“Jika hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi ada dasar peniadaan pidana, terdakwa diputus
lepas dari segala tuntutan hukum”.
Rumusan yang dimuat dalam RUU KUHAP ini sedikit berbeda dengan rumusan KUHAP, karna dalam KUHAP hanya disebutkan bahwa putusan lepas
dari segala tuntutan hukum itu dapat dijatuhkan ketika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan
itu tidak merupakan suatu tindak pidana, tanpa menyebutkan hal apa yang dapat dijadikan alasan atau patokan bahwa suatu perbuatan yang terbukti itu bukanlah
merupakan kategori suatu tindak pidana. Sementara dalam RUU KUHAP ini dengan tegas disebutkan bahwa ketika suatu perbuatan terbukti merupakan suatu
tindak pidana, namun bila terdapat adanya alasan pembenar pidana, maka terdakwa dijatuhkan putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum. Jadi, pada
dasarnya ketentuan mengenai alasan yang dapat dijadikan dasar penjatuhan putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum antara KUHAP dan RUU KUHAP
tujuannya sama, hanya saja penyusunan substansinya berbeda, dengan maksud agar tidak terjadi kebingungan dalam menetapkan suatu keputusan pelepasan dari
segala tuntutan hukum dalam pemeriksaan persidangan.
2. Alasan pelepasan dari segala tuntutan hukum dalam KUHP dan
konsep KUHP baru
Hal kedua yang menyebabkan seorang terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum adalah adanya keadaan istimewa yang mengakibatkan bahwa
terdakwa tidak dapat dijatuhi suatu hukuman pidana, alasan penghapus pidana yaitu adanya alasan pemaaf alasan pembenar.
55
55
Djoko Prakoso, Loc. Cit.
Berkaitan dengan adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf ini, maka meskipun perbuatan seseorang itu telah
memenuhi isi rumusan undang- undang mengenai suatu tindak pidana, akan tetapi yang bersangkutan tidak dapat dihukum. Alasan pembenar dan alasan pemaaf ini
adalah merupakan pembelaan dari pelaku terhadap tuntutan dari perbuatan pidana yang telah dilakukannya.
56
Alasan penghapus pidana ini akan mengakibatkan bahwa pelaku tindak pidana tersebut tidak dipidana. Tidak dipidananya pelaku ini, menurut doktrin
disebabkan oleh dua hal. Pertama karena tidak ada atau hilang hapus sifat mnelawan hukumnya perbuatan pelaku. Dalam KUHAP adanya alasan penghapus
pidana ini akan menimbulkan dua bentuk putusan yaitu putusan bebas dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum. Alasan penghapus pidana yang
mengakibatkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum, karena perbuatan terdakwa sebagai unsur objektif bukan merupakan tindak pidana, meskipun
terbukti. Dengan demikian putusan lepas ini menyangkut tentang perbuatan sebagai unsur objektif dari suatu tindak pidana.
57
Adapun yang menjadi alasan pembenar yang disebutkan dalam KUHP adalah sebagai berikut ini :
58
a Ketidakmampuan bertanggungjawab terdakwa
ontoerekeningsvatbaarheid Diatur dalam pasal 44 ayat 1, yang bunyinya sebagai berikut :
“Tiada boleh dihukum barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab
kurang sempurna akalnya atau sakit ingatan”.
Umumnya masyarakat menyebut dengan istilah ‘gila’, meskipun dalam rumusan pasal tersebut. Berdasarkan rumusan
pasal tersebut, ada dua sebab yang menjadikan si pelaku tidak
56
H.M. Hamdan, halaman 21.
57
Ibid, halaman 39.
58
Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana
dapat dipertanggungjawabkan, yakni kurang sempurna akal dan sakit ingatan. Mengenai pengertian ‘kurang sempurna akalnya’ dan
‘sakit ingatan’ merupakan bidang psikiatri, sehingga untuk penanganannya, aparat penegak hukum seyogyanya meminta
bantuan psikiater.
