Analisis disparitas pemanfaatan sumberdaya perikanan dalam perspektif pengelolaan pesisir Provinsi Jawa Timur

(1)

ANALISIS DISPARITAS PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN DALAM PERSPEKTIF PENGELOLAAN

PESISIR PROVINSI JAWA TIMUR

TOTOK HENDARTO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2010


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Analisis Disparitas Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan dalam Perspektif Pengelolaan Pesisir Provinsi Jawa Timur adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Mei 2010

Totok Hendarto


(3)

TOTOK HENDARTO. Disparity Analysis of Fishery Resources Utilization in East Java Province Coastal Area Management Perspective. Under Direction of ISMUDI MUCHSIN, HARIADI KARTODIHARDJO and LUKY ADRIANTO.

Indonesia consists of 70% sea, a big potential of diversity, 6.1 million ton per year of fishery, and 57% have utilized. Law No.27, 2007 said that fishery resources potential should be managed well, while said that authority of fishery management should be decentralized to province/regency-city government as broad as to increase people’s welfare and local competition. The objectives of this study were to 1) identify disparity of fishery resources utilization in East Java coastal area; 2) to identify disparity of East Java coastal area development, and 3) to arrange the strategy of East Java coastal area management. The study has done by quantitative and qualitative phenomenological by survey method. North location of this study represented by Lamongan Regency, while the south location represented by Trenggalek Regency. Disparity of fishery resources utilization in coastal area management perspective caused development disparity in north coastal area and south coastal area in East Java Province. The characteristic of north coastal area was more opened and has high economic activity network. It showed economical dynamic which higher than others. Planning and arranging area development strategy should be directed to maturing organization and revitalization its function. In the south coastal area, according to its diversity, resources condition, decentralization maturity level, and region authority, it should be directed to investment which bigger both the number of variety and the number of infrastructure unit, and facility of area development.


(4)

TOTOK HENDARTO. Analisis Disparitas Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan dalam Perspektif Pengelolaan Pesisir Provinsi Jawa Timur. Dibimbing oleh ISMUDI MUCHSIN, HARIADI KARTODIHARDJO dan LUKY ADRIANTO.

Indonesia dengan luas wilayah yang terdiri dari 70 % lautan merupakan negara kepulauan dengan luas perairan diperkirakan mencapai 5,8 juta km2 dan panjang garis pantai 81.000 km2. Potensi sumberdaya perikanan masih cukup besar sekitar 6,1 juta ton per tahun dan baru dimanfaatkan 57 persennya. Indonesia memiliki potensi sumberdaya perikanan laut yang cukup besar baik dari segi kuantitas maupun keragamannya. Potensi yang besar dan memiliki arti penting dalam konteks perekonomian bangsa, perencanaan dan pengelolaan yang berkelanjutan dari wilayah pesisir merupakPPan sebuah kebutuhan yang mutlak.

Kerangka spasial, suatu pemerataan hasil pembangunan adalah adanya keseimbangan kemajuan antar wilayah. Salah satu masalah mendasar pembangunan di Indonesia adalah masalah disparitas pembangunan antar wilayah. Beberapa faktor utama yang menyebabkan terjadinya disparitas antar wilayah diantaranya adalah : (1). aspek geografi, (2). aspek aktifitas ekonomi serta (3). aspek kebijakan pemerintah. Pengelolaan sumberdaya perikanan di perairan pesisir pada masa otonomi daerah yang paling tepat adalah dengan melakukan pengelolaan secara optimal, yang dapat menjamin potensi lestari sumberdaya perikanan dan stablitas produksi serta keberlanjutan ditingkat usaha perikanan, sesuai Undang-undang otonomi daerah dalam rangka menjamin kelestarian sumberdaya wilayah pesisir dan sumberdaya hayati laut.

Salah satu aspek teknik yang digunakan sebagai tolak ukur adalah hasil tangkapan per upaya penangkapan (CPUE / Catch Per Unit Effort). Pemetaan potensi ekonomi wilayah merupakan seperangkat proses menghasilkan rumusan informasi pendukung pemerintah menyusun sebuah kebijakan. Perkembangan wilayah pesisir dianalisis dengan Shift Share, untuk menganalisis herarki wilayah pesisir indikator sosial digunakan analisis komponen utama dan menganalisis herarki wilayah pesisir indikator man-made capital digunakan analisis Skalogram. Kontribusi dan keterkaitan sektor perikanan laut dalam struktur pembangunan nasional dipergunakan analisis input output. Untuk mengetahui tingkat kesusksesan maupun tingkat kegagalannya, sehingga digunakan analisis kebijakan

Tren nilai CPUE per alat tangkap di wilayah pesisir Utara selama tahun 2001-2007 cenderung menurun, di Selatan cenderung meningkat. Sektor perikanan laut tidak dominan relatif terhadap sektor lainnya. Pembangunan wilayah pesisir tidak terkonsenterasi pada sektor tertentu. Kuota lokasi di kedua wilayah pesisir merupakan sektor basis, di Utara dua kali lipat lebih besar dibanding di Selatan. Laju pertumbuhan lokal sektor perikanan laut berjalan cepat, kecepatan di Utara hampir tiga kali lipat dibanding di Selatan. Dayasaing lokal sektor perikanan laut bersifat kompetitif atau berdaya saing tetapi kemampuannya sangat jauh berbeda. Disparitas perkembangan wilayah pesisir memperlihatkan tingkat pertumbuhan di Utara hampir dua puluh lima kali lipat lebih cepat dibanding Selatan. Daya saing Utara sangat baik dan berkeunggulan comparatif


(5)

wilayah pesisir dari aspek kependudukan, di Utara berherarki rendah, di Selatan berherarki sedang, aspek kependidikan di Utara berherarki tinggi, di Selatan berherarki sedang, aspek kesehatan di Utara-Selatan berherarki sedang, meskipun nilai Utara tiga kali lipat lebih besar dari Selatan. Faktor keragaan pemanfaatan sumberdaya perikanan (secara geografis), potensi ekonomi wilayah (tingkat kematangan aktifitas ekonomi) dan kebijakan pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di wilayah pesisir Utara dan Selatan Jawa Timur menyebabkan terjadinya disparitas. Disparitas pembangunan wilayah menghasilkan struktur hubungan antar wilayah yang saling memperlemah dan menimbulkan banyak permasalahan sosial, ekonomi dan politik. Secara menyeluruh disparitas pemanfaatan sumberdaya perikanan dalam perspektif pengelolaan wilayah pesisir menyebabkan terjadinya disparitas pembangunan wilayah pesisir Utara dan Selatan di Provinsi Jawa Timur.

Strategi yang bisa disarankan oleh penulis guna mengurangi terjadinya disparitas wilayah pesisir meliputi dua strategi yaitu strategi pertama, program pengembangan wilayah pesisir atas dasar pasokan (supply side strategy) dan permintaan (demand side strategy). Strategi kedua, adalah pengembangan wilayah pesisir atas dasar strategi keterkaitan (lingkages) antar wilayah pesisir.


(6)

PERIKANAN DALAM PERSPEKTIF PENGELOLAAN PESISIR PROVINSI JAWA TIMUR

TOTOK HENDARTO

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(7)

Perikanan dalam Perspektif Pengelolaan Pesisir Provinsi Jawa Timur

Nama : Totok Hendarto

Nomor Pokok : C261030061

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Perikanan dan Lautan

Komisi Pembimbing :

Ketua : Prof. Dr. Ismudi Muchsin

Anggota : Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo MS Dr. Ir. Luky Adrianto M.Sc

Penguji Luar Komisi : Daniel Mohammad Rosyid PhD, CPM

(Institut Teknologi Sepuluh Nopember ITS Surabaya, Ketua Dewan Masyarakat Pesisir Jawa Tmur)

Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo M.Sc ( Guru Besar Institut Pertanian Bogor)

Ujian Terbuka pada :

Hari : Jum’at

Tanggal : 5 Maret 2010-02-23

Jam : 13.30 – Selesai

Tempat : Auditorium Andi Hakim Nasution Gedung Andi Hakim Nasution Kampus IPB darmaga, Bogor


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ……… i

DAFTAR TABEL ……… iv

DAFTAR GAMBAR ………... vii

DAFTAR LAMPIRAN ………... x

1. PENDAHULUAN ……… 1

1.1 Latar Belakang ....………….………..……… 1

1.2 Perumusan Masalah ...……...………..………… 5

1.3 Tujuan Penelitian ...………...………….………... 7

1.4 Kegunaan Penelitian………...… 7

2. TINJAUAN PUSTAKA……….……… 8

2.1 Ekosistem Wilayah Pesisir dan Lautan .………. 8

2.2 Tipologi Perkembangan Wilayah Pesisir ……… 13

2.3 Nilai Ekonomi Sumberdaya Pesisir …….………...…… 17

2.4 Integrasi Perikanan dalam Pengelolaan Pesisir Terpadu... 21

2.5 Pengelolaan Perikanan dalam Konsepsi Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir ...…. 28

2.6 Pengembangan Sektor Perikanan Laut dan Industri Perikanan.. 32

2.7 Penelitian Terdahulu ... 35

3. KERANGKA PEMIKIRAN ... 39

3.1 Kerangka Teoritis ...……… 39

3.2 Hipotesis ...……… 43

3.3 Novelty (Kebaruan) Penelitian ... 43

4. METODOLOGI PENELITIAN...……… 44

4.1 Lokasi Penelitian ...………...……... 44

4.2 Data dan Sumber Data ... 46

4.3 Metode Analisis ....………. 46

4.3.1 Analisis Keragaan Perikanan ... 46 4.3.2 Analisis Disparitas Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan


(9)

4.3.3 Analisis Disparitas Pembangunan Wilayah Pesisir Jawa

Timur ... 49

4.3.4 Analisis Kontribusi-Keterkaitan dan Struktur Perekonomian Wilayah ... 51

4.3.5 Analisis Kebijakan Pembangunan Perikanan ... 62

V. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN ... 64

5.1 Keragaan Umum Propinsi Jawa Timur .……….. 64

5.1.1 Kondisi Geografis ………..……… 64

5.1.2 Demografi ……… 65

5.1.3 Kondisi Perekonomian ……….……… 65

5.1.4 Disparitas Wilayah dan Kondisi social Budaya .……… 66

5.2 Keragaan Umum Kabupaten Lamongan ...………...…….. 69

5.2.1 Kondisi Geografis ………..……… 69

5.2.2 Demografi ...……… 70

5.2.3 Kondisi Perekonomian ……….……… 70

5.2.4 Potensi Perikanan ………...……… 71

5.3 Keragaan Umum Kabupaten Trenggalek ... 73

5.3.1 Kondisi Geografis ………..……… 73

5.3.2 Demografi ...……… 74

5.3.3 Kondisi Perekonomian ……….……… 75

5.3.4 Potensi Perikanan ………...……… 76

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 79

6.1 Analisis Keragaan Perikanan ……… 79

6.1.1 Analisis Keragaan Perikanan Wilayah Pesisir Utara ...… 80

6.1.2 Analisis Keragaan Perikanan Wilayah Pesisir Selatan ..… 90

6.1.3 Analisis Deskriptif Program dan Bentuk Kegiatan Pembangunan Wilayah Pesisir ...……… 100

6.2 Analisis Disparitas Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan ...… 103

6.2.1 Rasio antar Dua Variabel Tiap Lokasi ... 105

6.2.2 Pangsa Sektoral Tiap Lokasi ... 111

6.2.3 Pangsa Lokal Tiap Sektor ... 112

6.2.4 Indeks Spesialisasi Tiap Lokasi ... 113

6.2.5 Indeks Lokalisasi Tiap Sektor ... 115


(10)

