Pengaruh Lingkungan Aktivitas Produksi Aspal Hotmix terhadap Syndrome Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Pekerja dan Penduduk di Kawasan Pelabuhan Balohan Sabang Tahun 2011

(1)

PENGARUH LINGKUNGAN AKTIVITAS PRODUKSI ASPAL HOTMIX TERHADAP SYNDROME INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT

(ISPA) PADA PEKERJA DAN PENDUDUK DI KAWASAN PELABUHAN BALOHAN SABANG

TAHUN 2011

TESIS

Oleh :

YUSRI 097032079/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

THE INFLUENCE OF ENVIRONMENT OF THE HOTMIX ASPHALT PRODUCTION ACTIVITY ON THE ACUTE RESPIRATORY

SYNDROME ON THE WORKERS AND RESIDENTS AT BALOHAN SABANG HARBOR AREA IN 2011

T H E S I S

By

YUSRI 097032079/IKM

MAGISTER OF PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH

UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

PENGARUH LINGKUNGAN AKTIVITAS PRODUKSI ASPAL HOTMIX TERHADAP SYNDROME INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT

(ISPA) PADA PEKERJA DAN PENDUDUK DI KAWASAN PELABUHAN BALOHAN SABANG

TAHUN 2011

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri

pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh

YUSRI 097032079/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2012


(4)

Judul Tesis : PENGARUH LINGKUNGAN AKTIVITAS PRODUKSI ASPAL HOTMIX TERHADAP SYNDROME INFEKSI SALURAN

PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA PEKERJA DAN PENDUDUK DI KAWASAN

PELABUHAN BALOHAN SABANG TAHUN 2011

Nama Mahasiswa : Yusri Nomor Induk Mahasiswa : 097032079

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Tamsil Syafiuddin, Sp. P (K) (Ir. Indra Chahaya S, M.Si Ketua Anggota

)

Dekan


(5)

Telah diuji

Pada Tanggal : 29 Februari 2012

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Tamsil Syafiuddin,Sp. P (K) Anggota : 1. Ir. Indra Chahaya S, M.Si


(6)

PERNYATAAN

PENGARUH LINGKUNGAN AKTIVITAS PRODUKSI ASPAL HOTMIX TERHADAP SYNDROME INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT

(ISPA) PADA PEKERJA DAN PENDUDUK DI KAWASAN PELABUHAN BALOHAN SABANG

TAHUN 2011

TESIS

Dengan ini menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah di ajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepengetahuan saya juga tidak terdapat atau karya atau pendapat yang pernah di tulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam tulisan ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Maret 2012


(7)

ABSTRAK

Penyakit ISPA masih merupakan masalah kesehatan yang penting di Indonesia dengan proporsi kematian 3,8%. Dari survei pendahuluan yang dilakukan pada pekerja aspal hotmix dan penduduk di kawasan pelabuhan Sabang banyak yang mengalami keluhan gangguan pernapasan. Pada tahun 2010 kasus ISPA di kawasan pelabuhan balohan sabang sebesar 2424 kasus.

Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh lingkungan aktivitas produksi aspal hotmix terhadap syndrome ISPA pada pekerja yaitu: suhu, kelembaban, kadar debu, APD dan pada penduduk yaitu: suhu, kelembaban, kadar debu, jarak rumah dengan industri di kawasan Balohan Sabang. menggunakan metode survei dengan desain Cross Sectional. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2011 – Januari 2012. Populasi dalam penelitian ini adalah pekerja industri aspal hotmix dan penduduk di kawasan pelabuhan Balohan Sabang. Sampel terpilih adalah pekerja sebanyak 30 orang dan penduduk sebanyak 74 orang. Analisis data dengan

menggunakan regresi logitik pada α = 0,05.

Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh suhu, kelembaban, kadar debu, APD, jarak rumah dengan industri pada pekerja dan penduduk terhadap syndrome ISPA. Variabel paling dominan adalah konsentrasi debu terhadap syndrome ISPA.

Diharapkan bagi perusahaan agar diupayakan sosialisasi tentang kesehatan kerja dan menerapkan UU tentang keselamatan kerja. Bagi pemerintah diharapkan melakukan pengawasan melekat tentang kesehatan dan keselamatan kerja di perusahaan, melakukan penyuluhan kesehatan dan pencegahan paparan debu terhadap lingkungan pemukiman. Bagi masyarakat agar berupaya secara mandiri meningkatkan derajat kesehatan.


(8)

ABSTRACT

Acute respiratory disease is the most important health problem in Indonesia with the proportion of death rate of 3.8%. From the preliminary survey conducted to the hot mix asphalt workers and the residence at Sabang harbor area, it was found out that many of them were affected by respiratory infection. In 2010 the ISPA incidents at Balohan Sabang harbor were 2424 cases.

The aim of the research was to analyze the influence of the activity of the hot mix asphalt factory on the workers affected by Acute Respiratory syndrome: temperature, moisture, dust content, PPE (Personal Protection Equipment), and on the residents: temperature, moisture, dust content, and the distance between their residences and the factories at Balohan Sabang era. The research used a survey method with cross sectional design. It was conducted from January, 2010 until January, 2012. The population was all workers at the hot mix asphalt factory and the residents at Balohan Sabang harbor. 30 Workers and 74 residents were used as the samples. The data were analyzed by using logistic regression test at α = 0.05.

The results of the research showed that temperature, moisture, dust content, PPE, and the distance between the residences and the factory, and the residents influenced incident the Acute Respiratory syndrome. The most dominant variable was the dust concentration on the Acute Respiratory syndrome. It is recommended that the management of the factory should socialize Occouptional of health and apply the law on Occouptional of health and safety. The government should control Occouptional of health and safety tightly in factory, conduct health counseling and the prevention from dust content to the residents. It is also recommended that the residents should independently improve their health standard.


(9)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini dengan judul “Pengaruh Lingkungan Aktivitas Produksi Aspal Hotmix terhadap Syndrome Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Pekerja dan Penduduk di Kawasan Pelabuhan Balohan Sabang Tahun 2011”.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri Universitas Sumatera Utara.

Dalam menyusun tesis ini penulis mendapat bantuan, dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H, M.Sc (CTM), Sp.A(K).

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatra Utara.

3. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

4. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat serta seluruh jajarannya yang telah memberikan bimbingan dan dorongan selama penulis mengikuti pendidikan.


(10)

5. Prof. dr. Tamsil Syafiuddin, Sp.P (K) selaku ketua komisi pembimbing dalam penulisan tesis ini dan Ir. Indra Chahaya S, M.Si sebagai anggota komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu dan pikiran dengan penuh perhatian dan kesabaran dalam memberikan bimbingan sehingga tesis ini dapat terselesaikan.

6. Dra. Lina Tarigan, Apt, M.S dan Ir. Evi Naria, M.Kes sebagai komisi penguji tesis.

7. Para dosen di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

8. Kepala Kantor Kesehatan Pelabuhan Sabang.

Ucapan terima kasih yang tulus dan ikhlas kepada ayahanda Alm Sulaiman Asyek dan ibunda Almh Hamidah atas segala jasanya sehingga penulis mendapatkan pendidikan terbaik.

Teristimewa untuk istri tercinta Athiah,S.E serta Keluarga tersayang yang telah turut memberikan doa dan cinta, karena kehilangan banyak waktu bersama dalam masa-masa menempuh pendidikan ini.

Rekan- rekan dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak memberikan bantuan moril dan materil selama mengikuti pendidikan, penelitian dan penulisan tesis.


(11)

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak sangat di harapkan dan diucapkan terimakasih.

Medan, Maret 2012

Penulis


(12)

RIWAYAT HIDUP

Yusri dilahirkan di Kota Bakti pada tanggal 02 November 1974 anak ke-5 (lima) dari pasangan Sulaiman Asyek dan Hamidah.

Pendidikan formal yang pernah ditempuh dari Sekolah Dasar No.2 Sigli selesai Tahun 1986, SMP Negeri No.1 Sigli selesai Tahun 1989, SMA Negeri No.1 Sigli selesai Tahun 1992

Pada Tahun 1996 menyelesaikan Akademi Penilik Kesehatan Universitas Jabal Ghafur Sigli. Tahun 2000 Melanjutkan Pendidikan Strata 1 (S1) Fakultas Kesehatan Masyarakat pada Universitas Muhammaddiyah Banda Aceh dan selesai Tahun 2004.

Karir penulis dimulai dari tahun 1996, tahun 1996 sampai tahun 1999 bekerja pada Kantor Pelayanan Telekomunikasi Sigli. Tahun 1999 sampai tahun 2008 bekerja pada Kantor Kesehatan Pelabuhan Banda Aceh. dan dari tahun 2008 sampai saat ini bekerja pada Kantor Kesehatan Pelabuhan Sabang.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Permasalahan ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4. Hipotesis ... 6

1.5. Manfaat Penelitian ... 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1. Penyakit Saluran Pernafasan ... 7

2.1.1. Pengertian Penyakit ISPA ... 7

2.1.2. Penyebab ISPA ... 7

2.1.3. Klasifikasi ISPA ... 8

2.1.4. Gejala ISPA ... 8

2.1.5. Cara Penularan ISPA ... 11

2.1.6. Diagnosis ISPA ... 11

2.1.7. Pengobatan ISPA ... 12

2.2. Faktor-faktor Lingkungan yang Memengaruhi Penyakit ... 13

2.2.1. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) ... 13

2.2.2. Suhu ... 17

2.2.3. Kelembaban ... 18

2.2.4. Kadar Debu di Lingkungan Kerja ... 19

2.2.4.1. Pengertian Debu ... 19

2.2.4.2. Pencemaran Udara Oleh Debu ... 20

2.2.4.3. Nilai Baku Mutu ... 21

2.2.4.4. Efek Debu terhadap Kesehatan ... 22

2.3. Aspal Hotmix ... 28

2.3.1. Pengertian Aspal Hotmix ... 28


(14)

2.3.3. Kelebihan Aspa Hotmix……… ... 29

2.3.4. Perencanaan Campuran………... ... 30

2.3.5. Jarak Industri dengan Pemukiman……… ... 33

2.4. Kerangka Konsep ... 35

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 36

3.1. Jenis Penelitian ... 36

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 36

3.3. Populasi dan Sampel ... 36

3.3.1. Populasi ... 36

3.3.2. Sampel ... 37

3.4. Metode Pungumpulan Data ... 38

3.4.1. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 38

3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... 39

3.5.1. Variabel Bebas ... 39

3.5.2. Variabel Terikat ... 39

3.6. Metode Pengukuran ... 41

3.6.1. Variabel Bebas ... 41

3.6.2. Variabel Terikat ... 42

3.7. Metode Analisis Data ... 43

3.7.1. Analisis Univariat ... 43

3.7.2. Analisis Bivariat ... 43

3.7.3. Analisis Multivariat ... 44

BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 45

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 45

4.2. Karakteristik Pekerja dan Penduduk ... 46

4.3. Analisa Univariat ... 47

4.3.1. Lingkungan Aktivitas Produksi dan Lingkungan ... Pemukiman ... 47

4.3.2. Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan ... 51

4.4. Analisis Bivariat ... 54

4.4.1. Hubungan Faktor Lingkungan Aktivitas Produksi dengan Penyakit ISPA pada Pekerja di Kawasan Pelabuhan Sabang ... 54

4.4.2. Hubungan Faktor Lingkungan Aktivitas Produksi dengan Penyakit ISPA pada Penduduk di Kawasan Pelabuhan Sabang ... 56


(15)