59
Tidak mampu bertanggungjawab adalah keadaan yang menyebabkan syarat internal kesalahan tidak terpenuhi. Tidak
mampu bertanggungjawab adalah ketidaknormalan ‘keadaan’ batin pembuat, karena cacat jiwa atau gangguan penyakit jiwa, sehingga
padanya tidak memenuhi syarat untuk diperiksa apakah patut dicela atau tidak karena perbuatannya.
60
b Adanya daya paksa overmacht
Dasar peniadaan pidana karena adanya daya paksa overmacht dirumuskan dalam pasal 48 KUHP yang menyatakan :
“Barangsiapa yang melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana”.
Memorie Van Toelichting MvT mengatakan bahwa daya paksa adalah setiap dorongan, setiap paksaan, setiap kekuatan yang tidak
dapat dilawan. Dari keterangan MvT tersebut, dapatlah diketahui bahwa daya paksa dapat terjadi karena tekanan psikis dan tekanan
fisik. Dengan demikian haruslah ada hubungan causal yang sangat
59
Leden Marpaung, Asas- Teori- Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika: Jakarta, 2008, halaman 53.
60
Chairul Huda, halaman 94.
erat antara kekuatan paksaan tersebut terhadap perbuatan yang dilakukan.
61
Daya paksa ini ada dua jenis yaitu : daya paksa absolut dan daya paksa relatif.
62
c Adanya pembelaan terpaksa noodweer
Daya paksa absolut adalah suatu keadaan dimana paksaan dan tekanan yang sedemikian kuatnya pada diri
seseorang, sehingga ia tidak dapat lagi berbuat sesuatu yang lain selain apa yang dipaksa dilakukan atau apa yang terjadi, baik oleh
perbuatan manusia maupun alam. Sedangkan daya paksa relatif adalah suatu paksaan yang sedemikian rupa menekan seseorang
sehingga ia berada dalam suatu keadaan yang serba salah, suatu keadaan mana memaksa dia mengambil suatu sikap dan berbuat
yang pada kenyataannya melanggar Undang- undang, yang bagi setiap orang normal tidak akan mengambil sikap dan berbuat lain
berhubung dengam resiko dari pilihan perbuatan lain itu lebih besar \terhadap dirinya. Inilah daya paksa yang dimaksudkan
dalam pasal 48. Mengorbankan kepentingan hukum yang lebih kecil demi untuk melindungi atau mempertahankan kepentingan
hukum yang lebih besar, adalah prinsip dari daya paksa menurut arti pasal 48.
Pembelaan terpaksa ini dirumuskan dalam pasal 49 ayat 1 KUHP sebagai berikut :
“Tidak dipidana, barangsiapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri atau orang lain,
61
Adami Chazawi, Op. Cit., halaman 29.
62
Ibid, halaman 30.
kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena adanya serangan atau ancaman serangan
yang melawan hukum pada ketika itu juga”.
Dari rumusan tersebut, dapat disimpulkan bahwa perbuatan orang yang memenuhi unsur- unsur pasal 49 ayat 1 tersebut di
atas, pada kenyataannya memenuhi rumusan tindak pidana tertentu. Akan tetapi dengan dasar pembelaan terpaksa, perbuatan
yang pada kenyataannya bertentangan dengan undang- undang itu telah kehilangan sifat melawan hukum, oleh sebab itu kepada
pembuatnya tidak dipidana. Para pakar pada umumnya memberi arti noodweer dengan
pembelaan terpaksa. Istilah ini berasal dari doktrin, yang menetapkan syarat pokok yaitu :
63
1 Harus ada serangan, yang memenuhi syarat : harus mengancam, dan datang dengan tiba- tiba serta serangan
tersebut harus melawan hukum wederrechtelijk; 2 Terhadap serangan itu perlu dilakukan pembelaan diri,
yang memenuhi syarat : merupakan pembelaan terpaksa, dilakukan dengan serangan setimpal, dan harus dilakukan
untuk membela diri sendiri atau orang lain.
d Adanya pembelaan terpaksa yang melampaui batas noodwerexes
Hal ini diatur dalam pasal 49 ayat 2 KUHP, yang bunyinya sebagai berikut :
“Tiada boleh dihukum barang siapa melampaui batas pembelaan yang perlu jika perbuatan itu dilakukannya
karena sangat panas hatinya guncang jiwanya disebabkan serangan itu”.
