Strategi Adaptasi Pembuat Arang dalam Pemanfaatan Sumber Daya Kayu Mangrove di Desa Gambus Laut, Kec. Lima Puluh, Kab. Batu Bara

(1)

Strategi Adaptasi Pembuat Arang dalam Pemanfaatan

Sumberdaya Kayu Mangrove

di Desa Gambus Laut, Kec. Lima Puluh, Kab. Batu Bara

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial

Dalam Bidang Antropologi Oleh:

Rabithah Adawiyah 070905037

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Halaman Persetujuan

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan Oleh:

Nama : Rabithah Adawiyah NIM : 070905037

Departemen : Antropologi

Judul : Strategi Adaptasi Pembuat Arang dalam Pemanfaatan Sumber Daya Kayu Mangrove di Desa Gambus Laut, Kec. Lima Puluh, Kab. Batu Bara.

Medan, 25 April 2014

Dosen Pembimbing Ketua Departemen

Dr. R. Hamdani Harahap, M.si

NIP. 19640227198903 1 003 NIP. 19621220198903 1 005 Dr. Fikarwin Zuska

Dekan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

NIP. 19689525 199203 1 002 Prof. Dr. Badaruddin, M.Si


(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PERNYATAAN ORIGINALITAS

Strategi Adaptasi Pembuat Arang dalam Pemanfaatan

Sumber Daya Kayu Mangrove di Desa Gambus Laut,

Kec. Lima Puluh, Kab. Batu Bara

SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulias diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Apabila dikemudian terbukti lain atau tidak seperti yang saya nyatakan di sini, saya bersedia diproses secara hukum dan siap menanggalkan gelar kesarjanaan saya.

Medan, 25 April 2014


(4)

ABSTRAK

Rabithah Adawiyah 2014, judul skripsi: Strategi Adaptasi Pembuat Arang dalam Pemanfaatan Sumberdaya Kayu Mangrove di Desa Gambus Laut, Kec. Lima Puluh, Kab. Batu Bara. Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 100 halaman, 6 tabel, 5 gambar, 18 daftar pustaka serta lampiran.

Skripsi ini mendeskripsikan : Strategi adaptasi pembuat arang dalam memanfaatkan sumberdaya kayu mangrove. Penelitian ini berlokasi di Desa Gambus Laut Kec. Lima Puluh, Kab. Batu Bara. Kajian ini menjelaskan tentang adaptasi yang dilakukan masyarakat khususnya pembuat arang dalam menghadapi perubahan lingkungannya dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang pada awalnya pemanfaatan sumberdaya alam bersifat bebas dan terbuka namun berubah menjadi tertutup dan dilarang untuk pemanfaatannya.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pengetahuan masyarakan dalam melakukan adaptasi terhadap perubahan dilingkungannya untuk bertahan hidup. Perubahan lingkungan yang dimaksud dengan adanya pengeksploitasi hutan mangrove dari yang bersifat terbuka dan bebas menjadi tertutup dan diawasi. Penelitian ini menggunakan metode etnografi dengan teknik pengumpulan data seperti wawancara serta observasi. Wawancara yang dilakukan adalah wawancara mendalam dan wawancara tak berstruktur. Wawancara mendalam dilakukan dengan informan kunci sebanyak 3 orang. Wawancara tak berstruktur namun fokus digunakan untuk memperoleh keterangan dari informan biasa. Observasi dilakukan dengan mengamati kegiatan-kegiatan apa saja yang dilakukan oleh para pembuat arang, dari proses mencari kayu, membuat arang, pengepakan hingga pendistribusian. Observasi dan wawancara dilakukan untuk mengetahui strategi adaptasi apa saja yang dilakukan para pembuat arang dalam menghadapi pengeksploitasian sumberdaya alam.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada pola-pola berfikir dalam masyarakat khususnya pembuat arang dalam membuat keputusan untuk bertahan hidup. Adaptasi yang dilakukan para pembuat arang dalam bertahan hidup sangat beragam. Setelah muncul larangan dalam pemanfaatan sumberdaya alam yaitu hutan mangrove maka mereka mencari cara lain untuk bertahan hidup. Tetap bertahan dalam memproduksi arang adalah pilihan dari sebagian pembuat arang. namun, itu saja tidak cukup bagi mereka untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup karena produksi arang yang dilakukan tidak lagi seperti dulu. Kemudian para pembuat arang mulai mencari kegiatan lain sebagai usaha untuk dapat bertahan hidup, sebagiam orang memilih berkebun cabai menjadi salah satu pilihan untuk bertahan hidup, ada juga yang menanam coklat sebagai penghasilan sampingan mereka untuk dapat bertahan hidup, dan ada juga yang mengambil membuat arang bakau dengan cara mengganti jenis kayu yang digunakan untuk produksi.


(5)

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillahirabbil’alamin.

