Perkembangan Impor komoditas Keramik dari Beberapa Aspek 1. Aspek Pasar

lebih murah. Dengan strategi harga tersebut produk keramik impor mendapat posisi yang cukup kuat dipasar dalam negeri. Hal itulah yang dianggap para produsen sangat merugikan mereka, karena mempengaruhi sistem perdagangan didalam negeri dan menyebabkan persaingan yang tidak sehat antar sesama produsen lokal dalam mengimbangi harga produk keramik impor. Bagi keramik tableware TW yang lebih terkena dampak lonjakan impor ini, adanya produk keramik impor sangat merugikan. Pada tahun 1999 nilai persentase impor dalam menyerap pasar domestik hanya sebesar 46.9 persen kemudian meningkat pada tahun 2000 menjadi sebesar 65.7 persen. Kemudian pada tahun 2001 persentase tersebut menurun menjadi sebesar 48.3 persen akan tetapi pada tahun 2003 meningkat tajam menjadi sebesar 70.7 persen. Hal tersebut juga terjadi pada keramik saniter dan keramik lantai. Tabel 11. Persentase Total Impor Nasional Terhadap Kebutuhan Domestik. Tahun Keramik Lantai Keramik Tableware Keramik Saniter 2000 0.5 65.7 20.0 2001 0.6 48.3 4.7 2002 1.3 72.4 3.3 2003 2.9 73.9 6.5 2004 5.8 81.0 15.6 2005 November 5.3 68.5 13.8 Sumber : ASAKI 2000-2005. Dari persentase tersebut menunjukan bahwa keramik impor tersebut mampu menyerap kebutuhan domestik. Hal ini terjadi karena dari keseluruhan keramik impor yang masuk ke Indonesia terdapat beberapa keramik yang masuk ke Indonesia dengan cara yang ilegal. Selain itu beberapa produk keramik impor memiliki harga lebih murah dibandingkan dengan harga keramik domestik. Bagi konsumen menengah bawah, dalam memilih produk keramik pertimbangan utamanya adalah masalah harga kemudian kualitas. Selama peluang pasar dalam negeri tetap terbuka, masih ada harapan bagi produsen dan industri keramik Indonesia untuk bisa menjadi ‘tuan rumah’ di negaranya sendiri.

5.3.2. Aspek Harga

Produk-produk keramik impor khususnya dari China memiliki daya saing dari segi harga, sehingga produsen lokal harus bersaing untuk mengimbangi harga keramik impor tersebut. Untuk keramik tableware TW dan keramik saniter terjadi perbedaan harga yang cukup besar antara keramik buatan lokal dengan keramik impor sehingga daya saing produk lokal dari segi harga cukup lemah. Produk keramik impor yang merugikan ini terutama berasal dari impor ilegal. Pada tahun 2000 impor keramik TW masih dapat diimbangi oleh produk lokal karena dikategorikan sebagai barang mewah sehingga dikenai Pajak Penjualan Barang Mewah PPn-BM sebesar 40 persen. Akan tetapi setelah pajak tersebut tidak diberlakukan terjadi peningkatan volume impor keramik TW. Sedangkan untuk keramik lantai, harga keramik lantai dari China sebagai pesaing utama diatas Rp 50000meter. Dimana harga tersebut berada diatas harga keramik lantai domestik, sehingga posisi keramik lantai Indonesia masih aman. Penentuan harga dalam industri keramik lantai dapat ditentukan oleh masing-masing pabrik dengan melihat biaya produksi yang telah dikeluarkan. Harga keramik lantai paling murah di dalam negeri yaitu sekitar Rp 20000 untuk jenis keramik polos dengan ukuran 30 X 30 cm, sedangkan untuk harga atas harga tertinggi tidak dibatasi. Penentuan harga di ASAKI dilakukan satu bulan sekali pada saat rapat bulanan. Harga keramik lantai mengikuti hukum penawaran dan permintaan yaitu harga akan turun jika permintaan sedang sedikit begitu juga sebaliknya. Seperti pada Desember 2004 hingga Februari 2005 dimana harga keramik lantai saat itu naik hingga 20 persen. Harga produk lokal yang lebih mahal dibandingkan dengan produk impor dari China disebabkan karena struktur biaya di Indonesia masih tinggi dibanding dengan negara lain. Struktur biaya yang tinggi disebabkan oleh biaya produksi yang masih relatif besar. Pemicunya adalah kenaikan harga BBM yang diikuti oleh kenaikan biaya transportasi dan upah tenaga kerja. Besarnya biaya produksi juga disebabkan masih banyaknya bahan baku yang harus diimpor dari negara lain. Peraturan jam kerja lembur tenaga kerja juga memicu besarnya biaya produksi.

