Rumusan Masalah Lokasi Penelitian Tujuan Dan Manfaat Penelitian Tinjauan Pustaka

Kota Pari, sehingga masyarakat desa ini hidup rukun dan tidak pernah mengalami konflik antar suku bangsa dan merupakan desa yang aman. Ketika panen datang, masyarakat desa Kota Pari melakukan upacara. Seperti yang diadakan di desa sebelah yaitu desa Kelapa Lima. Tetapi, desa sebelah bila musim panen tiba mereka melakukan upacara sebelum panen seperti turun bendera adalah salah satu upacara yang dilaksanakan sebelum panen tiba. Sedangkan di desa Kota Pari, mereka melakukan upacara setelah panen, dan dilakukan pada setiap satu Muharram, atau yang disebut mereka malam satu Syura yang bertepatan pada tahun baru Islam. Inilah yang menjadi kekhasan upacara panen yang dilakukan oleh komunitas petani Jawa Muslim di desa Kota Pari dan mengapa upacara panen dilakukan bersamaan atau bertepatan pada tahun baru Islam, ini pula yang mendorong saya untuk melakukan penelitian.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : 1. Mengapa pelaksanaan upacara yang berkaitan dengan aktifitas pertanian dilakukan sesuai dengan perhitungan kalender Islam yang mereka namakan upacara malam satu Syura ? 2. Bagaiman proses pelaksanaan upacara malam satu Syura pada komunitas petani Jawa di desa Kota Pari Kecamatan Pantai Cermin ? Universitas Sumatera Utara

1.3. Lokasi Penelitian

Di desa Kota Pari Kecamatan Pantai Cermin merupakan salah satu daerah yang berdekatan dengan lingkungan perkebunan, dan juga dekat dengan pinggiran pantai kira 20 meter dari desa, Sedangkan penduduknya mayoritas banyak masyarakat suku bangsa Jawa.

1.4. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan upacara malam satu Syura yang memiliki arti penting bagi orang Jawa di desa Kota Pari Kecamatan Pantai Cermin, yang meliputi : orang-orang yang terlibat didalamnya, proses pelaksanaannya, dan kepentingan-kepentingan yang tercangkup dari upacara tersebut. Dengan demikian, akan diketahui makna upacara malam satu Syura bagi masyarakat desa Kota Pari yang diselenggarakan tiap tahunnya bertepatan pada tahun baru Islam. Secara akademis, penelitian ini dapat menambah khasanah keilmuan di bidang Antropologi khususnya yang membahas tentang keberadaan upacara adat. Secara praktis dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap pihak-pihak yang berkepentingan untuk memahami maupun dalam membuat berbagai kebijakan yang diperlukan dan dalam rangka upaya pelestarian kebudayaan daerah. Universitas Sumatera Utara Dari dua bencana diatas masyarakat di desa Kota Pari sampai sekarang ini melakukan upacara ritual sekaligus upacara yang dilakukan pada setiap satu Muharram yaitu bulan syura sehingga di desa mereka terhindar dari marabahaya.