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Strategi Adaptasi Pembuat Arang dalam Pemanfaatan Sumberdaya Kayu Mangrove di Desa Gambus Laut, Kec. Lima Puluh, Kab. Batu Bara” ini dengan baik.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada Ayah (Nazmi Athar) dan Mama (Fauziah) yang telah mencurahkan segala doa, perhatian, kasih sayang dan cinta yang tak terhingga, serta dukungan yang tidak pernah terputus kepada penulis, serta kedua abang penulis yaitu Muhammad Yazid S.Hut dan Ismail Tarmidzi Amd terima kasih untuk dukungan moril dan materil serta kasih sayang yang terucap dan tak terucap.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis melibatkan berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan rasa terima kasih dengan tulus dan sebesar-besarnya kepada Bapak Drs. R. Hamdani Harahap, M.Si selaku pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan bimbingan, motivasi, arahan, waktu, serta perhatiannya kepada penulis dari mulai penelitian sampai akhirnya penyelesaian skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis berikan kepada Dekan Fakutas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si sebagai seorang pemimpin dan pemberi kebijakan bagi seluruh Citivitas Akademika FISIP USU. Rasa terimakasih yang banyak penulis berikan juga kepada Bapak Dr. Fikarwin Zuska selaku Ketua Departemen


(6)

Antropologi dan kepada Bapak Agustrisno, MSP selaku Sekretaris Departemen Antropologi yang sering menunjukkan kepeduliannya terhadap mahasiswa dengan menanyakan mengenai apa dan bagaimana dengan skripsi yang ingin dibuat.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Nita Savitri M.Hum selaku dosen penasehat akademik yang selalu memberikan dukungan, motivasi dan perhatian dalam menyelesaikan segala urusan akademis selama masa perkuliahan . Kepada seluruh staf pengajar Departemen Antopologi FISIP USU yang telah memberikan begitu banyak ilmu, wawasan serta pengetahuan baru bagi penulis selama proses belajar ini berlangsung. Serta Kak Nurhayati selaku staf administrasi Departemen Antropologi dan Kak Sofiana yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis.

Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada Kakek dan Nenek yang telah bersedia memberikan tempat tinggal bagi penulis selama di lokasi penelitian, untuk yayuk terima kasih sudah menemani selama di lokasi penelitian, untuk Pak Mujani dan Ibu Jumikem terima kasih keripik pisang dan degannya. Bang Sutris dan Kak Wati terimakasih atas kebaikan dan informasi yang telah diberikan. Bang Budi dan Hasan terima kasih informasi dan jasa kendaraannya yang bersedia mengantar kemana-mana. Pak Sutimin dan Ibu Sani, Bang Sapri dan Kak Tuti, Hendra, dan Arif terima kasih banyak atas informasi yang telah diberikan.

Secara khusus penulis juga mengucapkan terima kasih kepada sahabat-sahabat terbaik Zizah dan Fizah atas perhatian, bantuan, dan dukungan yang telah diberikan. Kepada Bang Abdullah Akhyar S.Sos, Bang Nurman Achmad S.Sos, M.Soc.Sc, dan Kak Anis Amalia S.Sos, terima kasih banyak atas bantuan, kesediaan waktu dan tenaganya dalam proses penyusunan skripsi ini. Untuk Bang Bai, Imran


(7)

Zulfan Amd, dan Oppa terima kasih telah mendukung dan menyemangati penulis, untuk Abangda Fauzi S.Pd terima kasih telah menjadi inspirasi buat penulis.

Serta kepada sahabat-sahabat seperjuangan angkatan 2007, Indriani S.Sos, Septian Hadavi Lubis S.Sos, Rendy Arsami S.Sos, Khairil Fikri S.Sos, Hendra Alpino S.Sos, dan teman-teman seperjuangan yang terkhusus Tino, Tata, Jonathan, Perlaungan, Tya. Untuk teman-teman lainnya yang tidak penulis cantumkan, terima kasih atas hari-hari indah selama perkuliahan. Ucapan terima kasih juga penulis berikan untuk Bang Dani, Bang Andri, dan Bang Tasvin atas canda tawa selama kebersamaan di kampus dan di luar kampus, serta segala bantuan dari semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga skripsi ini dapat berguna bagi pihak-pihak yang memerlukan.

Medan, April 2014 Penulis


(8)

RIWAYAT HIDUP

Rabithah Adawiyah, akrab dipanggil Bitah, lahir pada tanggal 23 Juli 1989 di Tanjung Gading. Anak bungsu dari tiga bersaudara dari pasangan Nazmi Athar dan Fauziah.

Pendidikan Taman Kanak-kanak dimulai pada umur 5 tahun. Kemudian melanjutkan Sekolah Dasar di Tanjung Gading pada SD Negeri 016397 Kec. Air Putih, dan Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Air Putih, dan dilanjutkan dengan pendidikan Sekolah Menengah Atas di Yayasan Pendidikan Sekolah Menengah Atas Mitra Inalum dan selesai tahun 2007 pada tahun yang sama penulis meneruskan pendidikan kesarjanaan di Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik dengan spesifikasi ilmu Antropologi.

Pengalaman organisasi yang pernah penulis ikuti adalah kegiatan SIAGA I yang diselenggarakan oleh Musholla As-Siyasah FISIP USU. Penulis juga menjadi anggota muda HMI Komisariat FISIP USU. Penulis juga pernah mengikuti Dialog Budaya oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh sebagai peserta. Penulis juga pernah menjadi Koordinator Sie Dana dalam Kegiatan Inisiasi 2009.

Penulis pernah turut membantu program kerja luar kampus, diantaranya menjadi Enumurator dan Surveyor yang diadakan oleh PDAM Tirtanadi, SUCOFINDO, dan CSRC. Selama menjadi mahasiswa penulis juga pernah bekerja di perusahaan CV. TIGA BINTANG SUKSES dan CV.SEDAR yang bergerak di bidang Kontraktor dan Leveransir.


