstrak yang diformulasikan untuk krim yang menggunakan air yang mengandung ion adalah 3% (F), 5% (G) dan 7% (H).Hasil karakteristik simplisia dan ekstrak diperoleh kadar air 5,66%, 11,64%, kadar sari yang larut dalam air 15,80%, 8,92%, kadar abu total 5,81%, 0,67% dan kadar abu yang tidak larut dalam asam 1,6%, 0,22%. Hasil penapisan fitokimia dan pemeriksaan ekstrak menunjukkan adanya golongan senyawa flavonoida, saponin, tanin, glikosida, dan streroida/triterpenoida. Hasil pengujian stabilitas fisis sediaan krim menunjukkan bahwa semua formula stabil selama 6 minggu pada suhu kamar dan suhu -4oC, pada suhu 40oC, krim B lebih stabil dibandingkan krim C dan krim D. Krim C mengalami pemisahan pada minggu ke-5 dan krim D mengalami pemisahan pada minggu ke-4, sedangkan krim F dan krim G lebih stabil daripada krim H. Krim F dan krim G mengalami pemisahan pada minggu ke-4, krim H mengalami pemisahan pada minggu ke-1, dan krim E pecah pada


(16)

minggu ke-5. Berdasarkan hasil pengujian efek sediaan krim terhadap penyembuhan luka bakar dengan diameter 2cm menunjukkan bahwa formula yang paling efektif adalah krim G yang mampu menyembuhkan luka bakar selama 16 hari setelah penggunaan dan formula yang paling stabil adalah krim B stabil selama 6 minggu.


(17)

THE IMFLUENCE OF USING IONIZED AND NON IONIZED WATERS ON THE STABILITY OF CREAM OF MELASTOMA LEAF

ETYLACETAT EXTRACT (MELASTOMA MALABATHRICUM.L)

ON HEALING OF WHITE RABBIT

ABSTRACT

Burn injury is form damage net or losed net because source of hot, chemical, electric and radiation, the effect is raised by burning, skin raised by burning content fluid as reactiont cold injury. Cream of oil-in-water emulsion type suitable for injury because it has the ability absorb fluid produced by the injury. On of the plant has an effect for burn injury by people is senduduk (Melastoma malabathricum L) from family of Melastomataceae. The characterization of simplex, phytochemical screening, extraction of the leaf of Melastoma malabathricum.L and formulation of extract in a cream of oil-in-water emulsion type, effect on healing of burn injury and stability has been done. As controls were used cream base containing ionized (E) and deionized waters (A). The concentrations extract formulated for cream containing deionized water were 3% (B), 5% (C), and 7% (D). The concentrations extract formulated for cream containing ionized water were 3% (F), 5% (G), and 7% (H). The simplex and the extract characteristics obtained were as follow: the water content was 5.66%, 11.64%, the water-soluble extract was 15.80%, 8.92%, the total ash 5.81%, 0.67 % and the acid-soluble ash was 1.6%, 0.22%. The result of phytochemical screening and the extract examination showed the presence of flavonoid, saponin, tannin, glycocide and steroid/triterpens. The result of physical stability testing showed that either the cream that contain ionized water or non ionized water was stable for 6 weeks at room temperature and -4oC. At 40oC, cream B was more stable than the cream C and cream D for 6 week-observation. Cream C separated at the fifth weeks, Cream D separated at the fourth weeks. But cream F and cream G were more stable than the cream H. Cream F and cream G separated at the fourth weeks, cream H separated at the first week, and cream H experienced phase separation at the fifth weeks. Based on the result of healing effect of these formulations on burn injury with diameter of 2 cm showed that the most effective formula was cream G in which it was able to heal burn injury 16 days after used, And the formula most stable was cream B, stable for 6 weeks .


(18)

BAB I

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Sejak zaman dahulu masyarakat Indonesia mengenal dan memakai tanaman berkhasiat obat yang merupakan salah satu upaya dalam penanggulangan masalah kesehatan yang dihadapi. Pengetahuan tentang tanaman obat ini merupakan warisan budaya bangsa berdasarkan pengalaman yang secara turun-temurun telah diwariskan oleh generasi terdahulu kepada generasi berikutnya sampai saat ini (Wijayakusuma, 1992).

Salah satu tumbuhan yang berkhasiat obat, dikenal dan digunakan oleh masyarakat adalah tumbuhan senduduk (Melastoma malabathricum L) dari suku Melastomataceae. Tumbuhan ini mempunyai khasiat untuk mengobati luka bakar (Dalimartha, 2000).

Bagi penduduk Indonesia, keberadaan obat luka bakar secara tradisional bukan merupakan hal yang baru, cara penggunaannya sudah diajarkan dengan cara mencuci daun senduduk segar secukupnya sampai bersih, lalu ditumbuk sampai halus. Tempelkan ramuan kebagian tubuh yang sakit (Santosa, 2001).

Menurut pengalaman masyarakat di Aceh, daun senduduk dapat digunakan sebagai obat luka yaitu dengan cara membubuhkan daun segar atau daun yang dikeringkan setelah digiling halus pada luka bakar atau luka berdarah.

Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontak dengan sumber panas, bahan kimia, listrik dan radiasi, akibat yang ditimbulkan adalah luka melepuh (edema). Kulit yang melepuh berisi cairan sebagai reaksi untuk mendinginkan luka. Cairan tersebut dikirim ke lapisan


(19)

epidermis. Pada lapisan ini kulit terlihat menonjol, tapi jika luka sudah sembuh cairan akan ditarik kembali ke dalam tubuh. Dengan demikian cairan tersebut berfungsi untuk keseimbangan sel-sel kulit karena mengalami gangguan akibat terbakar (Santosa dan Gunawan, 2004).

Hasil penelitian pertama yang telah dilakukan adalah ekstrak etanol daun senduduk (EEDS), dapat menyembuhkan luka bakar dengan kadar 5% terhadap sediaan krim (Deka, 2006). Hasil penelitian kedua yang telah dilakukan adalah ekstraksi dan fraksinasi komponen ekstrak daun senduduk, dapat menyembuhkan luka bakar dengan ekstrak etilasetat dengan kadar 5% terhadap sediaan krim (Mega, 2008). Kemudian penelitian dilanjutkan dengan menggunakan ekstrak etilasetat pada kadar ekstrak 3%, 5%, dan 7% yang diuji dalam bentuk sediaan krim.

Sediaan krim yang digunakan adalah tipe minyak dalam air. Air yang digunakan pada sediaan krim adalah air yang tidak mengandung ion dan yang mengandung ion. Salah satu yang menyebabkan penurunan stabilitas sediaan krim adalah keberadaan ion dalam air. Kation movalen dan divalen dapat merusak ikatan hidrogen dari molekul air yang akan memecah molekul – molekul air. Keberadaan ion-ion ini juga akan mempercepat pelepasan obat dari krim sehingga mempercepat penyembuhan luka (Florence att wood, 1988).

Berdasarkan uraian diatas maka dilakukan penelitian dengan menggunakan air yang mengandung ion dan yang tidak mengandung ion untuk mengetahui pengaruh air tersebut terhadap stabilitas krim dan untuk mengetahui efek penyembuhannya terhadap luka bakar.


(20)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah penelitian adalah sebagai berikut :

a. Apakah karakterisasi simplisia daun senduduk dan kandungan kimia daun senduduk sesuai dengan MMI, 1989.

b. Apakah ekstrak etilasetat daun senduduk dapat dibuat dalam bentuk sediaan krim.

c. Apakah ada pengaruh penggunaan air yang tidak mengandung ion dan yang mengandung ion terhadap penyembuhan luka bakar dan terhadap stabilitas sediaan krim.

1.3. Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka hipotesis penelitian adalah sebagai berikut :

a. Karakterisasi simplisia dan kandungan kimia dari daun senduduk sesuai dengan MMI, 1989.

b. Ekstrak etilasetat dari daun senduduk dapat dibuat dalam bentuk sediaan krim.

c. Ada pengaruh penggunaan air yang tidak mengandung ion dan yang mengandung ion terhadap penyembuhan luka bakar dan terhadap stabilitas sediaan krim.

1.4. Tujuan

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui karakteristik simplisia dan kandungan kimia dari daun senduduk telah sesuai dengan MMI, 1989.


(21)

b. Untuk mengetahui bahwa ekstrak etilasetat dari daun senduduk dapat dibuat menjadi sediaan krim untuk obat luka bakar sebagai pengembangan obat tradisional menjadi fitofarmaka.

c. Untuk mengetahui pengaruh penggunaan air yang tidak mengandung ion dan yang mengandung ion terhadap penyembuhan luka bakar dan terhadap stabilitas sediaan krim.

1.5. Manfaat

Dari hasil penelitian ini diharapkan :

a. Diperoleh informasi karakterisasi simplisia dan kandungan kimia dari daun senduduk.

b. Dapat diketahui bahwa ekstrak etilasetat dari daun senduduk dapat dibuat menjadi sediaan krim untuk obat luka bakar sebagai pengembangan obat tradisional menjadi fitofarmaka.

c. Dapat diketahui pengaruh penggunaan air yang tidak mengandung ion dan yang mengandung ion terhadap penyembuhan luka bakar dan terhadap stabilitas sediaan krim.


(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Uraian Tumbuhan

Tumbuhan senduduk (Melastoma malabathricum L.) tumbuh liar pada tempat-tempat yang mendapat cukup sinar matahari, seperti di lereng gunung, semak belukar, lapangan yang tidak terlalu gersang, atau di daerah objek wisata sebagai tanaman hias.Tumbuh sampai ketinggian 1.650 m di atas permukaan laut, merupakan tumbuhan perdu, tegak, tinggi 0,5-4m, banyak bercabang, bersisik, dan berambut. Senduduk memiliki daun tunggal, bertangkai, letak berhadapan silang. Helai daun bundar telur memanjang sampai lonjong, tepi rata, permukaan berambut pendek sehingga teraba kasar. Berbunga majemuk yang berwarna ungu kemerahan, buah masak akan merekah dan berwarna ungu. Buah dapat dimakan, daun muda juga dapat dimakan sebagai lalap atau disayur, perbanyakan dengan biji (Dalimartha, 2000).

