Ritual Ibadah Praktek Keberagamaan dan Implikasinya dalam Kinerja Para Pejabat

Negara memberikan keleluasaan kepada warganya dalam menentukan agama apa yang akan dipeluk. Pegawai negeri sipil, sebagai salah satu komponen pemerintah, diharapkan dapat memberikan tenaga dan pikirannya kepada pemerintah dengan bekerja sesuai dengan bidang dan jabatan masing-masing. Hal ini mengingat mereka mendapatkan gaji dari pemerintah yang sumbernya berasal dari beragai pajak dari rakyat. Sebagai aparatur Negara, PNS juga diharuskan memeluk suatu agama. Mereka tidak diperkenankan untuk menjadi atheis tidak percaya Tuhan, karena hal tersebut bertentangan dengan salah satu bunyi dari Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Mahas Esa. Saat ditanyakan kepada para informan mengenai keyakinan mereka terhadap agama, seluruh informan memberikan jawaban bahwa mereka yakin terhadap agama. Tidak ada seorang informan pun yang tidak yakin terhadap keberadaan agama. Hal ini menunjukkan bahwa bagi PNS, agama diyakini sebagai sesuatu yang datang dari Tuhan dengan membawa ajaran-ajaran yang dapat menuntun manusia menjalani kehidupan di dunia dengan semestinya. Jika seseorang mengamalkan ajaran-ajaran yang terdapat dalam agama, hidupnya akan lebih tenang dan tenteram dibanding mereka yang jauh dari agama.

2. Ritual Ibadah

Sebagai pegawai yang melayani masyarakat, seorang pejabat birokrasi hendaknya memberikan yang terbaik bagi masyarakat. Selain itu, para pejabat birokrasi juga dituntut untuk memberikan suri tauladan bagi masyarakat, baik dari segi sosial kemasyarakatan maupun dari segi agama. Untuk menunjang keberagamaan para pejabat di lingkungan Suku Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi, disediakan sebuah masjid yang cukup besar. Para pejabat dianjurkan untuk melaksanakan ibadah shalat wajib di masjid tersebut. Namun jika berhalangan karena kesibukan dalam melayani masyarakat, di setiap lantai di gedung wali kota disediakan mushallah. Demikian juga dengan lantai 9 tempat kantor Sudin Dikmenti Jakarta Barat juga terdapat mushalla untuk melaksanakan ibadah sehari-hari. Berkenaan dengan ritual ibadah, dari informan yang penulis wawancarai ada yang berpendapat bahwa mereka belum bisa melaksanakan ritual ibadah sepenuhnya. Seperti yang diungkapkan oleh informan A: “Dalam melakukan ritual ibadah saya belum sepenuhnya melaksanakannya sesuai dengan yang diajarkan dalam agama. Terkadang ada rasa malas saat hendak melaksanakan ibadah tersebut.” 34 Pendapat ini sejalan dengan pendapat Glock dan Stark yang mengukur tingkat religiusitas seseorang salah satunya adalah dengan melihat keterlibatan tingkat ritual, yaitu tingkat sejauh mana seseorang mengerjakan kewajiban ritual agama mereka. Sedangkan informan EW mengaku senantiasa melaksanakan ritual ibadah meskipun dalam kondisi sibuk melayani masyarakat. Seperti yang diungkapkannya kepada penulis: “Ya, sebisa mungkin saya menyempatkan diri untuk melaksanakan ibadah, khususnya shalat lima waktu. Hal ini karena menurut saya, ibadah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seorang hamba 34 Wawancara pribadi dengan A, Jakarta, tanggal 13 Juli 2007 Allah yang taat. Meskipun saya sibuk dalam melayani masyarakat, tapi jika saat shalat tiba saya melaksanakannya. Apalagi di lantai tempat saya bekerja juga disediakan mushalla.” 35 Pernyataan di atas menunjukkan salah satu sikap pegawai Suku Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi Jakarta Barat dalam melaksanakan ibadah, dalam hal ini shalat lima waktu. Pegawai tersebut menganggap bahwa kewajiban salat tidak bisa dianggap ringan. Ia menganggap bahwa kewiban tersebut hendaknya sesegera mungkin ditunaikan, meskipun dalam kondisi yang sibuk dalam melayani masyarakat. Hal yang hampir diungkapkan oleh informan IS. Ia menjelaskan bahwa jika tidak sempat melaksanakan shalat, khususnya shalat Asar di kantor, ia melaksanakannya di rumah. Seperti yang diungkapkannya: “Ya. Saat kerja kita kan hanya melaksanakan shalat Dzuhur dan Asar. Shalat Dzuhur bertepatan dengan waktu istirahat makan siang. Jadi tidak ada kendala dalam melaksanakannya. Paling saat shalat Asar saja saya akan telat. Kadang kalau tidak sempat di kantor saya melaksanakannya di rumah. Kebetulan tempat tinggal saya kan tidak terlalu jauh dari tempat kerja. Tapi kalau waktu memungkinkan saya laksanakan di kantor, biar lebih afdhal.” 36 Adapun informan J mengaku bahwa ia sering tidak tepat waktu dalam melaksanakan ritual ibadah karena mengedepankan pelayanan terhadap masyarakat. Namun jika berada di rumah, ia mengaku melaksanakan ibadah, khususnya shalat lima waktu tepat pada waktunya. Seperti yang diungkapkan J: “Saya berusaha untuk melaksanakannya tepat waktu. Kalaupun tidak tepat waktu, ya saya kerjakan sendiri. Kalau di rumah memang lebih santai, karena tidak ada tuntutan kerja. Paling agak berat saat di kantor. Meskpun waktu sudah menunjukkan jam istirahat, tapi kalau ada masyarakat yang harus saya layani saat itu juga, saya lebih sering mendahulukan kepentingan masyarakat sehingga saya melaksanakan shalat Dzuhur agak telat. Hal yang sama juga saat pelaksanaan shalat Asar.” 37 35 Wawancara pribadi dengan EW, Jakarta, tanggal 6 Juli 2007 36 Wawancara pribadi dengan IS, Jakarta, tanggal 6 Juli 2007 37 Wawancara pribadi dengan J, Jakarta, tanggal 6 Juli 2007 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa para pejabat di lingkungan Suku Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi cukup rajin dalam menjalankan ritual ibadah meskipun berapa di antaranya sering telat karena melayani masyarakat.

3. Pengalaman Keagamaan