(9)

KATA PENGANTAR

Skripsi ini merupakan hasil tugas akhir sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Sosial, Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. Judul skripsi ini adalah Strategi Adaptasi Pembuat Arang dalam Pemanfaatan Sumberdaya Kayu Mangrove di Desa Gambus Laut, Kec. Lima Puluh, Kab. Batu Bara.

Sebagian besar skripsi ini berisi deskripsi tentang kehidupan pembuat arang yang didasarkan pada pengamatan dan wawancara penulis mengenai adaptasi lingkungan yang ada di Desa Gambus Laut Kec. Lima Puluh, Kab. Batu Bara. Secara sistematis, kajian tentang adaptasi masyarakat dalam menghadapi larangan dari pemerintah untuk memanfaatkan sumberdaya kayu mangrove yang notabene adalah bahan baku dalam pembuatan arang. Pandangan Masyarakat terhadap hutan mangrove dan manfaat hutan mangrove tersebut bagi masyarakat khususnya pembuat arang. Proses pembahasan mengenai bagaimana budaya korporasi itu dapat dipahami oleh karyawan atau staf dapat ditemukan dalam bab III dari skripsi ini.

Pada bab IV dalam skripsi ini mendeskripsikan tentang bagaimana para pembuat arang mengkonstruksi pikiran mereka untuk melakukan adaptasi di terhadap perubahan lingkungan. Kebijakan pemerintah yang mengeksploitasi hutan mangrove dan sanksi-sanksi bagi mereka yang melanggarnya.

Kesimpulan yang dapat penulis tarik dari penelitian yang telah dilakukan bahwa sebagian masyarakat memiliki pandangan bahwa hutan mangrove merupakan sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber ekonomi selain sebagai fungsi ekologi. Masyarakat juga tidak dapat membantah apa yang dilakukan


(10)

pemerintah terhadap pelarangan pemanfaatan hutan mangrove walaupun dalan hati mereka merasa hal itu tidak adil, sehingga mereka mencari cara untuk dapat bertahan hidup dengan melakukan strategi-strategi adaptasi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari segi tata bahasa dan isi materi. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan koreksi, saran maupun kritik dari para pembaca yang bersifat membangun menyempurnakan skripsi ini nantinya. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pihak yang membutuhkan.

Amin Ya Rabbal’Alamin.

Medan, April 2014


(11)

DAFTAR ISI

Halaman Persetujuan ... i

PERNYATAAN ORIGINALITAS ... ii

ABSTRAK ... iii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iv

RIWAYAT HIDUP ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tinjauan Pustaka ... 9

1.3 Rumusan Masalah ... 16

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 16

1.5 Metode Penelitian ... 17

1.5.1 Tipe penelitian ... 17

1.5.2 Teknik pengumpulan data ... 17

1.6 Pengalaman Di Lapangan ... 24

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 28

2.1. Gambaran Lokasi ... 28

2.1.1. Lokasi dan Luas Desa Gambus Laut ... 28

2.1.2. Sejarah Desa ... 29

2.1.3. Letak Geografis dan Lingkungan Alam ... 30

2.1.4. Keadaan Penduduk ... 30

2.1.4. Keadaan Flora dan Fauna ... 32

2.2. Pola Pemukiman Penduduk dan Sarana Desa ... 33

2.2.1. Pola Pemukiman ... 33

2.2.2. Sarana Ekonomi Desa ... 34

2.2.3. Sarana Pendidikan ... 35

2.2.4. Sarana Ibadah ... 36

2.2.5. Sarana Kesehatan ... 37

2.2.6. Sarana Komunikasi ... 37

2.2.7. Sarana Rekreasi dan Hiburan ... 38


(12)

2.2.9. Hubungan Sosial dan Organisasi Sosial ... 39

2.3. Sejarah Pembuatan Arang ... 40

2.4 Kondisi Hutan Mangrove ... 42

2.5 Tumbuhan Mangrove ... 43

2.6 Arang ... 47

2.7 Tungku arang ... 48

2.8 Kriteria Kayu ... 48

2.9 Proses Pembuatan Arang... 49

2.9.1 Lokasi ... 49

2.9.2 Cara pengambilannya ... 50

2.9.3 Proses pengolahan kayu menjadi arang. ... 50

2.9.4 Sistem Pengolahan ... 52

2.9.5 Distributor ... 52

2.9.4 Limbah ... 53

BAB III ARANG ... 54

3.1 Pengertian arang dan manfaatnya. ... 54

Bahan Bakar Metalurgi ... 54

Memasak Bahan Bakar ... 55

Industri Bahan Bakar... 55

Otomotif Bahan Bakar ... 56

3.2 Macam-macam Arang ... 56

3.2.1 Arang Kayu ... 56

3.2.2 Arang Serbuk Gergaji ... 57

3.2.3 Arang Sekam Padi ... 57

3.2.4 Arang Tempurung Kelapa ... 58

3.2.5 Arang Serasah ... 59

3.2.6 Briket Arang ... 59

3.2.7 Arang Kulit Buah Mahoni ... 60

3.3 Sejarah Awal Pembuatan Arang Di Desa Gambus Laut ... 61

3.4 Profil Keluarga ... 63

3.4.1 Bapak Mujani ... 63

3.4.2 Bang Sutris ... 65

3.4.3 Bapak Sutimin ... 68

3.5 Pendapatan ... 69


(13)