1.5. Tinjauan Pustaka

Geertz 1981:109 menjelaskan upacara panen terdapat kisah tisnawati dari Jakasudana. Tisnawati, puteri batara guru, raja sekalian dewa, jatuh cinta kepada Jakasudana, seorang manusia biasa. Dalam kemarahannya, ayahnya mengutuknya menjadi butiran padi, dan iba melihat suaminya duduk termangu dengan sedih menyaksikan perubahan istrinya, ia mengubah Jakasudana menjadi butiran padi juga. Ritus panen mengesahkan kembali perkawinan mereka, dan sering disebut sebagai temanten pari atau “perkawinan padi”. Untuk upacara ini seorang speasialis yang disebut tukang metik di panggil. Sekitar sebulan panen berlangsung, tukang metik memilih tari dengan ilmu angka numerologi. Kalau ia memilih misalnya saja hari Ngahad Kliwon, maka pada hari Ngahad Kliwon yang keempat setelah perhitungannya itu upacara panen pun dilangsungkan, sedang pemetikan padi dilakukan sehari sesudahnya. Pada hari upacara itu tukang metik, biasannya ditemani oleh tamu-tamu pemilik sawah, mengitari sawah itu beberapa kali, mengucapkan mantera yang meminta pengampunan dan berkah Tisnawati atau mbok sri dan Jakasudana. Kemudian ia membakar kemenyan, memberi sajian dan memotong beberapa tangkai padi, yang jumlahnya tergantung kepada nomor harinya misalnya 13 kalau harinya adalah Ngahad Kliwon. Tangkai-tangkai padi ini disebut manten Universitas Sumatera Utara mempelai pria dan wanita. Tangkai-tangkai itu dibawah pulang oleh tukang metik yang biasannya berjalan didepan iring-iringan para tamu, dibawa kelumbung, digantungkan di dinding dan tetap disana sampai panen tahun itu habis dimakan atau dijual. Tiba dirumah suatu slametan diselenggarakan. Malam itu tukang metik kembali kesawah untuk memberi sajian lagi, membakar kemenyan dan mengucapkan mantra-mantra pengambil hati. Hari berikutnya panen padi dimulai, dan hasil sawah itu meningkat berkat upacara itu. Berbicara masalah upacara panen, sudah banyak sekali yang telah mengkaji maupun menulis tentang hal tersebut. Seperti halnya Nasution 2008 dalam skripsinya yang berjudul upacara “ kenduri Sko” dengan mengunakan metode kualitatif. Adapun isi dari skripsinya adalah upacara keduri sko merupakan salah satu upacara adat siap panen yang dilakukan sebagai rasa syukur kepada Allah SWT atas hasil panen yamg telah didapat masyarakat desa keluru kabupaten Kerinci. Dalam penelitian ini panen dikaitkan dengan upacara. Petani adalah seseorang yang bergerak di bidang pertanian utamanya dengan cara melakukan pengelolaan tanah dengan tujuan untuk menumbuhkan dan memelihara tanaman seperti padi, bunga, buah dan lain lain, dengan harapan untuk memperoleh hasil dari tanaman tersebut untuk di gunakan sendiri ataupun menjualnya kepada orang lain id.wikipedia.orgwikiPetani. Begitu pula di desa Kota Pari Kecamatan Pantai Cermin mata pencaharian adalah petani. Petani di desa Kota Pari setiap setelah panen mereka melakukan upacara, biasanya upacara ini dilakukan oleh masyarakat di desa Kota Pari Universitas Sumatera Utara sebagai rasa syukur kepada Allah SWT terhadap hasil panen yang diberikan selama ini, menolak marabahaya agar terhindar dari musibah serta memperat hubungan kekerabatan setiap masyarakat yang ada di desa Kota Pari Kecamatan Pantai Cermin. Pada umumnya upacara merupakan rangkaian perangkat lambang- lambang yang berupa benda atau materi, kegiatan fisik, hubungan tertentu, kejadian-kejadian, isyarat-isyarat dan berbagai situasi tertentu yang dilakukan dalam melaksanakan upacara. Peragaan serta penggunaan secara simbolis atau lambang-lambang ini dapat ditangkap maknanya melalui interprestasi orang-orang yang terlibat di dalamnya maupun para pengamat. Niels Mulder 1983 mengatakan bahwa Indonesia, khususnya suku bangsa Jawa mempunyai