5.3.3. Aspek Persaingan

Dengan masuknya produk keramik impor dipasar domestik, berarti semakin ketat persaingan bagi para produsen, terlebih lagi dalam mengimbangi harga beberapa produk impor yang relatif lebih rendah. Salah satu upaya pemerintah untuk mengatasi terjadinya persaingan yang tidak sehat yaitu dengan menetapkan kebijakan Tarif Bea Masuk Indonesia TBMI. Pada awalnya sebelum tahun 2005, tarif BM Indonesia untuk semua jenis keramik adalah 5 persen sedangkan negara- negara lainnya seperti China tarifnya sebesar 18 persen, Malaysia 30 persen, Filipina 30 persen, Vietnam 45 persen, Kamboja 7 persen, Laos 5 persen, Myanmar 3 persen dan Singapura sebesar 0 persen Dept. Perindustrian, 2003. Perbedaan itu menunjukan bahwa tarif yang berlaku di Indonesia masih rendah dibandingkan negara-negara Asia lainnya. TBMI yang rendah tersebut memicu besarnya nilai impor yang masuk ke Indonesia baik secara legal maupun ilegal. Sehingga semakin lama produsen domestik tidak bisa bersaing dengan produsen asing dan menyempitnya pasar produk keramik dalam negeri. Terlebih lagi untuk produk-produk TW setelah dibebaskannya tambahan tarif penjualan barang mewah untuk keramik TW impor maupun lokal sejak tahun 2000. Pada akhirnya, dibebaskannya PPn-BM sebesar 40 persen dari tarif BM 5 persen mengakibatkan produsen lokal semakin sulit bersaing dengan produk impor khususnya China SK Menkeu No.381KMK.032001, 25 Juni 2001 - Dept. Perindustrian, 2003. Sehingga untuk mengatasi terjadinya persaingan tidak sehat antara sesama produsen, maka pemerintah mengeluarkan kebijakan yang tertuang dalam SK Menteri Keuangan No.591PMK.0102004 tentang program harmonisasi Tarif BM tahun 2005-2010 untuk produk-produk Pertanian, Perikanan, Pertambangan, Farmasi, Keramik dan Besi baja. Tabel 12. Besar Tarif Yang Dikenakan Produk Keramik Impor. Jenis Keramik 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Tile 5 20 20 20 20 15 5 Saniter 5 20 20 20 20 15 5 Tableware 5 30 30 30 30 15 5 Sumber : Dept. Perindustrian, 2006. Namun meskipun tarif BM keramik sudah cukup tinggi, akan tetapi volume impor keramik masih tidak terbendung khususnya keramik impor ilegal. Kenaikan tarif memicu adanya produk keramik impor ilegal. Berdasarkan data, nilai impor keramik dari China mencapai 97 persen dari total impor nasional dan menyebabkan kenaikan volume rata-rata pertumbuhan sejak tahun 1999-2002 sebesar 53.6 persen yang berakibat pada kerugian serius serious injury bagi para produsen dalam negeri. Maka untuk melindungi produsen domestik dari lonjakan impor, pemerintah memberlakukan Safeguard atau tarif pengamanan selama 3 tahun berturut-turut Peraturan Menkeu No.01- 2006 sejak 1 Februari 2006 untuk keramik TW. Pada tahun pertama impor keramik TW akan dikenakan biaya Rp 1600Kg, tahun kedua sebesar Rp 1400Kg, dan tahun ketiganya sebesar Rp 1200Kg. Untuk meminimalisasi serta mengantisipasi impor keramik ilegal yang mengganggu pasar domestik, pemerintah juga telah mempersiapkan rencana pengenaan verifikasi impor keramik di negara asal barang impor tersebut. Diharapkan rencana tersebut bisa direalisasikan dan dapat menekan praktek penyelundupan administratif. Beberapa kebijakan diatas memang diperuntukan untuk meningkatkan daya saing industri keramik nasional terhadap produk impor serta merupakan upaya pemerintah untuk melindungi produsen lokal dari serbuan keramik impor dan meminimalkan terjadinya persaingan yang tidak sehat antar sesama produsen. Dari pengenaan tarif tersebut impor produk keramik secara keseluruhan sempat menurun pada tahun 2005 menjadi 110.8 juta US dari tahun 2004 yang bernilai136.3 juta US akan tetapi meningkat kembali pada tahun 2006 menjadi 124.1 juta US. Hal ini disebabkan pengimplementasian kebijakan yang tidak serius dan sungguh-sungguh. Indonesia merupakan pasar yang besar bagi produk keramik impor, sehingga sangatlah sulit membendung praktek impor ilegal secara drastis. Penurunan lonjakan impor harus dilakukan secara bertahap dan kontinu.

