akan dikemukakan masalah- masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini, yaitu sebagai berikut :
1. Apa saja Jenis Putusan yang dapat Dijatuhkan Pengadilan terhadap suatu Perkara Pidana?
2. Kapan Hakim dapat Menjatuhkan Putusan Lepas Dari Segala Tuntutan Hukum Onslag Van Rechtsvervolging?
3. Bagaimana Analisis Hukum atas Penjatuhan Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum Onslag Van Rechtsvervolging terhadap Kasus No. 171
Pid.B 2011 PN. SMI?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan penelitian merupakan sasaran yang ingin dicapai sebagai pemecahan masalah yang dihadapi. Berdasarkan permasalahan yang telah
diuraikan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui jenis- jenis putusan yang dapat dijatuhkan pengadilan
terhadap suatu perkara pidana; 2. Untuk mengetahui kapan Hakim dapat menjatuhkan putusan lepas dari
segala tuntutan hukum onslag van rechtsvervolging; 3. Untuk mengetahui penjatuhan putusan lepas dari segala tuntutan hukum
terhadap kasus No. 171 Pid.B 2011 PN. SMI dan kesesuaiannya dengan hukum yang berlaku.
Selain itu, penelitian ini diharapkan juga dapat memberi manfaat, baik manfaat teoritis maupun manfaat praktis, bukan hanya untuk penulis, melainkan
juga untuk semua pihak. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat teoritis; a Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan kajian
lebih lanjut untuk melahirkan beberapa konsep ilmiah yang memberikan sumbangan pemikiran dibidang ilmu hukum khususnya
yang berkaitan dengan hukum pidana dan hukum acara pidana; b Mengembangkan ilmu pengetahuan hukum serta memberikan suatu
pemikiran di bidang hukum pada umumnya yang didapat atau diperoleh dari perkuliahan dengan praktek di lapangan dalam bidang
Hukum Acara Pidana khususnya putusan lepas dari segala tuntutan hukum ontslag van rechtsvervolging;
2. Manfaat praktis; Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan masukan serta
kajian pengetahuan bagi para pihak yang berkompeten dan bermiat pada hal yang sama, baik itu kalangan akademisi dan penegak hukum, untuk
menambah wawasan di bidang hukum khususnya yang berkaitan dengan putusan lepas dari segala tuntutan hukum, dengan segala akibat hukumnya
yang merupakan hasil dari suatu proses peradilan.
D. Tinjauan Kepustakaan
1. Putusan Hakim dan Ruang Lingkupnya
Dalam membicarakan pembangunan hukum itu jelas bahwa di dalamnya termasuklah penegakan hukum. Sebagaimana dicanangkan di
atas bahwa penegakan hukum sebagai upaya untuk menegakkan keadilan, kebenaran, dan ketertiban. Dengan cara memantapkan peranan dan
kedudukan penegak hukum, maka diharapkan terwujudnya peningkatan
kemampuan dan kewibawaannya. Dalam hal ini, penegak hukum harus dapat bekerja dengan penuh teliti dan menghindarkan segala kekeliruan
sewaktu menjalankan tugasnya. Terkhususnya disini adalah seorang Hakim, yang memeriksa dan mengadili perkara, dan pada akhir
persidangan akan mengeluarkan putusan. Untuk itu dalam menjalankan tugasnya di persidangan, terutama dalam membuat putusan, Hakim harus
benar- benar teliti, supaya tidak terjadi kekeliruan.
Hakim merupakan faktor pembentukan hukum, sebagaimana dijelaskan pada pasal 21 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor
Indonesia, keputusan Hakim juga diakui sebagai sumber hukum formal.
4
Hakim sebagai pengambil keputusan pada peradilan dihadapkan pada resiko, kesalahan pengambilan keputusan akan memberikan dampak
Jadi, menurut peraturan perundang- undangan telah diakui bahwa pekerjaan Hakim merupakan faktor pembentukan hukum. oleh karena itu,
seorang Hakim harus bertindak selaku pembentuk hukum dalam hal peraturan perundang- undangan tidak menyebutkan suatu ketentuan untuk
menyelesaikan suatu perkara yang terjadi. Hakim harus menyesuaikan Undang- undang dengan hal- hal yang konkrit, oleh karena peraturan-
peraturan tidak dapat mencakup segala peristiwa hukum yang timbul dalam masyarakat. Oleh karena itu dalam membuat suatu keputusan,
Hakim mempunyai beberapa hal yang menjadi bahan pertimbangan, supaya keputusan yang dikeluarkannya dapat memenuhi rasa keadilan
semua pihak.