6.2.7 Laju Pertumbuhan Lokal Tiap Sektor ... 116

6.2.8 Dayasaing Lokal Tiap Sektor ...…... 117

6.3 Analisis Disparitas Pembangunan Wilayah Pesisir Jawa Timur 119

6.3.1 Analisis Shift Share Perkembangan Wilayah Pesisir ….... 119

6.3.2 Analisis Komponen Utama Herarki Wilayah Indikator Sosial Ekonomi ……….… 125

6.3.3 Analisis Skalogram Herarki Wilayah Pesisir Indikator Man-made Capital ... 130

6.4 Analisis Kontribusi dan Keterkaitan Sumberdaya Pesisir Terhadap Perkembangan Wilayah ... 133

6.4.1 Analisis Pembentukan Output, NTB dan Pendapatan diWilayah Pesisir ...……… 133

6.4.2 Analisis Pengganda Output, Pendapatan dan Tenaga Kerja Wilayah Pesisir ... 135

6.4.3 Analisis Keterkaitan-Sebaran Kebelakang dan Kedepan Output, Pendapatan dan tenaga Kerja di Wilayah Pesisir 138

6.5 Pembahasan ...……… 144

7. KESIMPULAN DAN SARAN ...……… 157

7.1 Kesimpulan ...………. 157

7.2 Saran ... 158

DAFTAR PUSTAKA ... 160


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Matrik Analisis Pemetaan Potensi Ekonomi Wilayah Pesisir

dan Laut ...…..……….. 47

2. Bentuk Umum Tabel Input-Output ..………... 53

3. Perkembangan Jumlah Alat Tangkap Kab. Lamongan ….. .. 71

4. Produksi dan Nilai Produksi Ikan Laut Kab. Lamongan ... .. 72

5. Keragaan Jenis, Produksi Utama, Skala Usaha & Lokasi Industri Perikanan Laut di Kab. Lamongan ...….. .. 72

6. Jumlah Nelayan di Kabupaten Trenggalek ..……….. .. 77

7. Jumlah dan jenis Alat Tangkap di Kabupaten Trenggalek . . 77

8. Produksi dan Nilai Produksi Ikan Laut Kabupaten Trenggalek 78

9. Keragaan Jenis, Produksi Utama & Lokasi Industri Perikanan Laut di Kab.Trenggalek. ... 78

10. Hasil Tangkapan Ikan di Wilayah Pesisir Utara ... 80

11. Rata-rata Bulan Produksi Hasil Tangkapan Ikan di Wilayah Pesisir Utara... 81

12. Rata-rata Produksi Hasil Tangkapan Ikan per Alat Tangkap di Wilayah Pesisir Utara... 82

13. Jumlah dan Rata-rata Hasil Tangkapan Ikan per Bulan di Wilayah Pesisir Utara... 83

14. Upaya Penangkapan (effort) Tahunan (Trip) di Wilayah Pesisir Utara ... 84

15. Rata-rata Upaya Penangkapan (effort) Ikan per Bulan per Alat Tangkap di Wilayah Pesisir Utara ... 85

16. Nilai Rata-rata dan Fluktuasi Upaya Penangkapan Ikan per Bulan per Alat Tangkap di Wilayah Pesisir Utara ... 85

17. Hasil Tangkapan Ikan di Wilayah Pesisir Selatan ………….. 90

18. Rata-rata Bulan Produksi Hasil Tangkapan Ikan di Wilayah Pesisir Selatan ... 91

19. Rata-rata Produksi Hasil Tangkapan Ikan per Alat Tangkap di Wilayah Pesisir Selatan ... 92

20. Jumlah dan Rata-rata Hasil Tangkapan Ikan per Bulan di Wilayah Pesisir Selatan ... 93


(12)

21. Upaya Penangkapan (effort) Tahunan (Trip)

di Wilayah Pesisir Selatan ... 94 22. Upaya Penangkapan (effort) Rata-rata Hasil Tangkapan Ikan per Bulan per Alat Tangkap di Wilayah Pesisir Selatan ... 95 23. Nilai Rata-rata dan Fluktuasi Upaya Penangkapan Ikan per Bulan per Alat Tangkap di Wilayah Pesisir Selatan ... 96

24. Program dan Bentuk Kegiatan di Wilayah Pesisir

di Wilayah Pesisir Utara ... 101 25. Program dan Bentuk Kegiatan di Wilayah Pesisir

di Wilayah Pesisir Selatan ... 102 26. Struktur Ekonomi Kecamatan Paciran dan Brondong

Di Wilayah Pesisir Utara ... 103 27. Struktur Ekonomi Kecamatan Paciran dan Brondong

Di Wilayah Pesisir Selatan ... 104 28. Rasio Sektor Perikanan Laut- Pertanian Wilayah Pesisir Tahun 2004-2007 ... 105

29. Rasio Sektor Perikanan Laut-Perikanan Lainnya Wilayah

Pesisir Tahun 2004-2007 ... 107 30. Rasio Sektor Perikanan Laut-Industri Pengolahan Tahun

2004-2007 ... 109 31. Rasio Sektor Perikanan Laut-Jasa Wilayah Pesisir Tahun 2004 2007 ... 110

32. Profil Pergeseran Wilayah Pesisir Utara – Selatan Tahun 2004

2007 ………... 125 33. Keterkaitan-Penyebaran Kebelakang dan Kedepan Output

Wilayah Pesisir Utara Selatan ... 139 34. Keterkaitan-Penyebaran Kebelakang dan Kedepan Pendapatan Wilayah Pesisir Utara Selatan ……….……….. 141

35. Keterkaitan-Penyebaran Kebelakang dan Kedepan Tenaga

Kerja Wilayah Pesisir Utara Selatan .………….……….. 143 36. Nilai Potensi Ekonomi Sumberdaya Perikanan di Wilayah Pesisir Utara Dan Selatan Propinsi Jawa Timur .………….……….. 144 37. Disparitas Perkembangan Wilayah Pesisir Utara dan Selatan

Sumberdaya Alam, Sumberdaya Sosial dan Sumberdaya Buatan . 147 38. Disparitas Perkembangan Wilayah Pesisir Utara dan Selatan .. 149 39. Nilai Score CPUE per Alat Tangkap di Wilayah Pesisir


(13)

40. Nilai Score Analisis Disparitas Pemanfaatan Sumberdaya

Perikanan (DPSDPI) ... 152 41. Nilai Score Analisis Disparitas Pembanguan Wilayah Pesisir

(DPWP) ... 152 42. Nilai Score Analisis Disparitas Kontribusi Sebaran

Perkembangan Wilayah Pesisir (DKSPWP) ... 153 43. Nilai Score Analisis Kebijakan Pembangunan Perikanan (AK).. 154


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka Pemikiran Penelitian ...………...……….….. 42 2. Sketsa Lokasi Penelitian Wilayah Pesisir Jawa Timur ……... 44 3. Sketsa Lokasi Penelitian Wilayah Pesisir Utara direpresentasikan Oleh Kabupaten Lamogan ………...……….….. 45 4. Sketsa Lokasi Penelitian Wilayah Pesisir Utara direpresentasikan Oleh Kabupaten Trenggalek …...…………...……….….. 45 5. Perkembangan Hasil Tangkapan Ikan di Wilayah Pesisir Utara 80 6. Rata-rata Bulan Produksi Hasil Tangkapan Ikan

di Wilayah Pesisir Utara ...………...……….….. 81 7. Rata-rata Produksi Hasil Tangkapan Ikan per Alat Tangkap

di Wilayah Pesisir Utara ...………...……….….. 82 8. Fluktuasi Hasil Tangkapan Ikan Rata-rata per Bulan

di Wilayah Pesisir Utara ...………...……….….. 83 9. Upaya Penangkapan (effort) Tahunan di Wilayah Pesisir Utara 84 10. Rata-rata dan Fluktuasi Hasil Tangkapan Ikan per Bulan

per Alat Tangkap di Wilayah Pesisir Utara ……...……….….. 86 11. Tren CPUE Alat Tangkap Purse Seine di Wilayah Pesisir

Utara ...………...……….….. 86 12. Tren CPUE Alat Tangkap Payang Besar di Wilayah Pesisir

Utara ...………...……….….. 87 13. Tren CPUE Alat Tangkap Pancing Prawe di Wilayah Pesisir

Utara ...………...……….….. 88 14. Tren CPUE Alat Tangkap Payang Kecil di Wilayah Pesisir

Utara ...………...……….….. 88 15. Tren CPUE Alat Tangkap Gill Net di Wilayah Pesisir


(15)

16. Indeks Musim Penangkapan Perikanan Laut

Wilayah Pesisir Utara ...………...……….….. 90 17. Perkembangan Hasil Tangkapan Ikan di Wilayah Pesisir Selatan 91 18. Rata-rata Bulan Produksi Hasil Tangkapan Ikan

di Wilayah Pesisir Selatan ...………...……….….. 92 19. Rata-rata Produksi Hasil Tangkapan Ikan per Alat Tangkap

di Wilayah Pesisir Selatan ...………...……….….. 93 20. Fluktuasi Hasil Tangkapan Ikan Rata-rata per Bulan

di Wilayah Pesisir Selatan ...………...……….….. 94 21. Upaya Penangkapan (effort) Tahunan di Wilayah Pesisir Selatan 95 22. Rata-rata dan Fluktuasi Hasil Tangkapan Ikan per Bulan

per Alat Tangkap di Wilayah Pesisir Selatan …...……….….. 96 23. Tren CPUE Alat Tangkap Pukat Pantai di Wilayah Pesisir

Selatan ...………...……….….. 97 24. Tren CPUE Alat Tangkap Jaring Klitik di Wilayah Pesisir

Selatan ...………...……….….. 97 25. Tren CPUE Alat Tangkap Pukat Cincin di Wilayah Pesisir

Selatan ...………...……….….. 98 26. Tren CPUE Alat Tangkap Pancing di Wilayah Pesisir

Selatan...………...……….….. 98 27. Tren CPUE Alat Tangkap Jaring Angkat di Wilayah Pesisir

Selatan ...………...……….….. 99 28. Indeks Musim Penangkapan Perikanan Laut

Wilayah Pesisir Selatan ...………...……….….. 100 29. PDRB Wilayah Pesisir Utara Selatan Tahun 2004-2007…….. 104 30. Rasio Sektor Perikanan Laut-Pertanian Tahun 2004-2007 ... 106 31. Rasio Sektor Perikanan Laut-Perikanan Lainnya Tahun

2004-2007 ...…... 108 32. Rasio Sektor Perikanan Laut-Industri Pengolahan Tahun

2004-2007 ...….. 109 33. Rasio Sektor Perikanan Laut-Jasa Tahun 2004-2007..……….. 111 34. Pangsa Sektoral Tiap Lokasi Tahun 2004-2007...……….. 112


(16)

35. Pangsa Lokal Tiap Sektor Tahun 2004-2007...……….. 113

36. Indeks Spesialisasi Tiap Lokasi Tahun 2004-2007 ..………... 114

37. Indeks Lokalisasi Tiap Sektor Tahun 2004-2007 ....………... 115

38. Kuota Lokasi Tahun 2004-2007 ...……...……….. 116

39. Laju Pertumbuhan Lokal Tiap Sektor Tahun 2004-2007 …….. 117

40. Daya Saing Tiap Sektor Tahun 2004-2007...……….. 118

41. Profil Tingkat Pertumbuhan Tahun 2004-2007 ... 120

42. Profil Daya Saing Tahun 2004-2007...……….. 122

43. Profil Pergeseran Wilayah Tahun 2004-2007 ...………. 123

44. Profil Pergeseran Wilayah Pesisir Utara Selatan Tahun 2004 2007 ...…. 124

45. Score Analisis Komponen Utama Kependudukan Tahun 2004 2007 ...……...……….. 126

46. Score Analisis Komponen Utama Kependidikan Tahun 2004 2007 ...………...……….. 127

47. Faktor Score Analisis Komponen Utama Kesehatan Tahun 2004 2007 ...……….. 129

48. Jumlah Jenis Fasilitas Pelayanan Tahun 2004-2007 …..…….. 130

49. Jumlah Unit Fasilitas Pelayanan Tahun 2004-2007 …..…….. 132

50. Pembentukan Output Tahun 2004-2007 …...……….. 133

51. Pembentukan NTB Tahun 2004-2007 ……...……….. 134

52. Pembentukan Pendapatan Tahun 2004-2007 ...……….. 135

53. Pengganda Output Tahun 2004-2007 …...………... 136

54. Pengganda Pendapatan Tahun 2004-2007...……... 137

55. Pengganda Tenaga Kerja Tahun 2004-2007 ...……... 138

56. Keterkaitan-Penyebaran Kebelakang dan Kedepan Output Tahun 2004-2007...……...….. 140

57. Keterkaitan-Penyebaran Kebelakang dan Kedepan Pendapatan Tahun 2004-2007...……...….. 142

58. Keterkaitan-Penyebaran Kebelakang dan Kedepan Tenaga Kerja Tahun 2004-2007 ...……...….. 143


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. PDRB Kab. Lamongan per Kec (Rp/juta) Th 2000 ……… 171 2. PDRB Kab. Lamongan per Kec (Rp/juta) Th 2004 ……… 172 3. PDRB Kab. Lamongan per Kec (Rp/juta) Th 2007….…… 173 4. Rasio Sektor Perikanan Laut - Sektor Lainnya, Pangsa