5.3.4. Aspek Bahan Baku

Persediaan bahan baku didalam negeri menjadi alasan bagi para produsen untuk tetap melakukan impor bahan baku, meskipun industri keramik Indonesia menggunakan 70 persen bahan baku domestik. Pada dasarnya bahan baku keramik seperti pasir kuarsa, tanah liat, silika, feldspar, dan bahan pelapis melimpah didalam negeri. Indonesia juga memiliki jumlah energi yang mendukung perkembangan industri keramik yaitu bahan bakar gas, minyak, dan batu bara. Dimana tersedianya bahan baku yang melimpah didalam negeri ini merupakan kekuatan bagi industri keramik Indonesia. Akan tetapi infrastruktur dan usaha pengolahan bahan baku untuk menjadi bahan siap pakai bagi proses pembuatan keramik tidak berkembang di Indonesia, sehingga sebagian bahan baku industri keramik masih harus diimpor. Seperti bahan baku yang digunakan untuk pembuatan keramik TW, bahan bakubahan penolong yang digunakan seperti feldspar, clay, kaolin, frits, pigmen, zirconium dan glazur sebagian masih harus diimpor. Akan tetapi masih ada juga bahan-bahan yang diproduksi didalam negeri seperti tanah liat, pasir kuarsa, dolomite, dan sebagian kaolin. Menurut Ketua ASAKI Achmad Widjaya 2007, faktor yang menyebabkan Indonesia masih harus mengimpor bahan baku adalah karena bahan baku yang tersedia didalam negeri belum cukup umur yang berarti belum dapat dimanfaatkan langsung untuk proses pembuatan keramik. Belum adanya fasilitas penyiapan pemurnian dan pencampuran bahan baku juga menyebabkan industri keramik domestik masih harus mengimpor bahan baku. Bahan glazur dan pigmen yang mempunyai nilai tinggi masih diimpor. Indonesia juga bersaing dengan China dan Thailand yang membangun kawasan industri keramik dengan segala penunjang termasuk usaha pengadaan bahan baku, jaminan pipanisasi gas, dan pengangkutan secara terpadu kluster industri.