4
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka: Jakarta, 2002, halaman 65.
yang besar pada manusia. Terdakwa yang tidak bersalah dapat menjalani hukuman atau terdakwa yang bersalah dapat dibebaskan, jika terjadi
kesalahan pengambilan keputusan pada hakim.
5
Tidak dapat dipungkiri bahwa ‘misi suci’ lembaga peradilan di Indonesia bukan untuk menegakkan hukum demi hukum itu sendiri,
seperti yang dikemukakan oleh Oliver Wendell Holmes, “The supreme court is not court of justice, it is a court of law”, melainkan untuk
menegakkan hukum demi keadilan, baik bagi individu maupun bagi masyarakat, bangsa, dan negara, bahkan keadilan yang dimaksud adalah
keadilan demi Tuhan Yang Maha Esa sehingga terciptanya suasana kehidupan bermasyarakat yang aman, tenang, tentram, tertib, dan damai.
Hal ini penting karena peradilan pada akhirnya akan menghasilkan suatu keputusan melalui
hakim, yang dapat mewujudkan keadilan.
6
Dalam membuat putusan mengenai suatu perkara pidana tertentu, tentunya Hakim memiliki pertimbangan- pertimbangan tertentu, yang
mendukung putusan yang akan dibuat, yaitu hal- hal mengenai pemikiran dan pendapat Hakim tentang perkara yang bersangkutan didukung dengan
fakta yang terungkap di persidangan, meliputi aspek- aspek yang bersifat Untuk menjalankan ‘misi suci’ tersebut, maka Hakim diberikan kekuasaan
yang bebas dan mandiri agar putusan- putusannya tidak mudah diintervensi oleh kekuatan extra judicial, seperti penguasa dan kekuatan
lainnya dalam masyarakat.
5
Yusti Prabowo Rahayu, Di balik Putusan Hakim, Citramedia: Surabaya, 2005, halaman 37.
6
Antonius Sudirman, Hati Nurani Hakim dan Putusannya, PT. Citra Aditya Bakti: Bandung, 2007, halaman 1.
yuridis, filosofis, dan sosiologis, sehingga keadilan yang ingin dicapai, diwujudkan, dan dipertanggungjawabkan dalam putusan Hakim, dengan
berorientasi pada keadilan hukum, keadilan moral, dan keadilan masyarakat.
7
Serangkaian pertimbangan- pertimbangan Hakim mencerminkan kebebasan seorang Hakim dalam memutuskan sebuat keputusan dengan
melibatkan unsur manusiawi di dalamnya. Pertimbangan Hakim ini menjadi pokok pikiran, dan menjadi
alasan atau melatar belakangi suatu putusan yang dikeluarkan oleh Hakim.
8
Pertimbangan Hakim yang dimaksud adalah meliputi pertimbangan- pertimbangan dari beberapa aspek sebagai berikut : aspek
yuridis, filosofis, dan sosiologis. Aspek yuridis merupakan aspek pertimbangan Hakim yang pertama dan utama dan berpatokan kepada
Undang- undang yang berlaku. Hakim sebagai aplikator Undang- undang harus memahami Undang- undang dengan mencari Undang- Undang yang
berkaitan dengan perkara yang sedang dihadapi. Hakim harus menilai apakah Undang- undang tersebut adil, kemanfaatannya, atau memberikan
kepastian hukum jika ditegakkan, sebab salah satu tujuan hukum itu unsurnya adalah menciptakan keadilan. Mengenai aspek filosofis,
Dengan adanya kebebasan tersebut, seorang Hakim dalam membuat putusan atas perkara yang
ditangani, harus bersumber pada kemampuannya untuk berpikir dan berkehendak secara bebas, namun dalam pembatasan tanggung jawab,
demikian pula halnya dalam mengeluarkan pertimbangan- pertimbangannya.
7
Ahmad Rivai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika: Jakarta, 2011, halaman 126.
8
Ahmad Kamil, Filsafat Kebebasan Hakim, Kencana: Jakarta, 2012, halaman 170.
merupakan aspek yang berintikan pada kebenaran dan keadilan, sedangkan aspek sosiologis, mempertimbangkan tata nilai budaya yang hidup dalam
masyarakat.Pertimbangan filosofis dan sosiologis sangat memerlukan pengalaman dan pengetahuan yang luas serta kebijaksanaan yang mampu
mengikuti nilai- nilai dalam masyarakat yang terabaikan.
9
Pencantuman ketiga unsur pertimbangan tersebut adalah tidak lain bertujuan agar putusan dianggap adil dan dapat diterima oleh masyarakat.