BAB 5 PEMBAHASAN ... 62

5.1. Karakteristik Penderita Penyakit ISPA ... 62

5.2. Pengaruh Lingkungan Aktivitas Produksi pada Pekerja ... 63

5.2.1. Suhu ... 63

5.2.2. Kelembaban ... 65

5.2.3. Kadar Debu ... 67

5.2.4. Penggunaan APD ... 69

5.3. Pengaruh Lingkungan Aktivitas produksi pada Penduduk... 71

5.3.1. Suhu ... 71

5.3.2. Kelembaban ... 72

5.3.3. Kadar Debu ... 74

5.3.4. Jarak Rumah dengan Industri ... 76

5.3.5. Fenomena Faktor Risiko pada Pekerja dan Penduduk ... 79

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 81

6.1. Kesimpulan ... 82

6.2. Saran ... 82

DAFTAR PUSTAKA ... 84


(16)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

2.1. Jenis Debu yang dapat Menimbulkan Penyakit Paru pada Manusia ... 24

2.2. Batas Distribusi Partikel Agregrat Kasar dan Halus………. 30

3.1. Aspek Pengukuran Variabel Bebas………. . 41

3.2. Aspek Pengukuran Variabel Terikat ... 43

4.1. Karakteristik Pekerja dan Penduduk berdasarkan Umur, Pendidikan dan Jenis Kelamin di Kawasan Pelabuhan Balohan Sabang ... 46

4.2. Distribusi Frekuensi Penggunaan APD pada Lingkungan Aktivitas Produksi Aspal Hotmix di Kawasan Pelabuhan Balohan Sabang Tahun 2011 ... 48

4.3. Distribusi Frekuensi Suhu dan Kelembaban di Lingkungan Aktivitas Produksi Aspal Hotmix pada Pekerja di Kawasan Pelabuhan Balohan Sabang ... 48

4.4. Distribusi Frekuensi Suhu, Kelembaban pada Lingkungan Pemukiman Penduduk di Kawasan Pelabuhan Balohan Sabang Tahun 2011 ... 49

4.5. Distribusi Frekuensi Pengukuran Kadar Debu di Dua Titik pada Lingkungan Aktivitas Produksi di Kawasan Pelabuhan Balohan Sabang Tahun 2011 ... 50

4.6. Distribusi Frekuensi Pengukuran Kadar Debu pada Lingkungan Pemukiman Penduduk di Kawasan Pelabuhan Balohan Sabang Tahun 2011 ... 51

4.7. Distribusi Frekuensi Jawaban Responden terhadap Syndrome ISPA pada Pekerja di Lingkungan Aktivitas Produksi Aspal Hotmix di Kawasan Pelabuhan Balohan Sabang Tahun 2011 ... 51


(17)

4.8. Distribusi Frekuensi Jawaban Responden terhadap Syndrome ISPA pada Penduduk di Lingkungan Pemukiman Penduduk di Kawasan

Pelabuhan Balohan Sabang Tahun 2011 ... 52 4.9. Distribusi Frekuensi Lingkungan Aktivitas Produksi Aspal Hotmix

terhadap Syndrome ISPA pada Pekerja dan Penduduk di Kawasan

Balohan Sabang Tahun 2011 ... 53 4.10. Hubungan Faktor Lingkungan Aktivitas Produksi Aspal Hotmix

dengan Syndrome ISPA pada Pekerja Industri Aspal di Kawasan

Pelabuhan Balohan Sabang Tahun 2011 ... 54 4.11. Hubungan Faktor Lingkungan Aktivitas Produksi Aspal Hotmix

dengan Syndrome ISPA pada Penduduk di Kawasan Pelabuhan

Balohan Sabang Tahun 2011 ... 56 4.12. Hasil Uji Regresi Logistik yang Masuk dalam Model dengan Nilai

p<0,05 untuk Faktor Lingkungan Aktivitas Produksi terhadap

Syndrome ISPA pada Pekerja di Kawasan Pelabuhan Balohan Sabang ... 60 4.13. Hasil Uji Regresi Logistik yang Masuk dalam Model dengan Nilai

p<0,05 untuk Faktor Lingkungan Aktivitas Produksi terhadap Syndrome ISPA pada Penduduk di Kawasan Pelabuhan Balohan

Sabang ... 61


(18)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

2.1. Alat Pelindung Pernafasan ... 16 2.2. Alur Perencanaan Campuran Metode Bina Marga………. . 33 2.3. Kerangka Konsep Penelitian………. ... 35


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Kuesioner ... 87

2. Uji Validitas dan Reliabilitas………. ... 89

3. Hasil Pengolahan Data Penelitian………. ... 92

4. Rekapitulasi Jawaban Responden ... 120


(20)

ABSTRAK

Penyakit ISPA masih merupakan masalah kesehatan yang penting di Indonesia dengan proporsi kematian 3,8%. Dari survei pendahuluan yang dilakukan pada pekerja aspal hotmix dan penduduk di kawasan pelabuhan Sabang banyak yang mengalami keluhan gangguan pernapasan. Pada tahun 2010 kasus ISPA di kawasan pelabuhan balohan sabang sebesar 2424 kasus.

Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh lingkungan aktivitas produksi aspal hotmix terhadap syndrome ISPA pada pekerja yaitu: suhu, kelembaban, kadar debu, APD dan pada penduduk yaitu: suhu, kelembaban, kadar debu, jarak rumah dengan industri di kawasan Balohan Sabang. menggunakan metode survei dengan desain Cross Sectional. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2011 – Januari 2012. Populasi dalam penelitian ini adalah pekerja industri aspal hotmix dan penduduk di kawasan pelabuhan Balohan Sabang. Sampel terpilih adalah pekerja sebanyak 30 orang dan penduduk sebanyak 74 orang. Analisis data dengan

menggunakan regresi logitik pada α = 0,05.

Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh suhu, kelembaban, kadar debu, APD, jarak rumah dengan industri pada pekerja dan penduduk terhadap syndrome ISPA. Variabel paling dominan adalah konsentrasi debu terhadap syndrome ISPA.

Diharapkan bagi perusahaan agar diupayakan sosialisasi tentang kesehatan kerja dan menerapkan UU tentang keselamatan kerja. Bagi pemerintah diharapkan melakukan pengawasan melekat tentang kesehatan dan keselamatan kerja di perusahaan, melakukan penyuluhan kesehatan dan pencegahan paparan debu terhadap lingkungan pemukiman. Bagi masyarakat agar berupaya secara mandiri meningkatkan derajat kesehatan.


(21)

ABSTRACT

Acute respiratory disease is the most important health problem in Indonesia with the proportion of death rate of 3.8%. From the preliminary survey conducted to the hot mix asphalt workers and the residence at Sabang harbor area, it was found out that many of them were affected by respiratory infection. In 2010 the ISPA incidents at Balohan Sabang harbor were 2424 cases.

The aim of the research was to analyze the influence of the activity of the hot mix asphalt factory on the workers affected by Acute Respiratory syndrome: temperature, moisture, dust content, PPE (Personal Protection Equipment), and on the residents: temperature, moisture, dust content, and the distance between their residences and the factories at Balohan Sabang era. The research used a survey method with cross sectional design. It was conducted from January, 2010 until January, 2012. The population was all workers at the hot mix asphalt factory and the residents at Balohan Sabang harbor. 30 Workers and 74 residents were used as the samples. The data were analyzed by using logistic regression test at α = 0.05.

The results of the research showed that temperature, moisture, dust content, PPE, and the distance between the residences and the factory, and the residents influenced incident the Acute Respiratory syndrome. The most dominant variable was the dust concentration on the Acute Respiratory syndrome. It is recommended that the management of the factory should socialize Occouptional of health and apply the law on Occouptional of health and safety. The government should control Occouptional of health and safety tightly in factory, conduct health counseling and the prevention from dust content to the residents. It is also recommended that the residents should independently improve their health standard.


(22)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan kesehatan adalah bagian dari pembangunan nasional yang bertujuan meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Pembangunan kesehatan tersebut merupakan upaya seluruh potensi Bangsa Indonesia, baik masyarakat, swasta maupun pemerintah (Depkes RI, 2004).

Upaya perbaikan dalam bidang kesehatan masyarakat salah satunya dilaksanakan melalui program upaya kesehatan yang memiliki tujuan umum untuk meningkatkan pemerataan dan mutu upaya kesehatan yang berhasil guna dan berdayaguna serta terjangkau oleh segenap anggota masyarakat. Sementara itu, salah satu tujuan khususnya adalah menurunkan angka kesakitan, kematian dan kecacatan dari penyakit menular dan penyakit tidak menular termasuk kesehatan gigi (Depkes RI, 2000).

Salah satu tujuan yang ingin dicapai pemerintah untuk terwujudnya Indonesia Sehat 2015 adalah memerangi HIV/ AIDS dan penyakit menular lainnya. Selain mengatasi masalah HIV/ AIDS, pemerintah juga memprioritaskan pengentasan masalah penyakit menular lainnya seperti; malaria, TBC, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dan lain-lain (Depkes RI, 2000).


(23)

Penyakit ISPA adalah penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran napas mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) (Depkes RI, 2008).

Data dari World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa ISPA merupakan salah satu penyebab kematian tersering dinegara sedang berkembang yang menyerang 400 sampai dengan 500 juta jiwa dengan Proportional Mortality Rate (PMR) sebesar 26,67% (WHO, 2008).

Program pengendalian ISPA menetapkan bahwa semua kasus yang ditemukan harus mendapat tata laksana sesuai standar, dengan demikian penemuan angka kasus ISPA juga menggambarkan penatalaksanaan kasus ISPA. Jumlah kasus ISPA di masyarakat diperkirakan sebanyak 10% dari populasi. Target cakupan program ISPA nasional pada balita sebesar 76% dari perkiraan jumlah kasus, namun pada tahun 2008 cakupan penemuan kasus baru mencapai 18,81% (Depkes RI, 2008).

Berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2007, Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) masih merupakan masalah kesehatan yang penting di Indonesia karena menyebabkan kematian yang cukup tinggi dengan proporsi 3,8% untuk penyebab kematian di semua umur, sementara prevalensi nasional ISPA ada sebesar 25,5% (16 propinsi di atas angka nasional). Untuk angka kunjungan pasien ke rumah sakit dengan penyakit gangguan sistem pernafasan berada di peringkat pertama yaitu sebesar 18,6% (Ditjen Bina Yanmedik, 2009).


(24)

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Aceh, prevalensi Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada tahun 2008 sebesar 63,78% dan pada tahun

2009 sebesar 70,36%, urutan pertama terbanyak dari 10 jenis penyakit menular (Profil Dinas Kesehatan Propinsi Aceh, 2008, 2009), dan data dari Dinas Kesehatan

Kota Banda Aceh, prevalensi Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada tahun 2008 sebesar 50,91% dan pada tahun 2009 sebesar 46,8%, urutan pertama terbanyak dari 10 jenis penyakit menular (Profil Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh, 2008, 2009).

Salah satu daerah yang termasuk ke dalam wilayah administratif di Propinsi NAD adalah Sabang. Sebagai daerah wisata, Sabang memiliki pembangunan sarana dan prasarana yang terus berkembang dengan pesat. Hal ini di fungsikan untuk menarik minat para wisatawan agar berkunjung ke Sabang. Untuk terus menjaga

image yang baik mengenai sabang, maka perlu adanya tindakan-tindakan untuk

senantiasa meningkatkan derajat kesehatan serta melestarikan kebersihan, keindahan dan keasrian Sabang.

Dalam tujuan melestarikan Sabang sebagai daerah wisata juga perlu adanya pembangunan dibidang sarana jalan sebagai salah satu penghubung agar mudahnya aksesibilitas ketempat-tempat tujuan wisata. Di Kawasan Pelabuhan Balohan Sabang terdapat sebuah pabrik yang memroduksi aspal Hotmix (aspal beton) bernama Pabrik Tamitana yang berlokasi tidak terlalu jauh dari pemukiman penduduk sekitar. Pabrik tersebut juga berada di dataran yang sedikit lebih tinggi dari pemukiman, sehingga


(25)

debu-debu yang beterbangan yang dikeluarkan dari adanya kegiatan proses produksi aspal Hotmix tersebut menjangkau ke pemukiman penduduk. Dari survey awal yang dilakukan peneliti para pekerja pabrik Tamitana dan penduduk tidak sedikit yang mengeluhkan mengalami gangguan pernafasan dikarenakan terkontaminasi dengan debu-debu akibat proses produksi aspal Hotmix tersebut.

