Fisiologi Tidur TINJAUAN PUSTAKA

2.6 Obstructive Sleep Apnea OSA

Sindrom apnea terbagi menjadi tiga, yaitu tipe sentral, tipe obstruktif, dan tipe campuran. Apnea tipe obstruktif ini disebut OSA Obstructive Sleep Apnea. Obstructive Sleep Apnea adalah tipe apnea yang paling sering terjadi yang disebabkan oleh adanya kolaps pada jalan aliran udara di saluran pernapasan. Mekanisme dan penyebab kolaps ini multifaktorial. 16, 18 Astuti dkk. memberikan pernyataan bahwa Bergeron et al. dalam Jonson C et al. mengemukakan bahwa inflamasi jalan napas dan inflamasi sistemik menyebabkan OSA. Faktor-faktor risiko OSA antara lain berat badan berlebih, lingkar leher lebih besar, asma, dan gangguan anatomis pada saluran pernapasan atas. Gangguan anatomis tersebut yang paling sering antara lain adalah rinitis, deviasi septum, sinusitis, pembesaran adenoid, hipertrofi konka, dan uvula memanjang. 3, 18 Dua gejala kardinal OSA adalah snoring mendengkur dan EDS. Snoring, EDS, dan OSA sering dikaitkan. Sekitar 26 sampai 32 orang dewasa dengan OSA memiliki risiko EDS. Prevalensi ini diperkirakan masih akan meningkat. Hubungan keduanya mungkin dapat dilihat dari estimasi heritabilitas berdasarkan kemungkinan faktor risiko genetik yaitu untuk EDS sebesar 40 dan snoring sebesar 23. Selain itu, karena EDS dan OSA mungkin sama-sama mempengaruhi kondisi kesehatan, baik fisik maupun mental, maka EDS dan OSA dapat mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. 6, 9

2.7 Excessive Daytime Sleepiness EDS

Definisi dan klasifikasi Excessive Daytime Sleepiness adalah suatu keadaan mengantuk pada siang hari. Berdasarkan klasifikasi internasional mengenai gangguan tidur, EDS diartikan sebagai suatu kondisi mengantuk pada beberapa situasi yang bersifat subjektif. Perlu dibedakan pula EDS dengan perasaan kurang energi, keletihan, perasaan mengantuk, atau malaise. 19 Sulit untuk menentukan derajat keparahan EDS. Excessive Daytime Sleepiness derajat ringan ditandai dengan mengantuk pada kondisi istirahat atau kondisi dibutuhkannya perhatian kecil yang hanya menyebabkan gangguan fungsi sosial ringan. Excessive Daytime Sleepiness derajat sedang terjadi sehari-hari selama aktivitas fisik yang sangat ringan atau saat kondisi dibutuhkan perhatian sedang. Pada EDS yang parah, episode mengantuk terjadi sehari-hari di saat kondisi yang membutuhkan perhatian ringan sampai sedang yang mengganggu fungsi sosial dan fungsi kerja secara nyata. 19 Gejala dan faktor risiko EDS Excessive Daytime Sleepiness dapat disebabkan oleh beberapa hal. Beberapa penyebab yang sudah diketahui adalah kondisi apnea saat tidur, sindrom katapleksi atau narcolepsy, ganggguan psikiatrik atau psikofisiologik, pengaruh obat, kondisi metabolik toksik, dan gangguan intermiten seperti saat menstruasi. 20 Sindrom narcolepsy ditandai dengan EDS dan gejala abnormal tidur REM. Excessive Daytime Sleepiness biasanya merupakan gejala pertama dari empat gejala narcolepsy. Rasa mengantuk sepanjang hari terjadi seringnya setelah makan atau pada siang hari. Riwayat katapleksi adalah gambaran khas dari sindrom ini. Serangan katapleksi ditandai dengan adanya kehilangan tonus otot, rahang jatuh, kepala jatuh, wajah mengendur atau turun, lutut dan genggaman tangan melemah, dan paralisis tiba-tiba seluruh otot skeletal dengan kolaps postural yang lengkap. 20 Rasa mengantuk berlebihan dapat juga transien ketika seseorang sedang menghadapi hal-hal yang membuatnya stress atau tertekan. Keadaan tersebut ditandai dengan gangguan pola tidur seperti kesulitan bangun tidur sehingga menghabiskan banyak waktu di tempat tidur atau sering tidur sebentar saat siang hari. Selain gangguan psikologis, sejumlah obat juga dapat menimbulkan EDS. Obat-obatan tersebut memiliki efek depresif terhadap sistem saraf pusat. Komplikasi dari penggunaan obat-obatan tersebut adalah iritabilitas, perubahan mood, dan paranoid. 20 Banyak kondisi medis, toksik, atau lingkungan yang berkaitan dengan EDS. Hipersomnolensia sering dihubungkan dengan gangguan metabolik dan endokrin seperti hipotiroidisme, diabetes, hipoglikemia, uremia, gagal hati, dan hiperkapnia sekunder akibat penyakit paru kronik. Gangguan pada sistem saraf