Menurut doktrin, unsur- unsur noodwerexes ini adalah sebagai berikut :
64
63
Leden Marpaung, Op. Cit., halaman 61.
1 Melampaui batas pembelaan yang perlu; 2 Tekanan jiwa hebat terbawa oleh perasaan sangat panas
hati; 3 Hubungan kausal antara serangan dengan perasaan panas
hati. e
Karena menjalankan perintah Undang- Undang wettelijk voorschrift
Hal ini diatur dalam pasal 50 KUHP, yang berbunyi : “Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan
ketentuan Undang- undang tidak dipidana”. Yang dimaksud dengan ketentuan undang- undang adalah
semua peraturan- peraturan yang dibuat oleh kekuasaan yang berwenang untuk maksud tersebut menurut undang- undang.
Sedangkan yang dimaksud dengan perbuatan adalah perbuatan mana yang pada dasarnya jika tidak ada undang- undang yang
memberi kewenangan untuk melakukannya adalah merupakan sebuah tindak pidana. Kemudian, yang dimaksud dengan
menjalankan perintah undang- undang adalah tentang apa yang bukan sekedar mengenai melaksanakan perbuatan yang sesuai
dengan kewenangan yang diberikan undang- undang saja, akan tetapi termasuk juga segala perbuatan yang dilakukan berdasarkan
wewenang yang diberikan oleh undang- undang itu. Kemudian perbuatan itu ada batasnya, tidaklah boleh
melakukn semau- maunya perbuatan, melainkan haruslah sepanjang memang diperlukan, seimbang dan layak untuk
64
Ibid, halaman 65.
dilakukan demi pelaksanaan kewenangan yang diberikan undang- undang tersebut.
65
f Karena melaksanakan perintah jabatan yang sah ambtelijk bevel
Hal ini diatur dalam pasal 51 ayat 1 KUHP, yang bunyinya yaitu sebagai berikut :
“Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang
berwenang, tidak dipidana”.
Ketentuan ini sama dengan alasan peiadaan pidana oleh sebab menjalankan perintah undang- undang sebagaimana telah
disebutkan sebelumnya. Artinya, keduanya adalah berupa perbuatan yang boleh dilakukan sepanjang menjalankan
kewenangan berdasarkan perintah undang- undang maupun perintah jabatan.
66
Menurut Prof. Satochid Kartanegara, pelaksanaan perintah itu harus juga seimbang, patut, dan tidak boleh melampaui batas-
batas keputusan pemerintah.
67
g Karena menjalankan perintah jabatan yang tidak sah dengan iktikad
baik een onbevoegd ambtelijk bevel Hal ini dirumuskan dalam pasal 51 ayat 2 KUHP, yang bunyinya
sebagai berikut : “Perintah jabatan yang tanpa wewenang, tidak
menyebabkan hapusnya pidana, kecuali apabila yang menerima perintah, dengan iktikad baik mengira bahwa
perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya”.
65
Adami Chazawi, Op. Cit., halaman 58.
66
Ibid.
67
Leden Marpaung, Op. Cit., halaman 70.
Dalam hal menjalankan perintah jabatan yang tidak sah ini, ada syarat yang harus dipenuhi agar orang yang menjalankan
perintah yang tidak sah dengan iktikad baik itu tidak dipidana, adalah syarat subjektif dan syarat objektif.
Syarat subjektif yang dimaksud adalah dengan iktikad baik mengira bahwa perintah itu adalah sah. Syarat ini terletak pada
sikap batin si penerima perintah. Sedangkan syarat objektif yang dimaksud adalah pada kenyataannya pelaksanaan perintah itu
masuk dalam bidang tugas pekerjaannya. Artinya ada hubungan antara jabatannya dengan tugas pekerjaan suatu jabatan.