Sektoral Kab. Lamongan per Kec (Rp/juta) Th 2004 .…… 174 5. Pangsa Sektoral, Pangsa Sektoral Agregat Tiap Kec

Kab. Lamongan Th 2004 ……….…….... 175 6. Kuota Lokasi dan Indeks Spesialisasi per Kec Tiap

Sektor PDRB Th 2004 ...……… 176

7. Laju Pertumbuhan Kec Tiap Sektor Th 2000-2004..……… 177 8. Laju Pertumbuhan Sektoral Agregat, Dayasaing Sektoral

Agregat Th 2000 sd. 2004 ……….… 178 9. Rasio Sektor Perikanan Laut-Sektor Lainnya dan Pangsa

Sektoral PDRB Kab. Lamongan per Kec (Rp/juta)

Th 2007 ………...……… 179 10. Pangsa Sektoral dan Pangsa Lokal Tiap Sektor

Kab. Lamongan Th 2007 ………..……… 180 11. Pangsa Sektoral Agregat dan Pangsa Lokal Tiap Sektor

Per Kec di Lamongan Th 2007 ... 180 12. Kuota Lokasi, Indeks Spesialisasi dan Indeks Lokalisasi per

Kec Kab. Lamongan Sektor Th 2007 ...… 181 13. Laju Pertumbuhan Kec di Lamongan Th 2004-2007 …… 182 14. Laju Pertumbuhan Dayasaing Sektoral Kec di Lamongan

Th 2004-2007 ...…… 183 15. Dayasaing Lokal Kec di Lamongan Th 2004-2007 ……… 184 16. PDRB Kab. Trenggalek per Kec (Rp/juta) Th 2000……… 185 17. PDRB Kab. Trenggalek per Kec (Rp/juta) Th 2004 ……… 186 18. PDRB Kab. Trenggalek per Kec (Rp/juta) Th 2007 ……… 187


(18)

19. Rasio Sektor Perikanan Laut-Sektor Lainnya, Pangsa Sektoral

Kab. Trenggalek per Kec (Rp/juta) Th 2004 ...……… 188 20. Pangsa Sektoral Agregat dan Pangsa Lokal Kab. Trenggalek

Th 2004 ...……… 189 21. Indeks Lokalisasi, Indeks Spesialisasi Sektor, Kuota Lokasi

dan Laju Pertumbuhan Tiap Kec Th 2004 ...……...… 190 22. Laju Pertumbuhan Kec Agregat dan Dayasaing Sektoral

Agregat Th 2000-2004 ……….…..……… 191 23. Rasio Sektor Perikanan Laut - Sektor Lainnya Kab.

Trenggalek per Kec (Rp/juta) Th 2007 ………...…… 191 24. Pangsa Sektoral Tiap, Pangsa Sektoral Agregat dan Pangsa

Lokal Kec terhadap PDRB Th 2007...……… 192 25. Pangsa Lokal Agregat Sektor, Indeks Spesialisasi, Indeks

Lokalisasi dan Kuota Lokasi PDRB per Kec Th 2007 ... 193 26. Laju Pertumbuhan Kec Tiap Sektor Th 2004-2007 ……... 193 27. Laju Pertumbuhan Kec Agregat Sektor Tiap Sektor

Th 2004-2007 ...…… 194 28. Laju Pertumbuhan Sektoral Agregat Th 2004-2007 ……… 194 29. Dayasaing Sektoral Agregat Wilayah Th 2004-2007 ..…… 194 30. Klasifikasi Tabel IO Jawa Timur untuk 20 Sektor …...…… 195 31. Tabel Koefisien Input Output Jatim th 2000 ……… 196 32. Tabel Transaksi Input Output Jatim th 2004 ……...……… 198 33. Tabel Transaksi Input Output Jatim th 2007 ……...……… 200 34. Tabel PDRB Sektoral Kecamatan Th 2000 ...……… 202 35. Tabel PDRB Sektoral Kecamatan Th 2004 ………..……… 203 36. Tabel PDRB Sektoral Kecamatan Th 2007 ………..……… 204 37. Tabel PDRB Sektoral Kecamatan Th 2000 ………..……… 205 38. Tabel PDRB Sektoral Kecamatan Th 2004 ………..……… 206 39. Tabel PDRB Sektoral Kecamatan Th 2007 ...……...……… 207 40. Open Direct Coefficient Matrix Column Output


(19)

41. Open Direct Coefficient Matrix Column Income

Linkages Lamongan ……….……… 208 42. Open Direct Coefficient Matrix Column Employment

Linkages Lamongan ……….……… 209 43. Total Output Multiplers Lamongan ………...…...…… 209 44. Total Income Multiplers Lamongan ……….……… 210 45. Open Direct Coefficient Matrix Column Output Linkages

RAS Lamongan 2007 ………...……… 210 46. Open Direct Coefficient Matrix Column Income Linkages

RAS Lamongan 2007 ………...……… 211 47. Open Direct Coefficient Matrix Column Employment Linkages RAS Lamongan 2007 ………...……… 211

48. Total Output Multiplers RAS Lamongan 2007 ……… 212 49. Total Income Multiplers RAS Lamongan 2007 …...……… 212 50. Total Employment Multiplers RAS 2007 ………...……… 213 51. Open Direct Coefficient Matrix Column Output

Linkages Trenggalek ………...……… 213 52. Open Direct Coefficient Matrix Column Income

Linkages Trenggalek ………...……… 214 53. Open Direct Coefficient Matrix Column Employment

Linkages Trenggalek ………...…… 214 54. Total Output Multiplers Trenggalek ………....……… 215 55. Total Income Multiplers Trenggalek ………...……… 215 56. Total Employment Multiplers Trenggalek ………..……… 216 57. Open Direct Coefficient Matrix Column Output

Linkages Trenggalek ………...……… 216 58. Open Direct Coefficient Matrix Column Income

Linkages Trenggalek ………...……… 217 59. Open Direct Coefficient Matrix Column Employment

Linkages Trenggalek ………...……… 217 60. Total Output Multiplers Trenggalek ……… 218 61. Total Income Multiplers Trenggalek ………...……… 218


(20)

62. Total Employment Multiplers Trenggalek ………..……… 219 63. Hasil Perhitungan Analisis Komponen Utama

Pesisir Utara Tahun 2004 Indikator Kependudukan ...…… 220 64. Hasil Perhitungan Analisis Komponen Utama Pesisir Utara

Tahun 2004 Indikator Kependidikan ...……… 221 65. Hasil Perhitungan Analisis Komponen Utama Pesisir Utara

Tahun 2004 Indikator Kesehatan ...……… 222 66. Hasil Perhitungan Analisis Komponen Utama Pesisir Utara

Tahun 2007 Indikator Kependudukan ...……… 223 67. Hasil Perhitungan Analisis Komponen Utama Pesisir Utara

Tahun 2007 Indikator Kependidikan ...……… 224 68. Hasil Perhitungan Analisis Komponen Utama Pesisir Utara

Tahun 2007 Indikator Kesehatan ...……… 225 69. Hasil Perhitungan Analisis Komponen Utama Pesisir Selatan

Tahun 2004 Indikator Kependudukan ...……… 226 70. Hasil Perhitungan Analisis Komponen Utama Pesisir Selatan

Tahun 2004 Indikator Kependidikan ...……… 227 71. Hasil Perhitungan Analisis Komponen Utama Pesisir Selatan

Tahun 2004 Indikator Kesehatan ...……… 228 72. Hasil Perhitungan Analisis Komponen Utama Pesisir Selatan

Tahun 2007 Indikator Kependudukan ...……… 229 73. Hasil Perhitungan Analisis Komponen Utama Pesisir Selatan

Tahun 2007 Indikator Kependidikan ...……… 230 74. Hasil Perhitungan Analisis Komponen Utama Pesisir Selatan

Tahun 2007 Indikator Kesehatan ...……… 231 75. Analisis Skalogram Fasos kecamatan di Kab Lamongan

Tahun 2004......……… 232 76. Analisis Skalogram Fasos kecamatan di Kab Lamongan

Tahun 2007......……… 233 77. Analisis Skalogram Fasos kecamatan di Kab Trenggalek


(21)

78. Analisis Skalogram Fasos kecamatan di Kab Trenggalek

Tahun 2007......……… 235

79. Profil Jumlah Jenis dan jumlah Unit Fasilitas Pelayanan Utama Wilayah Pesisir Utara Tahun 2004 ...……… 236

80. Profil Jumlah Jenis dan jumlah Unit Fasilitas Pelayanan Utama Wilayah Pesisir Utara Tahun 2007 ...……… 237

81. Profil Jumlah Jenis dan jumlah Unit Fasilitas Pelayanan Utama Wilayah Pesisir Selatan Tahun 2004 ...……… 238

82. Profil Jumlah Jenis dan jumlah Unit Fasilitas Pelayanan Utama Wilayah Pesisir Selatan Tahun 2007 ...……… 238

83. Standar Penilaian Score Lima Indikator Kebijakan ...……… 239

84. Profil Kelas Pelabuhan Perikanan, Produksi Ikan dan Jumlah Nelayan di Jawa Timur ...……… 240

85. PDRB Kab Lamongan Tahun 2000 ... 241

86. PDRB Kab Lamongan Tahun 2004 ... 242

87. Nilai r dan R ... 243

88. Komponen Pertumbuhan setiap sektor... 244

89. Komponen Pertumbuhan Proporsional setiap sektor ... 245

90. Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah ... 246

91. PDRB Kab Lamongan Tahun 2004 ... 247

92. PDRB Kab Lamongan Tahun 2007 ... 249

93. Nilai r dan R ... 250

94. Komponen Pertumbuhan setiap sektor ... 251

95. Komponen Pertumbuhan Proporsional setiap sektor ... 252

96. Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah ... 253

97. Prosentase Komponen Pertumbuhan, Pertumbuhan Proporsional dan Pangsa Wilayah ... 254

98. PDRB Kab Trenggalek tahun 2000 ... 255

99. PDRB Kab Trenggalek tahun 2004 ... 255

100. PDRB Kab Trenggalek Tahun 2004 ... 256

101. PDRB Kab Trenggalek Tahun 2007 ... 256


(22)

103. Nilai r dan R ... 257 104. Komponen Pertumbuhan setiap sektor ... 258 105. Komponen Pertumbuhan setiap sektor ... 258 106. Komponen Pertumbuhan Proporsional setiap sektor ... 259 107. Komponen Pertumbuhan Proporsional setiap sektor ... 259 108. Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah ... 260 109. Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah ... 260 110. Prosentase Komponen Pertumbuhan, Pertumbuhan Proporsional dan Pangsa Wilayah ... 261 111. Prosentase Komponen Pertumbuhan, Pertumbuhan Proporsional dan Pangsa Wilayah ... 261 112. Daftar Istilah (Glossary) ...……… 262


(23)

1. PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Indonesia dengan luas wilayah yang terdiri dari 70 % lautan merupakan negara kepulauan dengan luas perairan diperkirakan mencapai 5,8 juta km dan panjang garis pantai 81.000 km. Potensi sumberdaya perikanan masih cukup besar sekitar 6,1 juta ton per tahun dan baru dimanfaatkan 57 persennya. Dengan luas laut 5,8 juta km, Indonesia sesungguhnya memiliki potensi sumberdaya perikanan laut yang cukup besar baik dari segi kuantitas maupun keragamannya. Namun ketersediaan atau stok ikan secara alami di perairan merupakan salah satu faktor pembatas peningkatan produktifitas usaha dalam kegiatan penangkapan.