sifat seremonial. Hampir pada tiap peristiwa yang dianggap penting, baik yang menyangkut segi kehidupan seseorang, baik yang bersifat keagamaan atau kepercayaan, maupun mengenai usaha seseorang dalam mencari penghidupan. Pelaksanaannya selalu disertai dengan upacara. Dalam bulan-bulan tertentu orang mengadakan upacara yang sifatnya keagamaan dan bersifat hari besar bagi masyarakat Jawa misalnya Ruwahan, Selikuran, Lebaran, Sawasalan, Besaran, Suran, Saparan, dan lain-lain. Sedangkan didalam usaha mencari penghidupan terutama bagi golongan petani, dikenal upacara yang bersangkutan dengan bercocok tanam, seperti upacara wirit, tandur, dan lain-lain. Robertson Smith Menyatakan bahwa asas religi, tetapi berpangkal pada upacaranya. Dalam gagasannya ada tiga komponen penting yang menambah pengertian kita mengenai azas-azas dari religi dan agama pada umumnya yaitu: Universitas Sumatera Utara 1. Gagasan pertama mengenai sistem keyakinan dan doktrin, sistem upacara juga merupakan suatu perwujudan dari religi atau agama yang memerlukan studi dan analisa yang khusus. 2. Gagasan kedua adalah upacara religi atau agama yang biasanya dilaksanakan oleh banyak warga masyarakat pemeluk religi atau agama yang bersangkutan bersama-sama mempunyai fungsi sosial untuk mengitensifkan solidaritas masyarakat. 3. Gagasan ketiga adalah teorinya mengenai fungsi upacara bersaji. Selain itu Smith mengatakan bahwa upacara bersaji sebagai suatu upacara yang gembira meriah tetapi juga keramat dan tidak sebagai suatu upacara yang khidmat. Koentjaranigrat,1980. Geertz 1981:11 menjelaskan suatu analisa mengenai sistem pengertian yang tercangkup dalam simbol-simbol yang menjadikan agama sebagai agama, dan menghubungkan sistem-sistem ini dengan proses-proses struktur sosial dan kejiwaaan. Menurut pandangan Berger, Luckman, dan Spradley memiliki asumsi bahwa peranan upacara baik ritual dan seremonial adalah untuk selalu mengingatkan manusia berkenaan dengan eksentensi dan hubungan dengan lingkungan mereka. Dengan adanya upacara-upacara, warga sesuatu masyarakat bukan hanya selalu dingatkan tetapi juga dibiasakan untuk menggunakan simbol- simbol yang bersifat abstrak yang berada pada tingkat pemikiran untuk berbagai kegiatan sosial nyata yang ada dalam kehidupan mereka sehari-hari. Hal ini mungkin terjadi, karena upacara-upacara itu selalu dilakukan secara rutin Universitas Sumatera Utara menurut skala waktu tertentu. Sehingga, beda antara yang bersifat imajinatif dan yang nyata ada yang menjadi kabur, dan upacara-upacara itu sendiri serta simbol- simbol sucinya bukanlah sesuatu yang asing atau jangkauan kenyataan. Tetapi sebaliknya, telah menjadi sebagaian dari aspek kehidupan sehari-hari yang nyata. Geertz:1981:11 Dengan demikian upacara Slametan, misalnya dapat dilihat sebagai aspek keagamaan, yaitu sebagai aren dimana rumus-rumus yang berupa doktrin- doktrin agam berubah menjadi serangakain simbol. Konsep R. Otto terhadap sikap kagum-terpesona pada hal yang ghaib. Pendapatnya menyatakan bahwa semua sistem religi, kepercayaan dan agama di dunia berpusat kepada suatu konsep tentang hal yang ghaib, yang dianggap maha dahsyat dan keramat oleh manusia. Hal yang keramat dan ghaib menimbulkan sikap kagum-terpesona, selalu akan menarik perhatian manusia dan mendorong timbulnya hasrat untuk menghayati rasa bersatu dengannya. Koentjaraningrat:1980:65. Setiap upacara merupakan wahana mengarah kelepasan, pemudaran, pemulangan dan realisasi diri, yang dapat diperbandingkan dengan penebusan yang dirasa kebutuhannya oleh setiap manusia. Pada tiap taraf kehidupan jasmani manusia menghadapi bahaya seperti : bahaya kesialan, kegagalan, musibah lebih mengancamnya pada saat orang beralih dari satu ke stadium