2.1.1 Sinonim

Nama lain dari senduduk (Melastoma malabathricum L.) adalah Melastoma affine G. Don., Melastoma polyanthum (Dalimartha, 2000).

2.1.2 Nama Daerah

Nama daerah tumbuhan ini di Sumatera adalah senduduk, sedangkan di Jawa dikenal dengan nama senggani, sengganen, kluruk, harendong dan kemanden (Depkes RI, 1995).

2.1.3 Sistematika Tumbuhan (Depkes RI, 1995).

Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae


(23)

Kelas : Dicotyledoneae Bangsa : Myrtales

Suku : Melastomataceae Marga : Melastoma

Jenis : Melastoma malabathricum L

2.1.4 Kandungan dan Manfaat

Senduduk mengandung senyawa flavonoida, saponin, tanin, glikosida, steroida/triterpenoida. Zat aktif yang dikandung daun senduduk yang berperan sebagai penyembuh luka yaitu:

a. Flavonoid berfungsi sebagai anti inflamasi, anti alergi, antioksidan. b. Steroid berfungsi sebagai antiinflamasi.

c. Saponin memiliki kemampuan sebagai pembersih dan antiseptik yang berfungsi membunuh atau mencegah pertumbuhan mikroorganisme (Robinson, 1995).

d. Tanin berfungsi sebagai adstringen yang menyebabkan penciutan pori-pori kulit, memperkeras kulit, menghentikan eksudat dan pendarahan yang ringan (Anief, 1997).

Tumbuhan ini berkhasiat untuk mengobati diare, keputihan, obat kumur, luka bakar, sariawan, pendarahan rahim, bisul, dan luka berdarah (Djauhariya dan Hernani, 2004)

2.2. Simplisia dan Ekstraksi

Simplisia adalah bahan alamiah yang digunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang telah dikeringkan (Ditjen POM, 2000).


(24)

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair, dengan diketahui senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat (Ditjen POM, 2000).

Ekstrak adalah sediaan kering, kental, atau cair dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok, diluar pengaruh cahaya matahari langsung (Depkes RI, 1979).

Ekstraksi dapat dilakukan dengan babarapa cara yaitu: a. Cara dingin

1. Maserasi

Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan seterusnya.

2. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Proses perkolasi terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) terus-menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) (Ditjen POM, 2000).

b. Cara panas 1. Repluks

Repluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperature titik didihnya selama waktu tertentu dan dalam jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan


(25)

dengan adanya pendingin balik (Ditjen POM, 2000). 2. Digesti

Digesti adalah maserasi dengan pengadukan kontinu pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur kamar yaitu pada 40-50o

3. Infus

C (Ditjen POM, 2000).

Infus adalah ekstraksi menggunakan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 90o

4. Dekok

C) selama 15 menit (Ditjen POM, 2000).

Dekok adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur 90o

5. Sokletasi

C selama 30 menit (Ditjen POM, 2000).

Sokletasi adalah metode ekstraksi untuk bahan yang tahan pemanasan dengan cara meletakkan bahan yang akan diekstraksi dalam sebuah kantung ekstraksi (kertas saring) di dalam sebuah alat ekstraksi dari gelas yang bekerja kontinu (Voigt, 1995).

2.3. Uraian Kimia

a. Flavonoid

Flavonoid umumnya terdapat dalam tumbuhan, terikat pada gula sebagai glikosida dan aglikon flavonoida (flavonoida tanpa gula terikat) terdapat dalam berbagai bentuk struktur (Markham,1988).

Flavonoid dapat berfungsi sebagai antimikroba, antivirus,antioksidan, antihipertensi, merangsang pembentukan estrogen dan mengobati gangguan fungsi hati (Robinson, 1995).


(26)

b.Saponin

Saponin merupakan senyawa aktif permukaan, bersifat seperti sabun, serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan menghemolisis sel darah (Farnworth, 1996).

c. Tanin

Tanin dalam tumbuhan dianggap memiliki fungsi utama sebagai penolak hewan pemakan tumbuhan karena rasanya yang sepat. Dalam industri, tanin digunakan untuk mengubah kulit hewan yang mentah menjadi siap pakai karena kemampuannya membentuk ikatan silang yang stabil dengan protein dan dalam bidang farmasi digunakan sebagai adstringen, antioksidan serta dapat menghambat pertumbuhan tumor (Harbon, 1987).

D. Glikosida

Glikosida merupakan senyawa yang jika dihidrolisis menghasilkan satu atau lebih gula. Bagian bukan gula disebut aglikon dan bagian gula disebut glikon. (Robinson, 1995). Umumnya glikosida pada tumbuhan dapat dihidrolisis dengan menggunakan larutan asam atau penambahan enzim, sehingga bagian gula dan bukan gula terpisah (Farnsworth, 1966).

E. Steroid/Triterpenoida

Steroid adalah senyawa triterpenoida yang kerangka dasarnya sistem cincin siklopentanoperhidropenantren. Senyawa ini tersebar luas dialam dan mempunyai fungsi biologis yang sangat penting misalnya untuk antiinflamasi (Harborne, 1987).

Triterpenoida adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik,


(27)

yaitu skualena. Senyawa ini tidak berwarna, berbentuk kristal. Senyawa ini merupakan komponen aktif dalam tumbuhan obat yang telah digunakan untuk penyakit diabetes, gangguan menstruasi, beberapa senyawa triterpenoida menunjukkan aktivitas antibakteri atau antivirus (Robinson, 1995).

2.4. Krim

Krim adalah bentuk sediaan setengah padat yang mengandung satu atau lebih bahan obat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai. Istilah ini secara tradisional telah digunakan untuk sediaan setengah padat yang mempunyai konsistensi relatif cair yang diformulasi sebagai emulsi air dalam minyak atau minyak dalam air. Sekarang ini batasan tersebut lebih diarahkan untuk produk yang terdiri dari emulsi minyak dalam air atau dispersi mikrokristal asam-asam lemak atau alkohol berantai panjang dalam air, yang dapat dicuci dengan air atau lebih ditujukan untuk penggunaan kosmetika dan estetika (Depkes RI, 1995). Krim digunakan sebagai:

a. Bahan pembawa obat untuk pengobatan kulit b. Bahan pelembut kulit

c. Pelindung kulit yaitu mencegah kontak permukaan kulit dengan larutan berair dan merangsang kulit (Anief, 2000).

Krim dapat digunakan pada kulit dengan luka yang basah, karena bahan pembawa minyak dalam air cenderung untuk menyerap cairan yang diproduksi luka tersebut. Basis yang dapat dicuci dengan dengan air akan membentuk suatu lapisan tipis yang semi permiabel, setelah air menguap dari tempat yang digunakan. Dipihak lain, emulsi air di dalam minyak dari sediaan semipadat cenderung membentuk lapisan hidrofobik pada kulit (Lachman, dkk., 1994).


(28)

2.5. Stabilitas Krim

Pertimbangan yang terpenting bagi sediaan emulsi seperti krim di bidang farmasi dan kosmetika adalah stabilitas dari produk jadi. Menurut Anief. M, (2000), ketidakstabilan emulsi farmasi dapat digolongkan menjadi:

a. Flokulasi atau creaming

b. Koalesensi atau pecahnya emulsi (breaking, cracking). c. Macam-macam perubahan fisika dan kimia.

d. Inversi.

Creaming adalah terpisahnya emulsi menjadi dua lapisan, dimana lapisan yang satu mengandung butir-butir tetesan (fase terdispers) lebih banyak daripada lapisan yang lain.

Creaming merupakan proses bolak-balik, sedangkan pemecahan merupakan proses searah. Krim yang menggumpal bisa diemulsikan kembali dengan mudah dan dapat terbentuk kembali suatu campuran yang homogen dari suatu emulsi yang membentuk krim dengan pengocokan, karena bola-bola minyak masih dikelilingi oleh suatu lapisan pelindung dari zat pengemulsi. Jika terjadi pemecahan, pencampuran biasa tidak bisa mengemulsikan kembali bola-bola tersebut dalam suatu emulsi yang stabil (Martin, dkk., 1993).

Inversi adalah peristiwa berubahnya tipe emulsi dari tipe minyak dalam air menjadi tipe air dalam minyak atau sebaliknya. Inversi dapat dipengaruhi oleh suhu, atau inversi merupakan fungsi suhu.

Faktor-faktor yang dapat memecah emulsi digolongkan dalam:

1. Pemecahan emulsi secara kimia, contohnya; penambahan zat yang dapat menarik air seperti CaCl2 eksikatus dan CaO.


(29)

2. Pecahnya emulsi secara fisika, yaitu:

- Kenaikan suhu, dapat menyebabkan perubahan viskositas, mengubah sifat emulgator dan menaikkan benturan butir-butir tetesan.

- Pendinginan menyebabkan terpisahnya air dari sistem emulsi. - Pengenceran emulsi yang berlebihan.

- Pemutaran dengan alat sentrifugal.

3. Efek elektrolit terhadap stabilitas emulsi, tergantung dari jenis emulgator yang ada. Bila ada reaksi dari elektrolit dengan emulsi maka emulsi akan pecah (Anief, 2000).