3.5.2 Bang Sutris ... 71

3.5.3 Pak Sutimin ... 71

BAB IV STRATEGI EKONOMI ... 73

4.1 Pandangan Masyarakat tentang Hutan Mangrove ... 73

4.1.1 Hutan Mangrove sebagai tumbuhan pinggir pantai. ... 74

4.1.2 Hutan Mangrove sebagai penghambat ombak air pasang ... 74

4.1.3 Hutan Mangrove sebagai sumber daya alam yang menguntungkan ... 74

4.2 Pandangan Masyarakat tentang Pembuat Arang ... 74

4.3 Strategi Adaptasi ... 75

4.3.1 Penggantian Jenis Kayu ... 79

4.3.2 Berkebun Cabai ... 79

4.3.3 Usaha-usaha lainnya... 80

4.4 Kebijakan Pemerintah ... 80

4.2 Proses Penangkapan ... 81

4.3 Sanksi-sanksi ... 82

BAB V KESIMPULAN ... 84

DAFTAR PUSTAKA ... 85 LAMPIRAN ...


(14)

DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman

1 Kondisi Hutan Mangrove di Desa Gambus Laut 8

2 Data Informan 20

3 Klasifikasi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin 30

4 Jumlah Penduduk di Desa Gambus Laut 31

5 Mata Pencaharian Penduduk 34


(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Halaman

1 Avicennia sp 50

2 Arang Kayu 57

3 Arang Sekam Padi 58

4 5

Arang Tempurung Kelapa Arang Briket

59 60


(16)

ABSTRAK

Rabithah Adawiyah 2014, judul skripsi: Strategi Adaptasi Pembuat Arang dalam Pemanfaatan Sumberdaya Kayu Mangrove di Desa Gambus Laut, Kec. Lima Puluh, Kab. Batu Bara. Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 100 halaman, 6 tabel, 5 gambar, 18 daftar pustaka serta lampiran.

Skripsi ini mendeskripsikan : Strategi adaptasi pembuat arang dalam memanfaatkan sumberdaya kayu mangrove. Penelitian ini berlokasi di Desa Gambus Laut Kec. Lima Puluh, Kab. Batu Bara. Kajian ini menjelaskan tentang adaptasi yang dilakukan masyarakat khususnya pembuat arang dalam menghadapi perubahan lingkungannya dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang pada awalnya pemanfaatan sumberdaya alam bersifat bebas dan terbuka namun berubah menjadi tertutup dan dilarang untuk pemanfaatannya.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pengetahuan masyarakan dalam melakukan adaptasi terhadap perubahan dilingkungannya untuk bertahan hidup. Perubahan lingkungan yang dimaksud dengan adanya pengeksploitasi hutan mangrove dari yang bersifat terbuka dan bebas menjadi tertutup dan diawasi. Penelitian ini menggunakan metode etnografi dengan teknik pengumpulan data seperti wawancara serta observasi. Wawancara yang dilakukan adalah wawancara mendalam dan wawancara tak berstruktur. Wawancara mendalam dilakukan dengan informan kunci sebanyak 3 orang. Wawancara tak berstruktur namun fokus digunakan untuk memperoleh keterangan dari informan biasa. Observasi dilakukan dengan mengamati kegiatan-kegiatan apa saja yang dilakukan oleh para pembuat arang, dari proses mencari kayu, membuat arang, pengepakan hingga pendistribusian. Observasi dan wawancara dilakukan untuk mengetahui strategi adaptasi apa saja yang dilakukan para pembuat arang dalam menghadapi pengeksploitasian sumberdaya alam.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada pola-pola berfikir dalam masyarakat khususnya pembuat arang dalam membuat keputusan untuk bertahan hidup. Adaptasi yang dilakukan para pembuat arang dalam bertahan hidup sangat beragam. Setelah muncul larangan dalam pemanfaatan sumberdaya alam yaitu hutan mangrove maka mereka mencari cara lain untuk bertahan hidup. Tetap bertahan dalam memproduksi arang adalah pilihan dari sebagian pembuat arang. namun, itu saja tidak cukup bagi mereka untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup karena produksi arang yang dilakukan tidak lagi seperti dulu. Kemudian para pembuat arang mulai mencari kegiatan lain sebagai usaha untuk dapat bertahan hidup, sebagiam orang memilih berkebun cabai menjadi salah satu pilihan untuk bertahan hidup, ada juga yang menanam coklat sebagai penghasilan sampingan mereka untuk dapat bertahan hidup, dan ada juga yang mengambil membuat arang bakau dengan cara mengganti jenis kayu yang digunakan untuk produksi.


(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Wilayah pesisir merupakan sumber daya potensial di Indonsia, yang merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Sumber daya ini sangat besar didukung oleh adanya garis pantai sepanjang sekitar 81.000 km (Dahuri R, Rais Y, Putra S, G, Sitepu, M.J, 2001). Garis pantai yang panjang menyimpan potensi kekayaan sumber alam yang besar. Potensi itu diantaranya potensi hayati dan non hayati. Potensi hayati adalah sumber daya alam yang ada di permukaan bumi dan hidup, antara lain hewan dan tumbuhan, misalnya perikanan, hutan mangrove dan terumbu karang. Potensi non hayati adalah sumber daya alam yang ada di atas permukaan bumi dan di bawah permukaan bumi tetapi tidak hidup, misalnya tanah, udara, mineral dan bahan tambang serta pariwisata.