Karena pada hakikatnya, pengambilan keputusan oleh Hakim adalah suatu pendekatan sistematis terhadap hakikat suatu masalah, pengumpulan fakta-
fakta dan data penentuan yang matang dari alternatif yang dihadapi, dan mengambil tindakan yang paling tepat.
10
a Pengertian Putusan Hakim
Pengambilan tindakan yang paling tepat yang dimaksud ini adalah yang adil dan dapat diterima oleh
masyarakat sebagaiman yang telah disebutkan sebelumnya. Berikut ini akan diuraikan mengenai putusan hakim tersebut.
Dalam KUHAP telah diatur tentang defenisi putusan, yang terdapat pada ketentuan Pasal 1 angka 11. Ketentuan tersebut berbunyi
sebagai berikut :
“Putusan pengadilan adalah pernyataan Hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas
atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang- undang ini”.
Putusan Hakim adalah suatu kesimpulan dari peninjauan dan pertimbangan teliti serta seksama pada kenyataan- kenyataan yang
9
Ahmad rivai, Loc. Cit.
10
Antonius Sudirman, Op.Cit., halaman 196.
timbul dalam pemeriksaan pada sidang. Peninjauan dan pertimbangan mengenai soal- soal :
a Kenyataan- kenyataan feiten manakah yang telah terbukti? b Apakah terbukti tertuduh bersalah pada kenyataan- kenyataan
itu? c Kejahatan apakah diakibatkan oleh kenyataan- kenyataan itu?
d Hukuman apakah yang harus dijatuhkan? Yang harus terbukti adalah, kenyataan- kenyataan yang
dituduhkan dalam surat tuduhan acte van verwijzing. Kenyataan- kenyataan yang dituduhkan itu merupakan unsur- unsur dari tindak
pidana yang dituduhkan.
11
Putusan adalah hasil atau kesimpulan dari suatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak- masaknya yang
dapat dibentuk tertulis maupun lisan.
12
b Syarat Sah dan Isi Putusan
Putusan yang dijatuhkan Hakim dimaksudkan untuk mengakhiri atau menyelesaikan perkara
yang diajukan kepadanya. Untuk memutus suatu perkara pidana, maka terlebih dahulu Hakim harus memeriksa perkaranya.
Yang menjadi syarat sahnya suatu putusan dapat kita lihat pada pasal 195 KUHAP yang menyatakan bahwa,
“Semua Putusan Pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk
umum”.
11
S.M. Amin, Hukum Acara Pengadilan Negeri, Pradnya Paramitha: Jakarta 1981, halaman 105.
12
Kejari, Peristilahan Hukum dalam Praktek, 1985, halaman 221.
Sedangkan mengenai isi putusan, tercantum pada pasal 197 ayat 1 KUHAP. Dalam pasal 197 ayat 1 KUHAP tersebut diatur
formalitas yang harus dipenuhi suatu putusan Hakim dan menurut ayat 2 pasal tersebut, kecuali yang disebut pada huruf g, putusan batal
demi hukum. ketentuan tersebut adalah : a Kepala putusan berbunyi : DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA; Kepala putusan ini adalah sesuai dengan pasal 29 ayat 1
Undang- undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang berbunyi : “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha
Esa”. Tujuan dari kepala putusan yang demikian dimaksudkan agar Hakim dalam memutus perkara tidak main- main, harus
jujur, dan adil karena putusan yang dibuat mengatasnamakan Tuhan mengandung tanggung jawab yang berat
13
b Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan
terdakwa; Pencantuman identitas terdakwa ini dicantumkan dengan
maksud untuk mengetahui siapa terdakwa yang sebenarnya, dan juga berkaitan dengan proses pembuktian di persidangan.
c Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
13
Gatot Supramoto, Surat Dakwaan dan Putusan Hakim yang Batal demi Hukum, Penerbit Djambatan: Jakarta, 1991, halaman 59.
Pencantuman dakwaan dalam putusan adalah untuk menguraikan permasalahannya, kemudian dijadikan dasar
untuk dibuktikan dan dijawab dalam amar putusan. d Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan
keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan
terdakwa; e Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;
Tuntutan pidana hanya yang pokok saja yang dicantumkan, yaitu tentang penuntutannya, tidak dikutip seluruhnya.