2.6. Pembuatan Krim

pembuatan krim dari formula dengan tipe emulsi minyak dalam air (m/a), metode pembuatan secara umum meliputi proses peleburan, emulsifikasi, dan saponifikasi. Komponen yang tidak bercampur dengan air seperti minyak dan lilin dicairkan bersama di penangas air pada temperatur sekitar 70oC sampai 75o

Kulit adalah organ tubuh terluas yang menutupi otot dan mempunyai peranan dalam homeostasis. Kulit mempunyai fungsi sebagai pelindung tubuh dari berbagai trauma dan merupakan penahan terhadap bakteri, virus dan jamur. C. Semua komponen yang larut dalam air dilarutkan dalam air panas. Lalu larutan berair secara perlahan-lahan ditambahkan kedalam campuran lemak cair sambil diaduk, temperatur dipertahankan selama 5-10 menit, untuk menjaga kristalisasi dari lilin dan kemudian campuran perlahan-lahan didinginkan dengan pengadukan yang terus menerus sampai campuran membeku/mengental (Ansel, 1989)


(30)

Kulit terdiri atas tiga lapisan yaitu epidermis, dermis dan subkutan. Epidermis merupakan lapisan terluar (Effendi, 1999).

Lapisan epidermis terdiri atas: 1. Stratum korneum (lapisan tanduk)

Stratum korneum adalah lapisan kulit yang paling luar dan terdiri atas beberapa sel yang mati, tidak berinti, dan protoplasmanya telah berubah menjadi keratin (zat tanduk).

2. Stratum lusidum

Stratum lusidum terdapat langsung di bawah stratum korneum, merupakan lapisan sel tanpa inti.

3. Stratum granulosum

Stratum granulosum merupakan 2 atau 3 lapis sel dengan sitoplasma berbutir kasar dan terdapat inti sel di antaranya.

4. Stratum spinosum

Stratum spinosum terdiri atas beberapa sel berbentuk poligonal. 5. Stratum basalis

Stratum basalis terdiri atas sel-sel kubus yang tersusun vertikal, dan berbaris seperti pagar (palisade) (Ackerman, 1987).

Dermis, atau korium merupakan serabut kolagen yang bertanggung jawab untuk sifat-sifat penting dari kulit. Dermis mengandung pembuluh darah, pembuluh limfe, folikel rambut, kelenjar lemak, kelenjar keringat, otot dan serabut saraf (Anief, 2000).


(31)

Lapisan sub kutan (hypodermis) merupakan lapisan kulit yang terdalam. Lapisan ini terutamanya adalah jaringan adipose, yang memberikan bantalan antara lapisan kulit dan struktur internal seperti otot dan tulang (Effendi, 1999).

2.8. Absorpsi Obat Melalui Kulit

Tujuan umum penggunaan obat topikal pada terapi adalah untuk menghasilkan efek terapetik pada tempat-tempat spesifik di jaringan epidermis. Daerah yang terkena umumnya epidermis dan dermis, sedangkan obat-obat topikal tertentu seperti emoliens (pelembab), antimikroba dan deodorant terutama bekerja di permukaan kulit saja. Hal ini memerlukan penetrasi difusi dari kulit atau absorpsi perkutan (Lachman, dkk., 1994).

Absorpsi obat melalui kulit pada umumnya disebabkan oleh penetrasi langsung obat melalui stratum korneum yang terdiri dari kurang lebih 40% protein (umumnya keratin) dan 40% air. Stratum korneum sebagai jaringan keratin bersifat semipermiabel, dan molekul obat mempenetrasi dengan cara difusi pasif.

Jumlah obat yang dapat menyeberangi lapisan kulit tergantung pada konsentrasi obat, kelarutannya dalam air. Bahan-bahan yang mempunyai sifat larut dalam keduanya minyak dan air merupakan bahan yang baik untuk difusi melalui stratum korneum seperti epidermis dan lapisan-lapisan kulit.

Penetrasi obat kedalam kulit dengan cara difusi adalah melalui : a. penetrasi transeluler (menyeberangi sel)

b. penetrasi interseluler (antarsel)

c. penetrasi transappendageal yaitu melalui folikel rambut, keringat dan kelenjar lemak (Ansel, 1989).


(32)

Faktor-faktor yang mempengaruhi penetrasi kulit sangat bergantung dari sifat fisika kimia obat dan juga bergantung pada zat pembawa, pH dan konsentrasi. Perbedaan fisiologis melibatkan kondisi kulit yakni apakah kulit dalam keadaan baik atau terluka, umur kulit, perbedaan spesies dan kelembaban yang dikandung oleh kulit (Lachman, dkk., 1994).

2.9. Luka Bakar

Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontak dengan sumber panas, bahan kimia, listrik dan radiasi. Kulit dengan luka bakar akan mengalami kerusakan pada epidermis, dermis, maupun jaringan subkutan tergantung faktor penyebab dan lamanya kontak dengan sumber panas/penyebabnya. Kedalaman luka bakar akan mempengaruhi kerusakan/ gangguan integritas kulit dan kematian sel-sel (Yepta, 2003).

Luka bakar dibedakan menjadi beberapa jenis berdasarkan penyebab dan kedalaman kerusakan jaringan.

1. Berdasarkan penyebabnya, luka bakar dibedakan atas beberapa jenis, antara lain:

a. Luka bakar karena api b. Luka bakar karena air panas c. Luka bakar karena bahan kimia d. Luka bakar karena listrik e. Luka bakar karena logam panas f. Luka bakar karena radiasi

2. Berdasarkan kedalaman kerusakan jaringan, luka bakar dibedakan atas beberapa jenis yaitu:


(33)

A. Luka bakar derajat I:

• Kerusakan terbatas pada superfisial epidermis • Kulit kering, tampak sebagai eritema

• Tidak dijumpai bula

• Nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi

• Penyembuhan terjadi secara spontan dalam waktu 5-10 hari B. Luka bakar derajat II

• Kerusakan meliputi dermis dan epidermis • Dijumpai bula

• Dasar luka berwarna merah atau pucat, terletak lebih tinggi di atas kulit normal

• Nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi Luka bakar derajat II dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu :

Derajat II dangkal (superficial)

Kerusakan mengenai bagian superfisial dermis. Apendises kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea masih utuh. Penyembuhan terjadi secara spontan dalam waktu 10-14 hari.

Derajat II dalam (deep)

Kerusakan hampir seluruh bagian dermis. Apendises kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea sebagian masih utuh. Penyembuhan terjadi lebih lama, tergantung apendises kulit yang tersisa. Biasanya penyembuhan terjadi dalam waktu lebih dari satu bulan.


(34)

C. Luka bakar derajat III

• Kerusakan meliputi seluruh ketebalan dermis dan lapisan yang lebih dalam

• Apendises kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea mengalami kerusakan.

• Tidak dijumpai bula.

• Kulit yang terbakar berwarna abu-abu dan pucat, kering, letaknya lebih rendah dibandingkan kulit sekitar koagulasi protein pada lapis epidermis dan dermis.

• Tidak dijumpai rasa nyeri, bahkan hilang sensasi karena ujung-ujung saraf sensorik mengalami kerusakan/kematian.

• Penyembuhan terjadi lama karena tidak ada proses epitelisasi spontan baik dari dasar luka, tepi luka maupun apendises kulit (Yepta, 2003).

2.10. Penyembuhan luka

Tindakan yang dapat dilakukan pada luka bakar adalah dengan memberikan terapi lokal dengan tujuan mendapatkan kesembuhan secepat mungkin, sehingga jumlah jaringan fibrosis yang terbentuk akan sedikit dan dengan demikian mengurangi jaringan parut. Diusahakan pula pencegahan terjadinya peradangan yang merupakan hambatan paling besar terhadap kecepatan penyembuhan (Henderson M. A, 1997).

Proses penyembuhan luka yang dibagi dalam tiga fase yaitu fase inflamasi, proliferasi dan penyudahan yang merupakan penyerupaan kembali (remodeling) jaringan.


(35)

1. Fase inflamasi

Fase inflamasi berlangsung sejak terjadinya luka sampai hari kelima. Pembuluh darah yang terputus pada luka menyebabkan pendarahan dan tubuh akan berusaha menghentikannya dengan vasokonstriksi. Pengerutan pembuluh yang terputus (retraksi) dan reaksi hemostasis. Hemostasis terjadi karena trombosit yang keluar dari pembuluh darah saling melengket dan bersama dengan jala fibrin yang terbentuk membekukan darah yang keluar dari pembuluh darah.

Sel mast dalam jaringan ikat menghasilkan serotonin dan histamin yang meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga terjadi eksudasi cairan, pembentukan sel radang disertai vasodilatasi setempat menyebabkan pembengkakan.

1. Fase proliferasi

Fase proliferasi disebut juga fibroplasia karena yang menonjol adalah proses proliferasi fibroblas. Fase ini berlangsung dari akhir fase inflamasi sampai kira-kira akhir minggu ketiga. Pada fase ini serat kolagen yang mempertautkan tepi luka.

3. Fase penyudahan

Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri dari penyerapan kembali jaringan yang berlebih dan pembentukan jaringan baru. Fase ini dapat berlangsung berbulan-bulan dan dinyatakan berakhir kalau semua tanda radang sudah lenyap. Tubuh berusaha menormalkan kembali semua yang menjadi abnormal karena proses penyembuhan (Sjamsuhidajat. R dan Wim de jong, 1997).


(36)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Metode penelitian adalah metode eksperimental, meliputi identifikasi sampel, pengumpulan dan pengolahan sampel, pemeriksaan karakteristik simplisia, skrining fitokimia, pembuatan ekstrak, karakteristik ekstrak,

pemeriksaan ekstrak, pemeriksaan air mata air, pembuatan krim, pengujian efek sediaan krim terhadap luka bakar dan stabilitasnya serta analisis data dengan menggunakan analisis varinsi (ANAVA) dan dengan uji beda rata-rata Duncan menggunakan program Statistical Program Service Solution (SPSS) versi 17.