Sumber daya alam di wilayah pesisir terdapat berbagai macam ekosistem. Ekosistem pesisir laut merupakan sumber daya alam yang produktif sebagai penyedia energi bagi kehidupan komunitas di dalamnya. Sumber daya alam pesisir laut umumnya berupa aneka makhluk hidup yang dapat digunakan untuk kebutuhan rumah tangga, ataupun dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk bertahan hidup. Semua sumber daya alam ini dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar pesisir pantai untuk bertahan hidup. Hal ini merupakan suatu insting dari manusia sebagai makhluk yang memiliki akal dan pikiran.

Ekosistem pesisir laut mempunyai potensi sebagai sumber bahan pangan, pertambangan dan mineral, energi, kawasan rekreasi, dan pariwisata. Hal ini


(18)

menunjukkan bahwa ekosistem pesisir dan laut merupakan aset yang tak ternilai harganya di masa yang akan datang. Ekosistem pesisir laut meliputi estuaria, hutan mangrove, padang lamun, terumbu karang, ekosistem pantai dan ekosistem pulau-pulau kecil. Komponen-komponen yang menyusun ekosistem pesisir laut tersebut perlu dijaga dan dilestarikan karena menyimpan sumber keanekaragaman hayati dan plasma nutfah. Salah satu komponen ekosistem pesisir dan laut adalah hutan mangrove.

Di Indonesia, hutan mangrove atau hutan bakau kurang lebih seluas 4,2 juta ha.1

MANFAAT HUTAN MANGROVE

Hutan mangrove adalah hutan yang terdiri dari pohon-pohon besar dan tumbuhan perdu. Vegatasi mangrove merupakan tumbuhan halofit (hidup dengan adanya pengaruh garam), yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Faktor ekologis yang menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove adalah frekuensi air laut tergenang secara tetap, endapan lumpur atau pasir, dan percampuran antara air laut dengan air sungai di muara. Dengan kondisi yang spesifik ini, hutan mangrove berperan penting dalam stabilitas ekosistem pantai pesisir.

Secara garis besar manfaat hutan mangrove dapat dibagi dalam dua bagian : 1. Fungsi ekonomis, yang terdiri atas :

a. Hasil berupa kayu (kayu konstruksi, kayu bakar, arang, serpihan kayu untuk bubur kayu, tiang/pancang)

b. Hasil bukan kayu

• Hasil hutan ikutan (non kayu)

1

(http://oryza-sativa135rsh.blogspot.com/2010/05/hutan-mangrove-indonesia-sumber-daya.html).


(19)

• Lahan (Ecotourisme dan lahan budidaya)

2. Fungsi ekologi, yang terdiri atas berbagai fungsi perlindungan lingkungan ekosistem daratan dan lautan maupun habitat berbagai jenis fauna, diantaranya: a. Sebagai proteksi dan abrasi/erosi, gelombang atau angin kencang.

b. Pengendalian instrusi air laut c. Habitat berbagai jenis fauna

d. Sebagai tempat mencari, memijah dan berkembang biak berbagai jenis ikan dan udang

e. Pembangunan lahan melalui proses sedimentasi f. Pengontrol penyakit malaria

g. Memelihara kualitas air (mereduksi polutan, pencemar air)

Pemanfaatan hutan mangrove yang tidak seimbang mengakibatkan luasannya semakin menurun. Kondisi ini tentunya mengancam kelangsungan hidup manusia. Hutan mangrove merupakan sumberdaya alam yang sangat potensial dan mendukung bagi kelangsungan hidup manusia, baik dari segi ekonomi, sosial maupun lingkungan (ekologi).

Rusaknya hutan mangrove diakibatkan oleh penebangan dalam skala besar. Tingginya interaksi manusia yang tinggal di sekitar kawasan hutan mangrove menjadi salah satu faktor dominan yang menyebabkan tingginya kerusakan kawasan hutan mangrove. Intensitas interaksi manusia dengan kawasan hutan mangrove yang begitu tinggi pada dasarnya juga dipengaruhi oleh fakor lain dan salah satu fakor pendorongnya adalah tuntutan ekonomi.

Masyarakat di sekitar pesisir pantai memanfaatkan hutan mangrove yang merupakan sumberdaya alam sebagai jalan keluar mereka untuk dapat bertahan


(20)

hidup. Hutan mangrove yang kayunya banyak memiliki kegunaan untuk masyarakat menjadi salah satu pilihan masyarakat untuk memanfaatkannya demi melangsungkan hidup. Seperti halnya di Desa Gambus Laut yang terletak di Kabupaten Batubara, masyarakat menggunakan kayu bakau untuk dijadikan arang yang kemudian dapat mereka jual dan bernilai ekonomi untuk kelangsungan hidup mereka. Namun, pengolahan kayu bakau tersebut tidaklah diikuti dengan pelestarian kembali oleh masyarakat. Karena menurut pengetahuan masyarakat sekitar khususnya pembuat arang, kayu bakau yang telah dipotong akarnya akan kembali memunculkan tunas baru, sehingga hal inilah yang membuat masyarakat tidak melestarikan kembali hutan mangrove.