yang lebih lanjut. Teori Van Baal juga memandang penting sikap dari pemeluk religi yang bersangkutan terhadap hal ghaib, sebagai komponen yang sangat menentukan dalam satu sistem religi. Adapun sikap dari biasanya ditentukan oleh suatu Universitas Sumatera Utara campuran dari berbagai perasaan yang bertentangan ialah rasa cinta, hasrat akan kemesraan dan hasrat untuk berbakti, tetapi juga rasa takut dan tak berdaya terhadap berbagai gejala yang berada di luar batas akal manusia dan terhadap berbagai bahaya yang tak dapat dikuasai oleh akal manusia. Perasaan-perasaan tadi mendorong manusia untuk melakukan berbagai perbuatan yang bertujuan mencari hubungan dengan dunia ghaib. Kelakuan keagamaan yang dilaksanakan menurut tata kelakuan yang baku disebut upacara keagamaan atau relegious ceremonies dan tiap upacara keagamaan dapat terbagi ke dalam empat komponen yaitu: 1. Tempat upacara, 2. Saat upacara, 3. Benda-benda dan alat-alat upacara, 4. Orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara. Kelompok keagamaan atau religious community adalah kesatuan kumpulan dari beberapa orang yang mengkonsepsikan dan mengaktifkan suatu religi beserta sistem upacara keagamaannya, dan semua sistem religi di dunia atau unsur kelompok keagamaan itu merupakan unsur pokok dalam kehidupannya. Koentjaraningrat, 1981. Satu Muharram sebagai awal penanggalan Islam oleh Khalifah Umar bin Khathab, seorang khalifah Islam di jaman setelah Nabi Muhammad SAW wafat awal dari afiliasi ini konon untuk memperkenalkan kalender Islam di kalangan masyarakat Jawa. Maka tahun 931 H atau 1443 tahun Jawa baru, yaitu pada jaman Universitas Sumatera Utara pemerintahan kerajaan Demak, Sunan Giri II telah membuat penyesuaian antara sistem kalender Hirjiyah dengan sistem kalender Jawa pada waktu itu. Masyarakat Jawa pada umumnya menyebut bulan Muharam dengan sebutan Syura. Orang Jawa menganggap bulan Syura ini sebagai bulan yang keramat. Tabu bagi orang Jawa untuk menyelenggarakan hajatan misalnya menikahkan anak atau tolak bala. Tentu saja hal tersebut hanya berlaku bagi orang-orang yang meyakininya. Karena saat ini banyak yang sudah tidak memperdulikan hal tersebut, terutama bagi generasi muda. Selain itu, pada malam pergantian tahun baru Islam tersebut, di masyarakat Jawa biasanya ada tradisi- tradisi yang sering dikerjakan Cerita asal mula terjadinya upacara malam satu Syura agar desa terhindar dari malapetaka yang menimpa desa tersebut. Upacara yang berasal dari nenek moyang dan dilaksanakan setiap tahun. Upacara ini berasal dari adat Jawa yang biasa disebut upacara Tolak Bala. Upacara ini dianggap sebagai ritual untuk menghindar dari bahaya dan petaka di desa tersebut. Mengenai cerita di daerah satu dengan yang lain ada berbagai variasi, meskipun tidak prinsipsial. Dengan demikian maka sebagai unsur pokok di dalam upacara satu malam Syura selanjutnya di samping orang menyediakan berbagai macam sajen sajian. Semasa orang Jawa masih percaya akan adanya dewa, maka segala sesuatu akan dihubungkan dengan keyakinan itu. Hukuman dan sangsi yang dijatuhkan merupakan suatu penderitaan atau kesengsaraan, dianggap berasal dari dewa pula yaitu dari dewa yang mendatangkan malapetaka ialah Dewa Kala. Universitas Sumatera Utara Sesuai dengan pendapat Prof. Dr. J. Van baal bahwa sajian merupakan pemberian atau persembahan kepada dewa yang digemari oleh para dewa dan roh tetapi juga mengandung lambang-lambang guna berkomunikasi dengan para itu. Apabila diperhatikan sajian yang telah disediakan di dalam upacara ruwat maka ada juga tanda-tanda bahwa sajian itu pun mengandung arti pemberian atau persembahan kepada dewa, roh atau tokoh ghaib yang mengandung lambang- lambang untuk berkomunikasi