Pencantuman tuntutan tersebut untuk mengetahui pendapat penuntut umum dari hasil pembuktiannya, dan dapat dipakai
sebagai bahan masukan dan perbandingan pendapat Hakim dalam amar putusan.
f Pasal peraturan perundang- undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-
undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa;
Yang dimaksud disini adalah pertimbangan hukum putusan dimana unsur- unsur pasal yang didakwakan dibuktikan.
g Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis Hakim kecuali perkara diperiksa oleh Hakim tunggal;
Hari dan tanggal diadakan musyawarah majelis Hakim biasanya dicantumkan satu kalimat dengan hari dan tanggal
putusan, pencantumannya, setelah amar putusan. Hari dan tanggal musyawarah Hakim tidak selalu sama, sebab terserah
majelis Hakim kapan diadakan musyawarah putusan dan kapan putusan diucapkan.
h Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan
kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan; Ini sudah sampai pada amar putusan. Dengan terbuktinya
dakwaan penuntut umum, perlu dinyatakan pada amar putusan dengan menyebutkan kualifikasi tindak pidananya dan bentuk
hukuman apa yang dijatuhkan pada terdakwa. i Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan
menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;
Mengenai masalah biaya yang harus ditanggung, perlu dilihat ketentuan pasal 222 KUHAP, yang menyatakan :
1 Siapapun yang diputus dipidana dibebankan membayar biaya perkara dan dalam hal putusan bebas atau lepas dari
segala tuntutan hukum, baiaya perkara dibebankan pada negara;
2 Dalam hal terdakwa sebelumnya telah mengajukan permohonan pembebasan dari pembayaran biaya perkara
berdasarkan syarat tertentu dengan persetujuan pengadilan, biaya perkara pada negara
Kemudian mengenai barang bukti dalam pasal 194 ayat 1 ditetapkan, bahwa dalam hal putusan pemidanaan atau bebas
atau lepas dari segala tuntutan hukum, pengadilan menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan kepada pihak yang
paling berhak menerima kembali yang namanya tercantum dalam putusan tersebut kecuali Undang- undang barang bukti
itu harus dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi.
j Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana letak kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap
palsu; KUHAP memerintahkan keterangan kepalsuan surat hanya
berlaku untuk surat otentik saja, sedangkan surat di bawah tangan atau surat- surat lainnya tidak diharuskan untuk
diterangkan kepalsuannya di dalam putusan. k Perintah supaya terdakwa ditahan untuk tetap dalam tahanan
atau dibebaskan; Untuk status terdakwa yang menyangkut masalah penahanan
adalah dalam hubungannya dengan pasal 193 ayat 2 KUHAP yang menetapkan :
a. Pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika terdakwa tidak ditahan, dapat memerintahkan
supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila dipenuhi
ketentuan pasal 21 dan terdapat alasan cukup untuk itu
b. Dalam hal terdakwa ditahan, pengadilan dalam menjatuhkan putusannya, dapat menetapkan
terdakwa tetap ada dalam tahanan atau membebaskannya, apabila terdapat alasan cukup
untuk itu l Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama Hakim
yang memutus, nama panitera Hari dan tanggal putusan disebutkan di bawah amar putusan
dimaksudkan untuk mengetahui kapan putusan itu diucapkan. Sedangkan nama penuntut umum, nama hakim yang memutus
dan nama panitera dimaksudkan untuk mengetahui susunan pejabat yang berwenang.
c Teori Pengambilan Putusan
Pengambilan keputusan decision making merupakan proses berpikir dan perilaku yang mengahsilkan suatu pilihan.
14
Proses pengambilan keputusan memerlukan berpikir terkontrol agar
dihasilkan keputusan yang tepat. Ada beberapa teori yang dipakai dalam pengambilan keputusan ini, yaitu teori pengambilan keputusan
rasional dan teori pengambilan keputusan heuristic.
15
Teori pengambilan keputusan rasional adalah pengambilan keputusan yang disusun berdasarkan prinsip rasional. Pengambilan
14
Yusti Probowati Rahayu, Op. Cit., halaman 50.
15
Ibid.
keputusan ini sering didasarkan pada teori probabilitas karena manusia sering dihadapkan pada pengambilan keputusan dalam peristiwa-
peristiwa yang tidak pasti. Dawes dan Kagen menjelaskan ada tiga prinsip rasional, yaitu
pengambilan keputusan selalu didasari oleh modal yang dimiliki oleh pengambil keputusan pada saat ini, pengambilan keputusan didasari
oleh pertimbangan akan konsekuensi pilihan, dan yang terakhir adalah jika konsekuensi merupakan sesuatu yang tidak jelas, segala
kemungkinan dievaluasi berdasarkan prinsip- prinsip teori
probabilitas.