2.1. Alat-alat yang digunakan

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat-alat gelas laboratorium, lemari pengering, blender (Nasional), oven listrik (Fisher Scientitic), neraca kasar (Ohaus), neraca analitis (Mettler Toledo), pH meter (Kent EIL 7020), mikroskop (Nikon), pisau cukur, gunting, penangas air, termometer, api bebas, lempeng logam berdiameter 2 cm, cawan porselin, spuit, pot plastik, mortir dan stamfer, jangka sorong, sudip, spatula.

2.2. Bahan-bahan yang digunakan

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah daun senduduk, semua bahan-bahan kimia yang digunakan kecuali dinyatakan lain adalah berkualitas pro analisis yaitu etilasetat dan air suling hasil detilasi. Raksa (II) klorida, kalium iodida, natrium hidroksida, iodium, bismut (II) nitrat, asam asetat glasial, besi (III) klorida, asam klorida pekat, asam sulfat pekat, timbal (II) asetat, alfa naftol, asam nitrat, kloroform, isopropanol, natrium sulfat anhidrat, asam


(37)

asetat anhidrat, asam stearat, gliserin, trietanolamin, metil paraben, Natrium biborat, air mata air, aqua bides, Lidokain

Daun senduduk yang telah dikumpulkan dibersihkan dari pengotoran dengan air bersih, dan ditiriskan, selanjutnya ditimbang sebagai berat basah 5 kg, kemudian dikeringkan dengan cara dimasukkan kedalam lemari pengering.

injeksi (Kimia Farma).

2.3. Hewan Percobaan

Hewan yang digunakan pada penelitian ini adalah kelinci jantan putih

dengan berat badan 1,5-2 kg. Hewan dikarantina dalam kandang yang sesuai sebelum dan selama digunakan untuk uji luka bakar. Gambar kandang kelinci dan tempat karantina dapat dilihat pada lampiran 11 halaman 50.

2.4. Identifikasi Sampel

Tumbuhan yang digunakan pada penelitian ini diidentifikasi di Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bogor, dilakukan oleh Deka, 2006 dan tumbuhan yang diteliti adalah daun tumbuhan senduduk (Melastoma malabathricum L). Penelitian dilakukan dengan tumbuhan yang sama sehingga identifikasi tidak dilakukan kembali, hasil identifikasi dapat dilihat pada lampiran 1 halaman 37.

2.5. Pengambilan Sampel dan Pengolahan Sampel 2.5.1. Pengambilan Sampel

Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah daun senduduk yang berwarna hijau tua, diperoleh dari desa Parsoburan, kecamatan Habinsiran Sumatera Utara. Sampel diambil secara purposif yaitu tanpa membandingkan dengan daerah lain. Gambar dapat dilihat pada lampiran 3 halaman 39.


(38)

Setelah kering ditimbang sebagai berat kering 1969 g. Sampel yang telah kering diserbuk dengan blender.

2.6. Pemeriksaan Karakteristik Simplisia

Pemeriksaan karakteristik simplisia meliputi pemeriksaan makroskopik dan mikroskopik, penetapan kadar air, penetapan kadar sari yang larut dalam air, penetapan kadar abu total, penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam (MMI, 1989).

2.6.1 Pemeriksaan Makroskopik

Pemeriksaan makroskopik dilakukan terhadap simplisia meliputi warna, bentuk, ukuran dan ketebalan. Hasil dapat dilihat pada lampiran 4 halaman 40.

2.6.2. Pemeriksaan Mikroskopik

Pemeriksaan mikroskopik terhadap serbuk simplisia dilakukan dengan cara menaburkan serbuk simplisia diatas kaca objek yang telah ditetesi dengan kloralhidrat dan ditutup dengan kaca penutup kemudian dilihat dibawah mikroskop. Hasil dapat dilihat pada lampiran 5 halaman 41.

2.6.3. Penetapan kadar Air

Penetapan kadar air dengan metode azeotropi (Destilasi Toluen). Alat meliputi labu alas 500 ml, alat penampung, tabung penerima 5 ml berskala 0,1 ml, pendingin, tabung penyambung, dan pemanas.

Cara Penetapan : Kedalam labu alas bulat dimasukkan 200 ml toluena dan 2 ml air suling, didestilasi selama 2 jam, dibiarkan mendingin selama 30 menit

didinginkan dan volume air pada tabung penerima dibaca. Selanjutnya kedalam labu dimasukkan 5 g serbuk simplisia yang telah ditimbang seksama, lalu


(39)

diatur 2 tetes tiap detik hingga sebagian air tersuling, kemudian kecepatan penyulingan dinaikkan hingga 4 tetes tiap detik. Setelah semua air tersuling, bagian dalam pendinginan dibilas dengan toluena. Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung penerima dibiarkan mendingin sampai suhu kamar setelah air dan toluena memisah sempurna volume dibaca dengan ketelitian 0,05 ml. Selisih kedua volume air yang dibaca sesuai kandungan air yang terdapat dalam bahan yang diperiksa. Kadar air dihitung dalam persen (WHO, 1992). Hasil dapat dilihat pada lampiran 7 halaman 44.

2.6.4. Pemeriksaan Kadar Sari yang Larut dalam Air

Sebanyak 5 g serbuk dimaserasi selama 24 jam, dalam 100 ml air-kloroform (2,5 ml air-kloroform dalam air sampai 1 liter) dalam labu bersumbat sambil sesekali dikocok selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam. Disaring, 20 ml filtrat diuapkan sampai kering dalam cawan dangkal berdasar rata dan telah ditara dan sisa dipanaskan pada suhu 105o

2.6.5. Penetapan Kadar Abu Total

C sampai bobot tetap. Kadar sari larut dalam air dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan diudara (MMI, 1989). Hasil dapat dilihat pada lampiran 7 halaman 44.

Sebanyak 2 g serbuk yang telah digerus dan ditimbang seksama dimasukkan kedalam krus porselin yang telah dipijar dan ditara, kemudian diratakan. Krus dipijar pada suhu 600oC sampai arang habis, kemudian

didinginkan dan ditimbang sampai diperoleh bobot tetap. Kadar abu dihitung, abu dihitung terhadap bahan yang dikeringkan diudara (WHO, 1992). Hasil dapat dilihat pada lampiran 7 halaman 44.


(40)

2.6.6. Penetapan Kadar Abu yang tidak Larut dalam Asam

Abu yang diperoleh dalam penetapan kadar abu total dididihkan dalam 25 ml asam klorida 2 N selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam

dikumpulkan disaring melalui kertas saring bebas abu kemudian dicuci dengan air panas. Residu dan kertas saring dipijar pada 600o

2.7. Penapisan Fitokimia

C sampai bobot tetap, kemudian didinginkan dan ditimbang. Kadar abu tidak larut dalam asam dihitung terhadap bahan yang dikeringkan diudara (WHO, 1992). Hasil dapat dilihat pada lampiran 7 halaman 44.

Penapisan fitokimia meliputi pemeriksaan alkaloida, flavonoida, saponin, glikosida, tanin dan steroida/triterpenoida.

a. Pemeriksaan Alkaloida

- Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 g, kemudian ditambah 1 ml asam klorida 2 N dan 9 ml air suling, dipanaskan diatas penangas air selama 2 menit, dinginkan dan disaring. Filtrat digunakan untuk percobaan berikut : - Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes larutan pereaksi Mayer, akan

terbentuk endapan menggumpal berwarna putih atau kuning.

- Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah pereaksi Bouchardat, akan terbentuk endapan berwarna coklat sampai hitam.

- Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes pereaksi Dragendorff, akan terbentuk warna merah atau jingga.

Alkaloida positif jika terjadi endapan atau kekeruhan paling sedikit 2 dari ke-3 percobaan diatas (MMI,1989). Hasil dapat dilihat pada bab III halaman 21.


(41)

b. Pemeriksaan Flavonoida

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia ditambah 10 ml metanol, direfluks selama 10 menit disaring selagi panas melalui kertas saring. Filtrat diencerkan dengan 10 ml air suling setelah dingin ditambah 5 ml eter minyak tanah dikocok hatiphati lalu didiamkam sebentar, diambil lapisan metanol, lalu diuapkan pada 40 oC dipenangas air. Sisa dilarutkan dalam 5 ml etilasetat dan disaring. Filtrat digunakan untuk test flvonoida dengan cara sebagai berikut: a. Sebanyak 1 ml larutan diatas diuapkan sampai kering, sisa dilarutkan dalam

1-2 ml etanol 95% lalu ditambah 0,5 g serbuk seng dan 1-2 ml HCl 1-2 N,

didiamkan 1 menit, ditambah HCl pekat, jika dalam waktu 2-5 menit terjadi merah intensif menunjukkan adanya flavonoida

b. Satu ml larutan percobaan diuapkan sampai kering, sisa dilarutkan dalam I ml etanol 95% kemudian ditambah 0,1 g serbuk mg dan 10 ml HCl pekat, jika terjadi warna merah jingga sampai merah ungu menunjukkan adanya flavonoida (MMI, 1989)

c. Pemeriksaan Saponin

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia, dimasukkan kedalam tabung reaksi. Ditambahkan air panas, didinginkan kemudian dikocok kuat-kuat selama 10 detik. Jika terbentuk buih yang mantap setinggi 1 sampai 10 cm, tidak kurang dari 10 menit dan tidak hilang dengan penambahan asam klorida 2 N

menunjukkan adanya saponin (MMI,1989). Hasil dapat dilihat pada bab III halaman 21.