Dari wawancara dengan Bapak Mujani ( 64 Tahun) yang mengatakan bahwa dahulu daerah Desa Gambus Laut ini dikelilingi oleh pohon bakau. Sekitar 30 Tahun yang lalu tanah di Desa Gambus Laut ini masih didominasi oleh rawa-rawa yang ditumbuhi oleh pohon-pohon bakau, sehingga mau seberapa banyak pun kayu tersebut diambil tidak pernah habis. Oleh karena itu mereka merasa tidak perlu melakukan pelestarian terhadap pohon bakau tersebut. Dahulu ada tiga kepala keluarga yang bekerja sebagai pembuat arang. Mereka masing-masing memiliki satu tungku yang mempunyai kapasitas 300 kg kayu bakau. Pada awalnya pekerjaan membuat arang ini merupakan pekerjaan pokok mereka. Akan tetapi setelah mempunyai anak, mereka mengalami pertambahan kebutuhan ekonomi, selain membeli pangan untuk kehidupan sehari-hari mereka juga harus membiayai sekolah anak mereka. Sehingga Pak Mujani mulai berkebun, menanam pisang dan coklat. Namun pekerjaan pokoknya tetap membuat arang.


(21)

Jenis hutan mangrove yang yang terdapat di pesisir pantai timur adalah jenis

Rhizophora sp2

Kayu dari hutan-hutan mangrove dipanen terutama 90% untuk produksi arang, misalnya di Sumatera (Boon 1936)

yang dapat digunakan sebagai bahan pembuat arang, dan jenis

Avicennia sp. Arang pada masa dahulu sebuah komoditi yang sangat terkenal karena

fungsinya sebagai salah satu sumber energi yang cukup bagus dan ramah lingkungan namun seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi arang lambat laun ditinggalkan dan beralih ke minyak bumi, batubara (bahan bakar fosil) dan listrik karena dianggap lebih praktis. Arang bakau memiliki kualitas yang baik setelah arang kayu oak dari Jepang dan arang onshyu dari Cina. Pengusahaan arang mangrove di Indonesia sudah dilakukan sejak ratusan tahun lalu.

3

Seiring dengan pertumbuhan ekonomi, lahan kosong yang terdapat di Desa Gambus Laut ini mulai dijual oleh para pemiliknya. Dikarenakan para pengusaha perkebunan yang ingin membuka lahan di daerah ini. Mulyono mengatakan bahwa pihak perkebunan berani membayar dengan nilai yang tinggi atas tanah mereka, . Salah seorang masyarakat di Desa Gambus Laut Mulyono (25 Tahun) mengatakan bahwa beberapa orang masyarakatnya bermata pencaharian sebagai pembuat arang, dengan menggunakan kayu bakau yang terdapat di sekitar pesisir pantai. Para pembuat arang yang terdapat di Desa Gambus Laut bukanlah para produsen arang yang utama, atau yang produksinya terus menerus dilakukan. Usaha yang mereka punya masih dalam bentuk tradisional yang hanya dapat menghasilkan sedikit arang.

2

Jenis Rhizophoraceae merupakan kayu bakar berkualitas baik karena menghasilkan panas yang tinggi dan awet. Sumber: Departemen kehutanan, Balai Pengelolaan Hutan Mangrove Wilayah II. 2010.

3

Cecep Kusmana, dkk. Manual Silviculture Mangrove di Indonesia. Departemen Kehutanan Republik Indonesia dan KOICA. 2008


(22)

sehingga mereka banyak yang menjual tanahnya kepada pihak perkebunan. Lahan kosong yang tadinya rawa yang penuh dengan tumbuhan bakau sekarang sudah disulap oleh pihak perkebunan menjadi ladang sawit. Sehingga para pembuat arang mulai kesulitan untuk mencari bahan baku membuat arang. Para pembuat arang kemudian pergi ke pesisir pantai karena tumbuhan bakau di pesisir pantai masih banyak. Bapak Mujani mengatakan dahulu dia tidak mengambil bakau di pesisir, tetapi semenjak lahan kosong tempat dia biasa mengambil kayu bakau mulai ditimbun dan ditanami bibit sawit maka mereka mulai pergi ke pesisir untuk mengambil kayu bakau.

Pada awal menjadi pembuat arang Bapak Mujani hanya memiliki satu tungku4

Pada tahun 1990 sudah dikeluarkan keppres No. 32 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, yang terdapat pada pasal 26 yang berbunyi:

, setelah anak-anaknya dewasa Bapak Mujani mulai membangun satu tungku lagi untuk anaknya. Begitu juga dengan keluarga yang lain, sehingga ada sekitar enam tungku di Desa Gambus Laut. dan bahan baku yang diambil adalah dari pesisir pantai. Bapak Mujani dan pembuat arang lainnya tidak pernah mempelajari bagaimana penanaman kembali pohon bakau. Disamping minimnya pendidikan mereka, pemerintah juga tidak pernah memberikan pengarahan terhadap mereka para pembuat arang yang merupakan pengguna bakau. Sehingga lama kelamaan hutan bakau di pesisir Desa Gambus Laut mulai menipis dan rusak.

“Perlindungan terhadap kawasan pantai berhutan bakau dilakukan untuk melestarikan hutan bakau dan tempat perkembangbiakannya berbagai biota laut disamping sebagai pelindung pantai dan pengikisan air laut serta pelindung usaha budidaya dibelakangnya.”

4

Tungku adalah media yang di gunakan untuk membakar arang yang tebuat dari batu bata, pasir dan tanah liat.


(23)

Pada pasal berikutnya di jelaskan batas kawasan hutan bakau, pada pasal 27 yang berbunyi:

“Kriteria kawasan pantai berhutan bakau adalah minimal 130 kali nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan diukur dari garis air surut terendah kearah darat.”