16
Teori pengambilan putusan heuristic adalah metode pemecahan masalah yang menghasilkan pemecahan efisien terhadap masalah rumit
dengan cara membatasi kemungkinan pemecahan masalah. Menurut Kahneman, Slovic, dan Tversky ada tiga macam keputusan heuristic,
yaitu: Pengambilan keputusan rasional yang didasarkan teori
probabilitas ini terlalu sulit dilakukan sehingga seringkali dilakukan penyederhanaan dengan teori pengambilan putusan heuristic.
17
a Perwakilan representative, yaitu dengan menggunakan perwakilan, untuk evaluasi probabilitas. Cara ini tentu saja
memiliki kesalahan yang serius, karena perwakilan tidak mempengaruhi faktor- faktor yang harus dipertimbangkan
dalam teori probabilitas.
b Ketersediaan avalaibility, yaitu dengan mempertimbangkan kejadian yang ada dalam pikirannya. Cara ini seringkali
menimbulkan bias. c Penyesuaian dan jangkar, adjustment and anchor, yaitu dengan
melakukan estimasi kuantitatif dengan memulai dari suatu nilai awal kemudian disesuaikan sehingga membawa hasil jawaban
akhir.
16
Ibid., halaman 54.
17
Ibid., halaman 55.
Teori pengambilan putusan yang dipakai untuk perkara pidana sendiri menggunakan teori yang disebut teori deskriptif.
18
a Pendekatan teori probabilitas, adalah yang didasari oleh teori probabilitas bayesian, yaitu dimensi dasar dari berpikir yang
mengatakan bahwa membuat keputusan adalah probabilitas subjektif. Artinya semua informasi yang relevan dengan
pengambilan keputusan akan dikonsep oleh individu sebagai kekuatan keyakinan.
Hastie mengatakan bahwa model teori deskriptif ini antara lain:
b Pendekatan aljabar, adalah dengan menggambarkan proses mental seperti perubahan sikap, persepsi terhadap manusia,
psikolinguistik, pembuatan keputusan, dan masalah yang terkait dengan psikofisik.
c Pendekatan model cerita, adalah dengan mengumpulkan informasi persidangan dari jaksa penuntut umum, saksi,
terdakwa, maupun barang bukti untuk memutuskan perbuatan pidana. Casper mengembangkan model ini dengan
menggunakan dasar teori pemrosesan informasi kognitif untuk menjelaskan proses hakim dalam menentukan perbuatan
pidana. Model ini memiliki beberapa tahap, sebagai berikut:
19
i Menyusun cerita; ii Mempelajari unsur- unsur pasal yang didakwakan jaksa
penuntut umum;
18
Ibid., halaman 57.
19
Ibid., halaman 64.
iiiMengambil keputusan melalui pencocokan cerita dengan pasal undang- undang yang digunakan sebagai dasar
pemidanaan.
d Tahap Pengambilan Putusan Pidana
Moeljatno menjelaskan ada beberapa tahapan dalam pengambilan putusan pidana oleh hakim, yaitu sebagai berikut:
20
i Perbuatan pidana dapat diberi arti perbuatan yang dilarang dan diancam pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut.
Perbuatan pidana dan tanggung jawab disini berbeda. Artinya, hakim menganalisis apakah terdakwa melakukan perbuatan pidana
atau tidak, yang dipandang primer adalah segi masyarkat yaitu perbuatan sebagai tersebut dalam rumusan suatu aturan pidana.
ii Jika seorang terdakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan pidana melanggar suatu pasal tertentu, hakim selanjutnya
menganalisis apakah terdakwa dapat dinyatakan bertanggungjawab atas perbuatan pidana yang dilakukannya. Disini yang dipandang
primer adalah orang itu sendiri.
iii Jika seorang terdakwa yang terbukti melakukan perbuatan pidana dan perbuatan terdakwa tidak dapat digolongkan dalam pasal 44-
50 KUHP, hakim memutuskan terdakwa dijatuhi pemidanaan.
2. Tindak Pidana
a Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana atau perbuatan pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum pidana, sebagai
istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Perbuatan pidana mempunyai pengertian
yang abstrak dari peristiwa – peristiwa yang konkret dalam lapangan hukum pidana, sehingga perbuatan pidana haruslah diberikan arti yang
bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari – hari dalam kehidupan masyarakat.
Banyak istilah lain untuk perbuatan pidana yaitu peristiwa pidana, tindak
20
Ibid., halaman 85.
pidana, pelanggaran pidana, delik pidana dan straafbar feit. Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana
Belanda yaitu “strafbaarfeit”. Walaupun istilah itu terdapat dalam WvS Belanda dengan demikian juga WvS Hindia Belanda KUHP, akan tetapi
tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaarfeit itu. Karena itu para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi
istilah itu. Sayangnya sampai kini belum ada keseragaman pendapat.