Di tahun 2009, ISPA merupakan penyakit peringkat pertama dari 10 pola penyakit terbanyak di Kawasan Pelabuhan Laut Balohan dengan 2.230 kasus, dimana kasus terbanyak terjadi pada bulan Februari dan Desember yaitu masing-masing sebesar 297 kasus. (Profil Kesehatan Puskesmas Sukajaya, 2009)

Sementara pada tahun 2010 penyakit ISPA di Kawasan Pelabuhan Laut Balohan ada sebesar 2424 kasus dengan kasus terbanyak terjadi pada bulan Desember sebesar 311 kasus. (Bagian P2P Puskemas Suka Jaya Tahun 2010)

Berdasarkan data kasus ISPA tahun 2009 dan 2010 di atas, dapat diketahui bahwa terjadi peningkatan sebesar 194 kasus. Peningkatan ini menunjukkan bahwa penyakit ISPA masih belum teratasi dan merupakan kasus yang perlu mendapat perhatian khusus.

Sebagian besar ISPA disebabkan oleh infeksi, akan tetapi dapat juga disebabkan oleh bahan-bahan seperti aspirasi minyak mineral, Inhalasi bahan-bahan organik atau uap kimia seperti Berillium, inhalasi bahan-bahan debu yang mengandung alergen, seperti spora aktinomisetes termofilik yang terdapat pada


(26)

ampas tebu di pabrik gula, obat (Nitrofurantoin, Busulfan, Metotreksat), radiasi dan Desquamative interstitial pneumonia, Eosinofilic pneumonia (Alsagaff, 2005).

Dari hasil penelitian Sarijan (2005), ada Hubungan Faktor Lingkungan dan Perilaku Keluarga dengan Kejadian ISPA Pada Balita di Desa Banjararjo Kecamatan Ayah Tahun 2005. Penelitian Hidayati (2004), Faktor Lingkungan (Ventilasi, Kepadatan Hunian dan Kelembaban Berhubungan dengan Kejadian ISPA Pada Balita Di Kelurahan Pasie Nan Tigo Kecamatan Koto Tangah Kota Padang Tahun 2004.

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang Pengaruh Lingkungan Aktivitas Produksi Aspal Hotmix terhadap Syndrome Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada Pekerja dan Penduduk di Kawasan Pelabuhan Balohan Sabang Tahun 2011.

1.2. Permasalahan

Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana Pengaruh Lingkungan Aktivitas Produksi Aspal Hotmix terhadap Syndrome Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada Pekerja dan Penduduk di Kawasan Pelabuhan Balohan Sabang Tahun 2011.

1.3. Tujuan Penelitian

Untuk menganalisis Pengaruh Lingkungan Aktivitas Produksi Aspal Hotmix meliputi Suhu, Kelembaban, Kadar Debu, APD (alat pelindung diri) serta Jarak dengan Pemukiman Penduduk terhadap Syndrome Infeksi Saluran Pernafasan Akut


(27)

(ISPA) Pada Pekerja dan Penduduk di Kawasan Pelabuhan Balohan Sabang Tahun 2011.

1.4. Hipotesis

Berdasarkan variabel-variabel penelitian yang dilakukan, maka hipotesa pada penelitian ini yaitu ada Pengaruh Lingkungan Aktivitas Produksi Aspal Hotmix Meliputi Suhu, Kelembaban, Kadar Debu, APD (alat pelindung diri) serta Jarak dengan Pemukiman Penduduk terhadap Syndrome Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada Pekerja dan Penduduk di Kawasan Pelabuhan Balohan Sabang Tahun 2011.

1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1. Bagi Ilmu Pengetahuan

Sebagai bahan informasi dasar dalam pengembangan ilmu pengetahuan mengenai pengaruh lingkungan aktivitas aspal hotmix terhadap Syndrome ISPA.

1.5.2. Bagi Instansi Pemerintahan yang Terkait dan Berwenang (Dinas Kesehatan Kota Sabang dan Puskesmas Suka Jaya), sebagai bahan masukan dan informasi dalam perencanaan dan evaluasi programdalam upaya penanganan syndrome ISPA di Sabang.


(28)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penyakit Saluran Pernafasan

2.1.1. Pengertian Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit saluran pernafasan akut yang meliputi saluran pernafasan bagian atas seperti rhinitis, fharingitis, dan

otitis serta saluran pernafasan bagian bawah seperti laryngitis, bronchitis,

bronchiolitis dan pneumonia, yang dapat berlangsung selama 14 hari. Batas waktu 14 hari diambil untuk menentukan batas akut dari penyakit tersebut. Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung sampai alveoli beserta organ seperti sinus, ruang telinga tengah dan pleura (Depkes RI, 2008).

Pada umumnya suatu penyakit saluran pernafasan dimulai dengan keluhan-keluhan dan gejala yang ringan. Dalam perjalanan penyakit mungkin gejala-gejala menjadi lebih berat dan bila semakin berat dapat jatuh dalam keadaan kegagalan pernafasan dan mungkin meninggal. Bila sudah dalam kegagalan pernafasan maka dibutuhkan penatalaksanaan yang lebih rumit, meskipun demikian mortalitas masih tinggi, maka perlu diusahakan agar yang ringan tidak menjadi lebih berat dan yang sudah berat cepat-cepat ditolong dengan tepat agar tidak jatuh dalam kegagalan pernafasan (Depkes RI, 2008).


(29)

2.1.2. Penyebab ISPA

Infeksi Saluran Pernafasan Atas disebabkan oleh beberapa golongan kuman yaitu bakteri, virus, dan ricketsia yang jumlahnya lebih dari 300 macam. Pada ISPA atas 90-95% penyebabnya adalah virus. Di negara berkembang, ISPA bawah terutama pneumonia disebabkan oleh bakteri dari genus streptokokus, haemofilus,

pnemokokus, bordetella dan korinebakterium, sedang di negara maju ISPA bawah

disebabkan oleh virus, miksovirus, adenivirus, koronavirus, pikornavirus dan herpesvirus (Parker, 1985 dalam Putranto, 2007).

2.1.3. Klasifikasi ISPA

Menurut Depkes RI tahun 2008, klasifikasi dari ISPA adalah : 1. Ringan (bukan pneumonia)

Batuk tanpa pernafasan cepat / kurang dari 40 kali / menit, hidung tersumbat / berair, tenggorokan merah, telinga berair.

2. Sedang (pneumonia sedang)

Batuk dan nafas cepat tanpa stridor, gendang telinga merah, dari telinga keluar cairan kurang dari 2 minggu. Faringitis purulen dengan pembesaran kelenjar limfe yang nyeri tekan (adentis servikal).

3. Berat (pneumonia berat)

Batuk dengan nafas berat, cepat dan stridor, membran keabuan di taring, kejang, apnea, dehidrasi berat / tidur terus, sianosis dan adanya penarikan yang kuat pada dinding dada sebelah bawah ke dalam.


(30)

2.1.4. Gejala ISPA

Penyakit ISPA adalah penyakit yang timbul karena menurunnya sistem kekebalan atau daya tahan tubuh, misalnya karena kelelahan atau stres. Bakteri dan virus penyebab ISPA di udara bebas akan masuk dan menempel pada saluran pernafasan bagian atas, yaitu tenggorokan dan hidung. Pada stadium awal, gejalanya berupa rasa panas, kering dan gatal dalam hidung, yang kemudian diikuti bersin terus menerus, hidung tersumbat dengan ingus encer serta demam dan nyeri kepala. Permukaan mukosa hidung tampak merah dan membengkak. Akhirnya terjadi peradangan yang disertai demam, pembengkakan pada jaringan tertentu hingga berwarna kemerahan, rasa nyeri dan gangguan fungsi karena bakteri dan virus di daerah tersebut maka kemungkinan peradangan menjadi parah semakin besar dan cepat. Infeksi dapat menjalar ke paru-paru, dan menyebabkan sesak atau pernafasan terhambat, oksigen yang dihirup berkurang. Infeksi lebih lanjut membuat sekret menjadi kental dan sumbatan di hidung bertambah. Bila tidak terdapat komplikasi, gejalanya akan berkurang sesudah 3-5 hari. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah sinusitis, faringitis, infeksi telinga tengah, infeksi saluran tuba eustachii, hingga bronkhitis dan pneumonia (Halim, 2000).

Penyakit pada saluran pernafasan mempunyai gejala yang berbeda yang pada dasarnya ditimbulkan oleh iritasi, kegagalan mucociliary transport, sekresi lendir yang berlebihan dan penyempitan saluran pernafasan. Tidak semua penelitian dan kegiatan program memakai gejala gangguan pernafasan yang sama. Misalnya untuk


(31)

menentukan infeksi saluran pernafasan, WHO menganjurkan pengamatan terhadap gejala-gejala, kesulitan bernafas, radang tenggorok, pilek dan penyakit pada telinga dengan atau tanpa disertai demam. Efek pencemaran terhadap saluran pernafasan memakai gejala-gejala penyakit pernafasan yang meliputi radang tenggorokan, rinitis, bunyi mengi dan sesak nafas (Robertson, 1984 dalam Purwana, 1992).

Dalam hal efek debu terhadap saluran pernafasan telah terbukti bahwa kadar debu berasosiasi dengan insidens gejala penyakit pernafasan terutama gejala batuk. Di dalam saluran pernafasan, debu yang mengendap menyebabkan oedema mukosa dinding saluran pernafasan sehingga terjadi penyempitan saluran.

Menurut Putranto (2007), faktor yang mendasari timbulnya gejala penyakit pernafasan :

1. Batuk

Timbulnya gejala batuk karena iritasi partikulat adalah jika terjadi rangsangan pada bagian-bagian peka saluran pernafasan, misalnya trakeobronkial, sehingga timbul sekresi berlebih dalam saluran pernafasan. Batuk timbul sebagai reaksi refleks saluran pernafasan terhadap iritasi pada mukosa saluran pernafasan dalam bentuk pengeluaran udara (dan lendir) secara mendadak disertai bunyi khas. 2. Dahak

Dahak terbentuk secara berlebihan dari kelenjar lendir (mucus glands) dan sel goblet oleh adanya stimuli, misalnya yang berasal dari gas, partikulat, alergen dan mikroorganisme infeksius. Karena proses inflamasi, di samping dahak dalam


(32)

saluran pernafasan juga terbentuk cairan eksudat berasal dari bagian jaringan yang berdegenerasi.

3. Sesak nafas

Sesak nafas atau kesulitan bernafas disebabkan oleh aliran udara dalam saluran pernafasan karena penyempitan. Penyempitan dapat terjadi karena saluran pernafasan menguncup, oedema atau karena sekret yang menghalangi arus udara. Sesak nafas dapat ditentukan dengan menghitung pernafasan dalam satu menit. 4. Bunyi mengi

Bunyi mengi merupakan salah satu tanda penyakit pernafasan yang turut diobservasikan dalam penanganan infeksi akut saluran pernafasan.

2.1.5. Cara Penularan Penyakit ISPA

Penularan penyakit ISPA dapat terjadi melalui udara yang telah tercemar, bibit penyakit masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan, maka penyakit ISPA termasuk golongan Air Borne Disease. Penularan melalui udara terjadi tanpa kontak dengan penderita maupun dengan benda terkontaminasi. Sebagian besar penularan melalui udara, dapat pula menular melalui kontak langsung, namun tidak jarang penyakit yang sebagian besar penularannya adalah karena menghisap udara yang mengandung unsur penyebab atau mikroorganisme penyebab (Halim, 2000).

2.1.6. Diagnosa ISPA

Diagnosis ISPA oleh karena virus dapat ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium terhadap jasad renik itu sendiri. Pemeriksaan yang dilakukan adalah


(33)

biakan virus, serologis, diagnostik virus secara langsung. Sedangkan diagnosis ISPA oleh karena bakteri dilakukan dengan pemeriksaan sputum, biakan darah, biakan cairan pleura (Halim, 2000).