Pada tahun disahkannya Keputusan Presiden ini kawasan pesisir khususnya hutan bakau di desa Gambus Laut dalam keadaan baik. Para pembuat arang menggunakan kayu bakau untuk diproses lebih lanjut menjadi arang dan hal ini merupakan mata pencaharian sebagian masyarakat tersebut. Sejak lama mereka sudah bergelut dalam bidang pembuatan arang ini hingga sekarang. Gudang arang yang terdapat di daerah Gambus Laut ini 8 tungku dan saat ini yang aktif sekitar 6 tungku.

Akan tetapi, pemanfaatan kayu bakau yang terus-menerus dilakukan sebagian masyarakat menyebabkan wilayah hutan bakau di desa Gambus Laut ini menjadi rusak, sehingga wilayah ini menjadi kawasa konservasi. Data tentang kondisi hutan menyatakan bahwa keadaan hutan mangrove di desa Gambus Laut ternyata lebih banyak luas hutan yang rusak.

Kondisi Hutan Mangrove di desa Gambus Laut

No Kondisi Luas (ha)

1. Luas hutan yang kondisinya baik 180

2. Luas hutan yang kondisinya rusak 281

3, Luas hutan produksi yang sudah siap diambil hasilnya

-


(24)

Pada tahun 2007 muncul Undang-undang Republik Indonesia No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil pasal 35 pada Bab Larangan yang menjelaskan bahwa:

“Dalam pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang menebang mangrove dikawasan konservasi untuk kegiatan industri, pemukiman, dan/atau kegiatan lain.”5

Dari wawancara dengan salah seorang pegawai di Departemen Kehutanan Sumatera Utara, Bapak Ernest (31 Tahun) mengatakan bahwa wilayah pesisir di desa Gambus Laut ini termasuk dalam kawasan konservasi. Adanya pemetaan terhadap wilayah pesisir sebagai wilayah konservasi membuat masyarakat tidak dapat lagi menggunakan kayu bakau. Tuntutan untuk bertahan hidup membuat manusia akan mencari cara untuk dapat hidup dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang ada. Dengan adanya larangan pengambilan bakau oleh pemerintah, dan juga keberadaan perusahaan di areal lokasi yang dulunya menjadi situs pengambilan bakau oleh para pembuat arang, menyebabkan munculnya permasalahan kehidupan (ekonomi) bagi para pembuat arang ini.

Akses untuk pengambilan kayu bakau mulai ditutup. Pembuat arang menjadi kesulitan untuk mendapatkan kayu bakau. Pembuat arang di Desa Gambus Laut di satu sisi harus terus melanjutkan hidup dengan membuat arang, tapi di sisi lain adanya tekanan dari pemerintah kepada mereka, yaitu penangkapan yang dilakukan polisi hutan ketika pembuat arang mengambil arang di pesisir pantai. Pembuat arang yang terlihat mengambil arang di pesisir pantai akan ditangkap dan diinapkan dikantor dinas kehutanan selama dua sampai tiga hari.

5

Undang-undang Republik Indonesia No. 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan Pulau-pulau kecil


(25)

1.2 Tinjauan Pustaka

Hutan mangrove mempunyai tajuk yang rata dan rapat serta memiliki jenis pohon yang selalu berdaun. Keadaan lingkungan di mana hutan mangrove tumbuh, mempunyai faktor-faktor yang ekstrim seperti salinitas air tanah dan tanahnya tergenang air terus menerus. Meskipun mangrove toleran terhadap tanah bergaram (halophytes), namun mangrove lebih bersifat facultative daripada bersifat obligative karena dapat tumbuh dengan baik di air tawar.

Flora mangrove terdiri atas pohon, epipit, liana, alga, bakteri dan fungi. Menurut Hutching dan Saenger (1987) di Indonesia tercatat ada 202 jenis tumbuhan mangrove, meliputi 89 jenis pohon, 5 jenis palma, 19 jenis liana, 44 janis herba tanah, 44 jenis epifit, dan 1 jenis paku6

Hasil hutan mangrove non kayu ini sampai dengan sekarang belum banyak dikembangkan di Indonesia. Padahal apabila dikaji dengan baik, potensi sumberdaya hutan mangrove non kayu di Indonesia sangat besar dan dapat medukung pengelolaan hutan mangrove secara berkelanjutan. Salah satunya adalah sumberdaya mangrove sebagai salah satu makanan alternatif. Mangrove memiliki kegunaan yang baik sebagai bahan bangunan, dan kayu bakar. Sebagai kayu bakar, secara tradisional . Dari sekian banyak jenis mangrove di Indonesia, jenis mangrove yang banyak ditemukan antara lain adalah jenis api-api

(Avicennia sp), bakau (Rhizophora sp), tancang (Bruguiera sp), dan bogem atau

pedada (Sonneratia sp), merupakan tumbuhan mangrove utama yang banyak dijumpai. Jenis-jenis mangrove tersebut adalah kelompok mangrove yang menangkap, menahan endapan dan menstabilkan tanah habitatnya.

6

(http://oryza-sativa135rsh.blogspot.com/2010/05/hutan-mangrove-indonesia-sumber-daya.html).


(26)

masyarakat biasanya memakai jenis Xylocarpus sp (Nirih atau Nyirih), dan terutama sebagai bahan pembuat arang biasanya dipakai Rhizophora sp. Oleh karena itu, keberadaan dan kelestarian hutan mangrove sangatlah penting untuk kesejahteraan manusia.