Potensi yang demikian besar dan memiliki arti penting dalam konteks perekonomian bangsa, perencanaan dan pengelolaan yang berkelanjutan dari wilayah pesisir merupakan sebuah kebutuhan yang mutlak. Fungsi perencanaan dan pengelolaan tidak hanya berdimensi fisik untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan sistem alam dan sumberdaya perikanan namun juga memiliki dimensi sosial karena komunitas di wilayah pesisir yang telah berinteraksi secara dinamis dengan pemanfaatan sumberdaya perikanan merupakan salah satu unsur yang perlu diperhatikan sehingga pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan dapat terwujud (Kusumastanto, 2006).

Ketchum dalam Kusumastanto et al. 2006 menyatakan wilayah pesisir adalah wilayah pertemuan antara wilayah daratan dan laut. Secara ekologis wilayah pesisir adalah sebuah wilayah yang dinamik dengan pengaruh daratan terhadap lautan atau sebaliknya. Proses keterkaitan antara wilayah darat dan laut merupakan sumber dinamika dalam kerangka pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu (integrated coastal management; ICM). (Jones and Westmascot dalam Kusumastanto, et al. 2006) menyatakan wilayah pesisir tidak hanya diidentifikasi berdasarkan sifat ekologis semata, namun mencakup definisi administratif sebagai suatu wilayah pengelolaan.

Wilayah pesisir dan laut diharapkan menjadi pusat pertumbuhan dan sebagai kutub dari ruang ekonomi. Ruang ekonomi mengandung pusat-pusat dan kutub-kutub, mempunyai kekuatan centrifugal memancar ke sekelilingnya dan


(24)

mempunyai kekuatan centripental menarik sekitarnya ke pusat-pusat tersebut. Penentu kebijakan pembangunan seringkali berharap wilayah pesisir menjadi pusat pertumbuhan dengan beberapa alasan antara lain : terjadinya proses aglomerasi, konsentrasi investasi dan proses penyebaran bagi wilayah-wilayah belakangnya. Unit ekonomi industri yang dominan tampil memainkan peranan utama dalam ruang ekonomi.

Dalam rangka mewujutkan sektor perikanan menjadi sumber pertumbuhan baru bagi perekonomian, diperlukan usaha-usaha memanfaatkan sumberdaya perikanan sampai tingkat optimal di seluruh wilayah, sasaran peningkatan devisa dan kesejahteraan bagi nelayan dan petani ikan melalui perluasan usaha yang menjadi prioritas utama disamping aspek kelestarian. Disparitas pembangunan regional merupakan fenomena universal. Di semua negara tanpa memandang ukuran dan tingkat pembangunannya, disparitas pembangunan merupakan masalah regional yang tidak merata. Pembagian ekonomi telah melahirkan tekanan sosial politik, baik sistem perekonomian pasar maupun ekonomi terencana, secara terpusat pembangunan diarahkan agar mengikuti kebijakan-kebijakan mengurangi disparitas pembangunan antar wilayah (Rustiadi, 2005).

Wilayah pesisir dan laut menyediakan sumberdaya alam yang produktif sebagai sumber pangan dan merupakan tumpuan harapan dalam pemenuhan kebutuhan hidup dimasa mendatang (Bengen, 2000). Pemanfaatan sumberdaya ikan di Indonesia sampai saat ini, secara umum belum optimal dan masih berpeluang untuk dikembangkan. Karakteristik wilayah yang berbeda, menyebabkan adanya kesenjangan pemanfaatan sumberdaya ikan. Wilayah perairan Indonesia mempunyai karakteristik yang berbeda antara satu wilayah perairan dengan wilayah perairan yang lain. Perbedaan yang ada diantaranya meliputi perbedaan kondisi geografi, topografi, demografi, kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia, budaya dan sosial kultural masyarakat, karakteristik sumberdaya ikan, teknologi, kemampuan investasi permodalan pemerintah dan masyarakat dan merupakan komponen sistem perikanan yang bersifat spesifik yang dimiliki daerah. Komponen sistem perlu dikelola dan diperhatikan dengan baik dalam upaya pengembangan perikanan. Undang-undang No. 31 tahun 2004 tentang perikanan menyatakan potensi sumberdaya perikanan Indonesia perlu


(25)

dikelola dengan baik. Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai pemasaran, dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses terintegrasi pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya, implementasi serta penegakan hukum peraturan perundangan di bidang perikanan, dilakukan pemerintah dan otoritas lain diarahkan mencapai kelangsungan produktifitas sumberdaya hayati dan tujuan yang telah disepakati. Pemerintah provinsi dan kebupaten kota diberi kewenangan menentukan urusan pilihan nyata dan berpotensi meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerahnya. Kekhasan yang dimiliki beberapa kabupaten di Utara dan Selatan Jawa, berupa potensi kelautan dan perikanan dijadikan pilihan untuk dikelola dan dikembangkan dengan baik (Pusat Riset Perikanan Tangkap, 2001).

Disparitas pembangunan antar wilayah disatu sisi terjadi dalam bentuk buruknya distribusi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya yang menciptakan inefisiensi dan tidak optimalnya sistem ekonomi wilayah. Disparitas pembangunan menghasilkan struktur hubungan antar wilayah, membentuk interaksi yang saling memperlemah. Wilayah hinterland menjadi lemah karena pengurasan sumberdaya berlebihan (backwash) mengakibatkan aliran nilai tambah dan terakumulasi di pusat-pusat pembangunan secara besar-besaran dan berlebihan. Disparitas pembangunan inter-regional disamping menyebabkan kapasitas pembangunan regional sub-optimal, juga menihilkan potensi-potensi pertumbuhan pembanguan agregat dari interaksi pembangunan inter-regional yang sinergis atau saling memperkuat. Menyadari terjadinya disparitas pembangunan inter-regional, pemerintah berupaya menyelenggarakan berbagai program pengembangan wilayah. Strategi program pengembangan wilayah lebih didasarkan atas strategi dari sisi pasokan, berupa program pengembangan wilayah didasarkan atas keunggulan komparatif berupa upaya-upaya peningkatan produksi dan produktifitas wilayah didasarkan atas pertimbangan optimalisasi daya dukung, kapabilitas dan kesesuaian sumberdaya wilayah (Rustiadi, 2005).


(26)

Strategi pembangunan yang hanya dilakukan dari sisi pendekatan pasokan akhirnya terhenti akibat adanya keterbatasan dari sisi permintaan baik secara domestik maupun dari luar wilayah. Strategi pembangunan wilayah harus dikembangkan atas dasar strategi pengembangan sisi permintaan. Strategi ini dikembangkan melalui upaya-upaya mendorong tumbuhnya permintaan-permintaan suatu produk dan jasa secara domestik melalui peningkatan-peningkatan kesejahteraan diantaranya peningkatan-peningkatan pendapatan, pendidikan dan kesehatan. Keinginan untuk menjadikan pembangunan kelautan dan perikanan sebagai arus utama pembangunan nasional, yang ditunjukkan dengan letak geografis dan kandungan sumberdaya kelautan yang dimiliki, dengan potensi yang sangat besar serta kenyataan posisi geopolitis yang penting dan dinamis. Pertimbangan yang mendasari pembangunan berbasis sumberdaya perikanan dan kelautan sebagai arus utama pembangunan diantaranya adalah (Dahuri, 2003) :

1. Melimpahnya sumberdaya perikanan kelautan;

2. Keterkaitan yang kuat kedepan dan kebelakang antara industri berbasis kelautan dengan industri dan aktivitas ekonomi lainnya;

3. Sumberdaya kelautan merupakan sumberdaya yang dapat diperbaharui sehingga keunggulan komparatif dan kompetitif dapat bertahan.

Pendekatan pembangunan yang sangat menekankan pertumbuhan ekonomi makro cenderung mengakibatkan terjadinya disparitas pembanguan antar wilayah yang cukup besar. Investasi dan sumberdaya terserap dan terkonsentrasi dipusat-pusat pertumbuhan, sementara wilayah belakangnya mengalami pengurasan sumberdaya berlebihan. Di Jawa Timur secara makro dapat dilihat ketimpangan pembangunan signifikan antara perkembangan wilayah pesisir Utara Jawa Timur dengan wilayah pesisir Selatan Jawa Timur. Disparitas pembangunan antara wilayah pesisir Utara Jawa Timur dengan wilayah pesisir Selatan Jawa Timur pada akhirnya menimbulkan permasalahan yang sangat merugikan proses pembangunan yang ingin dicapai. Studi tentang pengelolaan dan tingkat pemanfaatan potensi sumberdaya perikanan perspektif ekonomi terhadap disparitas perkembangan wilayah pesisir Jawa Timur sangat perlu dilakukan.


(27)

1.2 Perumusan Masalah

Persoalan pembangunan tidak hanya menyangkut perlunya investasi pembangunan untuk memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki untuk mendorong pertumbuhan semata, tetapi juga harus memperhatikan aspek distribusi dan pemerataan hasil pembangunan, sehingga hasil pembangunan dapat dinikmati seluruh lapisan masyarakat secara adil dan proporsional. Kerangka spasial, suatu pemerataan hasil pembangunan adalah adanya keseimbangan kemajuan antar wilayah. Salah satu masalah mendasar pembangunan di Indonesia adalah masalah disparitas pembangunan antar wilayah. Kebijakan pembangunan yang hanya menitik beratkan pencapaian pertumbuhan ekonomi semata, secara spasial ternyata menambah tingkat ketimpangan antar wilayah. Disparitas hasil pembangunan wilayah lebih disebabkan diantaranya 1. kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dan 2. kebijakan yang bersifat sektoral (Hadi, 2001).

Menurut Rustiadi (2005), beberapa faktor utama yang menyebabkan terjadinya disparitas antar wilayah diantaranya adalah : (1). aspek geografi, (2). aspek aktifitas ekonomi serta (3). aspek kebijakan pemerintah. Aspek geografi, suatu wilayah yang cukup luas akan terjadi variasi spasial kuantitas dan kualitas sumberdaya. Apabila faktor-faktor yang lain berada pada posisi yang sama, maka kondisi geografi yang lebih baik akan berkembang dengan lebih baik pula. Dari aspek aktifitas ekonomi, faktor-faktor ekonomi yang menyebabkan terjadinya disparitas antar wilayah diantaranya adalah : (1). faktor ekonomi terkait perbedaan kuantitas dan kualitas faktor produksi yang dimiliki, (2). faktor ekonomi terkait akumulasi dari berbagai faktor, (3). faktor ekonomi terkait pasar bebas dan pengaruhnya pada spread effect dan backwash effect dan (4). faktor ekonomi terkait distorsi pasar, yaitu kebijakan pemerintah seringkali memberikan penekanan dan arah pertumbuhan dengan membangun pusat-pusat pertumbuhan yang justru menimbukan disparitas antar wilayah.

Secara nasional potensi ikan masih belum dimanfaatkan secara optimal, namun di beberapa wilayah perairan tingkat pemanfaatannya telah melampaui potensi lestari maksimum. Tingkat pemanfaatan ikan di perairan Utara Pulau Jawa telah melampaui potensi lestari maksimum, tetapi di perairan Selatan Pulau Jawa masih mungkin dikembangkan. Mempertimbangkan kondisi sumbedaya ikan dan


(28)

dalam kerangka pembangunan nasional, peningkatan kontribusi perikanan harus diupayakan secara berhati-hati, agar tidak menimbulkan dampak negatif di masa mendatang. Peranan pengelolaan sumberdaya perikanan sangat strategis dan sangat erat kaitannya dengan isu lebih tangkap (over fishing), kelebihan kapasitas penangkapan, deplesi stok ikan, perubahan ekosistem dan meningkatnya perdagangan ikan dunia dengan segala potensi dampaknya (FAO, 1999).

Berdasarkan penyebaran daerah penangkapan ikan, potensi produksi perikanan tangkap di perairan laut Indonesia dibagi berdasarkan sembilan wilayah pengelolaan perikanan. Potensi lestari sumberdaya ikan laut Indonesia sebesar 6,4 juta ton per tahun. Jumlah tangkapan yang diperbolehkan adalah 80 persen dari potensi lestari atau sekitar 5,12 juta ton per tahun (Dahuri, 2003).