21
Menurut R. Tresna, pertimbangan atau pengukuran terhadap perbuatan- perbuatan terlarang, yang menetapkan mana yang harus
ditetapkan sebagai peristiwa pidana dan mana yang tidak dianggap sedemikian pentingnya, dapat berubah tergantung dari keadaan, tempat
dan waktu atau suasana serta berhubungan erat dengan perkembangan pikiran dan pendapat umum. Apa yang pada suatu waktu di tempat itu
dianggap sebagai suatu perbuatan yang harus dicela namun tidak membahayakan kepentingan masyarakat, pada suatu saat bisa berubah dan
dianggap sebagai suatu kejahatan. Sebaliknya, apa yang tadi dianggap sebagai suatu kejahatan, di waktu yang lain, karena keadaannya berubah,
dianggap tidak merupakan suatu hal yang membahayakan. Undang- undang harus mencerminkan keadaan, pendapat atau anggapan umum, dan
meskipun pada umumnya undang- undang selalu terbelakang dalam mengikuti perkembangan gerak hidup dalam masyarakat, akan tetapi
terhadap beberapa perbuatan, ketentuan hukum tetap sesuai dengan anggapan umum. Misalnya pembunuhan, dari dulu kala sampai sekarang,
21
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Raja Grafindo: Jakarta, 2002, halaman 67.
tetap dianggap sebagai suatu perbuatan jahat, baik dilihat dari sudut agama atau moral, maupun dilihat dari sudut sopan santun, sehingga sudah
semestinya terhadap perbuatan yang demikian itu diadakan ancaman hukuman pidana.
22
Tidak ada persamaan pendapat di kalangan para ahli tentang syarat- syarat yang menjadikan perbuatan manusia itu sebagai peristiwa
pidana, oleh karena itu R. Tresna menyatakan, dapat diambil sebagai patokan bahwa peristiwa pidana itu harus memenuhi syarat- syarat berikut
ini : i Harus ada suatu perbuatan manusia, maksudnya bahwa memang
benar-benar ada suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang. Adapun tindakan yang dilakukan
merupakas suatu perbuatan tertentu yang dapat dipahami oleh orang lain sebagai suatu peristiwa;
ii Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan di dalam ketentuan hukum, artinya perbuatan sebagai suatu peristiwa hukum
memenuhi isi ketentuan hukum yang berlaku pada saat ini hukum positif. Dan pelakunya memang benar-benar telah berbuat seperti
yang terjadi dan terhadapnya wajib dimintakan pertanggungjawaban akibat yang timbul dari apa yang telah
diperbuatnya itu. Berkenaan dengan syarat ini hendaknya dapat dibedakan bahwa ada suatu perbuatan yang tidak dapat disalahkan
dan terhadap pelakunya tidak bisa dimintakan
22
Mohammad Ekaputra, Dasar – Dasar Hukum Pidana, USU Press: Medan, 2010, halaman 76.
pertanggungjawaban.Perbuatan-perbuatan yang tidak dapat disalahkan ini adalah perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh
sesorang atau beberapa orang dalam melaksanakan tugas, membela diri dari ancaman orang lain yang mengganggu keselamatannya
dan dalam keadaan darurat dan mereka yang tidak mempunyai kesalahan;
iiiHarus terbukti adanya “dosa” pada orang yang berbuat, yaitu orangnya harus dapat dipertanggungjawabkan, maksudnya bahwa
perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang itu dapat dibuktikan dan memang terbukti bahwa perbuatan tersebut
merupakan perbuatan yang disalahkan oleh ketentuan hukum; iv Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum,maksudnya bahwa
perbuatan itu merupakan perbuatan yang diatur dalam suatu ketentuan hukum dan merupakan suatu perbuatan yang melawan
hukum.Perbuatan melawan hukum dimaksudkan jikalau tindakan atau perbuatan telah nyata-nyata bertentangan dengan aturan
hukum; v Terhadap perbuatan itu harus tersedia ancaman hukumannya dalam
Undang – undang, maksudnya kalau ada suatu ketentuan yang telah mengatur tentang larangan atau keharusan dalam suatu
perbuatan tertentu, maka ketentuan itu memuat sanksi ancaman hukumannya. Ancaman hukuman ini dinyatakan secara tegas
maksimal hukumannya yang harus dilaksanakan oleh para pelakunya. Kalau didalam suatu perbuatan tertentu, maka didalam
suatu perbuatan tertentu, maka dalam peristiwa pidana terhadap pelakunya tidak perlu melaksanakan hukuman.