Koentjaraningrat, 1985. Sajian itu dikatakan adalah makanan kegemaran dari dewa, sehingga apabila orang menyajikannya akan berkenan, sehingga memperlancar hubungan dengan dewa atau roh tertentu. Misalnya itik dan burung merpati menjadi kegemaran Dewa Kala. Kain bangun tulak adalah kain kegemaran Dewi Durga, kain Pandhan Binethot kegemaran Dewi Sri. Demikian pula sajian-sajian yang disediakan oleh pemeluk Islam, misalnya nasi wuduk dikatakan untuk dipersembahkan kepada Nabi Muhammad SAW, karena orang Jawa menasionalisasikan nasi santan dan nasi yang bercampur dengan minyak samin yang diketahui oleh orang Jawa adalah makanan orang Arab. Di samping itu semua unsur sajian itu pada hakikatnya satu demi satu dari aspek namanya, bentuknya, sifatnya mengandung makna dan merupakan lambang. Tiap-tiap benda itu masing-masing mengutarakan harapan tertentu. Misalnya, janur daun kelapa muda berarti dari kata kecenging pikir dan berarti ketetapan hati. Tebu dari anteping kalbu berarti kehendak yang kuat. Kupat Luwer berasal dari kata laku papat dan luwar, empat jalan menuju kebebasan. Pisang ayu suruh ayu, ayu adalah rahayu berarti selamat atau sejahtera. Universitas Sumatera Utara Dewasa ini sudah jarang orang yang menafsirkan seluruh jenis sajian yang dihidangkan dalam upacara malam satu Syura, tetapi meskipun demikian orang taat dalam mengusahakan dan menyediakan barang-barang itu, karena kalau kurang lengkap kemungkinan besar upacara itu tidak mencapai maksud yang dikehendaki, bahkan dapat mendatangkan bencana. Teori yang dijadikan pegangan penulis adalah teori Geertz 1992:5, menjelaskan bahwa kebudayaan merupakan Suatu sistem keteraturan dari makna dan simbol-simbol tersebut indivindu-indivindu mendefiniskan dunia mereka, mengekrepsikan perasaan mereka, dan membuat penilaian mereka, membuat penilaian mereka. Geertz menfokuskan konsep kebudayaan kepada nilai-nilai budaya yang menjadi pedoman masyarakat untuk bertindak dalam menghadapi berbagai permasalahan hidupnya. Lebih lanjut Geertz 1992, didalam kebudayaan, makna tidak bersifat individual tetapi publik. Ketika sistem makna kemudian menjadi milik kolektif dari suatu kelompok, kebudayaan menjadi suatu pola makna yang diteruskan secara historis terwujud dalam simbol-simbol. Kebudayaan juga menjadi suatu sistem konsep yang diwariskan terungkap dalam bentuk simbolik yang dengannya manusia berkomunikasi, melestarikan, dan memperkembangkan pengetahuan mereka tentang kehidupan dan sikap-sikap kehidupan. Untuk menjelaskan makna suatu upacara dapat dilihat dari simbol-simbol yang ada dalam upacara tersebut. Geertz 1992:149 menjelaskan bahwa simbol adalah segala objek berupa benda-benda, orang, peristiwa, tingkah laku dan ucapan-ucapan yang mengandung pengertian menurut kebudayaan yang Universitas Sumatera Utara bersangkutan. Dalam penelitian ini, upacara malam satu Syura dalam proses pelaksanaanya mempunyai berbagai bentuk perbuataan separti berdoa, makan bersama dan musyawarah. Kegiatan tersebut memiliki simbol yang ditafsirkan maknanya. Selain makna-makna tersebut, kemungkinan ada makna-makna lain yang terdapat dalam pelaksanaan upacara malam satu Syura. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini akan mendekskripsikan makna dari pelaksanaan upacara malam satu Syura sebagai upacara yang terbesar di desa Kota Pari. Dalam pendeskripsiannya akan diuraikan siapa-siapa saja yang terlibat dalam upacara Malam Satu Syura, proses pelaksanaan upacara malam satu Syura, hal-hal apa saja yang mendukung kebertahanan upacara malam satu Syura, serta kepentingan- kepentingan yang tercangkup dari pelaksanaan upacara malam satu Syura bagi kehidupan masyarakat di desa Kota Pari Kecamatan Pantai Cermin.

1.6. Metode Penelitian