5.3.5. Aspek Produksi

Saat ini anggota ASAKI Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia berjumlah 54 perusahaan, 35 perusahaan diantaranya adalah perusahaan yang memproduksi keramk lantai, 16 perusahaan lain adalah perusahaan yang memproduksi keramik tableware TW, dan sisanya 3 perusahaan memproduksi keramik saniter. Bagi keramik lantai secara keseluruhan perusahaan memiliki kapasitas produksi sebesar 3.8 juta ton, dengan utilitas produksi rata-rata dari tahun 2000- 2005 November adalah sebesar 56-80 persen. Sekitar 80 persen keramik lantai diserap pasar domestik. Tabel 13. Produksi Keramik Lantai. Tahun Kapasitas Produksi Ton Produksi Ton Uttilisasi Produksi Ton Permintaan Ton 2000 3885000 2158800 56 1853827 2001 3885000 2536590 65 2188578 2002 3885000 2359260 61 1985918 2003 3885000 2359260 61 1970184 2004 3885000 2913750 75 2503817 2005 Nov 3885000 3108000 80 2820585 Sumber : ASAKI 2000-2005. Sedangkan keenam belas perusahaan keramik TW memiliki kapasitas produksi sebesar 268 juta buah yang setara dengan 76571 ton, dengan utilisasi produksi rata-rata dari tahun 1999-2005 Nov adalah 55-56 persen. Tabel 14. Produksi Keramik Tableware. Tahun Kapasitas Produksi Ton Produksi Ton Uttilisasi Produksi Ton Permintaan Ton 1999 76571 40350 53 24736 2000 76571 42576 56 32677 2001 76571 47587 63 38408 2002 76571 49771 65 51182 2003 76571 51000 67 57676 2004 76571 42114 55 70612 2005 Nov 76571 45943 60 59911 Sumber : ASAKI 1999-2005. Dari 30 persen hasil produksi TW digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sedangkan 70 persennya diekspor dengan negara tujuan ekspor dominan yaitu Amerika Serikat, Inggris, dan Turki. Kebutuhan rata-rata pertahun sekitar 36379 ton yang sebagian besar telah dapat diproduksi didalam negeri. Dalam kurun waktu 2000-2005 Nov realisasi produksi keramik TW relatif meningkat. Tabel 15. Produksi Keramik Saniter. Tahun Kapasitas Produksi Ton Produksi Ton Uttilisasi Produksi Ton Permintaan Ton 2000 47619 33333 20 1923 2001 50100 37575 75 11739 2002 58450 46760 80 33745 2003 66800 50100 75 35417 2004 66800 56780 85 47024 2005 Nov 66800 53470 80 42992 Sumber : ASAKI 2000-2005. Sedangkan untuk keramik saniter sebagian besar hasil produksinya untuk diekspor. Secara keseluruhan kapasitas produksi perusahaan keramik saniter adalah 3000-4000 buah dengan utilisasi produksi rata-rata 70-80 persen selama tahun 2000-2005 Nov. Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh para produsen keramik domestik menyebabkan produksi keramik di Indonesia tidak maksimal. Adanya kekurangan pasokan gas dalam 5 tahun terakhir ini sangat mengganggu berlangsungnya produksi. Pasokan gas bumi tidak stabil sampai tahun 2006 dan harga jual dalam US 2.8 per MMBTU menjadi kendala produksi keramik. Pasokan gas sangat mendukung proses pembuatan keramik, diperlukan pasokan gas dalam jumlah yang cukup dan kualitas yang baik sehingga produk keramik yang dihasilkan tidak cacat. Kebijakan pemerintah dalam hal ketenagakerjaan yang mengatur tentang jam kerja lembur, sehingga jika pabrik keramik ingin mempekerjakan karyawan lebih lama maka perusahaan harus membayar uang tambahan uang lembur yang juga membuat biaya produksi semakin besar. Padahal SDM yang terlatih dan terdidik di Indonesia jumlahnya sedikit. Peningkatan biaya produksi juga terjadi sejak harga BBM meningkat, peningkatan harga BBM tersebut memicu peningkatan biaya transportasi dan upah. Pada akhirnya ketidakefisienan dan peningkatan biaya produksi yang dialami oleh para produsen diindustri keramik Indonesia telah membuat produk keramik lokal kalah bersaing dari segi harga dengan produk-produk impor negara lain khususnya China. Dari gambaran kondisi produksi masing-masing jenis keramik, menunjukan bahwa aspek produksi berpengaruh terhadap permintaan impor produk-produk keramik sejenis di Indonesia. Hal ini dikarenakan jika produksi keramik didalam negeri efisien dan memiliki struktur biaya yang rendah maka Indonesia dapat bersaing dengan negara-negara produsen lainnya dari segi harga maupun kualitas.