Pengertian dari istilah strafbar feit adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan undang – undang, jadi suatu kelakuan
yang pada umumnya dilarang dengan ancaman pidana. Menurut Pompe pengertian strafbar feit dibedakan:
23
i Definisi menurut teori memberikan pengertian strafbar feit adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena
kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana mati untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan
umum;
ii Definisi menurut hukum positif, merumuskan pengertian strafbar feit adalah suatu kejadian feit yang oleh peraturan undang –
undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.
Moeljatno, memakai istilah “perbuatan pidana” dan beliau tidak setuju dengan istilah “tindak pidana” karena menurut beliau “tindak” lebih
pendek daripada perbuatan, tetapi “tindak” tidak menunjukkan kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya menyatakan keadaan
konkrit.
24
b Unsur- unsur Tindak Pidana
Menurut doktrin, unsur-unsur tindak pidana terdiri atas unsur subjektif dan unsur objektif, yakni:
i Unsur subjektif adalah unsur yang berasal dari dalam diri pelaku. Asas hukum pidana menyatakan “tidak ada hukuman kalau tidak
ada kesalahan” An act does not make a person guilty unless the mind is guilty or actus non facit reum nisi mens sit rea. Kesalahan
23
Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia: Jakarta, 1993, halaman 91.
24
Leden Marpaung, Unsur-Unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum delik, Sinar Grafika: Jakarta,1991, halaman 3.
yang dimaksud di sini adalah kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan intentionopzetdolus dan kealpaan negligence or
schuld. Pada umumnya para pakar telah menyetujui bahwa “kesengajaan” terdiri atas 3 tiga bentuk, yakni:
a Kesengajaan sebagai maksud oogmerk b Kesengajaan dengan keinsafan pasti opzet als
zekerheidsbewustzijn c Kesengajaan dengan keinsafan akan kemungkinan dolus
evantualis ii Unsur objektif merupakan unsur dari luar diri pelaku yang terdiri
atas: a Perbuatan manusia, berupa:
i Act, yakni berupa aktif atau perbuatan positif ii Omission, yakni perbuatan pasif atau perbuatan negative,
yaitu perbuatan yang membiarkan atau mendiamkan b Akibat result perbuatan manusia
Akibat tersebut membahayakan atau merusak, bahkan menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan
oleh hukum, misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik, kehormatan, dan sebagainya.
c Keadaan-keadaan circumstances, pada umunya, keadaan tersebut dibedakan antara lain: keadaan pada saat perbuatan
dilakukan dan keadaan setelah perbuatan dilakukan
d Sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan si pelaku dari hukuman. Adapun sifat melawan
hukum adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum, yakni berkenan dengan larangan atau perintah.
3. Penggelapan
Penggelapan diatur dalam pasal 372, pasal 373, pasal 374, dan pasal 375 KUHP. Pasal 376 KUHP mengenai penggelapan antar keluarga,
diberlakukan sama dengan pasal 367 KUHP mengenai tindak pidana pencurian. Pasal 377 KUHP mengenai pidana tambahan berupa
pengumuman putusan Hakim dan pencabutan hak dapat dikenakan bagi penggelapan pasal 372, 374, dan pasal 375 KUHP. Jika pencurian
dilakukan secara beroep profesi, maka hak menjalankan pekerjaan dapat
dicabut. a
Pengertian Penggelapan
Menurut Cleiren, inti delik penggelapan adalah penyalahgunaan kepercayaan. Selalu menyangkut secara melawan hukum memiliki suatu
barang yang dipercayakan kepada orang yang menggelapkan itu. Batas klasik antara pencurian dan penggelapan adalah pada pencurian
‘mengambil’ barang yang belum ada padanya, sedangkan pada penggelapan barang itu sudah ada dalam kekuasaannya. Delik
penggelapan adalah delik dengan berbuat atau delik komisi. Waktu dan tempat terjadinya penggelapan ialah waktu dan tempat dilaksanakannya,
kehendak yang sudah nyata.
25
25
Andi Hamzah, Delik- delik Tertentu di dalam KUHP, Sinar Grafika: Jakarta, 2009, halaman 107.
Penggelapan adalah kejahatan yang hampir sama dengan pencurian pasal 362. Bedanya ialah bahwa pada pencurian barang yang dimiliki itu
masih belum berada di tangan pencuri dan masih harus ‘diambilnya’ sedang pada penggelapan waktu dimilikinya barang itu sudah ada di
tangan si pembuat tidak dengan jalan kejahatan.