Diagnosis pneumonia berat ditandai dengan adanya nafas cepat, yaitu frekuensi pernafasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih, atau adanya penarikan yang kuat pada dinding dada sebelah bawah ke dalam. Rujukan penderita pnemonia berat dilakukan dengan gejala batuk atau kesukaran bernafas yang disertai adanya gejala tidak sadar dan tidak dapat minum. Pada klasifikasi bukan pneumonia maka diagnosisnya adalah batuk pilek biasa (common cold), pharyngitis, tonsilitis, otitis atau penyakit non pnemonia lainnya (Halim, 2000).

2.1.7. Pengobatan ISPA

ISPA mempunyai variasi klinis yang bermacam-macam, maka timbul persoalan pada diagnostik dan pengobatannya. Sampai saat ini belum ada obat yang khusus antivirus. Idealnya pengobatan bagi ISPA bakterial adalah pengobatan secara rasional. dengan mendapatkan antimikroba yang tepat sesuai dengan kuman penyebab. Untuk itu, kuman penyebab ISPA dideteksi terlebih dahulu dengan mengambil material pemeriksaan yang tepat, kemudian dilakukan pemeriksaan mikrobiologik, baru setelah itu diberikan antimikroba yang sesuai (Halim, 2000).

Kesulitan menentukan pengobatan secara rasional karena kesulitan memperoleh material pemeriksaan yang tepat, sering kali mikroorganisme itu baru diketahui dalam waktu yang lama, kuman yang ditemukan adalah kuman komensal,


(34)

tidak ditemukan kuman penyebab. Maka sebaiknya pendekatan yang digunakan adalah pengobatan secara empirik lebih dahulu, setelah diketahui kuman penyebab beserta anti mikroba yang sesuai, terapi selanjutnya disesuaikan.

2.2.Faktor-Faktor Lingkungan yang Memengaruhi Penyakit Saluran Pernafasan

Banyak faktor yang mempengaruhi penyakit saluran pernafasan khususnya pada aspek tenaga kerja adalah penggunaan alat pelindung diri, dan faktor lingkungan yaitu : suhu, kelembaban, konsentrasi debu.

2.2.1. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)

Perlindungan tenaga kerja yang utama melalui upaya teknis pengamanan tempat, peralatan dan lingkungan kerja. Penggunaan alat pelindung diri merupakan upaya terakhir dalam usaha perlindungan tenaga kerja. Oleh karena itu alat pelindung diri harus memenuhi persyaratan antara lain enak dipakai, tidak mengganggu kerja dan memberikan perlindungan yang efektif terhadap jenis bahaya yang ada.

Suatu kegiatan industri, paparan dan risiko yang ada ditempat kerja tidak selalu dapat dihindari. Upaya untuk pencegahan terhadap kemungkinan penyakit akibat kerja dan kecelakaan kerja harus senantiasa dilakukan. Ada beberapa alternatif pengendalian (secara tehnik dan administratif) yang bisa dilaksanakan. Pilihan yang sering dilakukan adalah melengkapi tenaga kerja dengan alat pelindung diri dijadikan suatu kebiasaan dan keharusan. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang No. 1 Th 1970


(35)

tentang keselamatan kerja yang mengatur penyediaan dan penggunaan alat pelindung diri di tempat kerja baik pengusaha maupun tenaga kerja.

Alat pelindung diri untuk pekerja adalah alat pelindung untuk pekerja agar aman dari bahaya atau kecelakaan akibat melakukan suatu pekerjaannya. Alat pelindung diri untuk pekerja di Indonesia sangat banyak sekali permasalahannya dan masih dirasakan banyak kekurangannya (Husaeri & Yunus, 2003).

Alat pelindung diri (APD) yang baik adalah APD yang memenuhi standar keamanan dan kenyamanan bagi pekerja (Safety and acceptation), apabila pekerja memakai APD yang tidak nyaman dan tidak bermanfaat maka pekerja enggan memakai, hanya berpura-pura sebagai syarat agar masih diperbolehkan untuk bekerja atau menghindari sanksi perusahaan (Khumaidah, 2009).

Menurut Budiono (2002), APD yang tepat bagi tenaga kerja yang berada pada lingkungan kerja dengan paparan debu berkonsentrasi tinggi adalah:

1. Masker

Masker untuk melindungi dari debu atau partikel-partikel yang lebih kasar yang masuk ke dalam saluran pernafasan. Masker terbuat dari kain dengan ukuran pori-pori tertentu.

2. Respirator

Respirator berguna untuk melindungi pernafasan dari debu, kabut, uap, logam, asap dan gas. Alat ini dibedakan menjadi :


(36)

a. Respirator pemurni udara

Membersihkan udara dengan cara menyaring atau menyerap kontaminan dengan toksisitas rendah sebelum memasuki sistem pernafasan. Alat pembersihnya terdiri dari filter untuk menangkap debu dari udara atau tabung kimia yang menyerap gas, uap dan kabut (gambar 2.1).

b. Respirator penyalur udara

Membersihkan aliran udara yang terkontaminasi secara terus menerus. Udara dapat dipompa dari sumber yang jauh (dihubungkan dengan selang tahan tekanan) atau dari persediaan yang portable (seperti tabung yang berisi udara bersih atau oksigen). Jenis ini biasa dikenal dengan SCBA (Self Contained Breathing Apparatus) atau alat pernafasan mandiri. Digunakan untuk tempat kerja yang terdapat gas beracun atau kekurangan oksigen.

Alat ini dapat dilihat pada gambar 2.1. berikut:

Gambar 2.1. Alat Pelindung Pernafasan


(37)

Pemakaian masker oleh pekerja industri yang udaranya banyak mengandung debu, merupakan upaya mengurangi masuknya partikel debu ke dalam saluran pernafasan. Dengan mengenakan masker, diharapkan pekerja melindungi dari kemungkinan terjadinya gangguan pernafasan akibat terpapar udara yang kadar debunya tinggi. Walaupun demikian, tidak ada jaminan bahwa dengan mengenakan masker, seorang pekerja di industri akan terhindar dari kemungkinan terjadinya gangguan pernafasan.

Banyak faktor yang menentukan tingkat perlindungan dari penggunaan masker, antara lain adalah jenis dan karakteristik debu, serta kemampuan menyaring dari masker yang digunakan. Kebiasaan menggunakan masker yang baik merupakan cara aman bagi pekerja yang berada di lingkungan kerja berdebu untuk melindungi kesehatan.

Menurut Budiono (2002), cara-cara pemilihan APD harus dilakukan secara hati-hati dan memenuhi beberapa kriteria yang diperlukan antara lain:

1. APD harus memberikan perlindungan yang baik terhadap bahaya-bahaya yang dihadapi tenaga kerja

2. APD harus memenuhi standar yang telah ditetapkan

3. APD tidak menimbulkan bahaya tambahan yang lain bagi pemakaiannya yang dikarenakan bentuk atau bahannya yang tidak tepat atau salah penggunaan

4. APD harus tahan untuk jangka pemakaian yang cukup lama dan bersifat fleksibel.


(38)

2.2.2. Suhu

Persyaratan kesehatan untuk ruang kerja industri yang nyaman di tempat kerja adalah suhu yang tidak dingin dan tidak menimbulkan kepanasan bagi tenaga kerja yaitu berkisar antara 18 0C sampai 30 0C dengan tinggi langit-langit dari lantai minimal 2,5 m. Bila suhu udara > 30 0

Persyaratan Kesehatan Rumah Tinggal agar memiliki kualitas udara yang baik dan nyaman juga berkisar antara 18

C perlu menggunakan alat penata udara seperti air conditioner, kipas angin dan lain-lain. Bila suhu udara luar < 18 °C perlu menggunakan alat pemanas ruangan (Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2002).

0

C sampai 30 0

2.2.3. Kelembaban

C dengan langit-langit yang mudah dibersihkan dan tidak rawan kecelakaan (Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 829/Menkes/SK/VII/1999).

Kelembaban udara tergantung berapa banyak uap air (dalam %) yang terkandung di udara. Saat udara dipenuhi uap air dapat dikatakan bahwa udara berada dalam kondisi jenuh dalam arti kelembaban tinggi dan segala sesuatu menjadi basah. Kelembaban lingkungan kerja yang tidak memberikan pengaruh kepada kesehatan pekerja berkisar antara 65 % - 95 %. Kelembaban sangat erat kaitannya dengan suhu dan keduanya merupakan pemicu pertumbuhan jamur dan bakteri. Pada umumnya kondisi optimal perkembangbiakan mikroorganisme adalah pada kondisi kelembaban tinggi. Kelembaban udara yang relatif rendah yaitu kurang dari 20% dapat


(39)

menyebabkan kekeringan selaput lendir membran. Sedangkan kelembaban yang tinggi dapat meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme dan pelepasan formaldehid dari material bangunan (Suma’mur, 1995).

Persyaratan kesehatan untuk kelembaban di lingkungan industri adalah berkisar antara 65% - 95%. Bila kelembaban udara ruang kerja > 95% perlu menggunakan alat dehumidifier dan bila kelembaban udara ruang kerja < 65% perlu menggunakan humidifier, misalnya mesin pembentuk aerosol (Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2002).

Persyaratan kesehatan untuk kelembaban di rumah adalah berkisar antara 40 - 70% (Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor : 829/Menkes/SK/VII/1999).

2.2.4. Konsentrasi Debu di Lingkungan Kerja

Semakin tinggi konsentrasi partikel debu dalam udara dan semakin lama paparan berlangsung, jumlah partikel yang mengendap di paru juga semakin banyak. Setiap inhalasi 500 partikel per millimeter kubik udara, setiap alveoli paling sedikit menerima 1 partikel dan apabila konsentrasi mencapai 1000 partikel per millimeter kubik, maka 10% dari jumlah tersebut akan tertimbun di paru. Konsentrasi yang melebihi 5000 partikel per millimeter kubik sering dihubungkan dengan terjadinya pneumokoniosis (Mangkunegoro, 2003).

Pneumokoniosis akibat debu akan timbul setelah penderita mengalami kontak lama dengan debu. Jarang ditemui kelainan bila paparan kurang dari 10 tahun.


(40)

Dengan demikian lama paparan mempunyai pengaruh besar terhadap kejadian gangguan fungsi paru (Yunus, 2006).

2.2.4.1. Pengertian Debu

Debu yaitu partikel zat padat, yang disebabkan oleh kekuatan-kekuatan alamiah atau mekanis seperti pengolahan, penghancuran, pelembutan, pengepakan yang cepat, peledakan dan lain-lain dari bahan-bahan, baik organik maupun anorganik, misalnya batu, kayu, biji logam, arang batu, butir-butir zat dan sebagainya (Suma’mur, 1995).

Definisi lain mengatakan debu merupakan salah satu polutan yang dapat mengganggu kenikmatan kerja. Debu juga dapat mengakibatkan gangguan pernafasan bagi pekerja pada industri-industri yang berhubungan dengan debu pada proses produksinya. Debu juga sering disebut sebagai partikel yang melayang di udara (suspended particulate metter/SPM) dengan ukuran 1 mikron sampai dengan 500 mikron. Polutan merupakan bahan-bahan yang ada di udara yang dapat membahayakan kehidupan manusia (Amin, 1996).

Dalam kasus pencemaran udara baik dalam maupun di luar gedung (indoor and out door pollution) debu merupakan campuran dari berbagai bahan dengan ukuran dan bentuk yang relatif berbeda-beda dan sering dijadikan salah satu indikator pencemaran yang digunakan untuk menunjukkan tingkat bahaya, baik terhadap lingkungan maupun terhadap kesehatan dan keselamatan kerja (Pudjiastuti, 2002).