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan penjelasan pada bab-bab sebelumnya, bahwa untuk menduga model volume impor keramik digunakan variabel produksi, harga keramik domestik, harga keramik impor, kurs, pendapatan nasional, dan dummy krisis keramik saniter. Variabel dummy hanya digunakan pada model volume impor keramik saniter karena variabel dummy pada model volume impor keramik lantai dan tableware memiliki gejala multikolinearitas dengan variabel bebas lainnya pada masing-masing model. Hasil estimasi model yang dibahas dalam penelitian ini merupakan hasil terbaik dari beberapa percobaan dalam mengkombinasikan berbagai macam variabel yang dianggap berpengaruh terhadap peningkatan volume impor keramik. Sesuai dengan metode OLS dan teori analisis regresi linear berganda yang telah dijelaskan sebelumnya, maka hasil estimasi model akan diuji secara ekonomi, statistik, maupun ekonometrika. Dalam pembahasan ini akan dijelaskan hasil uji model serta alasan-alasan ekonomi yang mendukung dalam menjelaskan hasil estimasi model, baik yang sesuai dengan teori maupun yang tidak sesuai dengan teori ekonomi. 6.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Volume Impor Keramik Lantai Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi volume impor VI keramik lantaiubin pada penelitian ini menggunakan variabel-variabel bebas yang diduga mempengaruhi volume impor keramik lantai, diantaranya adalah Q produksi keramik ubinlantai di Indonesia m 2 ; PD harga keramik lantai domestik Rp m 2 ; PI harga keramik lantai impor RpKg; ER kurs atau nilai tukar mata uang rupiah terhadap mata uang asing RpUS; dan GDP yaitu Produk Domestik Bruto Indonesiapendapatan nasional Indonesia miliar rupiah. Hasil estimasi model dan uji ekonometrika dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 16. Hasil Estimasi Persamaan Volume Impor Keramik Lantai. Variabel Koefisisen Prob. t-statistic Ln β Konstanta -4.260582 0.7525 LnQ Produksi -2.397617 0.0076 LnPD Harga Domestik -2.150092 0.0183 LnPI Harga Impor 1.149520 0.0421 LnER Kurs -2.769155 0.0624 LnGDP Pendapatan 8.590384 0.0045 R-Squared 0.765641 Prob. F-statistic 0.010989 Uji Breusch-Godfrey Correlation LM Prob. ObsSquared 0.535271 Uji White Heteroskedasticity Prob. ObsSquared 0.797609 Catatan : Menggunakan taraf nyata 10 .

6.1.1. Estimasi Parameter Model

Pada model volume impor keramik lantai, nilai F-hitung sebesar 5.88 dengan probabilitas sebesar 0.01 yang signifikan pada taraf nyata 10 persen. Hal ini menunjukan bahwa variabel bebas dalam model secara bersama-sama memiliki pengaruh yang nyata terhadap variabel terikat. Pengujian autokorelasi pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan uji Breusch-Godfrey Serial Correlation LM. Dari hasil estimasi menunjukan bahwa probabilitas ObsR-Squared adalah sebesar 0.53 yang nilainya melebihi taraf nyata yaitu 10 persen. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hasil regresi pada penelitian ini tidak mengandung autokorelasi.