Pembangunan perikanan khsusunya perikanan tangkap di Indonesia hakekatnya mempunyai tujuan ganda yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan di satu sisi dan menjaga kelestarian sumberdaya ikan disisi lain. Program pembangunan perikanan baik langsung maupun tidak langsung seharusnya dapat menyentuh semua lapisan masyarakat nelayan. Perairan Selatan Jawa merupakan bagian dari wilayah pengelolaan perikanan Samudera Hindia (WPP 9), dengan wilayah perairan terbuka. Luas wilayah mencakup wilayah perairan teritorial dan perairan ZEE Indonesia. Perairan Selatan Jawa memiliki potensi sumbedaya ikan yang potensial. Potensi lestari sumberdaya ikan di WPP 9, meliputi Barat Sumatera, Selatan Jawa sampai dengan Selatan Flores. Dasar variasi pengaruh lautan, wilayah laut Jawa Timur dikategorikan menjadi lima wilayah, dua diantaranya adalah : 1. wilayah Utara Jawa Timur; 2. wilayah Selatan Jawa Timur. Wilayah Selatan ditandai gelombang tinggi dan sulit dijangkau nelayan kecil. Tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan laut Jawa Timur bervariasi berdasarkan wilayah penangkapan dan pengaruh iklim global lainnya (Muhammad, 2001).

Reformasi kebijakan pembangunan daerah, harus segera dilakukan baik faktor eksternal yaitu kesepakatan didasarkan efisiensi dan faktor internal yaitu tuntutan kesimbangan wilayah dalam menikmati hasil pembangunan. Penyeimbangan pembangunan antara wilayah pesisir Utara Jawa Timur dengan wilayah pesisir Selatan Jawa Timur perlu dilakukan secara berkesinambungan.


(29)

Pembangunan infrastruktur yang membuka wilayah pesisir Selatan Jawa Timur harus diikuti peningkatan kemampuan pengelolaan wilayah pesisir.

Dari latar belakang, dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana keragaan sumberdaya perikanan laut mempengaruhi disparitas

perkembangan wilayah pesisir Utara dan Selatan Jawa Timur;

2. Sejauhmana kontribusi dan keterkaitan sektor perikanan laut mempengaruhi disparitas struktur perekonomian wilayah pesisir Utara dan Selatan Jawa Timur;

3. Bagaimana keragaan disparitas kebijakan pengelolaan wilayah pesisir Utara dan Selatan Jawa Timur.

1.3 Tujuan Penelitian :

Tujuan penelitian adalah untuk :

1. Mengidentifikasi disparitas pemanfaatan sumberdaya perikanan wilayah pesisir Utara dan Selatan Jawa Timur

2. Mengidentifikasi disparitas pembangunan wilayah pesisir Utara dan Selatan Jawa Timur

3. Menyusun strategi pengelolaan wilayah pesisir Utara dan Selatan Jawa Timur

1.4 Kegunaan Penelitian

Hasil analisis bersifat makro penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan penetapan rekomendasi kebijakan pembangunan dengan merumuskan, menentukan, memprioritaskan, mengarahkan serta upaya peningkatan efisiensi alokasi dana investasi. Hasil analisis bersifat mikro digunakan sebagai masukan bagi para pelaku ekonomi serta seluruh stakeholders


(30)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Wilayah Pesisir dan Lautan

Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan taraf hidup manusia tidak terlepas dari aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam, dan sering dilakukan perubahan-perubahan ekosistem dan sumberdaya alam. Perubahan-perubahan yang dilakukan tentunya dapat memberikan pengaruh lingkungan hidup. Semakin tinggi laju pembangunan, semakin tinggi pula tingkat pemanfaatan sumberdaya alam dan makin besar perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungan hidup. Perencanaan pembangunan sistem ekologi yang berimplikasi perencanaan penggunaan sumberdaya alam, perlu diperhatikan kaidah-kaidah ekologis yang berlaku untuk mengurangi akibat-akibat negatif yang merugikan kelangsungan pembangunan secara menyeluruh. Perencanaan, pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam perlu dipertimbangkan secara cermat dan terpadu, sehingga dicapai pengembangan lingkungan hidup dalam pembangunan (Bengen, 2000). Pembangunan berkelanjutan bertujuan untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dan terjaganya kualitas lingkungan, agar secara agregat keputusan pembangunan dapat menguntungkan semua pihak (Darwanto, 2000 dalam Adibroto, 2001).

Pembangunan dapat diartikan sebagai suatu proses individu maupun lembaga untuk menggerakkan dan mengelola sumberdaya, agar menghasilkan perbaikan berkelanjutan menuju kualitas hidup yang diinginkan. Terdapat enam elemen kunci dalam pembangunan yaitu perubahan, proses, perbaikan atau pertumbuhan, keberlanjutan, distribusi dan kualias hidup. Pembangunan sebagai suatu perubahan, mewujutkan kondisi kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang lebih baik dari kondisi sekarang, pembangunan sebagai suatu pertumbuhan, menunjukkan kemampuan kelompok untuk terus berkembang baik secara kualitas maupun kuantitas dan merupakan keharusan dalam pembangunan (Soley, 1999). Agenda 21 Indonesia, strategi nasional untuk pembangunan berkelanjutan menyarankan pengelolaan perencanaan wilayah pesisir hendaknya mengintegrasikan lingkungan dengan tujuan sosial dan harus dibuat dengan partisipasi aktif dan sedini mungkin dari anggota masyarakat (Sonak et al, 2008).


(31)

Partisipasi dan keterlibatan masyarakat hendaknya ditingkatkan melalui program pendidikan lingkungan serta pengelolaan limbah perairan hendaknya termasuk dalam upaya terpadu yang melibatkan seluruh perwakilan dikabupaten kota, provinsi hingga tingkat nasional (Lasut et al, 2008).

Seragaldin dan Steer (1993) mengemukakan bahwa terdapat empat tipe yaitu tipe yang pertama adalah sumberdaya buatan manusia (man-made capital), seperti mesin, pabrik, bangunan dan bentuk infrastruktur dan teknologi lain. Wanmali (1992) menyatakan bahwa ada dua tipe infrastruktur yaitu hard

infrastructure seperti jalan, telekomunikasi, listrik dan sistem irigasi dan soft

infrastructure berbentuk pelayanan seperti transportasi, kredit dan perbankan,

input produksi dan pemasaran. Secara fisik man made capital merupakan kekayaan hasil pembangunan yang dapat diukur dengan mudah. Tipe kedua adalah sumberdaya yang disediakan oleh lingkungan (natural capital) seperti sumberdaya alam dan lingkungan hidup, baik yang dapat diperbaharui ataupun tidak. Tipe ketiga adalah sumberdaya manusia (human capital) serta tipe keempat adalah sumberdaya sosial (sosial capital) sebuah bentuk fungsi kelembagaan dan budaya berbasis sosial. Fauzi (2001) mengemukakan pengelolaan sumberdaya alam adalah bagaimana (how best) mengelola sumberdaya alam tersebut di dalam suatu wilayah untuk dapat menghasilkan manfaat sebesar-besarnya bagi manusia dan tidak mengorbankan kelestarian sumberdaya alam itu sendiri.

Paradigma pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi, telah mengalami perubahan menjadi pembangunan yang berkelanjutan. Paradigma pembangunan berkelanjutan mengandung makna pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini, tanpa mengurangi kemampuan generasi masa depan untuk memenuhi kebutuhannya. Konsep keberlanjutan merupakan konsep sederhana namun kompleks, sehingga pengertian keberlanjutan sangat multi dimensi dan multi interprestasi. Pengertian sederhana dalam perspektif ekonomi terutama pandangan ekonomi neo klasikal, keberlanjutan diartikan sebagai maksimalisasi kesejahteraan sepanjang waktu. Konsep kesejahteraan menyangkut dimensi yang sangat luas, perspektif neo-klasikal melihatnya sebagai maksimalisasi kesejahteraan yang diturunkan dari utilitas yang diperoleh dengan mengkonsumsi barang dan jasa. Barang dan jasa yang dikonsumsi antara lain dihasilkan dari


(32)

sumberdaya alam dan lingkungan (Fauzi, 2004). Di banyak negara, terutama negara berkembang, terdapat ketergantungan yang sangat tinggi terhadap sumberdaya laut untuk memenuhi kehidupan sehari-harinya, sebagai menahan dampak angin topan dan tsunami, dan sebagai media transportasi laut, pariwisata, perikanan, dan pengembangan daerah pesisir. Terdapat 1.2 juta orang (23%) dari total penduduk dunia yang hidup di wilayah pesisir dan secara terus menurus memberikan tekanan kepada ekosistem pesisir sehingga terjadi perubahan relative cepat diseluruh dunia. Ekosistem pesisir juga berubah diantaranya akibat kerusakan habitat, penangkapan ikan yang berlebihan serta dampak tumpahan minyak. Pengelolaan wilayah pesisir teradu (ICM) berpotensi untuk menampung banyak isu ditujukan ke proses multi-stakeholder, tetapi hendaknya didukung kolaborasi, kontribusi dan penghargaan pemerintah. (Wilson dan Wiber, 2009).

Sumberdaya kelautan Indonesia merupakan salah satu aset pembangunan yang penting dan memiliki peluang sangat besar untuk dijadikan sumber pertumbuhan ekonomi baru. Setidaknya terdapat tiga alasan utama yang mendasarinya, pertama, secara fisik Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Kedua di wilayah pesisir dan lautan yang sangat luas terdapat potensi pembangunan berupa aneka sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang belum dimanfaatkan secara optimal (Resosudarmo et.al., 2000). Ketiga, seiring pertambahan jumlah penduduk dunia dan semakin menipisnya sumberdaya pembangunan didaratan, permintaan terhadap produk dan jasa kelautan diperkirakan meningkat (Resosudarmo et.al., 2002).

Indonesia memiliki potensi sumberdaya wilayah pesisir dan laut yang sangat besar. Wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Dilihat dari garis pantai, wilayah pesisir mempunyai dua macam batas, yaitu batas sejajar garis pantai dan batas tegak lurus terhadap garis pantai. Secara ekologis wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Batas wilayah pesisir ke arah darat mencakup daratan yang masih di pengaruhi proses-proses kelautan. Batas wilayah pesisir ke arah laut meliputi perairan laut yang masih dipengaruhi proses-proses alamiah dan kegiatan manusia di daratan (Dahuri, 1998).


(33)

Wilayah pesisir merupakan wilayah yang bersifat dinamis dan merupakan tantangan bagi sistem perencanaan wilayah pesisir dengan tingkat ketidakpastian dan dinamika yang sangat tinggi. Lingkungan kelautan masih sedikit dimengerti jika dibanding wilayah daratannya, terutama yang berhubungan dengan flora dan fauna serta dampak dari perubahan yang terjadi. Secara pasti, perencanaan wilayah pesisir jauh lebih rumit dibandingkan dengan perencanaan wilayah daratan lainnya, karena ekosistem wilayah pesisir lebih kompleks dibandingkan dengan ekosistem daratan lainnya. Dibutukan komunikasi yang baik antara berbagai kelompok masyarakat lokal untuk bersama-sama bekerja dan berpikir secara nasional dalam konteks wilayah lokal. Yang perlu diingat manajemen wilayah pesisir terpadu (ICZM) merupakan rangkaian proses, yang lebih mengarah kepada penjiwaan dari sekedar bentuk spesifik dari sebuah manajemen. Tidak ada yang salah ataupun benar dalam metode penerapan ICZM, karena setiap situasi tentunya berbeda (Stead dan McGlashan, 2006).

Kawasan pesisir dan lautan merupakan kawasan yang kaya akan berbagai ekosistem sumberdaya alam dengan keanekaragaman hayatinya total nilai kawasan pesisir di seluruh permukaan bumi yang disebut dengan word’s gross

natural product (COREMAP, 1999). Wilayah pesisir pada umumnya merupakan

wilayah yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang cepat. Karena kondisi geografis dan potensi yang dimilikinya, banyak sektor ekonomi yang berkembang diwilayah pesisir. Khususnya di wilayah pesisir, sektor-sektor ekonomi yang dominan adalah perikanan laut, yang mencakup kegiatan penangkapan, budidaya dan pengolahan (Anonymous, 2000).

