berkeyakinan kuat tanpa benar-benar memahami agamanya atau kepercayaan bisa kuat atas dasar pengetahuan yang amat sedikit.
e. Dimensi konsekuensi, konsekuensi komitmen agama berlainan dari
keempat dimensi di atas. Dimensi ini mengacu kepada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktek, pengalaman, dan
pengetahuan seseorang dari hari ke hari. Istilah “kerja” dalam pengertian teologis digunakan disini walaupun agama banyak
menggariskan bagaimana pemeluknya seharusnya berpikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari tidak sepenuhnya jelas sebatas
konsekuensi agama merupakan bagian dari komitmen keagamaan semata-mata berasal dari agama.
4. Pengertian Birokrasi
Dalam perbendaharaan bahasa abad ke-18, “biro” “bureau” yang juga berarti meja tulis, selalu diartikan sebagai suatu tempat yang di sana para
pejabat bekerja. Tambahan sisipan yang diturunkan dari kata Yunani yang berarti “aturan” rule, menghasilkan suatu istilah yang memiliki suatu
kekuatas dahsyat menembus budaya-budaya lain. Konsep Yunani tentang pemerintahan telah lama diserap ke dalam bahasa-bahasa besar Eropa. Isitlah
baru dengan amat mudah mengalami transliterasi sama sebagaimana “demokrasi” atau “aristokrasi”. Dengan cepat kata tersebut menjadi bagian
dari perbendaharaan istilah politik internasional. Bureucratie dalam bahasa Perancis segera menjadi Bureaukratie dalam bahasa Jerman yang akhirnya
menjadi Burokratie, burocrazia dalam bahasa Itali dan “burecrazy” dalam
bahasa Inggris. Selanjutnya, analog dengan kata turunan “democracy”, maka “bureucracy” dapat diturunkan menjadi “bureucrat”, “bureucratic”,
bureucratism”, “bureucratist” dan “bureucratization” “birokratisasi”.
12
Sedangkan dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, birokrasi diartikan sebagai: 1. Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah
karena telah berpegang pada hierarki dan jenjang jabatan; 2. Cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tata aturan adat dan
sebagainya yang banyak liku-likunya dan sebagainya.
13
Staf administrasi birokratis, birokrasi dalam bentuknya yang paling rasional, terlebih dahulu mensyaratkan proposisi-proposisi menurut legitimasi
dan otoritas, serta memiliki ciri tertentu sebagai berikut: 1.
Para anggota staf secara pribadi bebas, hanya menjalankan tugas-tugas impersonal jabatan mereka.
2. Ada hierarki jabatan yang jelas.
3. Fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara tegas.
4. Para pejabat diangkat berdasarkan suatu kontrak.
5. Mereka dipilih berdasarkan kualifikasi profesional, idealnya
didasarkan suatu diploma ijazah yang diperoleh melalui ujian. 6.
Mereka memiliki gaji dan biasanya ada juga hak-hak pensiun. Gaji berjenjang menurut kedudukan dalam hierarki. Pejabat dapat selalu
menempati posnya, dan dalam keadaan-keadaan tertentu ia juga dapat diberhentikan.
12
Martin Albrow, Birokrasi, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1996, Cet. ke-3, hal. 2- 3
13
W.J.S. Poerwodarminto, Kamus Bahasa Indonesia II, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, 1983, hal. 120
7. Pos jabatan adalah lapangan kerjanya sendiri atau lapangan kerja
pokoknya. 8.
Terdapat suatu struktur karir, dan promosi dimungkinkan berdasarkan senioritas maupun keahlian merit dan menurut pertimbangan
keunggulan superior. 9.
Pejabat mungkin tidak sesuai baik dengan posnya maupun dengan sumber-sumber yang tersedia di pos tersebut.
10. Ia tunduk pada sistem disipliner dan kontrol yang seragam.
Kesepuluh ciri birokrasi yang ideal, murni atau paling rasional yang diperkenalkan oleh Max Weber ini merupakan suatu jenis staf administrasi
yang seringkali diacukan pada tout court sebutan pasangannya sebagai “birokrasi”. Tidak diragukan lagi, masalah tersebut merupakan satu-satunya
pernyataan terpenting dalam ilmu-ilmu sosial, yang pengaruhnya sangat besar.
14
B. Birokrasi Ideal Max Weber