(42)

d. Pemeriksaan Glikosida

Disari 3 g serbuk simplisia dengan 30 ml campuran etanol 96% dengan air (7:3) dan ditambah 10 ml asam sulfat 2 N. Direfluks selama 2 jam, didinginkan dan disaring. Pada 20 ml filtrat ditambahkan 25 ml Timbal (II) asetat 0,4 M dan 25 ml air dikocok dan didiamkan selama 5 menit, disaring. filtrat disari 3 kali, tiap kali dengan 20 ml campuran kloroform-isopropanol (3:2). Pada kumpulan sari air diuapkan pada suhu tidak lebih dari 50o

Satu g serbuk dimaserasi dengan 20 ml eter selama 2 jam, disaring. Filtrat diuapkan di cawan penguap. Sisanya ditambahkan asam asetat anhidrat dan asam sulfat pekat. Apabila terbentuk warna ungu atau merah yang berubah menjadi biru C. Dilarutkan sisa dengan 2 ml metanol. Larutan sisa dimasukkan dalam tabung reaksi selanjutnya diuapkan diatas penangas air, pada sisa ditambahkan 2 ml air dan 5 tetes Molisch. Tambahkan hati-hati 2 ml asam sulfat pekat melalui dinding tabung, terbentuknya cincin ungu pada batas kedua cairan menunujukkan adanya gula, dengan demikian menunjukkan adanya glikosida (MMI, 1989). Hasil dapat dilihat pada bab III halaman 21.

e. Pemeriksaan Tanin

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia, disari dengan 10 ml air suling lalu dipanaskan, disaring. Filtratnya diencerkan dengan air sampai tidak berwarna. Larutan diambil sebanyak 2 ml dan ditambahkan 1-2 tetes pereaksi besi (III) klorida 1%. Jika terjadi warna biru atau hijau kehitaman, menunjukkan adanya tanin (MMI, 1989). Hasil dapat dilihat pada bab III halaman 21.


(43)

ungu atau biru hijau menunjukkan adanya steroida/triterpenoida (Harborne, 1987). Hasil dapat dilihat pada bab III halaman 21.

2.8. Pembuatan Ekstrak Etilasetat Daun Senduduk

Pembuatan ekstrak dilakukan secara perkolasi dengan menggunakan pelarut etilasetat.

Prosedur pembuatan ekstrak: Sejumlah serbuk dimasukkan ke dalam bejana tertutup dan dibasahi dengan etilasetat kemudian dimaserasi selama 3 jam. Massa dipindahkan sedikit demi sedikit ke dalam perkolator sambil sesekali ditekan hati-hati, kemudian cairan penyari dituangkan secukupnya sampai cairan mulai menetes dan diatas simplisia masih terdapat selapis cairan penyari, perkolator ditutup dan dibiarkan selama 24 jam. Cairan dibiarkan menetes dengan kecepatan 1 ml tiap menit, cairan penyari ditambahkan berulang-ulang secukupnya hingga selalu terdapat selapis cairan penyari diatas simplisia (Depkes RI, 2000). Perkolat diuapkan dengan alat vacum rotavapor pada suhu tidak lebih 500C hingga diperoleh ekstrak kental. Bagan dapat dilihat pada lampiran 6 halaman 42.

2.9. Pemeriksaan Karakteristik Ekstrak

Pemeriksaan karakteristik ekstrak meliputi penetapan kadar air, penetapan kadar sari yang larut dalam air, penetapan kadar abu total, penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam. Prosedur sama seperti prosedur pada pemeriksaan karakteristik simplisia.

2.10. Pemeriksaan Ekstrak

Pemeriksaan ekstrak meliputi pemeriksaan alkaloida, flavonoida, saponin, glikosida, tanin dan steroida/triterpenoida. Prosedur sama seperti prosedur pada penapisan fitokimia.


(44)

2.11. Pemeriksaan air mata air

Pemeriksaan air mata air dilakukan di laboratorium kimia. Kalsium, magnesium, dan klorida dilakukan dengan metode analisa titrimetri, sedangkan sulfat, sulfida, fero dilakukan dengan metode analisa spektrofotometri. Hasil dapat dilihat pada lampiran 7 halaman 44.

2.12. Pembuatan Krim

Sediaan krim yang digunakan adalah krim tipe minyak dalam air dan dibuat berdasarkan formula standar vanishing cream (Formularium Medicamentorum Selectum, 1971) yaitu:

R/ Asam stearat 142 Gliserin 100 Natrium biborat 2,5 Trietanolamin 10 Air suling 750 Nipagin q.s. m.f. krim

Sediaan krim dibuat dengan komposisi berdasarkan hasil orientasi peneliti sebelumnya, penyembuhan luka bakar dengan krim ekstrak senduduk dengan kadar 5% dapat sembuh dalam waktu 21 hari, maka konsentrasi divariasikan menjadi 3%, 5% dan 7% dalam bentuk sediaan krim. Formula krim dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 2.1. Formula krim dengan menggunakan air yang tidak mengandung ion

(aqua bides), dan air yang mengandung ion (air mata air) dengan variasi konsentrasi ekstrak.


(45)

BAHAN

KRIM

A B C D E F G H

Ekstrak - 3% 5% 7% - 3% 5% 7%

Asam stearat 14,2 14,2 14,2 14,2 14,2 14,2 14,2 14,2 Gliserin 10 10 10 10 10 10 10 10

Trietanolamin 1 1 1 1 1 1 1 1

Na.Biborat 0,25 0,25 0,25 0,25 0,25 0,25 0,25 0,25 Metil paraben 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1

Air 75 75 75 75 75 75 75 75

Keterangan:

Krim yang menggunakan air yang tidak mengandung ion: A : Dasar krim tanpa ekstrak senduduk

B : Krim dengan ekstrak etilasetat senduduk 3% C : Krim dengan ekstrak etilasetat senduduk 5% D : Krim dengan ekstrak etiasetat senduduk 7%

Krim yang menggunakan air yang mengandung ion: E : Dasar krim tanpa ekstrak senduduk

F : Krim dengan ekstrak etilasetat senduduk 5% G : Krim dengan ekstrak etilasetat senduduk 7% H : Krim dengan ekstrak etilasetat senduduk 3%

Cara pembuatan:

Ditimbang semua bahan yang diperlukan. Bahan yang terdapat dalam formula dipisahkan menjadi dua kelompok yaitu fase minyak dan fase air. Fase minyak (asam stearat) dilebur di atas penangas air dengan suhu 70o-75oC. fase air (trietanolamin, metil paraben, natrium biborat, gliserin dan air suling) dilarutkan


(46)

dalam air panas. Kemudian fase minyak dipindahkan ke dalam lumpang panas. Fase air ditambahkan ke dalam fase minyak dan diaduk sampai diperoleh massa krim (massa I). Dilumpang yang lain ekstrak daun senduduk digerus dengan sebagian gliserin (massa II). Kemudian Massa I dimasukkan sedikit demi sedikit ke massa II sambil digerus sampai homogen. Krim dimasukkan dalam wadah yang tertutup rapat, disimpan di tempat yang sejuk. Semua perlakuan sama untuk setiap formula kecuali formula A dan formula E tidak menggunakan ekstrak daun senduduk. Hasil dapat dilihat pada lampiran 9 halaman 46.

2.13. Pemeriksaan Krim

Pemeriksaan krim yang dilakukan meliputi: Pemeriksaan homogenitas, Pemeriksaan pH sediaan, Pemeriksaan organoleptis, dan stabilitas fisis sediaan krim.

2.13.1. Pemeriksaan Homogenitas

Pemeriksaan sediaan dilakukan dengan cara yaitu sejumlah tertentu sediaan diletakkan pada gelas objek, kemudian ditutup dengan gelas objek yang lain, lalu diratakan dengan menggesekkan kedua gelas objek tersebut. Sediaan yang memenuhi persyaratan homogenitas menunjukkan massa yang homogen dan tidak terlihat adanya butir-butir yang kasar. Hasil dapat dilihat pada lampiran 10 halaman 47.

2.13.2. Pemeriksaan pH Sediaan

Dilakukan dengan pH meter, caranya alat terlebih dahulu dikalibrasi dengan menggunakan larutan dapar standar pH 4, pH 7 dan pH 9, hingga posisi jarum menunjukkan harga pH tersebut diatas, kemudian elektroda dicuci dengan air suling, lalu dikeringkan dengan kertas tissu. Satu gram sediaan diencerkan


(47)

dengan air suling 10 ml di dalam satu wadah kemudian elektroda dicelupkan ke dalam larutan tersebut, dibiarkan jarum bergerak sampai posisi konstan. Angka yang ditunjukkan oleh meter pH tersebut merupakan harga pH sediaan. Hasil dapat dilihat pada lampiran 10 halaman 47.

2.13.3 Pemeriksaan Organoleptis

Pemeriksaan organoleptis meliputi penampilan, warna, dan bau sediaan. Hasil dapat dilihat pada lampiran 10 halaman 47.

2.13.4 Pengujian Stabilitas Fisis Sediaan Krim

Pengujian stabilitas fisis sediaan krim dilakukan dengan menyimpan sediaan krim pada temperatur kamar, -4oC dan 40oC selama 6 minggu dan diamati

terjadinya pemisahan fase air dan fase minyak (Lachman, dkk., 1994). Hasil dapat dilihat pada lampiran 10 halaman 48.

2.14. Pengujian Efek Sediaan Krim Terhadap Luka Bakar

Kelinci dicukur pada bagian punggungnya, kemudian dianestesi dengan Lidokaininjeksi secara subkutan dengan dosis 1 ml, setelah 2-3 menit diinduksi dengan alat penginduksi panas dengan suhu 80-90o

Pada penelitian ini efek sediaan krim diujikan terhadap 48 kelinci yang dibagi dalam 8 kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 6 ekor kelinci.