(41)

2.2.4.2. Pencemaran Udara oleh Debu

Partikel menurut WHO seperti yang dikutip oleh Purwana (1992), adalah sejumlah benda padat atau cair dalam bermacam-macam ukuran, jenis dan bentuk yang tersebar dari sumber-sumber antropogenik dan sumber alam.

Partikel debu menyebar di atmosfer akibat dari berbagai proses alami seperti letusan gunung, hembusan debu serta tanah oleh angin. Aktifitas manusia juga berperan dalam penyebaran partikel, misalnya dalam bentuk partikel debu dan asbes dari bahan bangunan, abu terbang dari proses peleburan baja dan asap dari proses pembakaran tidak sempurna, terutama dari batu arang. Sumber partikel yang utama adalah pembakaran dari bahan bakar sumbernya diikuti proses-proses industri.

Partikel debu di atmosfer dalam bentuk suspensi, yang terdiri atas partikel-partikel padat dan cair. Ukuran partikel-partikel dari 100 mikron hingga kurang dari 0,01 mikron. Terdapat hubungan antara partikel polutan dengan sumbernya (Fardiaz, 1992).

Partikel debu akan berada di udara dalam waktu yang relatif lama dalam keadaan melayang-layang di udara, kemudian masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan. Menurut Pudjiastuti (2002), selain dapat membahayakan terhadap kesehatan juga dapat menyebabkan gangguan sebagai berikut : Gangguan aestetik dan fisik seperti terganggunya pemandangan dan pelunturan warna bangunan dan pengotoran.


(42)

1. Merusak kehidupan tumbuhan yang terjadi akibat adanya penutupan pori-pori tumbuhan sehingga mengganggu jalannya fotosintesis.

2. Merubah iklim global regional maupun internasional.

3. Mengganggu perhubungan/penerbangan yang akhirnya mengganggu kegiatan sosial ekonomi di masyarakat.

4. Mengganggu kesehatan manusia seperti timbulnya iritasi pada mata, alergi, gangguan pernafasan dan kanker pada paru-paru.

2.2.4.3. Nilai Baku Mutu

Batu mutu debu pada udara ambien di Indonesia diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2002 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri. Sesuai dengan Surat Keputusan tersebut, nilai baku mutu konsentrasi debu maksimal ditetapkan 10 mg/m3 untuk waktu pengukuran rata-rata 8 jam. Secara internasional konsentrasi total suspended solid (TSP) ditetapkan dalam National Ambient Air Quality (NAAQ) EPA sebesar 260 µg/m3 untuk waktu pengukuran 24 jam dan 75 µg/m3 untuk waktu pengukuran 1 tahun. Sedangkan PM 10 ditetapkan sebesar 150 µg/m3 untuk waktu pengukuran 24 jam dan 50 µg/m3

2.2.4.4. Efek Debu terhadap Kesehatan

untuk waktu pengukuran 1 tahun (US.EPA, 2004 dalam Putranto, 2007).

Bahaya debu kayu bagi kesehatan bahwa debu merupakan bahan partikel apabila masuk ke dalam organ pernafasan manusia maka dapat menimbulkan


(43)

penyakit pada tenaga kerja khususnya berupa gangguan sistem pernafasan yang ditandai dengan pengeluaran lendir secara berlebihan yang menimbulkan gejala utama yang sering terjadi adalah batuk, sesak nafas dan kelelahan umum.

Pekerja yang terpapar debu kayu secara kontinyu pada usia 15 sampai dengan 25 tahun akan terjadi penurunan kemampuan kerja, usia 25 sampai dengan 35 tahun timbul batuk produktif, usia 45 sampai dengan 55 tahun terjadi sesak hipoksemia, usia 55 sampai dengan 65 tahun terjadi cor pulmonal sampai kegagalan pernafasan dan kematian (Triatmo, 2006).

Mekanisme penimbunan debu dalam paru dapat dijelaskan sebagai berikut: debu diinhalasi dalam partikel debu solid, atau suatu campuran dan asap, debu yang berukuran antara 5-10 μ akan ditahan oleh saluran nafas bagian atas, debu yang berukuran 3-5 μ akan ditahan oleh saluran nafas bagian tengah, debu yang berukuran 1-3 μ disebut respirabel, merupakan ukuran yang paling bahaya, karena akan tertahan dan tertimbun mulai dari bronchiolus terminalis sampai hinggap di permukaan alveoli/selaput lendir sehingga menyebabkan fibrosis paru. Sedangkan debu yang berukuran 0,1 – 1 μ melayang di permukaan alveoli (Pudjiastuti, 2002).

Menurut Pope (2003), mekanisme pengendapan partikel debu di paru berlangsung dengan berbagai cara:

1. Gravitation, sedimentasi partikel yang masuk saluran nafas karena gaya gravitasi. 2. Impaction yaitu terbenturnya di percabangan bronkus dan jatuh pada percabangan


(44)

3. Brown difusion yang mengendapnya partikel yang diameter lebih besar dari dua micron yang disebabkan oleh terjadinya gerakan keliling (gerakan Brown) dari partikel oleh energi kinetik.

4. Elektrostatic terjadi karena saluran nafas dilapisi mukus, yang merupakan

konduktor yang baik secara elektrostatik.

5. Interception yaitu pengendapan yang berhubungan dengan sifat fisik partikel

berupa ukuran panjang/besar partikel hal ini penting untuk mengetahui dimana terjadi pengendapan.

Tidak semua partikel yang terinhalasi akan mengalami pengendapan di paru. Faktor pengendapan debu di paru dipengaruhi oleh pertahanan tubuh dan karakterisrik debu sendiri yang meliputi jenis debu, ukuran partikel debu, konsentrasi partikel dan lama paparan, pertahanan tubuh.

1. Jenis debu

Jenis debu terkait daya larut sifat kimianya. Adanya perbedaan daya larut dan sifat kimiawi ini, maka kemampuan mengendapnya juga akan berbeda pula. Demikian juga tingkat kerusakan yang ditimbulkannya juga akan berbeda pula. (Suma’mur, 1996) mengelompokkan partikel debu menjadi dua yaitu debu organik dan anorganik.


(45)

Tabel 2.1 Jenis Debu yang Dapat Menimbulkan Penyakit Paru pada Manusia

No Jenis Debu Contoh (Jenis debu)

1 Organik

a. Alamiah

1. Fosil Batu bara, karbon hitam, arang, granit

2. Bakteri TBC, antraks, enzimbacillussubstilis

3. Jamur Koksidimikosis,histoplasmosis,kriptokokus

thermophilic actinomycosis.

4. Virus Psikatosis, cacar air, Qfever

5. Sayuran Kompos jamur, ampas tebu, tepung padi, gabus, atap

alang-alang, katun, rami, serta nanas

6. Binatang Kotoran burung merpati, kesturi, ayam.

b. Sintesis

1. Plastik Politetra fluoretilen diesosianat

2. Reagen Minyak isopropyl, pelarut organik

2 Anorganik

a. Silica bebas

1. Crystaline Quarrz, trymite cristobalite

2. Amorphus Diatomaceous earth, silica gel

b. Silika

1. Fibrosis Asbestosis, silinamite, talk

2. Lain-lain Mika, kaolin, debu semen

c. Metal

1. Inert Besi, barium, titanium, tin, alumunium, seng

2. Lain-lain Berilium

3. Bersifat keganasan Arsen, kobal, nikel hematite, uranium, asbes, khrom

2. Ukuran Partikel

Tidak semua partikel dalam udara yang terinhalasi akan mencapai paru. Partikel yang berukuran besar pada umumnya telah tersaring di hidung. Partikel dengan diameter 0,5-0,1 μ yang disebut partikel terhisap yang dapat mencapai alveoli. Partikel berdiameter 0,5-0,1 μ dapat mengendap di alveoli dan menyebabkan terjadinya pneumokoniosis (Malaka, 1996).


(46)

adanya hubungan yang kuat antara gejala penyakit saluran pernafasan dengan kadar partikel debu di udara (Pope, 2003).

3. Kadar Pertikel Debu dan Lama Paparan

Semakin tinggi konsentrasi partikel debu dalam udara dan semakin lama paparan berlangsung, jumlah partikel yang mengendap di paru juga semakin banyak. Setiap inhalasi 500 partikel per millimeter kubik udara, setiap alveoli paling sedikit menerima 1 partikel dan apabila konsentrasi mencapai 1000 partikel per millimeter kubik, maka 10% dari jumlah tersebut akan tertimbun di paru. Konsentrasi yang melebihi 5000 partikel per millimeter kubik sering dihubungkan dengan terjadinya pneumokoniosis (Mangkunegoro, 2003).

Pneumokoniosis akibat debu akan timbul setelah penderita mengalami kontak lama dengan debu. Jarang ditemui kelainan bila paparan kurang dari 10 tahun. Dengan demikian lama paparan mempunyai pengaruh besar terhadap kejadian gangguan fungsi paru (Yunus, 2006).

4. Pertahanan Tubuh terhadap Paparan Partikel Debu yang Terinhalasi

Beberapa orang yang mengalami paparan debu yang sama baik jenis maupun ukuran partikel. Konsentrasi maupun lamanya paparan berlangsung, tidak selalu menunjukkan akibat yang sama. Sebagian ada yang mengalami gangguan paru berat, namun ada yang ringan bahkan mungkin ada yang tidak mengalami gangguan sama sekali.


(47)

Hal ini diperkirakan berhubungan dengan perbedaan kemampuan sistem pertahanan tubuh terhadap paparan partikel debu terinhalasi. Menurut Murray & Lopez (2006), dilakukan dengan cara yaitu:

a. Secara mekanik yaitu: pertahanan yang dilakukan dengan menyaring partikel yang ikut terinhalasi bersama udara dan masuk saluran pernafasan. Penyaringan berlangsung di hidung, nasofaring dan saluran nafas bagian bawah yaitu bronkus

dan bronkiolus. Di hidung penyaringan dilakukan oleh bulu-bulu cilia yang

terdapat di lubang hidung, sedangkan di bronkus dilakukan reseptor yang terdapat pada otot polos dapat berkonstraksi apabila ada iritasi. Apabila rangsangan yang terjadi berlebihan, maka tubuh akan memberikan reaksi berupa bersin atau batuk yang dapat mengeluarkan benda asing termasuk partikel debu dari saluran nafas bagian atas maupun bronkus.

b. Secara kimia yaitu cairan dan cilia dalam saluran nafas secara fisik dapat memindahkan partikel yang melekat di saluran nafas, dengan gerakan cilia yang mucociliary escalator ke laring. Cairan tersebut bersifat detoksikasi dan bakterisid. Pada paru bagian perifer terjadi ekskresi cairan secara terus menerus dan perlahan-lahan dari bronkus ke alveoli melalui limfatik. Selanjutnya makrofag alveolar menfagosit partikel yang ada di permukaan alveoli.

c. Secara imunitas, melalui proses biokimiawi yaitu humoral dan seluler. Ketiga sistem tersebut saling berkait dan berkoordinasi dengan baik sehingga partikel


(48)

yang terinhalasi disaring berdasarkan pengendapan kemudian terjadi mekanisme rekasi atau perpindahan partikel.

5. Mekanisme Timbulnya Debu dalam Paru-Paru

a. Mekanisme timbulnya debu dalam paru, menurut Putranto (2007) : 1) Kelembaban dari debu yang bergerak (inertia)

Pada waktu udara membelok ketika jalan pernafasan yang tidak lurus, partikel-partikel debu yang bermasa cukup besar tidak dapat membelok mengikuti aliran udara, tetapi terus lurus dan akhirnya menumpuk selaput lendir dan hinggap di paru-paru.

2) Pengendapan (Sedimentasi)

Pada bronchioli kecepatan udara pernafasan sangat kurang, kira-kira 1 cm per detik sehingga gaya tarik bumi dapat bekerja terhadap partikel debu dan mengendapnya.

