BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Masalah
Dalam sejarah pertumbuhan kota Medan, buruh telah dikenal sejak pemerintahan Hindia Belanda dalam membuka perkebunan-perkebunan besar di Deli Sumatera Timur
yag memerlukan banyak tenaga buruh kuli. Setelah Indonesia merdeka, tidak terdengar lagi perbedaan antara buruh halus maupun kasar karena semua orang yang bekerja
disektor swasta baik pada orang maupun badan hukum disebut buruh. Hal ini disebutkan dalam Undang-Undang no.22 tahun 1957 pasal 1, ayat 1a dikatakan bahwa buruh adalah
barang siapa yang bekerja pada majikan dengan menerima upah. Dalam perkembangan hukum di Indonesia, istilah buruh diupayakan diganti
dengan istilah pekerja, sebagaimana yang diusulkan oleh pemerintah Departemen Tenaga Kerja pada saat Kongres Federasi Buruh Seluruh Indonesia FBSI II pada tahun
1985. Alasan pemerintah karena istilah buruh kurang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Buruh cenderung merujuk pada golongan yang selalu tertindas dan berada
dibawah kekuasaan pihak majikan. Istilah pekerja secara perundangan baru ditemukan dalam Undang-Undang No.25 tahun 1997, tentang ketenagakerjaan yang
membedakannya dari pengertian tenaga kerja. Dalam Undang-Undang ini disebutkan bahwa tenaga kerja adalah setiap orang pria atau wanita yang sedang, dalam, danatau
akan melakukan pekerjaan baik didalam maupun diluar hubungan kerja, guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi keperluan masyarakat [Undang-Undang
no.25 tahun 1997 pasal 1, ayat 1, angka 2] Nurhamidah, 2009: 2.
Munculnya kehidupan serikat buruh adalah pada tingkat awal kapitalisme. Bertolak dari kepentingan langsung untuk perbaikan syarat-syarat ekonomi dan sosial bagi
kehidupan kaum buruh kaum buruh menyatukan diri dalam wadah organisasi berupa serikat buruh. Di dalam masyarakat kapitalis, pentingnya menyatukan diri adalah karena
kaum buruh menghadapi kekuatan-kekuatan yang berpotensi lebih unggul daripada mereka sendiri.
Dengan berkembangnya kapitalisme, berkembang pula jumlah kaum buruh sebagai penjual tenaga kerja. Tugas-tugas yang membebani serikat buruh pun semakin
bertambah banyak dan semakin bervariasi. Lama kelamaan tuntutan-tuntutan dan aksi- aksi kaum buruh yang diorganisasi oleh serikat buruh semakin melewati jangkauan lama.
Perundingan-perundingan yang berjalan alot maupun yang hanya berupa formalitas semata yang didasari dengan rekayasa, terutama bagi industri-industri maju, banyak yang
membuahkan Perjanjian-Perjanjian Kolektif dengan majikan Di Indonesia sekarang disebut Perjanjan Kerja Bersama. Isinya tidak saja meliputi upah, jamwaktu kerja dan
syarat-syarat kerja dalam bentuknya yang lama, tapi juga segi-segi “kemanfaatan” lainnya bagi kaum buruh yang lebih mendetail seperti hak libur setiap tahun, hak libur di waktu
hamil bagi buruh wanita, pendidikan, perumahan, asuransi kesehatan, kompensasi pengangguran dan perlindungan di hari tua berupa pensiun. Upah murah, buruh kontrak,
cuti hamil dan melahirkan tidak diupah, lembur tidak dibayar, tunjangan makan dicabut, skorsing menuju PHK, berserikat dilaporkan kekepolisian kriminalisasi, pemutusan
hubungan kerja PHK, perusahaan tutup dan pengusaha lari dari kondisi yang dialami kaum buruh Indonesia saat ini Suara Independen: Gabungan Serikat Buruh Independen
GSBI 2007.
Sejak reformasi, banyak bermunculan serika-serikat pekerja. Akan tetapi, terdapat fakta bahwa serikat-serikat pekerja, sebagaimana juga partai politik memiliki agenda-
agenda tersembunyi yang tentu saja berujung pada kekuasaan dibalik kampanye untuk memperjuangkan pekerja atau rakyat. Bagaimanapun, angina kebebasan tersebut dimasa
depan diharakan lebih memberikan transparansi didalam mengatasnamakan pekerja, buruh, atau rakyat. Buruh adalah pekerja yang umumnya menggunakan tenaga untuk
mendapatkan upah atau gaji Badudu-Zein,1994: 232. Kewajiban buruh pada umumnya tersimpul dalam hak majikan. Bekerja pada
pihak lainnya berarti pada umumnya bekerja dibawah pimpinan pihak lainnya itu dan karena itu kewajiban terpenting bagi buruh ialah melakukan pekerjaan menurut petunjuk
dari majikan Imam Soepomo, 1992: 65. Sementara itu, kewajiban majikan yang terpenting sebagai akibat langsung dari
perjanjian kerja yang sah ialah membayar upah. Kewajiban pokok lainnya menurut peraturan yang ada diletakkan pada majikan ialah mengatur pekerjaan, mengatur tempat
kerja, memberi surat keterangan dan lain-lain. Kewajiban majikan untuk mengatur pekerjaan dan untuk mengatur tempat kerja, yang pada hakikatnya merupakan kewajiban
agar mengusahakan penjagaan kesehatan, keselamatan dan kesusilaan buruh. Upah biasanya ditetapkan oleh kedua belah pihak dalam perjanjian kerja, dalam peraturan
majikan, dalam peraturan upah atau dalam perjanjian perburuhan. Ada kemungkinan bahwa dalam perjanjian atau peraturan tidak terdapat ketentuan mengenai upah itu.
