• Dari pihak buruh secara kolektif menghentikan pekerjaan atau memperlambat
jalannya pekerjaan, sebagai akibat perselisihan perburuhan, dilakukan dengan maksud untuk menekan atau membantu golongan buruh lain menekan supaya
majikan menerima hubungan kerja, syarat-syarat kerja danatau keadaan perburuhan Imam Soepomo, 1992: 148.
II.4. Pola Advokasi Serikat Buruh
Selama ini pola hubungan serikat buruh dengan buruh sebagai anggotanya lebih mirip hubungan dokter dengan pasiennya. Atau pengacara dengan kliennya. Hubungan
ini lebih menyerupai “patron-client”. Model dan sifat hubungan inilah yang banyak dikerjakan serikat buruh selama ini, dimana para aktivis buruh hadir ketika buruh
menghadapi persoalan. Pendekatan terhadap persoalan yang dihadapi buruh bersifat kuratif atau reaktif, sama seperti ketika dokter mengobati pasien. Model hubungan seperti
ini perlu dibawa ketingkat yang lebih ideal. Kasus-kasus individual seyogyanya dianalisis ketingkat yang lebih besar sehingga akar persoalannya bisa dipecahkan.
Advokasi individual perlu dibawa ketingkat yang lebih besar pada tingkat advokasi dalam konteks sosial yang lebih besar Rekson Silaban, 2009: 112.
Ketika serikat buruh baru bermunculan, pada saat itu tidak ada organisasi buruh tingkat nasional yang atas nama buruh dapat bernegosiasi dengan kepentingan lain.
Organisasi buruh tidak dapat sepenuhnya memanfaatkan momen keterbukaan yang diciptakan peristiwa Mei 1998 untuk mengembalikan pengaruh penting gerakan buruh.
Dengan demikian, secara historis gerakan serikat buruh memiliki watak politik dan watak politik itu diperlukan guna memperjuangkan tidak hanya kepentingan buruh tetapi juga
komunitas masyarakat. Hal inilah yang nantinya dapat melahirkan suatu bentuk tatanan maupun struktur sosial yang kompleks. Salah satu wujud dari struktur sosial ialah
kelompok social. Kelompok sosial merupakan kumpulan manusia, tetapi bukan sembarang kumpulan. Suatu kumpulan manusia dapat dikatakan sebagai kelompk apabila
memenuhi kondisi tertentu. Kondisi itu menurut Soerjono Soekanto adalah: 1.
Setiap anggota kelompok tersebut harus sadar bahwa dia merupakan sebahagian dari kelompok yang bersangkutan.
2. Adanya hubungan timbal balik antara anggota yang satu dengan lainnya dalam
kelompok itu. 3.
Adanya faktor yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota kelompok sehingga hubungan antara mereka bertambah erat. Faktor tadi dapat berupa nasib yang
sama, kepentingan yang sama, tujua yang sama, idiologi politik yang sama dan lan-lain. Tentunya faktor mempunyai musuh bersama misalnya, dapat pula
menjadi faktor pengikatpemersatu. 4.
Berstruktur, berkaidah, dan mempunyai pola perilaku M.arief Nasution, T.K Brahmana, Padamean Daulay, 2003: 12-13.
Didalam mengelola tatanan masyarakat tersebut diperlukan suatu proses pengendalian sosial. Suatu proses pengendalian sosial dapat dilaksanakan dengan
pelbagai cara yang pada pokoknya berkisar pada cara-cara tanpa kekerasan persuasive ataupun dengan paksaan coercive. Didalam suatu masyarakat yang secara relatif berada
dalam keadaan yang tenteram, maka cara-cara yang persuasive mungkin efektif apabila dibandingkan dengan paksaan. Hal ini disebabkan oleh karena masyarakat yang tenteram
bagian terbesar dari kaidah-kaidah dan nilai-nilai telah melembaga atau bahkan mendarah
daging didalam diri para warga masyarakat. Paksaan lebih sering diperlukan didalam masyarakat yang sedang bergolak, oleh karena di dalam keadaan seperti itu pengendalian
sosial juga berfungsi untuk membentuk kaidah-kaidah yang baru yang menggantikan kaidah-kaidah lama yang telah goyah Soerjono Soekanto, 2002: 159-160.
II.5. Defenisi Konsep