3) Gerak Brown terutama partikel berukuran sekitar 0,1 μ, partikel-partikel tersebut membentuk permukaan alveoli dan tertimbun di paru-paru.

b. Jalan masuk dalam tubuh, menurut Putranto (2007) :

1) Inhalation adalah jalan masuk (rute) yang paling signifikan di mana

substansi yang berbahaya masuk dalam tubuh melalui pernafasan dan dapat menyebabkan penyakit baik akut maupun kronis.


(49)

2) Absorbtion adalah paparan debu masuk ke dalam tubuh melalui absorbsi kulit di mana ada yang tidak menyebabkan perubahan berat pada kulit, tetapi menyebabkan kerusakan serius pada kulit.

3) Ingestion adalah jalan masuk yang melalui saluran pencernaan (jarang

terjadi).

2.3. Aspal Hotmix

2.3.1. Pengertian Aspal Hotmix

2.3.2. Jenis Aspal Hotmix

Aspal Beton (Hotmix) adalah campuran agregat kasar, agregat halus, dan bahan pengisi (Filler) dengan bahan pengikat aspal dalam kondisi suhu tinggi (panas) dengan komposisi yang diteliti dan diatur oleh spesifikasi teknis. Aspal Beton (Hotmix) secara luas digunakan sebagai lapisan permukaan konstruksi jalan dengan lalu lintas berat, sedang, ringan, dan lapangan terbang, dalam kondisi segala macam cuaca (Prima, 2010).

Berdasarkan bahan yang digunakan dan kebutuhan desain konstruksi jalan aspal Beton mempunyai beberapa jenis antara lain (Prima, 2010)

1. Asphalt Traeted Base (ATB) dengan tebal minimum 5 Cm digunakan sebagai

lapis pondasi atas konstruksi jalan dengan lalu lintas berat / Tinggi. :

2. Binder Course (BC) dengan tebal minimum 4cm biasanya digunakan sebagai


(50)

3. Wearing Course (AC) / Laston dengan tebal penggelaran minimum 4 cm digunakan sebagai lapis permukaan jalan dengan lalu lintas berat.

4. Hot Roller Sheet (HRS) / Lataston / laston 3 dengan tebal penggelaran minimum 3 s/d 4 cm digunakan sebagai lapis permukaan konstruksi jalan dengan lalu lintas sedang.

5. (FG) Fine Grade dengan tebal minimum 2.8 cm maks 3 cm bisanya digunakan untuk jalan perumahan dengan beban rendah.

6. Sand Sheet dengan tebal Maximum 2.8 cm biasanya digunakan untuk jalan

perumahan dan perparkiran. 2.3.3. Kelebihan Aspal Hotmix

1. Lapisan konstruksi Aspal beton tidak peka terhadap air, (kedap air) Adapun kelebihan dari aspal Hotmix adalah ( Prima, 2010):

2. Dapat dilalui kendaraan setelah pelaksanaan penghamparan .

3. Waktu pekerjaan yang relatif sangat cepat sehingga terciptanya efesiensi waktu. 4. Mempunyai sifat flexible sehingga mempunyai kenyamanan bagi pengendara, 5. Stabilitas yang tinggi sehingga dapat menahan beban lalu lintas tanpa terjadinya

deformasi.

6. Tahan lama terhadap gesekan lalu lintas dan cuaca 7. Pemeliharaan yang relatif mudah dan murah. 8. Ekonomis


(51)

2.3.4. Perencanaan Campuran

Prosedur perencanaan campuran (Asphalt Mixing Plant) menurut metode Bina Marga (Ditjen Bina Marga, 2007) dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Pemilihan Agregat dan Penentuan Sifat-Sifatnya Harus sesuai dengan Spesifikasi Material.

Adapun standard yang menjadi parameter perencanaannya adalah: - Berat jenis agregat

- Nilai absorbsi air dari agregat

- Sifat-sifat agregat yang umumnya harus dipenuhi untuk lapisan perkerasan jalan

- Gradiasi butir dari masing-masing kelompok agregat kasar, sedang, pasir dan abu batu. Berikut adalah tabel batas distribusi partikel agregat kasar dan halus:

Tabel 2.2. Batas Distribusi Partikel Agregat Kasar dan Halus Tapisan Bukaan

Ukuran ASTM

Agregat Kasar % Loloas Saringan

Agregat Halus/Abu Batu % Lolos Saringan 3/4" 1/2" 3/8” No. 4 No. 4 No. 30 No. 70 No. 200 100 30 – 100 0 – 55 0 – 10

100 90 – 100 40 – 100 25 – 100 7 – 60 5 – 11


(52)

2. Penentuan Campuran Nominal.

Rencana campuran nominal ini diperlukan sebagai:

- Saringan tingkat pertama, apakah agregat yang tersedia dapat dipergunakan atau tidak.

- Resep awal untuk campuran percobaan dilaboratorium yang memenuhi persyaratan gradasi campuran dan kadar aspal seperti yang ditetapkan dalam spesifikasi.

3. Pemeriksaan Sifat Campuran di Laboratorium Tahap Pertama.

Pemeriksaan campuran tahap pertama ini dilakukan dengan mengambil kadar aspal tetap yaitu kadar aspal efektif + persen absorpsi aspal yang diperkirakan (40% absorbsi air). Untuk dapat menggambarkan sifat campuran sehubungan dengan variasi campuran agregat pada kondisi kadar aspal tetap, maka dibuatkan variasi campuran agregat dengan basis campuran nominal. Umumnya dibuatkan untuk 3 (tiga) proporsi agregat kasar yaitu:

- Proporsi agregat kasar campuran nominal

- Proporsi agregat kasar untuk campuran nominal + 10% - Proporsi agregat kasar untuk campuran nominal – 10%

4. Pemeriksaan Sifat Campuran di Laboratorium Tahap Kedua.

Pemeriksaan sifat campuran di laboratorium tahap kedua ini bertujuan untuk menentukan kadar aspal optimum dan persentase penambahan bahan pengisi jika


(53)

diperlukan terhadap proporsi agregat kasar dan perbandingan pasir dan abu batu terbaik yang merupakan hasil pemeriksaan tahap pertama.

5. Korelasi Hasil Perencanaan Campuran di Laboratorium dengan Mesin Pencampur Asphalt Mixing Plant (AMP).

Ketepatan pengaturan dari bagian-bagian AMP sangat menentukan kualitas produksi. Untuk itu perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

- Kalibrasi dan pengaturan cold bin sesuai dengan hasil perencanaan campuran di laboratorium

- Penentuan proporsi penakaran agregat panas pada hot bin (jika ada) - Kalibrasi dan pengaturan hot bin sesuai dengan hasil perencanaan 6. Pemeriksaan Percobaan Produksi Mesin Pencampur.

Sifat dari campuran yang diproduksi seringkali berbeda dengan sifat yang diperoleh di laboratorium. Oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan produksi sebelum mesin pencampur berproduksi penuh. dengan demikian diharapkan rencana campuran dapat dikoreksi sehingga menjadi resep campuran akhir.

Untuk lebih jelas mengenai alur perencanaan campuran dengan metode Bina Marga dapat dilihat pada gambar 2.2. berikut:


(54)

Gambar 2.2. Alur Perencanaan Campuran Metode Bina Marga 2.3.5. Jarak Industri dengan Pemukiman

Berkembangnya suatu Kawasan Industri tidak terlepas dari pemilihan lokasi kawasan industri yang dikembangkan, karena sangat dipengaruhi oleh beberapa factor/variabel di wilayah lokasi kawasan. Selain itu dikembangkannya suatu Kawasan Industri juga akan memberikan dampak terhadap beberapa fungsi di sekitar lokasi kawasan. Oleh sebab itu, beberapa kriteria menjadi pertimbangan di dalam


(55)

pemilihan lokasi Kawasan Industri, salah satu diantaranya adalah Jarak terhadap Pemukiman.

Pertimbangan jarak terhadap pemukiman bagi pemilihan lokasi kegiatan industri, pada prinsipnya memilikki dua tujuan pokok, yaitu:

1. Berdampak positif dalam rangka pemenuhan kebutuhan tenaga kerja dan aspek pamasaran produk. Dalam hal ini juga perlu dipertimbangkannya adanya kebutuhan tambahan akan perumahan sebagai akibat dari pembangunan kawasan industri. Dalam kaitannya dengan jarak terhadap pemukiman disini harus mempertimbangkan masalah pertumbuhan perumahan, dimana sering terjadi areal tanah disekitar lokasi industry menjadi kumuh dan tidak ada lagi jarak antara perumahan dengan kegiatan industri.

2. Berdampak negative karena kegiatan industri menghasilkan polutan dan limbah yang dapat membahayakan bagi kesehatan masyarakat.

3. Jarak terhadap pemukiman yang ideal minimal 2 (dua) Km dari lokasi kegiatan industri (Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia No: 35/M-IND/PER/3/2010).


(56)

2.4. Kerangka Konsep

.

Gambar 2.3. Kerangka Konsep Penelitian

Variabel Independen Variabel Dependen

Lingkungan Aktivitas Produksi Aspal Hotmix :

Pada Pekerja di PT.Tamitana - Suhu

- Kelembaban - Kadar Debu - APD

Syndrome ISPA

Pada Lingkungan Pemukiman Penduduk Di Kawasan Pelabuhan Balohan Sabang :

- Suhu Dalam Rumah

- Kelembaban dalam Rumah - Kadar Debu dalam Rumah - Jarak Rumah dengan Industri


(57)

AB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah survey bersifat deskriptif analitik dengan rancangan penelitian menggunakan cross sectional yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh antara variabel bebas dengan variabel terikat melalui pengujian hipotesis (Notoadmodjo, 2005).

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian adalah di Kawasan Pelabuhan Balohan Sabang, dengan alasan di Kawasan Pelabuhan Laut Balohan, ISPA merupakan penyakit peringkat pertama dari 10 pola penyakit terbanyak serta terdapat aktivititas produksi aspal Hotmix, dan direncanakan penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan September 2011.

3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi

Populasi adalah pekerja di pabrik produksi aspal hotmix yang berjumlah 30 orang dan penduduk yang bermukim di kawasan Pelabuhan Balohan Sabang yang berjumlah 290 orang.


(58)

3.3.2. Sampel

Adapun besar sampel ditentukan dengan dua cara:

1. Untuk Sampel pekerja diambil dengan menggunakan teknik Total Sampling atau besar sampel 30 orang.

2. Untuk sampel penduduk menggunakan teknik Purposive Sampling dengan kriteria inklusi yaitu; penduduk pria dan wanita yang berusia 18-55 tahun selama masa penelitian, bertempat tinggal dikawasan Pelabuhan Balohan Sabang dan bersedia di wawancarai dengan kuesioner yang telah dibuat. Sementara besaran sampel penduduk menggunakan rumus yang dikutip oleh Notoatmodjo, 2005 dari Taroyamane;

) ( 1 N d2

N n + = 74 36 . 74 ) 1 , 0 ( 290 1 290

2 = =

+ = n

Ket:

n = besar sampel N = besar populasi

d = tingkat kepercayaan/ ketepatan yang diinginkan (0,1)

Dari rumus di atas, maka sampel penduduk dalam penelitian ini berjumlah 74 orang.


(59)

3.4. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada penelitian ini diperoleh dengan menggunakan data primer dan data sekunder.

1. Data Primer

Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan responden, dengan berpedoman pada kuesioner penelitian.

2. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari laporan kegiatan Program P2P Puskesmas Sukajaya Sabang dan Profil Puskesmas Sukajaya 2009.

3.4.1. Uji Validitas dan Reliabilitas

Uji validitas bertujuan untuk mengetahui sejauh mana suatu ukuran atau skor yang menunjukkan tingkat kehandalan atau kesahihan suatu alat ukur dengan cara mengukur korelasi antara variabel atau item dengan skor total variabel yang ditunjukkan dengan skor item correct correlation pada analisis reliability statistics. Jika skor r hitung > r tabel, maka dinyatakan valid dan jika skor r hitung < r tabel, maka dinyatakan tidak valid (Riduwan, 2005). Uji validitas ini dilakukan pada responden yaitu pekerja dan penduduk selain pekerja dan penduduk yang menjadi sampel penelitian, sesuai dengan korelasi Pearson product moment yaitu sebesar 30 sampel terdiri dari 10 orang pekerja dan 20 orang penduduk.