C selama 5 menit. Alat penginduksi panas berupa lempeng logam berdiameter 2 cm yang dihubungkan dengan sebuah elemen pemanas yang mempunyai daya 40 watt dan voltase 220 volt. Luka yang terjadi diolesi dengan sediaan uji, kemudian ditutup kembali seperti semula (pengobatan dilakukan sekali sehari) pekerjaan ini dilakukan sampai lukanya sembuh (diameter luka sama dengan nol bila luka sudah tertutup jaringan baru) (Suratman, dkk., 1996).


(48)

Empat kelompok diberikan krim yang tidak menggunakan air yang mengandung ion yaitu:

Kelinci A : Diberikan dasar krim

Kelinci B : Diberikan krim ekstrak etilasetat daun senduduk 3%. Kelinci C : Diberikan krim ekstrak etilasetat daun senduduk 5%. Kelinci D : Diberikan krim ekstrak etilasetat daun senduduk 7%. Empat kelompok lagi diberikan air yang mengandung ion yaitu: Kelinci E : Diberikan dasar krim

Kelinci F : Diberikan krim ekstrak etilasetat daun senduduk 3%. Kelinci G : Diberikan krim ekstrak etilasetat daun senduduk 5%. Kelinci H : Diberikan krim ekstrak etilasetat daun senduduk 7%. Masing-masing kelinci dicukur pada bagian punggungnya, kemudian dianastesi dengan Lidokain injeksi yang disuntikkan secara subkutan dengan dosis 1 ml, kemudian kelinci dicubit untuk mengetahui apakah obat sudah bekerja apa tidak. Kemudian ditempelkan lempeng logam berdiameter 2 cm yang telah dipanaskan selama 5 menit di api bebas pada bagian punggung kelinci selama 3 detik. Pada kulit yang melepuh untuk setiap kelompok dioleskan sediaan krim sebanyak 0,350 g secara merata pada permukaan luka dengan pengolesan tiga kali sehari.

Pengamatan dilakukan dengan mengukur perubahan diameter luka dengan menggunakan jangka sorong. Luka dinyatakan sembuh jika diameter luka sudah mendekati nol. Hasil dapat dilihat pada lampiran12 – 19, halaman 51-58


(49)

2.12. Perhitungan diameter rata-rata luka bakar

Cara mengukur diameter luka bakar dapat dilihat pada gambar berikut ini :

Gambar.2.1. Cara menghitung diameter luka bakar

Keterangan : dx : diameter luka hari ke x d1 : diameter 1

d2 : diameter 2 d3 : diameter 3 d4

Diameter luka bakar dihitung dengan rumus : dx = d : diameter 4

1 + d2 + d3 + d4 4 Hasil pengukuran diameter rata-rata luka bakar (cm) dari masing-masing hewan percobaan (kelinci) dengan interval pengukuran setiap hari. hasil contoh perhitungan dapat dilihat pada lampiran 20, halaman 61.

2.13. Analisis data

Data hasil pengujian efek sediaan krim ekstrak daun senduduk terhadap perubahan diameter rata-rata luka bakar dianalisis secara statistik menggunakan metode ANAVA (Analisis Variansi) dengan program Statistical Product Services Solution (SPSS) dengan taraf kepercayaan 95%, dilanjutkan dengan uji metode Duncan untuk mengetahui kelompok mana yang memiliki pengaruh sama atau berbeda antara satu dengan yang lainnya. Hasil Analisis Variansi dapat dilihat pada lampiran 22 halaman 64-66, dan hasil uji Duncan dapat dilihat pada lampiran 23 halaman 67-79.

Diker Diber

d2

d3 d4


(50)

BAB IV

HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

Hasil identifikasi sampel yang dilakukan di Pusat Penelitian Biologi LIPI Bogor tumbuhan yang digunakan pada penelitian ini adalah tumbuhan Senduduk (Melastoma malabathricum L.) dari suku Melastomataceae.

Hasil pemeriksaan makroskopik simplisia daun senduduk diperoleh dalam bentuk lembaran-lembaran, warna coklat, daun tunggal bertangkai pendek, berbentuk bundar telur atau memanjang, panjang 3 cm - 15 cm, lebar 3 cm - 8 cm, ujungnya runcing, pangkal membundar, pinggir rata.

Hasil pemeriksaan mikroskopik terhadap serbuk simplisia daun senduduk dijumpai fragmen pengenal berupa rambut penutup yang banyak dipermukaan daunnya. Stomata tipe anisositik, pada tulang daun terdapat pembuluh kayu dan hablur kristal kalsium oksalat berbentuk druse.

Hasil pemeriksaan karakteristik simplisia dan ekstrak, dapat diketahui bahwa simplisia yang digunakan sudah memenuhi persyaratan MMI, 1985), sedangkan ekstrak belum terdapat dalam Parameter Standard Umum Eksrtrak Tumbuhan Obat, sehingga ini dapat dijadikan sebagai perbandingan.

Hasil penapisan fitokimia serbuk simplisia dan pemeriksaan ekstrak menunjukkan adanya golongan senyawa flavonoida, saponin, tanin, glikosida dan steroida/triterpenoida. Hasil ekstraksi terhadap 600 g serbuk simplisia dengan menggunakan pelarut etilasetat 15 liter diperoleh ekstrak kental 168,5 g.

Hasil pemeriksaan air mata air menunjukkan adanya kalsium, magnesium, klorida, sulfat, sulfida dan fero


(51)

Hasil pemeriksaan krim yang dilakukan meliputi: Pemeriksaan homogenitas, pemeriksaan pH sediaan, pemeriksaan organoleptis dan pemeriksaan stabilitas fisis sediaan krim.

Hasil pemeriksaan homogenitas terlihat bahwa pengamatan mulai minggu pertama sampai minggu keenam masing-masing sediaan krim tetap homogen dan tidak terlihat adanya butir-butir kasar.

Hasil pemeriksaan pH terhadap krim A (dasar krim yang menggunakan air yang tidak mengandung ion), dan krim E (dasar krim yang menggunakan air yang mengandung ion) mulai dari minggu pertama hingga minggu keenam mengalami kenaikan menjadi sedikit basa. Hal ini disebabkan karena bahan-bahan yang digunakan sebagai dasar krim mengandung asam strearat dan trietanolamin yang bereaksi membentuk trietanolaminstearat yaitu suatu sabun yang bersifat basa lemah (Voigt, 1995). Terhadap krim B (krim non ion ekstrak senduduk 3%) mempunyai pH 7,3 pada minggu pertama agak stabil tetapi pada minggu ke 6 pH mengalami penurunan menjadi 6,8. Begitu juga dengan krim C (krim non ion ekstrak senduduk 5%) dan krim D (krim non ion ekstrak senduduk 7%) masing-masing mengalami penurunan pH yaitu krim C dari 7,0 menjadi 6,5 dan krim D dari 6,7 menjadi 6,1. Sama hal nya dengan krim yang menggunakan air yang mengandung ion yaitu pH krim F (krim ekstrak senduduk 3%) mempunyai pH 7,2 pada minggu pertama agak stabil tetapi pada minggu keenam pHnya turun

menjadi 6,8. Terhadap krim G (krim ekstrak senduduk 5%) dan krim H (krim ekstrak senduduk 7%) masing-masing mengalami penurunan pH yaitu krim G dari 6,9 menjadi 6,5 dan krim H dari 6,4 menjadi 6,1. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh peningkatan kadar etilasetat dan juga adanya kandungan dari ekstrak yang


(52)

bersifat asam yang dapat diamati dari semakin tingginya konsentrasi ekstrak maka pH semakin rendah.

Hasil pemeriksaan organoleptis, pada pemeriksaan penampilan dapat dilihat bahwa krim A dan krim E mempunyai penampilan setengah padat dan secara visual mempunyai konsistensi yang lunak, berwarna putih, tidak berbau dan tidak mengalami perubahan selama pengamatan 6 minggu. Demikian juga pada krim B dan krim F, tidak mengalami perubahan penampilan warna dan bau. Sedangkan pada krim C, D, G dan krim H mengalami perubahan penampilan pada minggu keempat, dimana konsistensinya menjadi agak lebih padat dari sebelumnya tetapi tidak mengalami perubahan warna dan bau. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh penguapan air dari sediaan pada saat penyimpanan selama 6 minggu. Selain itu juga semakin tinggi kadar ekstrak yang dikandung sediaan krim menyebabkan konsistensinya menjadi agak lebih padat hal ini kemungkinan disebabkan adanya kandungan ekstrak yang dapat menyebabkan sediaan krim menjadi agak lebih padat selama penyimpanan.

Hasil pemeriksaan stabilitas terhadap semua sediaan krim selama penyimpanan pada temperatur kamar, –4oC tetap stabil (tidak mengalami pemisahan), tetapi pada suhu 40oC, krim yang menggunakan air yang tidak mengandung ion yakni krim ekstrak senduduk krim B tetap stabil sampai minggu ke-6 sedangkan krim C mengalami pemisahan fase pada minggu ke-5, dan krim D mengalami pemisahan fase pada minggu ke-4. Krim yang menggunakan air yang mengandung ion (krim F dan krim G) mengalami pemisahan fase pada minggu ke- 4, krim H mengalami pemisahan fase pada minggu ke-1dan krim E pecah pada minggu ke-5.


(53)

Hasil pengujian efek sediaan krim terhadap luka bakar pada hewan percobaan dimana luka bakar yang dibuat adalah luka bakar derajat II dalam, ditunjukkan oleh adanya kerusakan yang mengenai hampir seluruh bagian dermis kulit disebabkan oleh panas. Perubahan diameter rata-rata luka bakar diukur sampai luka dinyatakan sembuh untuk masing-masing perlakuan. Dari data perubahan diameter luka bakar untuk masing-masing sediaan uji dihitung rata-rata perubahan diameter luka bakar dengan interval waktu pengukuran 1 hari. Dari data perubahan diameter luka bakar tersebut dapat dibuat grafik sebagai berikut.