Pengelolaan wilayah pesisir terpadu adalah proses pengaturan, para stakeholder dan anggota kelompok memiliki kekuatan dan kesempatan formal untuk berpartisipasi dalam perencanaan dan pelaksanaan yang merupakan hal penting berdampak pada peraturan pengelolaan perikanan. Banyak pelaku aktifitas ekonomi disektor perikanan tidak memiliki kemauan untuk maju dan mendiskusikan permasalahan keamanan dan pengelolaan perikanan secara terbuka karena pendapatnya seringkali tidak berpengaruh pada peraturan yang sedang disusun. Masyarakat pesisir membutuhkan koordinasi lebih lanjut dengan pemerintah dalam pembentukan peraturan yang mengatur kehidupan dimasa


(34)

mendatang (Kaplan dan Powell, 2000). Pengelolaan wilayah pesisir terpadu telah digunakan lebih dari satu dekade untuk mengarahkan perubahan paradigma dalam pengelolaan sumberdaya pesisir Kesuksesan dapat diraih apabila para stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan wilayah pesisir terpadu memiliki inisiatif untuk berbagi pengalaman, belajar dari kesalahan masa lalu dan memiliki keinginan untuk mengubah strategi pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Pengelolaan wilayah pesisir terpadu hendaknya dimengerti sebagai proses dinamis dan interaktif yang mengalami dinamika dan perubahan secara ters menrus. Pengelolaan wilayah pesisir terpadu membutuhkan waktu dan dukungan jangka panjang dari pemerintah, membawa pada pendekatan pengelolaan yang efisien, adil, bertahan, dan berkelanjutan (Hauck dan Sowman, 2001).

Sebuah tantangan bagi seluruh stakeholder yang terlibat, untuk menemukan keseimbangan antara mendorong kegiatan dan mengelola lingkungan pesisir yang tepat dibawah panduan yang telah disepakati secara internasional. Untuk menjawab tantangan tersebut, beberapa rekomendasi yang diusulkan antara lain: 1) dibutuhkan jawaban atas permasalahan lingkungan wilayah pesisir dan termasuk respon dalam perspektif jangka panjang untuk para pembuat kebijakan, 2) dibutuhkan pengakuan terhadap kebergantungan ekonomi dan sistem lingkungan dan untuk menentukan batas antara aktivitas manusia yang dibutuhkan, khususnya di daerah pesisir, dan 3) dibutuhkan perlindungan terhadap kelestarian lingkungan dan mengembalikan lingkungan yang terdegradasi (Sarda, Avila, dan Mora, 2005). Wilayah laut terlindung (Marine Protected Areas) merupakan salah satu bentuk program untuk melindungi keberagaman dan mengelola habitat pesisir yang sensitif dan juga untuk melindungi spesies yang berharga secara komersial serta beragam bentuk pengelolaan aktivitas ekonomi di wilayah pesisir (Cho, 2005).

Dalam pendekatan pengelolaan, akan lebih efektif apabila terdapat pihak-pihak yang pro aktif, mengambil sudut pandang strategi jangka panjang, mengenali dinamisme dari sistem yang sedang dikelola, adaptif (dalam hal geografis dan respon terhadap informasi baru), dan mencari solusi yang menyeluruh (Fletcher dan Pike, 2007). Sistem pengelolaan wilayah pesisir terpadu merupakan sistem pengelolaan wilayah pesisir yang memiliki karekateristik


(35)

serupa baik sumberdaya alami dan manusianya yang secara fisik terhubung melalui laut (Laine dan Kronholm, 2005). Kelompok pesisir lokal merupakan organisasi netral yang mewakili banyak kepentingan dan memiliki peran yang sangat penting dalam melibatkan mayarakat, meningkatkan kesadaran, dan menampung aspirasi (Storrier dan McGlashan, 2006).

2.2 Tipologi Perkembangan Wilayah Pesisir

Konsep ruang mempunyai beberapa elemen atau unsur yang dapat dilihat secara terpisah, secara bersamaan dan dipergunakan dalam ruang lingkup yang lebih luas yaitu organisasi tata ruang dari kegiatan manusia. Unsur-unsur tata ruang penting adalah jarak, lokasi, bentuk dan ukuran atau skala. Keempat unsur ini secara bersamaan menyusun unit tata ruang yang disebut Wilayah. Usaha menetapkan batas-batas wilayah, kerapkali pengelompokan atas kriteria : homogenitas; nodalitas dan unit program atau unit administrasi. Konsep homogenitas menetapkan batas berdasarkan beberapa persamaan unsur tertentu, seperti unsur ekonomi wilayah yaitu pendapatan per kapita, kelompok industri maju, tingkat pengangguran atau keadilan sosial politik seperti identitas wilayah berdasarkan sejarah, budaya dan sebagainya. Konsep nodalitas, menekankan perbedaan struktur tata ruang dalam wilayah terdapat sifat ketergantungan fungsional. Mendefinisikan konsep disadari penduduk tidak dapat hidup terpisah-pisah sedemikian rupa, cenderung berkumpul pada pusat yang spesifik dari kegiatan. Pusat atau kota dan wilayah belakangnya saling tergantung dan tingkat ketergantungan dapat dilihat dari arus penduduk, faktor produksi, barang-barang dan pelayanan ataupun komunikasi dan transportasi (Budiharsono, 2006).

Setiap wilayah mempunyai satu atau beberapa kota besar sebagai pusat dan diantaranya tertinggi berwujut kota metropolitan dan prinsip dominasi atau pengaruh kota dipakai untuk menetapkan batas wilayah. Konsep administrasi atau unit program, lebih mudah dipahami karena didasarkan perlakuan kebijakan yang sama disebut wilayah perencanaan atau wilayah program. Manfaat konsep ini adalah perencana dan analisisi dapat bekerja dan lebih mudah mengadakan evaluasi dan monitoring program pembangunan. Kelemahannya adalah batas wilayah administrasi tidak sama dengan wilayah fungsional (Budiharsono, 2006).


(36)

Teori kutub dan pusat pertumbuhan menekankan pada kutub pertumbuhan ruang ekonomi. Teori dipergunakan memahami dan menanggapi masalah di bidang yang menunjukkan hubungan kausal diantara berbagai variabel dalam kerangka utuh di bidang tertentu. Abstraksi ruang dibedakan atas tiga tipe yaitu : ruang sebagai suatu rencana diagram atau cetak biru; ruang sebagai medan kekuatan-kekuatan dan ruang sebagai suatu keadaan yang homogen. Kutub diartikan vektor dari ruang ekonomi sebagai medan kekuatan. Ruang ekonomi mengandung pusat-pusat dan kutub-kutub yang mempunyai kekuatan centrifugal

yang memancar sekelilingnya dan mempunyai kekuatan centripental yang menarik. Setiap pusat merupakan pusat penarik dan penolak serta mempunyai medan sendiri dalam gugus medan pusat-pusat lainnya.

Unit ekonomi yang dominan tampil memainkan peranan utama dalam ruang ekonomi. Persaingan diantara perusahaan-perusahaan sejenis menciptakan keadaan hanya perusahaan kuat saja yang bisa hidup. Peranan dari unit-unit tersebut digambarkan sebagai perusahaan pendorong. Perusahaan-perusahaan pendorong dapat meningkatkan produksi perusahaan lainnya, jika peningkatan produksi tularan, lebih besar dari kenaikan produksi pendorong, maka perusahaan pendorong disebut perusahaan utama. Ciri-ciri perusahaan pendorong antara lain : perusahaan besar dengan modal besar dan tekonologi maju; termasuk ke dalam kelompok industri maju dan cepat tumbuh; mempunyai produktifitas tinggi dan kemampuan besar dalam penerapan teknologi maju; mempunyai posisi penawaran kuat dan hubungan kuat dengan kegiatan lain di wilayah tersebut (Todaro, 1995).

Pengertian kutub pertumbuhan didasarkan atas teori keseimbangan dengan menyadari seluruh produksi bukan hanya merupakan penjumlahan produksi dari setiap perusahaan dalam suatu matrik, tetapi merupakan fungsi pengaruh mempengaruhi perusahaan tertentu yang ditimbulkan arus perusahaan-perusahaan lain dan proses rangkaian dinamis menciptakan hubungan ketergantungan serta tumbuh berkembang terus menerus.

Konsep dasar sosial ekonomi dari kutub pertumbuhan meliputi :

1. Konsep industri utama dan perusahaan pendorong, berdasarkan karakteristiknya, industri utama dan perusahaan-perusahaan pendorong mendominasi unit-unit ekonomi lainnya. Terdapat gugus perusahaan


(37)

atau industri kutub pertumbuhan tersebut. Lokasi geografis dapat terjadi berdasarkan manfaat atau keuntungan yang diperoleh dari lokasi sumberdaya, tenaga kerja atau fasilitas prasarana;

2. Konsep polarisasi, pertumbuhan dari industri utama dan perusahaan pendorong menimbulkan polarisasi unit-unit lainnya ke kutub pertumbuhan. Aglomerasi ekonomi ditandai : a. economics internal to firm dicirikan dengan biaya produksi rata-rata yang rendah, b.

economics external to firm but internal to industry, ditandai penurunan

biaya tiap unit produksi karena lokasi tertentu dari industri, seperti dekat dengan sumber bahan baku dan tenaga kerja trampil.

3. Konsep spred backwash effect dan konsep trikling down effect, konsep-konsep ini mengandung pengertian pemancaran, penyebaran, penetesan dan pengertian penarikan, pengumpulan atau polarisasi yang terjadi diantara hubungan kutub dan wilayah pengaruhnya (hinterland).

Struktur perekonomian wilayah merupakan faktor dasar yang membedakan keadaan wilayah dengan wilayah lainnya. Perbedaan sangat erat dengan kondisi dan potensi wilayah baik dari segi fisik lingkungan, ekonomi sosial dan kelembagaan (Todaro, 1995).

Strategi kutub dan pusat pertumbuhan telah menarik penentu kebijakan pembangunan karena beberapa alasan antara lain :

1. Berbagai aglomerasi ekonomi cenderung menjadi alasan efisien dalam rangka menekan biaya-biaya;

2. Konsentrasi investasi di titik-titik pertumbuhan spesifik menjadi lebih murah, khususnyanya pembiayaan pemerintah tersebar di wilayah-wilayah yang lebih luas dan;

3. Spred effect mengimbas ke sekitar titik pertumbuhan menanggulangi

masalah-masalah didaerah terbelakang.

Dampak atau manfaat dari strategi kutub dan pertumbuhan dipandang kurang memuaskan, terutama spread effect atau trickling down ke daerah pinggiran (periphery) tidak berlangsung sebagaimana yang diharapkan. Telaah dan studi dan penelitian dampak strategi kutub dan pusat pertumbuhan menghasilkan pemahaman sebagai berikut :


(38)

1. Spread effect dari pusat pertumbuhan biasanya lebih kecil dari yang diharapkan, atau lebih kecil dari backwash effect dan memberikan hasil akhir negatif bagi hinterlandnya. Spread effect secara geografis amat terbatas dan sempit, biasanya terbatas commuting area dan berfungsi sesuai dengan ukuran pusat-pusat yang bersangkutan;

2. Peningkatan pendapatan di pusat-pusat berhirarki lebih rendah atau di wilayah pedesaan menyebabkan penggandaan pendapatan yang kuat di pusat-pusat yang jenjang hirarkinya lebih tinggi dan tidak sebaliknya dan tampaknya lebih berorientasi ke atas dari pada ke bawah, dalam sistem jenjang hirarki kota-kota;

3. Kerangka pembangunan lebih luas, khususnya pembangunan tata ruang, agak sulit menerapkan kebijakan pusat pertumbuhan untuk daerah-daerah terbelakang karena kurangnya spread effect dari kota-kota ke daerah hinterland yang lebih luas.