Pertanyaan dinyatakan reliable jika jawaban responden terhadap pertanyaan (kuesioner) adalah konsisten atau stabil dari waktu ke waktu reliabilitas menunjukkan


(60)

sebagai alat pengumpul data karena instrumen tersebut sudah baik.Instrumen yang sudah dapat dipercaya atau reliable akan menghasilkan data yang dapat dipercaya juga. Apabila datanya sudah sesuai dengan kenyataan maka berapa kali pun diambil akan tetap sama. Reliabilitas data merupakan indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat ukur dapat menunjukkan ketepatan dan dapat dipercaya dengan menggunakan metode Cronbach`s Alpha, yaitu menganalisis reliabilitas alat ukur dari suatu pengukuran dengan ketentuan jika r alpha > dari r tabel, maka dinyatakan reliable (Sugiono, 2004). Nilai r tabel dalam penelitian ini menggunakan taraf signifikan 95%.

Hasil uji validitas untuk pertanyaan variabel dependen yaitu: penyakit ISPA menunjukkan bahwa seluruh pertanyaan berjumlah 15 pertanyaan, nilai Corrected Item Total terendah 0,653 dan nilai tertinggi 1. Nilai Cronbach Alpha 0,774. Ini berarti nilai r hitung> r tabel (0,361). Dapat disimpulkan bahwa pertanyaan tentang Syndrome ISPA valid dan reliabel.

3.5. Variabel dan Definisi Operasional 3.5.1. Variabel Bebas

3.5.1.1. Lingkungan Aktivitas Produksi Aspal Hotmix pada Pekerja di PT.Tamitana yang meliputi:

a. Suhu, yaitu keadaan suhu/temperatur di lingkungan Aktivitas Produksi aspal

hotmix pada PT.Tamitana yang diukur dengan menggunakan thermometer


(61)

b. Kelembaban udara yaitu keadaan kelembaban udara di lingkungan Aktivitas Produksi aspal hotmix pada PT.Tamitana yang diukur dengan menggunakan hygrometer.

c. Kadar debu total yaitu partikel-partikel halus yang berterbangan yang berasal dari proses pencampuran bahan serta asap dari proses pembakaran dari aktivitas produksi aspal hotmix pada PT. Tamitana yang diukur dengan menggunakan alat dust monitor.

d. APD yaitu alat yang digunakan sebagai pelindung diri pada proses produksi aspal hotmix oleh pekerja yang berupa masker.

3.5.1.2. Lingkungan Pemukiman Penduduk di Kawasan Pelabuhan Balohan Sabang yang meliputi:

a. Suhu, yaitu keadaan suhu/temperatur di dalam rumah penduduk yang diukur dengan menggunakan thermometer dalam derajat celcius (°C).

b. Kelembaban udara yaitu keadaan kelembaban udara di dalam rumah penduduk yang diukur dengan menggunakan hygrometer.

c. Kadar debu yaitu jumlah partikel-partikel halus yang berterbangan yang diukur didalam rumah penduduk dengan menggunakan alat dust monitor. d. Jarak industri dengan lingkungan pemukiman penduduk yaitu jauh dan dekat

nya antara lingkungan pemukiman penduduk (rumah) dari tempat aktivitas produksi aspal hotmix dalam ukuran kilo meter.


(62)

3.5.2. Variabel Terikat

Variabel terikat yaitu syndrome ISPA, syndrome ISPA adalah batuk pilek disertai napas sesak atau napas cepat, yang merupakan hasil obervasi menggunakan kuesioner tentang syndrome ISPA. Adapun syndrome ISPA diukur melalui indikator sakit dan tidak sakit.

3.6. Metode Pengukuran 3.6.1. Variabel Bebas

Pengukuran variabel bebas menggunakan skala ordinal. Variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi komponen-komponen yang dapat diukur dalam bentuk item pertanyaan (indikator). Indikator dibagi dalam beberapa tingkatan dan diberikan skor/nilai. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.1. di bawah ini :

Tabel 3.1. Aspek Pengukuran Variabel Bebas

No Variabel Parameter Skala

ukur Hasil Ukur 1. Lingkungan Aktivitas

Produksi Aspal Hotmix pada pekerja di PT.Tamitana

- Suhu 1. Memenuhi syarat (18 0C - 30 0

2. Tidak memenuhi syarat ( < 18

C ) 0

C dan > 30 0

Ordinal

C )

1. Baik 2. Tidak Baik

- Kelembaban 1. Memenuhi syarat (65 % - 95 %) 2. Tidak memenuhi

syarat( < 65% dan > 95%

Ordinal 1. Baik 2. Tidak Baik


(63)

Tabel 3.1 (Lanjutan) - Kadar Debu total

pada lingkungan kerja industri

1. Memenuhi syarat (10 mg/m3

2. Tidak memenuhi syarat

)

(>10 mg/m3

Ordinal

)

1. Baik 2. Tidak Baik

- APD 1. Memenuhi Syarat jika aman dan nyaman

2. Tidak memenuhi syarat jika tidak aman dan nyaman

Ordinal 1. Baik 2. Tidak Baik

2. Lingkungan

Pemukiman Penduduk

- Suhu dalam rumah 1. Memenuhi syarat (18 0C - 30 0

2. Tidak memenuhi syarat ( < 18

C ) 0

C dan > 30 0

Ordinal

C )

. 1. Baik . 2. Tidak Baik

- Kelembaban dalam rumah

1. Memenuhi syarat (40 % - 70 %) 2. Tdk memenuhi

syarat( < 40%-70%)

Ordinal . 1. Baik . 2. Tidak Baik

- Kadar Debu dalam rumah

1. Memenuhi syarat (10 mg/m3

2. Tidak memenuhi syarat (>10 mg/m

) 3

Ordinal

)

. 1. Baik . 2. Tidak Baik

- Jarak rumah dengan Industri

1. Memenuhi syarat jika ≥ 2 Km 2. Tdk Memenuhi

syarat jika < 2 Km

Ordinal . 1. Baik . 2. Tidak Baik

3.6.2. Variabel Terikat

Pengukuran variabel terikat yang akan diukur dijabarkan menjadi komponen-komponen yang dapat diukur dalam bentuk item pertanyaan (indikator), dibagi dalam


(64)

1. Jika responden menjawab kuesioner dengan jawaban ”ya” ≥ 50% dari total 15 pertanyaan, maka responden tersebut mengalami syndrome ISPA (Sakit) dan diberi skor 1

2. Jika responden menjawab kuesioner dengan jawaban ”tidak” ≥ 50% dari total 15 pertanyaan maka responden tersebut tidak mengalami syndrome ISPA (Tidak sakit) dan diberi skor 2

Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.2. berikut ini :

Tabel 3.2. Aspek Pengukuran Variabel Terikat

Variabel Parameter Cara Ukur Skala Ukur Hasil Ukur Syndrome

ISPA

1. Sakit

2. Tidak Sakit Wawancara Ordinal

1. Sakit 2. Tidak Sakit

3.7. Metode Analisis Data 3.7.1. Analisis Univariat

Analisis univariat untuk menggambarkan variabel-variabel penelitian dengan melihat distribusi frekuensi, dan nilai rata-rata.

3.7.2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk melihat pengaruh variabel independen lingkungan aktivitas Produksi aspal hotmix yang meliputi: suhu, kelembaban, kadar debu) dan lingkungan pemukiman penduduk yang meliputi: suhu dalam rumah, kelembaban dalam rumah, kadar debu dalam rumah dan jarak rumah dengan industri) terhadap variabel dependen (syndrome ISPA) melalui tabulasi silang dan kemudian


(65)

dilakukan analisis statistik dengan menggunakan uji chi square pada tingkat kepercayaan 95 %.

3.7.3. Analisis Multivariat

Analisis multivariat adalah untuk melihat pengaruh antara variabel syndrome ISPA dengan seluruh variabel yang diteliti yaitu: suhu, kelembaban, debu, APD serta jarak Industri dengan Lingkungan pemukiman penduduk, sehingga diketahui variabel mana yang paling dominan berpengaruh terhadap syndrome ISPA dengan menggunakan regresi logistik.


(66)

BAB 4

HASIL PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kota Sabang berdiri berdasarkan UU No. 10 Tahun 1965 yang terdiri dari 2 Kecamatan,yaitu Kecamatan Sukakarya dan Kecamatan Sukajaya. Kedua Kecamatan tersebut lahir dengan PP No. 20 Tahun 1979, Kota Sabang merupakan bagian dari Provinsi Aceh yang terletak pada 05046’28’’–05054‘28” Lintang Utara dan 95013’02”– 950

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka

22’36’’ Bujur Timur. Luas Kota Sabang adalah153 km2 serta tinggi rata–rata 28 meter di atas permukaan laut. Kota Sabang memiliki batas-batas daerah sebagai berikut:

2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia 3. Sebelah Timur berbatasan dengan Selat Malaka

4. Sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Indonesia

Secara demografi Jumlah penduduk Kota Sabang berdasarkan hasil Sensus Penduduk Tahun 2010 sebesar 30.647 jiwa, dengan 15.580 laki-laki dan 15.067 perempuan, dimana untuk wilayah Balohan penduduknya sebesar 2.107 jiwa, dengan 1.060 laki-laki dan 1.047 perempuan (BPS Kota Sabang, 2010).

Penelitian inidilakukan pada tempat produksi Aspal Hotmix di Sabang. Tempat produksi Aspal Hotmix tersebut dikerjakan oleh PT. Tamitana yang berlokasi tidak terlalu jauh dari pemukiman penduduk sekitar Wilayah Pelabuhan Balohan, Kecamatan Sukajaya Sabang, dengan luas area sebesar 1.000 m2.


(67)

PT Tamitana adalah perusahaan yang bergerak di bidang kontraktor dan produksi aspal hotmix.

Penduduk Balohan bertempat tinggal di Wilayah Balohan dengan luas area pemukiman sebesar 400 m2, dengan batas sebelah Barat dengan perumahan, sebelah Timur dengan pegunungan, sebelah Utara dengan pegunungan dan sebelah Selatan dengan laut. Jumlah penduduk di wilayah Balohan ada sebesar 2.107 orang.

4.2. Karakteristik Pekerja dan Penduduk

Adapun data karakteristik responden meliputi pekerja pada produksi aspal hotmix dan penduduk seperti pada tabel 4.1 berikut ini:

Tabel 4.1. Karakteristik Pekerja dan Penduduk Berdasarkan Umur, Pendidikan dan Jenis Kelamin di Kawasan Pelabuhan Balohan Sabang Tahun 2011

No Karakteristik Pekerja

(org)

Penduduk (org)

n % n %

1 Umur

18 - 25 Tahun 8 26,7 23 31,0

26 - 40 Tahun 15 50,0 31 41,9

41 - 55 Tahun 7 23,3 20 27,0

Jumlah 30 100,0 74 100,0

2 Pendidikan

Tamat SD 15 50,0 42 56,7

SLTP 10 33,3 21 28,4

SMA 5 16,7 11 14,9

Jumlah 30 100,0 74 100,0

3 Jenis Kelamin

Perempuan 8 26,7 41 55,4

Laki-laki 22 73,3 33 44,6


(68)

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa pada pekerja industri dari 30 responden yang paling dominan berusia antara 26 sampai 40 tahun yaitu 15 orang (50 %), Sedangkan pada penduduk dari 74 responden yang paling dominan berusia antara 26 sampai 40 tahun yaitu 31 orang (41,9 %).