Hasil uji efek luka bakar ekstrak etilasetat daun senduduk konsentrasi 3%, 5%, 7% dan kontrol pada sediaan krim yang menggunakan air yang tidak mengandung ion.

0 0.5 1 1.5 2 2.5

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26

Hari

D

iam

et

er

(

cm

)

Kontrol EEADS 3% EEADS 5% EEADS 7%

Gambar 3.1. Grafik diameter luka bakar rata-rata versus waktu (hari) pada

pemberian krim yang tidak menggunakan air yang mengandung ion Keterangan: EEDS = Ekstrak etilasetat daun senduduk


(54)

Dari grafik dapat dilihat bahwa kelompok kelinci yang paling cepat sembuh adalah kelompok kelinci yang diberi perlakuan krim C pada hari ke 19 diameter rata-rata luka bakar sudah mendekati 0 (sembuh). Kelompok kelinci yang diberi perlakuan krim D diameter rata-rata luka bakar mendekati nol dalam waktu 21 hari. Kelompok kelinci yang diberi perlakuan krim B rata-rata hampir sembuh pada hari ke-23, Sedangkan kelompok kelinci yang diberi perlakuan krim A (kontrol) rata-rata pada hari ke 26 sembuh.

Hasil uji efek luka bakar ekstrak etilasetat daun senduduk dengan konsentrasi 3%, 5%, 7% dan kontrol pada sediaan krim yang menggunakan air yang mengandung ion.

0 0.5 1 1.5 2 2.5

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26

Hari

D

iam

et

er

(

cm

)

Kontrol I EEDSI 3% EEDSI 5% EEDSI 7%

Gambar 3.1. Grafik diameter luka bakar rata-rata versus waktu (hari) pada

pemberian krim yang menggunakan air yang mengandung ion Keterangan: EEDSI = Ekstrak etilasetat daun senduduk ion


(55)

Dari grafik dapat dilihat bahwa kelompok kelinci yang paling cepat sembuh adalah kelompok kelinci yang diberi perlakuan krim G pada hari ke-16 sudah mendekati nol (sembuh). Kelompok kelinci yang diberi perlakuan krim H diameter rata-rata luka bakar mendekati nol dalam waktu 19 hari, kelompok kelinci yang diberi perlakuan krim F rata-rata hampir sembuh pada hari ke-20, sedangkan kelompok kelinci yang diberi perlakuan krim E rata-rata pada hari ke-23 sembuh.

Dari semua sediaan, bila dibandingkan antara krim yang menggunakan air yang mengandung ion dengan krim yang tidak menggunakan air yang mengandung ion maka, efek penyembuhan luka bakar lebih cepat pada krim yang menggunakan air yang mengandung ion yaitu krim G (ekstrak etilasetat 5%) sembuh dalam waktu 16 hari, sedangkan krim yang menggunakan air yang tidak mengandung ion yaitu krim C (ekstrak etilasetat 5%) sembuh dalam waktu 19 hari. tapi bila ditinjau dari stabilitas bahwa krim yang menggunakan air yang mengandung ion yaitu krim G hanya dapat stabil selama 3 minggu, sedangkan krim yang tidak mengandung ion yaitu krim C stabil selama 4 minggu.

Efek penyembuhan luka bakar dari krim yang menggunakan air yang mengandung ion lebih cepat daripada krim yang menggunakan air yang tidak mengandung ion. Hal ini disebabkan dari struktur air yang ada pada krim yaitu struktur air biasa (1 molekul air) dan struktur air cluster (beberapa molekul air). Senyawa yang terekstraksi bermacam macam sifatnya yaitu ada yang polar dan ada yang non polar. Senyawa polar akan mengelilingi satu molekul air dan senyawa yang non polar akan mengelilingi beberapa molekul air. Secara umum zat aktif yang bersifat hidrofob dominan mengambil yang hidrofod. Pada krim


(56)

yaitu asam stearat. Keberadaan ion dalam air akan memecah molekul-molekul air maka mempercepat pelepasan obat dari krim sehingga mempercepat penyembuhan luka. Ini tidak bisa dikatakan sediaan yang baik karena keberadaan ion-ion dapat merusak stabilitas krim (Florence att wood, 1988).

Hasil uji skrining fitokimia menunjukkan bahwa daun senduduk mengandung tanin, saponin, flavonoida, glikosida, dan steroid. Tanin berfungsi sebagai adstringen yang dapat menyebabkan penciutan pori-pori kulit, membentuk jaringan baru, anti bakteri, memperkeras kulit, menghentikan eksudat dan perdarahan yang ringan sehingga mampu menutup luka dan mencegah perdarahan yang biasa timbul pada luka (Anief, 1997).

Saponin memiliki kemampuan sebagai pembersih dan antiseptik yang berfungsi atau membunuh pertumbuhan mikroorganisme, flavonoid bersifat sebagai anti inflamasi, anti alergi dan anti oksidan. Steroid sebagai anti radang yang mampu mencegah kekakuan dan nyeri (Tan Hoan Tjay & Kirana, 2002).

Proses penyembuhan luka terdiri dari 3 fase yaitu fase inflamasi, fase proliferasi dan fase penyudahan. Fase inflamasi yang ditandai dengan adanya pembengkakan, fase proliferasi ditandai dengan adanya pembentukan eksudat dan fibroblas yang terlihat seperti kerak pada bagian atas luka, dan fase penyudahan yang ditandai dengan terbentuknya jaringan baru yang berarti luka sudah mengecil atau sembuh (Anonim

Menurut Moenajat (2003): Luka bakar derajat II yang dalam, membutuhkan waktu penyembuhan yang lama. Biasanya penyembuhan terjadi dalam waktu lebih dari satu bulan. Pada penelitian ini dapat diketahui bahwa krim senduduk dapat mempercepat penyembuhan luka bakar. Krim yang paling baik


(57)

adalah krim yang menggunakan air yang mengandung ion yaitu krim G (krim ekstrak senduduk 5%).

Metode analisa data yang digunakan adalah ANAVA (analisis variansi) satu arah. Data perubahan diameter luka bakar yang diperoleh diolah dengan ANAVA menggunakan statistical program service solution (SPSS). Analisis dilakukan terhadap hasil perubahan diameter luka bakar dari 0 hari hingga 26 hari setelah terbentuknya luka bakar.

Analisis variansi terhadap perubahan diameter luka bakar digunakan untuk melihat ada tidaknya perbedaan pengaruh krim uji yakni krim yang menggunakan air yang tidak mengandung ion dengan krim yang menggunakan air yang mengandung ion dengan ekstrak etilasetat daun senduduk dan kontrol.

Data perubahan diameter luka bakar dilihat perbedaan pengurangan diameter luka bakar, yang diolah dengan menggunakan program SPSS, sehingga dapat dilihat perubahan secara significant diameter luka bakar setiap hari.

Pada hari pertama hingga hari kedua belum terlihat perbedaan secara signifikan, tapi pada hari ke-3 sudah terlihat perubahan secara signifikan dengan tingkat signifikan 0.009 dan pada hari ke-4 semakin terlihat dengan tingkat signifikan 0.000 sampai hari ke-25.

Dari hasil perhitungan ANAVA efek sediaan krim dari hari ke-3 sampai hari ke-26 terdapat perbedaan yang signifikan secara statistika F hitung > Ftabel (α≥ 0,05). Ini menunjukkan bahwa sediaan mempunyai efek mempercepat penyembuhan luka bakar.

Untuk melihat kelompok perlakuan mana yang memiliki efek yang sama atau berbeda dan efek terkecil sampai dengan efek yang terbesar antara satu


(58)

dengan yang lainnya sehingga diperoleh susunan kelompok yang berbeda

dilakukan uji Duncan. Pada uji Duncan ini, dilakukan untuk semua perlakuan dari hari ke-1 sampai hari ke-26.

Uji Duncan untuk hari ke-1 dan hari ke-2 sama, tidak ada perbedaan antara krim yang menggunakan air yang tidak mengandung ion dengan krim yang

menggunakan air yang mengandung ion. Krim A menunjukkan tidak ada

perbedaan yang bermakna dengan krim E, krim B, krim C, krim D, krim F, krim G, dan krim H. Hal ini berarti masing-masing sediaan uji belum menimbulkan efek yang nyata terhadap perubahan luka bakar.

Uji Duncan untuk hari ke-3, krim G, krim H, krim C dan krim F telah menunjukkan perbedaan yang bermakna terhadap krim E dan krim A, tetapi tidak berbeda secara significan dengan krim D dan krim B. Hal ini menunjukkan efek yang paling baik dari sediaan uji adalah krim G.

Uji duncan untuk hari ke-4, krim G menjukkan perbedaan yang bermakna terhadap krim F, krim D, krim E, dan krim A, tetapi tidak berbeda secara

significan dengan krim C, krim H, dan krim B, sedangkan untuk krim C, krim H, krim B, berbeda secara nyata dengan krim E dan lrim A, tetapi tidak berbeda secara significan dengan krim F dan krim D. Krim A juga menunjukkan

perbedaan secara significan dengan krim F dan krim D. Hal ini menunjukkan efek krim G lebih besar daripada krim F, krim E, krim D dan krim A.

Uji duncan hari ke-5, ke-6 dan ke-7 krim C menunjukkan perbedaan yang bermakna dengan krim D, krim B, krim F, krim E, dan krim A, tetapi tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna dengan krim G dan krim H, sedangkan


(59)

krim H dan krim G berbeda secara significan dengan krim B, krim F, krim E dan krim A, tetapi krim D tidak berbeda secara significan dengan krim B dan krim F tetapi berbeda secara significan dengan krim E dan krim A.