Penerapan strategi kutub dan pusat pertumbuhan cenderung gagal karena kekeliruan dalam beberapa hal diantaranya adalah :

1. Seringkali penentu kebijakan membuat keputusan melakukan konsentrasi investasi wilayah yang kondisinya tidak menunjukkan tingginya potensi industri untuk tumbuh didaerah-daerah terbelakang. Daerah industri membutuhkan kondisi tertentu untuk tumbuh, selain faktor investasi semata;

2. Pertumbuhan diprioritaskan pada distribusi atau pemerataan. Kesadaran kutub dan pusat pertumbuhan lebih didasarkan pertimbangan fungsional dari pada berdasarkan geografis yang cenderung diabaikan;

3. Kecenderungan kutub-kutub pertumbuhan mempunyai interaksi dengan kutub-kutub di wilayah lain. Tidak terdapat hubungan dan interaksi yang cukup nyata dengan industri-industri tersebar diwilayah bersangkutan. Seharusnya terdapat interaksi kutub-kutub pertumbuhan berfungsi dengan industri-industri. Industri seharusnya menyediakan input, bahan baku atau bahan setengah jadi bagi industri pendorong atau industri-industri pendorong harus memanfaatkan input dari industri-industri-industri-industri


(39)

lokal. Di bidang agroindustri, pengolahan hasil perikanan memanfaatkan hasil-hasil tangkapan nelayan lokal di wilayah pedesaan;

4. Adanya batas pertumbuhan atau polarisasi dari kutub dan pusat pertumbuhan, masalah Diseconomics of scale. Industri maju di kota-kota, mengalami kemunduran disebabkan diseconomics of scale, seperti masalah efisiensi manajemen perusahaan besar, kenaikan biaya produksi. Manfaat aglomerasi berkurang akibat meningkatnya biaya fasilitas pelayanan umum, kenaikan gaji dan upah, kenaikan harga bahan baku dan energi disebabkan ongkos sosial seperti pencemaran suara, udara dan air. Bila tidak diatasi dan tetap dipertahankan, memerlukan biaya tinggi dibebankan kegiatan ekonomi di tempat lain;

Kutub dan pusat pertumbuhan tampil di kota-kota yang memiliki kompleks industri pendorong, masalahnya adalah ukuran dari kota tersebut. Pertumbuhan kota menghadapi masalah-masalah perluasan kota, baik disebabkan tata ruang dan topografi, masalah harga tanah, teknologi, fasilitas transportasi, jaringan komunikasi, fasilitas pelayanan sosial dan tata guna lahan. Menanggulangi masalah ini dapat dipecahkan melalui analisa dan teori batas ambang pertumbuhan kota yaitu cara penyebaran kota-kota dengan ukuran-ukuran tertentu dalam sistim tata ruang, terutama di wilayah-wilayah yang kurang maju.

2.3 Nilai Ekonomi Sumberdaya Wilayah Pesisir

Sumberdaya dapat didefinisikan dalam arti luas sebagai segala sesuatu yang baik langsung maupun tidak langsung memiliki nilai untuk memenuhi kebutuhan manusia (Randall, 1997). Menurut Adrianto (2006), sumberdaya secara awam sering diartikan sebagai sesuatu yang bernilai untuk melaksanakan kegiatan tertentu. Menurut pandangan ekonomi, paling tidak dikenal tiga sumberdaya yaitu sumberdaya kapital, sumberdaya tenaga kerja dan sumberdaya alam. Sumberdaya kapital menunjuk kepada kelompok sumberdaya yang digunakan untuk menciptakan proses produksi yang lebih efisien. Sementara sumberdaya tenaga kerja dimaksudkan sebagai kapasitas produktif dari manusia baik secara pisik maupun mental yang terkait dengan kemampuan untuk bekerja atau memproduksi suatu barang dan atau jasa. Sedangkan sumberdaya alam adalah stok materi living


(40)

maup non living yang terdapat dalam lingkungan pisik secara potensial memiliki fungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.

Sumberdaya alam memiliki peran ganda, yaitu sebagai modal pertumbuhan ekonomi (resource basesd economy) dan sekaligus sebagai penopang sistem kehidupan (life support system). Sumberdaya alam sangat berperan sebagai tulang punggung perekonomian nasional (BPS, 2008).

Pada dasarnya pertumbuhan ekonomi disebagian besar negara di dunia adalah berbasiskan sumberdaya alam. Perkembangan pemikiran mengenai perhitungan pertumbuhan ekonomi suatu negara, yang biasanya dianggap sebagai penggambaran dari kesejahteraan masyarakat (System of National Accounting / SNA, Growth Domestic Product / GDP dan Net National Product / NNP), ternyata masih mengabaikan perhitungan mengenai penurunan sumberdaya. Perkembangan selanjutnya dalam neo classical ekonomi, pengukuran dengan menggunakan GDP dan NNP, belum menjawab mengenai sumberdaya itu sendiri dalam kaitannya dengan man-made capital, human capital dan natural capital, yang dalam kurun waktu tertentu mengalami depresi dan apresiasi. Natural capital sendiri pada dasarnya menghasilkan barang dan jasa yang tidak dihitung secara utuh dalam prespektif neo-classical economy (Fauzi dan Anna, 2002).

Indonesia memiliki modal sumberdaya alam (natural capital) yang besar dan relative masih belum optimal pemanfaatannya, ditambah dengan modal sosial

(sosial capital), teknologi dan sumberdaya manusia yang perlu didesain secara

komprehensif dalam sebuah aransemen pembangunaan yang tepat dan berkelanjutan. Dengan meletakkan fungsi dan kebijakan ekonomi secara benar sesuai dengan visi ecological economics (EE) maka pembangunan berkelanjutan sebagai tujuan akhir dari visi ecological economics (EE) adalah suatu keniscayaan, yaitu sebuah konesp pembangunan ekonomi yang lebih arif, meletakkan keseimbangan peran manusia sebagai bagian dari komunitas dan kelestarian ekosistem (Adrianto, 2004b).

Nilai keberadaan merupakan katagori nilai yang dimiliki ekosistem pesisir. Nilai keberadaan ekosistem pesisir merupakan nilai kegunaan didapat seseorang atau masyarakat mengetahui ekosistem pesisir terpelihara keberadannya. Keberadaan sistem alam termasuk indivisible in consumtion, kegunaan diperoleh


(41)

seseorang yang mengetahui keberadaan spesies atau ekosistem, tidak berkurang hanya karena orang lain juga mengetahui keberadaan spesies atau ekosistem tersebut. Salah satu wujud nyata adanya nilai keberadaan adalah timbulnya partisipasi didalam usaha merehabilitasi sumberdaya alam yang mengalami kerusakan, partisipasi pelestarian tumbuhan. Kegunaan keberadaan dan ketidakbergunaan karena kepunahan merupakan sumber nilai keberadaan. Pertimbangan dasar penetapan ekosistem pesisir paling tidak menggunakan lima kriteria utama yaitu (Alikodra, 1999) :

1. Keanekaragaman, yaitu sumberdaya pesisir memiliki keanekaragaman yang besar, baik biota maupun ekosistemnya, penting dalam menentukan stabilitas biota dan menjamin sumber genetika yang besar.

2. Keterwakilan, yaitu sumberdaya pesisir memiliki formasi biota tertentu dan dipergunakan pembaku bagi formasi-formasi sejenis di daerah lain. 3. Keaslian, yaitu sumberdaya pesisir memiliki kondisi biota maupun fisik

sejauh mungkin masih asli atau belum dipengaruhi kegiatan manusia. 4. Kekhasan, yaitu sumberdaya pesisir harus memiliki sifat-sifat yang khas

yang tidak diketemukan di daerah lain.

5. Keefektifan, yaitu sumberdaya pesisir memiliki kondisi yang mendukung efektifitas pengelolaan, seperti luas, batas alam seperti sungai, pantai sehingga memudahkan pengawasan dan pengamanan.

Bertitik tolak kriteria tampak bahwa kriteria satu sampai lima dapat menjadi sumber adanya nilai keberadaan. Pengembangan konsep nilai keberadaan sangat membantu sebagai penghubung antara ahli ekonomi dan ahli lingkungan di dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Nilai Penggunaan adalah nilai kegunaan atau manfaat yang diperoleh seseorang atau masyarakat dari penggunaan barang atau jasa lingkungan saat kini. Penggunaan barang atau jasa lingkungan bersifat konsumtif maupun non konsumtif. Jenis nilai penggunaan digolongkan atas dua nilai penggunaan yaitu nilai penggunaan langsung dan nilai penggunaan tidak langsung (Dahuri, 2000)

Surplus konsumen dari sumberdaya pesisir menggunakan asumsi ekosistem pesisir dianggap barang privat. Jumlah responden yang bersedia membayar sama dengan jumlah permintaan dan nilai nominal yang bersedia


(42)

dibayar responden sama dengan harga dari nilai ekonomi pesisir. Total nilai ekonomi dari sumberdaya pesisir dan laut terdiri dari nilai pakai dan nilai yang bukan nilai pakai. Nilai pakai adalah nilai yang timbul dari pemanfaatan sebenarnya terhadap fungsi atau sumberdaya yang terdapat dalam ekosistem. Nilai-nilai pakai selanjutnya dibagi menjadi nilai-nilai pemanfaatan secara langsung, nilai-nilai dari pemanfaatan secara tidak langsung dan nilai pilihan.

nilai pemanfaatan secara langsung adalah pemanfaatan sebenarnya. Nilai-nilai pemanfaatan secara tidak langsung berupa keuntungan-keuntungan berasal dari fungsi-fungsi ekosistem. Nilai-nilai pilihan adalah nilai yang menunjukkan kesediaan seseorang membayar pelestarian sumberdaya pesisir dan laut bagi penggunaan dimasa depan, nilai-nilai pilihan dapat dianggap sebagai premi asuransi dan masyarakat bersedia membayarnya guna menjamin pemanfaatan di masa depan terhadap sumberdaya pesisir dan laut (Pearce & Moran, 1994).

Menurut Spinner (2006), kekuatan ekonomi wilayah sangat tergantung ketersediaan sumberdaya alam berkelanjutan. Hubungan manajemen sumberdaya dan pembangunan ekonomi dijelaskan dengan konsep nilai sumberdaya. Nilai dikuantifikasi dengan mengukur nilai hasil produksi sumberdaya, pendapatan ekspor, jumlah orang yang terserap ke dalam lapangan pekerjaan baik langsung maupun tidak langsung, dan nilai budaya sumberdaya yang tidak dapat dikuantifikasi dengan uang. Berbagai perististiwa yang merusak ekosistem wilayah, seperti banjir memiliki dampak langsung pada nilai sumberdaya dan mempengaruhi produktivitas dan kesejahteraan ekonomi penduduk. Melalui upaya-upaya pencegahan dan rehabilitasi kerusakan serta pengelolaan sumberdaya terpadu, integritas ekologi menjadi terjamin dan kegiatan produksi dapat berlangsung berkelanjutan, kesejahteraan ekonomi masyarakat dapat dicapai. Menurut Biro Pusat Statistik, tingkat kesejahteraan dikaji melalui bidang-bidang antara lain : kependudukan, pendidikan dan kesehatan (Suwito, 2005).

Salah satu tujuan utama komunitas berbasis pengelolaan sumberdaya pesisir adalah pemberdayaan masyarakat yang kurang beruntung, terdiri dari sebagian besar penduduk pesisir dan seringkali terpengaruh oleh berbagai isu pengelolaan. Pengembangan komunitas haruslah berlandaskan pendekatan pendidikan dan pematangan organisasi komunitas sebagai dasar utama mencapai


(1)

Food and Agricultural Organization (FAO). 1999. Indicators for Sustainable Development of Marine Capture Fisheries. Technical Guidelines for Responsible Fisheries No.8. Rome 68 p.

Food and Agricultural Organization (FAO). 2001. Indicator for Sustainable Development of Marine Fisheries. FAO Technical for Responsible Fisheries No. 08 Food and Agriculture Organization (FAO) Roma serial online. www.fao.org./fi/agreem/codecond/gdlines/guide8/ guide8a.

Food and Agricultural Organization (FAO). 2003. Fisheries Management The Ecosystem Approach to Fisheries. FAO Technical Guidelines for Responsible Fisheries, No. 4 Suppl 2.

Guillemot N. et al. 2009. Characterization and Management of Informal Fisheries Confronted with Socio-economic Changes in New Caledonia (South Pacific). Fisheries Research Journal Vol. 98, page 51-61.

Hadi. 2001. Studi Dampak Kebijaksanaan Pembangunan terhadap Disparitas Ekonomi antar Wilayah (Pendekatan Model Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi) Disertasi Program Pascasarjana. IPB. Bogor.

Hamdan. 2006. Analisis Kebijakan Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan di Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat. Buletin PSP Volume XV No. 3 Desember 2006. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 86-101.

Hauck, Maria and Merle Sowman. 2001. Coastal and Fisheries Co-Management in South Africa: An Overview and Analysis. Marine Policy Journal Vol. 25, pg 173-185.