26
b Unsur- Unsur Delik Penggelapan
Delik yang tercantum dalam pasal 372 KUHP merupakan delik pokok. Artinya, semua jenis penggelapan harus memenuhi bagian inti
delik pasal 372 ditambah bagian inti lain. Pada delik penggelapan ada delik berkualifikasi jika dilakukan sebagai beroep profesi. Bagian inti
yang dimaksud dalam pasal 372 adalah sebagai berikut : sengaja, melawan hukum, memiliki suatu barang, yang seluruhnya atau kepunyaan orang
lain, yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan. Bagian ini delik sengaja menjadikan delik ini delik dengan berbuat atau delik komisi.
Unsur barang di bawah kekuasaan si pelaku adalah unsur pokok dari penggelapan barang yang membedakan dari tindak- tindak pidana
lain mengenai kekayaan orang.
27
26
R. Soesilo, Kitab Undang- undang Hukum Pidana serta Komentar- komentarnya mi Pasal, Politeia: Bogor, 1983, halaman 258.
Ditambahkan lagi bahwa barang harus ada di bawah kekuasaan si pelaku dengan cara lain daripada dengan
melakukan kejahatan. Dengan demikian, tergambar bahwa barang itu oleh yang empunya dipercayakan atau dapat dianggap dipercayakan kepada si
pelaku.
27
Wirjono Prodjodikoro, Tindak- tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Refika Aditama: Bandung, 2003, halaman 31.
Adapun pasal yang dikenakan kepada terdakwa dalam kasus yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah pasal 374, yang isinya :
“ Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang memegang barang itu berhubung dengan pekerjaannya atau jabatanny atau karena ia
mendapat upah uang, dihukum penjara selama- lamanya lima tahun”.
Penggelapan yang diatur dalam pasal ini adalah penggelapan
khusus gequalificeerde verduistering. Pasal 374 dan juga pasal 375 masing- masing merumuskan jenis penggelapan barang, dimana tergambar
lebih tebal kepercayaan yang dilimpahkan kepada si pelaku. Pasal 374 ini merumuskan tiga macam hubungan antara si pelaku dan yang
mempercayakan barangnya, yaitu ke- 1: hubungan buruh- majikan, ke- 2: hubungan berdasar pekerjaan si pelaku sehari- hari, ke- 3: hubungan
dimana si pelaku mendapat upah untuk menyimpan barang.
28
Adapun unsur dari pasal 374 ini adalah sebagai berikut : a Sengaja,
b Melawan hukum, c Memiliki suatu barang,
d Yang seluruhnya atau kepunyaan orang lain, e Yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan,
f Dilakukan karena ada hubungan kerja, atau karena pencariannya, atau karena mendapat upah
Pasal ini biasa disebut dengan penggelapan dengan pemberatan sebagaimana disebut oleh R. Soesilo dalam bukunya
28
Ibid., halaman 33.
KUHP serta komentar- komentarnya. Adapun pemberatan yang dimaksud adalah :
29
a Terdakwa diserahi menyimpan barang yang digelapkan itu karena hubungan pekerjaannya persoonlijke dienstbetrekking
b Terdakwa menyimpan barang itu karena jabatannya beroep c Karena mendapat upah uang
Delik ini dinamakan delik berkualifikasi, artinya suatu delik yaitu delik penggelapan pasal 372 KUHP sebagai delik pokoknya, dengan
ditambah bagian delik lain.
E. Keaslian Penulisan
Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan library research khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara Medan, terhadap judul “ Putusan Lepas
dari Segala Tuntutan Hukum Onslag van rechtvervolging Terhadap Tindak Pidana Penggelapan Studi Kasus Putusan No. 171 Pid. B 2011 PN. SMI” ini,
belum pernah ada judul dan permasalahan yang sama. Dengan demikian, penelitian ini asli serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Adapun judul penelitian yang mendekati dan sudah pernah dilakukan sebelumnya, serta telah ada di Perpustakaan Universitas Cabang Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara Pusat Dokumentasi dan Informasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara adalah sebagai berikut ini :
1. Skripsi saudara M. Ahmad Sanusi Tarigan, dengan judul: Pelaksanaan Diskresi Kepolisian pada Tingkat Penyidikan terhadap Tindak Pidana
Penggelapan di Polres Langkat; dan 2. Skripsi saudara Masber Gani T. Sagala, dengan judul:
Pertanggungjawaban Pidana terhadap Tindak Pidana Penggelapan yang
29
R. Soesilo, Op.Cit. halaman 259.
Dilakukan oleh Anggota TNI Studi Putusan Pengadilan Militer II- 10 Semarang No. PUT 59-K PM II-10 AL VII 2010.
F. Metode Penelitian