Berdasarkan tingkat pendidikan pada pekerja industri dari 30 responden yang paling dominan tamat SD yaitu 15 orang (50%), sedang pada penduduk dari 74 responden yang paling dominan adalah yang tingkat pendidikannya tamat SD sebanyak 42 orang (56,7 %).

Berdasarkan jenis kelamin pada pekerja industri dari 30 responden yang paling dominan laki-laki yaitu 22 orang (73,3 %), sedangkan pada penduduk dari 74 responden yang paling dominan adalah perempuan sebanyak 41 orang (55,4 %).

4.3 Analisis Univariat

4.3.1 Lingkungan Aktivitas Produksi Aspal Hotmix dan Lingkungan Pemukiman Penduduk

Lingkungan aktivitas produksi aspal hotmix (suhu, kelembaban dan kadar debu dan APD), dan lingkungan pemukiman penduduk (suhu, kelembaban dan kadar debu dan jarak rumah dengan industri) dapat dilihat pada tabel 4.2 berikut ini :


(1)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

1. Pada Pekerja:

a. Karakteristik penderita syndrome ISPA, terdapat 66,7 % pekerja industri aspal yang menderita syndrome ISPA.

b. Terdapat hubungan yang signifikan antara suhu, kelembaban, kadar debu serta penggunaan APD (alat pelindung diri) dengan syndrome ISPA pada pekerja industri aspal hotmix.

c. Ada pengaruh antara kadar debu terhadap syndrome ISPA pada pekerja. Pengaruh tersebut sebesar 18 kali berkemungkinan untuk terjadinya risiko

syndrome ISPA pada pekerja industri aspal hotmix.

d. Ada pengaruh antara penggunaan APD terhadap syndrome ISPA pada pekerja. Pengaruh tersebut sebesar 14 kali berkemungkinan untuk terjadinya risiko syndrome ISPA pada pekerja industri aspal hotmix.

2. Pada Penduduk:

a. Penduduk yang berada pada lingkungan industri di Kawasan Balohan sabang terdapat 67,6 % orang yang menderita syndrome ISPA.

b. Terdapat hubungan yang signifikan antara suhu, kelembaban, kadar debu, serta jarak rumah dengan industri dengan syndrome ISPA pada penduduk.


(2)

c. Ada pengaruh antara kadar debu terhadap syndrome ISPA pada penduduk pengaruh tersebut sebesar 20 kali berkemungkinan untuk terjadinya risiko

syndrome ISPA

g. Ada pengaruh antara jarak rumah dengan industri terhadap syndromeISPA pada penduduk. Pengaruh tersebut sebesar 6 kali berkemungkinan untuk terjadinya risiko syndrome ISPA pada penduduk yang berada pada lingkungan industri di Kawasan Balohan Sabang.

6.2. Saran

1. Bagi para pekerja diharapkan untuk dapat mempergunakan masker sesuai dengan peraturan dan petunjuk demi keselamatan dan kesehatan kerja.

2. Masker yang digunakan berupa masker untuk melindungi dari debu atau partikel-partikel yang lebih kasar yang dapat masuk ke dalam saluran pernafasan. Masker terbuat dari kain kasa dengan ukuran pori-pori tertentu sehingga nyaman dan bermanfaat.

3. Bagi perusahaan Perlu diupayakan sosialisasi tentang kesehatan kerja dan menerapkan peraturan UU. No.1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja dan memberikan sangsi yang tegas jika tidak mematuhi peraturan yang telah ditetapkan.

4. Bagi pemerintah daerah agar diupayakan pengawasan melekat terhadap perusahaan dalam menerapkan kesehatan dan keselamatan kerja.


(3)

5. Bagi pemerintah daerah agar melakukan penyuluhan kesehatan dan diupayakan pencegahan paparan limbah debu yang dihasilkan oleh industri aspal Hotmix

terhadap lingkungan pemukiman di sekitar industri dengan melakukan penanaman pohon dan penghijauan di sekitar kawasan Pelabuhan Balohan Sabang, sebagai upaya mengurangi paparan debu dan mengurangi angka kesakitan ISPA.

6. Bagi penduduk agar berupaya meminimalkan debu yang masuk kedalam rumah dengan memasang penyaring udara disetiap ventilasi rumah seperti kawat kasa. Meningkatkan derajat kesehatan dengan berprilaku sehat yang di mulai dari keluarga dan melakukan pengobatan dengan segera bila terjadi gangguan kesehatan sebagai upaya deteksi dini terhadap syndrome ISPA.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Alsagaff, Hood dan A, Mukty. 2005, Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru, Cetakan Ketiga, Surabaya: Airlangga University Press.

Amin, M, 1996. Pengantar Ilmu Paru, Surabaya: Airlangga University Press.

Budiono, S., 2005, Bunga Rampai Hiperkes dan Kesehatan Kerja, Jakarta: Tri Tunggal Tata Fajar.

Depkes RI, 1999, Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 829/Menkes/SK/VII/1999 Tentang Persyaratan Kesehatan Rumah Tinggal, Jakarta.

Depkes RI, 2000, Indonesia Sehat 2010, Jakarta. , 2004, Sistem Kesehatan Nasional, Jakarta. , 2007, Laporan Riset Kesehatan Dasar, Jakarta. , 2008, Program Pengendalian ISPA, Jakarta.

, 2009, Undang-Undang No. 36 Tentang Kesehatan, Jakarta.

, 2002. Kepmenkes RI Nomor : 1405/MENKES/SK/XI/2002 Tentang Persyaratan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri, Jakarta.

Departemen Perindustrian RI, 2010, Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia No: 35/M-IND/PER/3/2010 tentang Pedoman Teknis Kawasan Industri, Jakarta.

Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh, 2009, Profil Kesehatan Kota Madya Tahun 2008. , 2010, Profil Kesehatan Kota Madya Tahun 2009. Ditjen Bina Yanmedik, 2009, Kunjungan ke Rumah Sakit, Jakarta.

Ditjen Bina Marga, 2007, Manual Konstruksi dan Bangunan, Jakarta.

Fardiaz, S.,1992. Polusi Air dan Udara, Diterbitkan Dalam Kerjasama Dengan Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor : Penerbit Kanisius.


(5)

Halim, D, 2000, Ilmu Penyakit Paru, Jakarta: Hipokrates.

Hidayati, 2004, Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Penyakit Ispa Pada Balita Di Kelurahan Pasie Nan Tigo Kecamatan Koto Tangah Kota Padang Tahun 2004, Thesis, FKM USU, Medan.

Husaeri, F., Yunus, F., 2003, Evaluasi Faal Paru Prabedah dalam buku: Pulmonolgi Klinik. Ed: Faisal Y, Menaldi R. A. Hudoyo, A. Mulawarman, Swidarmoko B. Jakarta: bagian Pulmonologi FK-UI.

Khumaidah, 2009, Analisis Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Gangguan Fungsi Paru Pada Pekerja Mebel PT. Kota Jati Furnindo Desa Suwawal Kecamatan Mlonggo Kabupaten Jepara, Thesis, Undip, Semarang.

Koesnoputranto, H. 2000, Toksikologi Lingkungan. Jakarta, Departemen Pendidikan & Kebudayaan UI , FKM.

Malaka, 1996, Evaluasi Bahan Pencemar di Udara Lingkungan, Jurnal Respirasi Vol 16 Tahun, Jakarta.

Mangkunegoro, H. 2003, Diagnosis dan Penilaian Cacat pada Penyakit Paru Kerja, Bagian Pulmonologi FK-UI, Jakarta: Balai Penerbit UI.

Masri Singarimbun 2006, Metode Penelitian Survai, Cetakan Ke-18, Penerbit Pustaka LP3ES.

Murray & Lopez, 2006, Mortality By Cause for * region Of The World: Global Burden of Desease

Notoatmojo, S, 2005, Metodologi Penelitian Kesehatan, Penerbit Rineka Cipta.

PDPI, 2003, Pedoman Diaknosis dan penata laksanaan pneumonia, Depkes RI Jakarta.

Pope, C., 2003, Respiratory Health and PM 10 Pollution. AM. Rev, Respiratory Desease, New York.

Prima, H, 2010, Aspal Beton (Hotmix) Tahun 2010. Jakarta.

Pudjiastuti, W., 2002. Debu Sebagai Bahan Pencemar Yang Membahayakan Kesehatan Kerja, Jakarta : Pusat Kesehatan Kerja Departemen Kesehatan RI.


(6)

Purwana, R, 1992, Partikulat Rumah Sebagai Faktor Resiko Gangguan Pernafasan Pada Anak Balita. Disertasi, IKM-UI, Jakarta.

Puskesmas Sukajaya, 2010, Laporan Bagian P2P Puskesmas Sukajaya Sabang. Puskesmas Sukajaya, 2010, Profil Puskesmas Sukajaya Sabang tahun 2009.

Putranto. A., 2007. Pajanan Debu Kayu (PM10) dan Penyakit Saluran Pernafasan pada Pekerja Mebel Sektor Informal di Kota Pontianak Kalimantan Barat, Thesis, PS-UI.

Riduwan, 2005, Metode dan Teknik Menyusun Tesis, Cetakan Ketiga, Bandung: Alfabeta

Sarijan, 2005, Hubungan Faktor Lingkungan dan Perilaku Keluarga dengan Kejadian ISPA Pada Balita di Desa Banjararjo Kecamatan Ayah Tahun 2005, Thesis, FKM Undip, Semarang.

Sintorini, M.M, Hubungan Antara Kadar PM10 Udara Ambien Dengan Kejadian

Penyakit Saluran Pernafasan 2002, Thesis, PS-UI.

Soekidjo Notoatmojo 2005, Metodologi Penelitian Kesehatan, Penerbit Rineka Cipta. Sugiono, 2004, Metode Penelitian Bisnis, Bandung : Alfabeta

Suma’mur, P.K., 1995. Hyperkes Keselamatan Kerja Dan Ergonomi, Jakarta: Dharma Sakti Menara Agung.

Triatmo, W., Adi, S., Hanani, Y., 2006, Paparan Debu Kayu dan Gangguan Fungsi Paru Pada Pekerja Mebel, Semarang: Jurnal Kesehatan Lingkungan.

WHO, 2008, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) yang Cenderung Menjadi Epidemi dan Pademi.

Yunus, 2006, Dampak Debu Industri pada Paru Pekerja dan Pengendaliannya: Cermin Dunia Kedokteran.


Dokumen yang terkait

Pengaruh Pengetahuan dan Sikap Masyarakat terhadap Pencegahan Penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) di Kelurahan Aek Nauli Kecamatan Siantar Selatan Kota Pematangsiantar tahun 2013

3 102 120

Analisa Kecenderungan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (Ispa) Pada Bayi Dan Balita Tahun 2000-2004 Untuk Peramalan Pada Tahun 2005-2009 Di Kabupaten Simalungun

0 37 101

Hubungan Peran Orang Tua dalam Pencegahan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dengan Kekambuhan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Martubung Medan

17 141 71

Analisa kecenderungan penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ispa) pada bayi dan balita tahun 2002-2006 untuk peramalan pada tahun 2007-2011 di kota Medan

1 45 92

Gambaran Distribusi Frekuensi Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (Ispa) Pada Balita Di Puskesmas Stabat Kabupaten Langkat Tahun 2005

1 41 79

Kajian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Balita di Kota Medan &amp; Kabupaten Deli Serdang

0 33 3

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dan Penanggulangannya

0 38 8

ANALISIS MODEL EPIDEMI SIR (SUSPECTIBLE, INFECTED, RECOVERED) PADA PENYAKIT INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT (ISPA), RECOVERED) PADA PENYAKIT INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT (ISPA).

1 9 15

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KONDISI INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT (ISPA) Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kondisi Infeksi Saluran Pernafasan Akut (Ispa) Di Rsud Panembahan Senopati Bantul.

1 2 14

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1 Konsep Dasar Infeksi, Saluran Pernafasan, Infeksi Akut, dan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) - Analisis Faktor yang Mempengaruhi Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) di Kota Medan Tahun 2002-2012

0 0 14