Dalam hal demikian, buruh berhak atas upah yang biasa pada waktu perjanjian kerja dibuat untuk pekerjaan yang dijanjikan , ditempat pekerjaan tersebut harus dilakukan.
Jika kebiasaan seperti itu tidak ada, upah itu ditetapkan mengingat keadaan menurut
keadilan. Ketentuan ini tidak berlaku jika telah diperjanjikan bahwa upah itu akan ditetapkan oleh majikan sendiri atau oleh orang ketiga ataupun akan ditetapkan oleh
kedua belah pihak di kemudian hari. Dalam hal upah tidak ditetapkan dalam perjanjian kerja, pada umumnya ditarik kesimpulan bahwa kedua belah pihak telah bersepakat
bahwa penetapannya akan dilakukan oleh majikan secara sepihak. Dengan sendirinya majikan harus menetapkannya dengan itikad baik. Jika majikan melanggar itikad baik ini,
buruh dapat menuntut upah menurut kebiasaan atau upah yang adil itu Imam Soepomo, 1992: 78.
Taraf industrialisasi dewasa ini juga memperlihatkan makin pentingnya mencermati masalah perburuhan, khususnya masalah upah. Hal ini disebabkan oleh
sebagian besar masalah-masalah perburuhan seperti keresahan, pemogokan, unjuk rasa, atau kasus kekerasan umumnya bersumber pada masalah upah Bambang Setiadji, 2002:
1-5. Seiring dengan perkembangan zaman dunia buruh pun secara tidak langsung ikut
mengalami perkembangan. Secara umum buruh merupakan tulang punggung bagi sebuah perusahaan. Hal ini disebabkan oleh adanya saling ketergantungan antara buruh dan
perusahaan maupun dengan orang-orang yang memiliki perusahaan-perusahaan yang bersangkutan. Dengan kata lain perusahaan tidak akan berjalan apabila tidak ada buruh.
Untuk itu diperlukan suatu upaya bagi perusahaan maupun bagi buruh sendiri untuk dapat saling melengkapi antara satu sama lainnya baik itu dalam bentuk pengetahuan mengenai
hak-hak buruh maupun kewajiban buruh terhadap perusahaan yang bersangkutan baik itu dalam penentuan upah minimum maupun upah minimum regional.
Tabel 1: Upah Minimum Regional Menurut Lapangan Usaha Minimum
Upah Minimum Regional Menurut Lapangan Usaha Minimum Minimum Wage by Sectors
2003 – 2006
Sektor Sektor Tahun Year
2003 2004 2005
2006 1
2 3
4 5
1. Pertanian 555 500
563 850 802 500
877 400 2. PertambanganPenggalian
537 000 902 000
3. Industry 540 350
660 000 802 500
861 000 4. Listrik,Gas Air Minum
540 350 537 000
817 500 861 000
5. BangunanKonstruksi 555 500
660 000 825 000
902 000 6. Perdagangan, Hotel , Restoran
535 300 642 000
795 000 861 000
7. Angkutan 505 000
642 000 802 500
877 000 8. Bank Lembaga Keuangan
555 500 660 000
825 000 902 000
9. Jasa Lainnya 505 000
537 000 825 000
861 000 Upah Minimum Propinsi UMP
761 000 Data tidak tersedia
Sumber : Kantor Departemen Tenaga Kerja Kota Medan http:www.pemkomedan.go.idfileh_1211791418.pdf
Sedangkan untuk Upah Minimum Regional UMRUpah Minimum Kota UMK Propinsi Sumatera Utara, Non Sektor pada tahun 2010 adalah sebagai berikut:
Jumlah UMRUMK : Rp 965.000,- Tanggal berlaku
: 01 Januari 2010 Tahun berlaku
: 2010 Nomor SK
: Keputusan Gubernur Provinsi Sumatera Utara Nomor 5 Tanggal SK
: 23 November 2009 http:www.hrcentro.comumrsumatera_utaranon_kabnon_sektor2010
Upah yang ditetapkan menurut jangka waktu harus dibayar sejak saat buruh mulai bekerja sampai berakhirnya hubungan kerja. Dengan demikian jika hubungan kerja
berakhir sebelum waktunya dan juga jika berakhir dalam suatu jangka waktu pembayaran, majikan wajib membayar upah untuk semua hari buruh telah bekerja Imam
Soepomo, 1992: 86.
I.2. Perumusan Masalah