Heen, Knut, dan Ola Flaaten. 2007. Spatial Employment Impacts of Fisheries Management: A study of the Barents Sea and the Norwegian Sea Fisheries. Fisheries Research Journal Vol 85, pg 74-83.

Kaplan, L. M. dan H.L. Kite-Powell. 2000. Safety at Sea and Fisheries Management : Fishermen’s Attitudes and The Need for Co-Management. Marine Policy Journal Vol. 24, pg 493-497.

Kay, R and J. Alder.1999. Coastal Planning and Management. London.UK : Sponge Press.

Kusumastanto. 2006. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut. Universitas Terbuka. Jakarta.

Laine, Anne, dan Malin Kronholm. 2005. Bothnian Bai Life: Towards Integrated Coasatal Zone Management. Environmental Science and Policy Journal. Vol 8, pg 259-262.


(2)

Lajus, Julia, Heen Ojaveer, dan Erki Tammiksaar. 2007. Fisheries at the Estonian Baltic Sea Coast in the First Half of the 19th Century; What can be Learned from the Archives of Karl Ernst Baer. Fisheries Research Journal Vol. 87, pg 126-136.

Langham. M.R. dan R.H. Retzlaff. 1982. Agriculture Sector Analysis in Asia. Singapore Univ. Press. Singapore.

Lasut, Markus T., et al. 2008. Analysis of Constraints and Potentials for Waste Water Management in The Coastal City of Manado, North Sulawesi, Indonesia. Journal of Environmental Management Vol 88, pg 1141-1150. Lawson. R.M. 1984. Economics of Fisheries Development. London Fraces Pinter

(Publisher).

Lubis. 2005. Metodologi Sistem Pengelolaan Pelabuhan Perikanan (vahan Kuliah Pengembangan Pelabuhan Perikanan). Program Pascasarjana IPB. Bogor.

Lukmana, A 1995. Peluang dan Tantangan Agroindustri dalam Menghadapi Era Globalisasi. Makalah Seminar Sehari tentang Peluang dan Tantangan Agroindustri Menghadapi Era Globalisasi. Fateta, IPB.

Masydzulhak. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Kota Bengkulu. Tinjauan Analisis Degradasi Sumberdaya Perikanan Tangkap. Jurnal Pesisir dan Lautan Volume 7 No. 2 tahun 2006. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 31-39.

Muhammad, 2001. Inovation and Management of the Java Sea Pelagic Fisheries. East Java Fishermen’s Attitudes Towards New Fishing Technology in Roch, J. Proceedings of Socio Economics, Seminar SOSEKIMA 4-7 December 1999 Bandungan. European Union Central Research Institute for Fisheries (CRIFI)-French Scientific research Institute for Development Trough Cooperation (ORSTOM) Jakarta).

Nababan. 2008. Tinjauan Aspek Ekonomi Keberlanjutan Perikanan Tangkap Skala Kecil di Kabupaten Tegal Jawa Tengah. Buletin Ekonomi Perikanan, Volume VIII Nomor 2 tahun 2008. Kelompok Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Perikanan dan Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.50-68.

Nasution. L.I. 1999. Perencanaan Regional Pedesaan. Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan, Program Pascasarjana IPB.

Ninan, Sunitha, dan Arpita Sharma. 2006. Cross-Sectional Analysis of Patents in Indian Fisheries Sector. World Patent Information Journal Vol. 28, pg. 147-158.


(3)

Nordvarg, Lennart, dan Lars Hakanson. 2002. Predicting the Environmental Response of Fish Farming in Coastal Areas of the Aland Archipelago (Baltic Sea) Using Management Models for Coastal Water Planning. Aquaculture Journal Vol 2006, pg 217-243.

Pearce and Turner.1990. The Economic Value of Biodiversity. IUCN Earthscan Publ. Ltd, London.

Pitcher and Preikshot. 2001. Rapfish : A rapid Appraisal Technique to Evaluate the Sustainability Status of Fisheries. Fisheries Research 49 (3) : 255-270.

Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. 1999. Kajian Kebutuhan Investasi Pembangunan Perikanan dalam Pembangunan Lima Tahun Mendatang (1999-2003). Kerjasama Direktorat Jenderal Perikanan. Departemen Pertanian dengan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Pusat Riset Perikanan Tangkap. 2001. Pengkajian Stok Ikan di Perairan Indonesia. Jakarta : PRPT-BRKP-DKP, P3O LIPI.

Ramadhan. 2006. Perspektif Co-management dalam Pengelolan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan di Nangroe Aceh Darussalam. Studi Kasus di Kota Sabang. Jurnal Kebijakan dan Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Vol. 1 No. 2 Desember 2006. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. 141-152 p.

Randall. 1997. Resource Economics, An Economic Approach to Natural Resource and Enviromental Policy, John Wiley & Son.

Razali. 1996. Dampak Ekonomi Sektor Perikanan terhadap Pengembangan Wilayah Kotamadya Sabang Daerah Istimewa Aceh. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Resosudarmo, Nina dan Rahayu. 2000. The Indonesian Marine Resources : An overview of Their Problems and Challenges. The Indonesian Quarterly. Vol. XXVIII, No. 3 Thierd Quarter. Center for Strategic and International Studies. Jakarta. 2000.

Resosudarmo et.al. 2002. Analisa Penentuan Sektor Prioritas di Kelautan dan Perikanan Indonesia. Jurnal Pesisir dan Lautan. Edisi Volume 4 Nomor 03 tahun 2002. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.17-28.

Romero, C. 1987. Multiple Objectives in Agricultural Planning : A Compromise Programming Aplication. American Journal of Agricultural Economics, 69 (1) : 78-86.


(4)

RPJMD Kab Lamongan. 2009. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Lamongan. Pemerintah Kabupaten Lamongan.

Rustiadi. 2005. Diktat Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Edisi 1 Maret 2005. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Saefulhakim. 2008. Model Pemetaan Potensi Ekonomi untuk Perumusan Kebijakan Pembangunan Daerah. Konsep, Metode, Aplikasi dan Teknik Komputasi. Community and regional Development Institut of Aqwati (CORDIA). Bogor.

Saharjo, S. 1992. Perkembangan Agroindustri dan Kebijakan Pengembangannya. Makalah pada Seminar Nasional Agroindustri III, Desember 1992. Yogyakarta.

Sarda, R., C. Avila, dan J. Mora. 2005. A Methodological Approach to be Used in Integrated Coastal Zone Management Processes: The Case of The Catalan Coast (Catalonia, Spain). Estuarine, Coastal and Shell Science Journal. Vol 62, pg 427-439.

Seijo JC, Defeo O, Salas S. 1998. Fisheries Bioeconomics Theory, Modelling and Management, FAO Fisheries Technical Paper 368.

Seragaldin, I dan Steer. 1993. Epilog : Expanding the Capital Stock bab dari Making Development Sustainable : From Concepts to Action. The International bank for Reconstruction and Development. The World bank Washington DC. USA.

Sobari. 2003. Membangun Model Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berkelanjutan Berdasarkan Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat Nelayan : Tinjauan Sosiologi Antropologi. Buletin Ekonomi Perikanan. Vol V No. 1 Tahun 2003. Departemen Sosial Ekonomi Perikanan dan Kalautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 41-48.

Sobari. 2007. Peranan Sektor Perikanan dan Kelautan terhadap Pembangunan Wilayah Kabupaten Kendal Propinsi Jawa Tengah. Buletin Ekonomi Perikanan, Volume VII Nomor 1 tahun 2007. Kelompok Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Perikanan dan Kalautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 1-19.

Soewardi dan Adrianto. 2005. Tiga Pilar Kebijakan Kelautan Indonesia. Working Paper. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.


(5)

Sonak, Sangeeta, Prajwala Pangam, and Asha Giriyan. 2008. Green Reconstruction of The Tsunami-affected Areas in India Integrated Coastal Zone Management Concept. Journal of Environmental Management Vol 89, pg. 14-23.

Spinner, C.A. 2006. An Integrated Approach to Storm Water Management in the Coastal Zone. Master Thesis. The School of Lanscape Architecture, Louisana State University and Agricultural and Mechanical College, Baton Rouge, Louisiana.

StatSoft. 2001. STATISTICA : Data Analysis Software System web Book. StatSoft, Inc. Diakses 23 Oktober 2003 pada http://www.statsoft.com/textbook/.

Stead, S. M., dan McGlashan, D. J. 2006. A Coastal and Marine National Park for Scotland in Partnership With Integrated Coastal Zone Management. Ocean and Coastal Management Journal Vol.49, pg 22-41.

Storrier, K.L. dan D.J. McGlashan. 2006. Development and Management of a Coastal Litter Campaign: The Voluntary Coastal Partnership Approach. Marine Policy Journal Vol. 30, pg 189-196.

Supranto, J. 2004. Analisis Multivariat. Arti dan Interprestasi. Rineka Cipta. Jakarta

Susanti. 2003. Dampak Perubahan Investasi dan Produktivitas Sektor Perikanan terhadap Kinerja Ekonomi Makro dan Sektoral di Indonesia. Tesis Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Sutomo. 1996. Kemiskinan dan Pembangunan Ekonomi Wilayah. Disertasi Program Pasca Sarjana, IPB, Bogor.

Suwito. 2005. Indikator Kesejahteraan Rakyat (Welfare Indicators). Biro Pusat Statistik.

Taha, H.A. 1992. Operations Research. Fifth Edition. Macmillan Publishing Company, New York.

Tanaka, Yutaka, Tomoyuki Tarumi dan Kazumasa Wakimoto. 1984. Pasokon Toukei kaiseki Handobukku II : Tabenryo Kaiseki Hen. Kyoritsu Shuppansha Kabussiki Gaisha, Tokyo dalam Saefulhakim. 2008. Model Pemetaan Potensi Ekonomi untuk Perumusan Kebijakan Pembangunan Daerah. Konsep, Metode, Aplikasi dan Teknik Komputasi. Community and regional Development Institut of Aqwati (CORDIA). Bogor.

Tarigan, R. 2005. Ekonomi Regional : Teori dan Aplikasi. Jakarta. PT. Bumi Aksara.


(6)

Teh. L. C. L et al. 2009. An Overview of Socio-Economic and Ecological Perspectives of Fiji’s Inshore Reef Fisheries. Marine Policy Journal Vol 33, pg 807-817.

Thorpe, Andy, et.al. 2009. The Collapse of The Fisheries Sector in Kyrgyzstan: An Analysis of its Roots and its Prospects for Revival. Communist and Post-Communist Studies Journal Vol. 42, pg 141-163.

Todaro, MP. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Penerbit Erlangga, Jakarta

Uktolseja JCB. Gafa, B. Purwasasmita R. Iskandar. 1998. Sumberdaya Ikan Pelagis Besar. Di dalam : Priyo BE et al. Editor. Potensi dan Penyebaran Sumberdaa Ikan Laut Indonesia. Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian. Hlm 33-53.

Vetemaa, M., Eschbaum, R., Saat.,T. 2005. The Transition From the Soviet System to a Market Economy as a Cause of Instability in the Estonian Coastal Fisheries Sector. Marine Policy Journal Vol. 30, pg. 635–640. Wanmali, S. 1992. Rural Infrastructure, The Settlement System and Development

of The Regional Economy in Southern India. International Food Policy Research Institute.

Wardoyo. 1992. Arah Perkembangan Agroindustri. Makalah pada Seminar Nasional Agroindustri III, Desember 1992. Yogyakarta.

White, Alan T. et al. 2005. Integrated Coastal Management and Marine Protected Areas: Complementarity in the Philippines. Ocean and Coastal Management Journal Vol. 48 pg. 948-971.

Widodo, J. 2003. Peran Pengusaha Perikanan Tangkap dalam Pengkajian Stok Ikan. Makalah disampaikan pada Lokakarya Pengkajian Stok Ikan Sumberdaya Ikan Nasional. Tanggal 25 Maret 2003. Kerjasama MPN-Ditjen Tangkap-Ispikani.

Wilson, Jieni Muaror, dan Melanie G Wiber. 2009. Community Perspectives on Integrated Coastal Management: a case study from the Annapolis Basin Area, Nova Scotia, Canada. Ocean and Coastal Management Journal Wyrtki, 1961. Physical Oseanography of South East Asian Waters. Naga Report