Oleh adanya alasan ‘tidak mengetahui’ bahwa perintah itu tidak sah dengan iktikad baik, maka tidak dipidananya orang yang
melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah dengan iktikad baik ini adalah masuk pada alasan pemaaf.
68
Berbeda dengan KUHP, dalam RUU KUHP, perumusan mengenai alasan peniadaan pidana ini dibedakan secara tegas antara alasan pemaaf dan alasan
pembenar. Kelompok alasan pembenar ada pada paragraf 8 mulai pasal 31 sampai dengan pasal 35, yaitu sebagai berikut :
a Melaksanakan perintah peraturan perundang- undangan,
yang disebutkan pada pasal 31 : tidak dipidana setiap orang yang melakukan perbuatan yang melakukan perbuatan yang dilarang
untuk melaksanakan ketentuan peraturan perundang- undangan; b
Melaksanakan perintah jabatan,
68
Adami Chazawi, Op. Cit., halaman 63.
yang disebutkan pada pasal 32 : tidak dipidana setiap orang yang melakukan perbuatan yang dilarang untuk melaksanakan perintah
jabatan; c
Keadaan darurat, yang disebutkan pada pasal 33 : tidak dipidana setiap orang yang
melakukan tindak pidana karena keadaan darurat; d
Pembelaan terpaksa, yang disebutkan pada pasal 34 : tidak dipidana setiap orang yang
terpaksa melakukan tindak pidana karena pembelaan terhadap serangan atau ancaman segera yang melawan hukum terhadap diri
sendiri atau orang lain, kehormatan, kesusilaan, harta benda sendiri atau orang lain;
e Tidak adanya sifat melawan hukum,
yang disebutkan pada pasal 35 : tidak dipidana apabila dalam suatu perbuatan tidak ada alasan pembenar sebagaimana disebutkan
dalam pasal 11 ayat 2 RUU KUHP ini, yang pada intinya menyiratkan bahwa sifat melawan hukum itu termasuk pula sifat
melawan hukum materiil. Sedangkan kelompok alasan pemaaf ditempatkan pada paragraf 5, pasal 42
sampai dengan pasal 46, yaitu sebagai berikut : a
Tidak mengetahui bahwa keadaan tersebut merupakan unsur tindak pidana,
yang disebutkan pada pasal 42 : tidak dipidana, jika seseorang tidak mengetahui atau sesat mengenai keadaan yang merupakan unsur
tindak pidana atau berkeyakinan bahwa perbuatannya tidak merupakan suatu tindak pidana, kecuali ketidaktahuan, kesesatan,
atau keyakinannya itu patut dipersalahkan kepadanya; b
Dipaksa kekuatan yang tidak dapat ditahan, yang disebutkan pada pasal 43 : tidak dipidana seseorang yang
melakukan tindak pidana karena dipaksa oleh kekuatan yang tidak dapat ditahan, ancaman, tekanan, atau kekuatan yang tidak dapat
dihindari; c
Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang disebutkan pada pasal 44 : tidak dipidana setiap otang yang
melakukan pembelaan terpaksa yang melampaui batas yang langsung disebabkan kegoncangan jiwa yang hebat karena
serangan seketika atau ancaman serangan yang segera; d
Melaksanakan perintah jabatan tanpa wewenang dengan iktikad baik,
yang disebutkan pada pasal 45 : tidak dipidana seseorang yang melakukan perintah jabatan yang tanpa wewenang dan orang yang
diperintahkan melaksanakan dengan iktikad baik mengira bahwa perintah tersebut diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya
termasuk dalam lingkungan pekerjaannya e
Tidak ada kesalahan, menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa, atau retardasi mental, belum mencapai umur 12 tahun, sebagaimana
disebutkan dalam pasal 46.
Alasan peniadaan pidana yang disebutkan dalam konsep KUHP baru ini memuat hal- hal baru yang tidak disebutkan sebelumnya dalam KUHP. Jadi,
konsep KUHP baru ini lebih luas, dan memudahkan dalam mengkategorikan hal- hal yang merupakan alasan pembenar dan alasan pemaaf.
B. Upaya Hukum yang dapat Dilakukan terhadap Putusan Lepas dari