Sejarah Awal Pembuatan Arang Di Desa Gambus Laut

61 Arang kulit buah mahoni ini memang terdengar baru. Akan tetapi melihat kualitas arang yang dihasilkan, arang ini pasti akan banyak diminati dan dibutuhkan oleh masyarakat luas. Hal ini juga dapat dijadikan alternative produksi bagi para wirausaha arang.

3.3 Sejarah Awal Pembuatan Arang Di Desa Gambus Laut

Awalnya, pembuatan arang ini dilakukan oleh masyarakat pendatang dari Aceh. Penduduk aceh berimigrasi ke Desa Gambus Laut ini lalu membuka usaha pembuatan arang ini. Lalu masyarakat sekitar mencari kayu bakau lalu dijual kepada pembuat arang. Kemudian mulai datang pendatang dari aceh. Mereka membuat tungku arang dan mereka memperkerjakan penduduk desa untuk membantu mereka dalam memproduksi arang. Pak Mujani bilang “...awalnya orang-orang Aceh itu yang buat arang ini, trus kami kan ikut bantu-bantu mereka untuk nambah-nambah”. Pak mujani yang saat itu memiliki pekerjaan yang tidak tetap membantu orang aceh tersebut dalam memproduksi arang, lama kelamaan Pak Mujani belajar dari mereka, lalu pak mujani pun mengikuti jejak mereka menjadi pembuat arang. Pembelajaran pun tidak langsung berhasil, dia banyak melihat cara kerja orang-orang aceh tersebut dalam memproduksi arang, dan lama-kelamaan Pak Mujani menjadi mahir dalam pembuatan arang. Tungku yang dimiliki Pak Mujani berkapasitas 300 kg. Kayu yang digunakan pak mujani adalah kayu bakau, yang di ambilnya dari rawa-rawa pinggir sungai di dusun satu. Pak Mujani memiliki enam orang anak laki-laki, setelah anaknya besar pak mujani tidak pernah mengambil kayu lagi. Anaknyalah yang kemudian menggantikannya untuk mengambil kayu. Hasan 22 Tahun mengatakan bahwa dulu mencari kayu untuk arang itu tidak susah “...sepanjang jalan yang disono itu UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 62 bakau semua dulu. Jadi ya gak susah nyarinya ... gampang aja ngambilnya, kalau sekarang ngambinya mesti kelaut.” Hasan adalah anak Pak Mujani yang ke enam. Semua anaknya menjadi pembuat arang. Tungku petama digunakan oleh Bang Budi 33 Tahun. Bang budi mengelola tungkunya sendirian oleh karena itu tungku yang dia miliki agak kecil dibandingkan yang lainnya. Kapasitas tungku yang di milikinya berisi sekitar 200 kg kayu. Bang Budi biasa mengambil kayu sendiri, hal itu dapat dia lakukan karena dia masih muda. Tungku kedua digunakan oleh bang Sapri 30 Tahun, Bang Sapri adalah anak ke tiga Pak Mujani. Tungku arang milik Bang Sapri ini berkapasitas 200 kg. Selain menjadi pembuat arang bang Sapri juga melaut, dulunya bang Sapri hanya menjadi pembuat arang, akan tetapi setelah dia menikah dan mempunyai istri maka dia memutuskan untuk melaut juga agar memiliki penghasilan tambahan untuk kebutuhan hidup mereka. Tungku ketiga digunakan oleh bang Sutris 29 Tahun, Tungku yang digunakan bang Sutris adalah milik Pak Sutimin. Pak Sutimin memiliki tiga tungku, salah satu tungkunya disewa oleh bang Sapri. Bang Sapri menyewa tungku milik Pak Sutimin yang memiliki kapasitas 300 kg. Pembuat arang sangat tergantung pada hutan mangrove bakau yang dulunya mempunyai “sifat terbuka” dan menjadi milik umum dengan batas-batas tertentu. Adanya konsep kepemilikan bersama, maka setiap orang berhak untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut. Jika hal ini tidak dikendalikan akan menimbulkan dampak negatif terhadap sumberdaya alam itu sendiri. Sebagai contoh, pembuat arang yang mengambil kayu mangrove terus-menerus tanpa melakukan UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 63 reboisasi terhadap hutan mangrove akan menyebabkan hilangnya kelestarian hutan mengrove. Pemerintah pun kemudian mengambil tindakan demi kelestarian lingkungan, masing-masing dinas membuat peraturan atas sumber daya alam. Salah satunya adalah hutan mangrove yang merupakan salah satu tanaman yang dapat tumbuh di air asin dan juga tumbuhan yang dapat beradaptasi untuk hidup di daerah pinggir pantai. Selain itu hutan mangrove merupakan suatu habitat bagi sejumlah tanaman lainnya dan menyediakan perlindungan bagi binatang laut dan burung-burung. 3.4 Profil Keluarga 3.4.1 Bapak Mujani