Uji Duncan untuk hari ke-8, ke-9, dan ke-10 krim C menunjukkan perbedaan yang bermakna dengan krim D, krim G, krim B, krim F, krim E, dan krim A, tetapi tidak berbeda secara nyata dengan krim H, sedangkan krim H, krim D, dan krim G berbeda secara significan dengan krim B, krim F, krim E, dan krim A. Krim B dan krim F berbeda secara nyata dengan krim E dan krim A.

Uji Duncan untuk hari ke-11, ke-12, dan ke-13 krim C menunjukkan perbedaan yang bermakna dengan krim D, krim F, krim B, krim E, dan krim A, tetapi tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna dengan krim H dan krim G. untuk krim H dan krim D juga berbeda secara significan dengan krim F, krim B, krim E, dan krim A. Untuk krim H, krim D berbeda secara nyata dengan krim F, krim B, krim E, dan krim A.

Uji Duncan untuk hari ke-14 dan ke-15 tidak ada perbedaan yang

bermakna antara krim G, krim C dan krim H tetapi menunjukkan perbedaan yang bermakna dengan krim D, krim F, krim B, krim E dan krim A, sedangkan krim D berbeda secara significan dengan krim F, krim B, krim E, dan krim A. Begitu juga dengan krim F, krim B, dan krim E tidak ada perbedaan yang significan tetapi berbeda secara nyata dengan krim A.

Uji Duncan pada hari ke-16 dan ke-17 krim G sudah menunjukkan

kesembuhan tetapi menunjukkan perbedaan yang bermakna dengan krim C, krim H, krim D, krim F, krim B, krim E, dan krim A, sedangkan krim C tidak


(60)

menunjukkan perbedaan yang significan dengan krim H, tetapi berbeda secara nyata dengan krim D, krim F, krim B, krim E, krim A. Sama hal nya dengan krim B dan krim E tidak menunjukkan perbedaan yang significan tetapi berbeda secara nyata dengan krim A.

Uji Duncan pada hari ke-18 dan ke-19 tidak terlihat perbedaan yang bemakna antara krim G, krim C, dan krim H. Hal ini berarti ketiga sediaan uji memberikan efek yang sama dalam menyembuhkan luka bakar, tetapi

menunjukkan perbedaan yang significan dengan krim D, krim F, krim E, krim B dan krim A. Krim D tidak ada perbedaan yang nyata dengan krim F, tetapi berbeda secara nyata dengan krim E, krim B dan krim A.

Uji Duncan pada hari ke-20, ke-21 dan ke-22 hampir semua sediaan uji sudah menunjukkan kesembuhan yakni krim F, krim G, krim H, krim C, dan krim D, tetapi berbeda secara significan dengan krim E, krim B dan krim A.

Uji Duncan pada hari ke-23, ke-24, dan ke-25 semua krim sudah menunjukkan kesembuhan kecuali krim A. Hal ini berarti sediaan uji mempunyai efek mempercepat penyembuhan luka bakar.


(61)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan

Hasil pemeriksaan karakteristik simplisia terhadap serbuk daun senduduk memenuhi persyaratan monografi yang tertera pada MMI, 1985 yaitu kadar air sebesar 5,66%; kadar sari larut dalam air 15,80%; kadar abu total 5,81%; dan kadar abu tidak larut dalam asam 1,6%.

Hasil penapisan fitokimia serbuk dan pemeriksaan ekstrak daun senduduk menunjukkan adanya flavonoida, saponin, tanin, glikosida dan steroida/ triterpenoida, hasil ini sesuai dengan literatur (MMI, 1985).

Ekstrak daun senduduk dapat dibuat menjadi sediaan krim. Hasil uji luka bakar menunjukkan bahwa formula yang paling efektif adalah krim yang

menggunakan air yang mengandung ion yaitu krim G (krim ekstrak 5%) mampu menyembuhkan luka bakar setelah digunakan selama 16 hari.

Hasil uji stabilitas menunjukkan bahwa formula yang paling stabil adalah krim yang tidak menggunakan air yang mengandung ion yaitu krim B stabil selama 6 minggu.

4.2. Saran

Disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk mengembangkan sediaan sehingga diperoleh sediaan yang mempunyai efek pengobatan dan stabilitas yang lebih baik.


(1)

EEDS Non Ion 5% 6 .52067

EEDS Ion 7% 6 .55933

EEDS Non Ion 7% 6 .73000

EEADS Ion 3% 6 1.01617

EEDS Non Ion 3% 6 1.10533

Kontrol EEDS Ion 6 1.15683

Kontrol EEDS Non Ion 6 1.44967

Sig. .487 1.000 .085 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.

hari15 Duncana

perlakuan N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3 4

EEADS Ion 5% 6 .27750

EEDS Non Ion 5% 6 .36883

EEDS Ion 7% 6 .41367

EEDS Non Ion 7% 6 .62133

EEADS Ion 3% 6 .88583

EEDS Non Ion 3% 6 1.02017

Kontrol EEDS Ion 6 1.03817

Kontrol EEDS Non Ion 6 1.37167

Sig. .103 1.000 .069 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.

hari16 Duncana

perlakuan N

Subset for alpha = 0.05


(2)

EEADS Ion 5% 6 .00000

EEDS Non Ion 5% 6 .26517

EEDS Ion 7% 6 .27050

EEDS Non Ion 7% 6 .48233

EEADS Ion 3% 6 .69617

EEDS Non Ion 3% 6 .89883

Kontrol EEDS Ion 6 .90183

Kontrol EEDS Non Ion 6 1.28050

Sig. 1.000 .940 1.000 1.000 .966 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.

hari17 Duncana

perlakuan N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3 4 5 6

EEADS Ion 5% 6 .00000

EEDS Non Ion 5% 6 .16717

EEDS Ion 7% 6 .17467

EEDS Non Ion 7% 6 .35083

EEADS Ion 3% 6 .53033

Kontrol EEDS Ion 6 .80083

EEDS Non Ion 3% 6 .82400

Kontrol EEDS Non Ion 6 1.17583

Sig. 1.000 .922 1.000 1.000 .764 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.

hari18 Duncana

perlakuan N

Subset for alpha = 0.05


(3)

EEDS Ion 7% 6 .09117

EEDS Non Ion 7% 6 .28550

EEADS Ion 3% 6 .32583

Kontrol EEDS Ion 6 .67350

EEDS Non Ion 3% 6 .69483

Kontrol EEDS Non Ion 6 1.07817

Sig. .270 .602 .782 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.

hari19 Duncana

perlakuan N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3 4

EEADS Ion 5% 6 .00000

EEDS Ion 7% 6 .00000

EEDS Non Ion 5% 6 .00000

EEADS Ion 3% 6 .18733

EEDS Non Ion 7% 6 .23167

EEDS Non Ion 3% 6 .54433

Kontrol EEDS Ion 6 .56867

Kontrol EEDS Non Ion 6 .88050

Sig. 1.000 .507 .715 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.

hari20 Duncana

perlakuan N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3


(4)

EEADS Ion 5% 6 .00000

EEDS Ion 7% 6 .00000

EEDS Non Ion 5% 6 .00000

EEDS Non Ion 7% 6 .11433

Kontrol EEDS Ion 6 .40667

EEDS Non Ion 3% 6 .42117

Kontrol EEDS Non Ion 6 .71967

Sig. .092 .808 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.

hari21 Duncana

perlakuan N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3

EEADS Ion 3% 6 .00000

EEADS Ion 5% 6 .00000

EEDS Ion 7% 6 .00000

EEDS Non Ion 5% 6 .00000

EEDS Non Ion 7% 6 .00000

EEDS Non Ion 3% 6 .28467

Kontrol EEDS Ion 6 .28867

Kontrol EEDS Non Ion 6 .61667

Sig. 1.000 .931 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.

hari22 Duncana

perlakuan N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3


(5)

EEDS Ion 7% 6 .00000

EEDS Non Ion 5% 6 .00000

EEDS Non Ion 7% 6 .00000

EEDS Non Ion 3% 6 .17000

Kontrol EEDS Ion 6 .18217

Kontrol EEDS Non Ion 6 .50767

Sig. 1.000 .732 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.

hari23 Duncana

perlakuan N

Subset for alpha = 0.05

1 2

Kontrol EEDS Ion 6 .00000

EEADS Ion 3% 6 .00000

EEADS Ion 5% 6 .00000

EEDS Ion 7% 6 .00000

EEDS Non Ion 3% 6 .00000

EEDS Non Ion 5% 6 .00000

EEDS Non Ion 7% 6 .00000

Kontrol EEDS Non Ion 6 .38750

Sig. 1.000 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.

hari24 Duncana

perlakuan N

Subset for alpha = 0.05

1 2

Kontrol EEDS Ion 6 .00000


(6)

EEADS Ion 5% 6 .00000

EEDS Ion 7% 6 .00000

EEDS Non Ion 3% 6 .00000

EEDS Non Ion 5% 6 .00000

EEDS Non Ion 7% 6 .00000

Kontrol EEDS Non Ion 6 .27517

Sig. 1.000 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.

hari25 Duncana

perlakuan N

Subset for alpha = 0.05

1 2

Kontrol EEDS Ion 6 .00000

EEADS Ion 3% 6 .00000

EEADS Ion 5% 6 .00000

EEDS Ion 7% 6 .00000

EEDS Non Ion 3% 6 .00000

EEDS Non Ion 5% 6 .00000

EEDS Non Ion 7% 6 .00000

Kontrol EEDS Non Ion 6 .18950

Sig. 1.000 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.