Manusia adalah makhluk budaya yang akan menggunakan kebudayaannya dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Menurut Parsudi Suparlan, kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan yang dipunyai oleh manusia sebagai makluk soaial, yang isinya adalah perangkat-perangkat, model-model pengetahuan yang secara selektif dapat digunakan untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan yang dihadapi. Dalam pengertian ini kebudayaan adalah suatu kumpulan pedoman atau pegangan yang kegunaan operasional dalam hal manusia mengadaptasi diri menghadapi lingkungan tertentu (fisik/alam, sosial, dan kebudayaan) untuk mereka dapat tetap melangsungkan kehidupannya (Harahap: 1996).

Spradley mendefenisikan kebudayaan sebagai sebuah sistem pengetahuan yang diperoleh manusia melalui proses belajar, yang mereka gunakan untuk menginterpretasikan dunia sekeliling mereka dan sekaligus menyusun strategi perilaku dalam menghadapi dunia sekeliling mereka (Spadley;1997).

Spradley (1997) menjelaskan lebih lanjut bahwa kebudayaan berada dalam pikiran (mind) manusia yang didapatkan dengan proses belajar dan menggunakan budaya tersebut dalam aktivitas sehari-hari. Proses belajar tersebut menghasilkan pengetahuan-pengetahuan yang berasal dari pengalaman-pengalaman individu atau masyarakat yang pada akhirnya fenomena tersebut terorganisasi di dalam pikiran individu sebagai anggota dalam masyarakat. Sehingga untuk mengetahui dan


(27)

mendeskripsikan pola yang ada dalam pikiran manusia itu adalah khas, yaitu melalui metode folk taxonomi7

Apapun yang dihasilkan oleh setiap manusia baik yang bersifat nyata seperti artefak maupun yang bersifat abstrak seperti pengetahuan yang ada dalam pikiran seseorang sudah tergolong kepada hakekat karya manusia yang merupakan bagian dari kebudayaan. Erat kaitannya dengan hal tersebut adaptasi dalam cara hidup juga merupakan bagian dari kebudayaan serta pengalaman yang di dapat dalam setiap rentetan kehidupan yang dijalani manusia.

.

Dalam rangka adaptasi manusia terhadap lingkungannya, Cohen (1968) mengatakan bahwa adaptasi adalah salah satu proses yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat dalam memanfaatkan sumber-sumber daya alam lingkungan tempat hidupnya dan mendayagunakan untuk tujuan-tujuan produktif juga mempertahankan kelangsungan hidupnya (Harahap: 1996).

Penelitian adaptasi masyarakat dengan lingkungan telah banyak diteliti oleh para ahli, Julian Steward yang menjelaskan hubungan timbal balik yang terjadi antara kebudayaan dan lingkungan mengenai penelaahan sudut adaptasi. Steward meneliti tentang adaptasi masyarakat primitive yang dilakukan pada masyarakat berburu dan meramu Shoshone di Great Basin, Amerika Utara. Ia menjelaskan aspek-aspek tertentu dari kebudayaan Shoshone menurut ketersediaan sumberdaya dalam lingkungan hidup semi-gurun yang tandus. Ia menjelaskan bahwa kasus kepadatan penduduk, organisasi berbentuk kumpulan kecil beberapa keluarga yang

7

Folk taxonomi adalah sebuah metode yang ada dalam penulisan etnografi untuk membedah dan mengeluarkan “isi kepala” manusia dengan cara mengelompok-kan macam-macam informasi yang didapat dari hasil wawancara. Pengelompokan biasanya dilakukan dari sisi bahasa local karena dalam bahasa tersebut terdapat suatu kearifan tradisional yang tidak semua orang tahu.


(28)

sangat tersebar dan pola menetap berubah-ubah pada teritori terbatas serta kurang kekuasaan pemimpin yang permanen semuanya tercermin pada ketidakmampuan teknologi Shoshone untuk mengekstraksi bahan makanan dalam jumlah banyak dan stabil dari sumber daya yang tersedia secara sporadic dan tersebar pada lingkungan yang gersang. Steward memandang dinamika organisasi sosial budaya sebagai hasil dari proses adaptasi manusia dan lingkungannya (Harahap, 1997: 8). Manusia yang sedang dalam keadaan mempertahankan hidup akan dengan segera melakukan aktifitas yang dapat dilakukannya untuk bertahanhidup, aktifitas tersebut tidak dilakukannya sendiri, melainkan dengan lingkungannya dan membentuk kelompok dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya.

Selanjutnya penelitian oleh Cliffort Geertz tentang aktifitas adaptasi petani Indonesia Luar. Di Indonesia Luar (Sumatera) berkembang sistem ladang atau pertanian berpindah. Pertanian ladang atau Swidden8

8

Sistem pertanian ladang adalah suatu sistem dimana petani menebas sebidang lahan di hutan, membiarkan vegetasi mongering dan kemudian dibakar sebelum ditanami dengan tanaman palawija.

sebagaimana disebut antropolog, merupakan ladang yang setelah sekali panen, umumnya dua kali, kesuburan tanah berkurang maka tersebut lahan akan ditinggalkan, kemudian mencari bidang lahan baru di hutan yang kemudian akan dibersihkan. Lahan yang ditinggalkan secara perlahan akan kembali subur dalam 10-15 tahun kemudian, maka lahan itu bisa dibersihkan atau diusahakan kembali. Peladangan berpindah merupakan satu adaptasi pertanian yang efektif pada lapisan tanah yang kurang subur di daerah hutan basah tropis, dimana sebagian besar nutrein yang ada tersimpan pada vegetasi (Harahap, 1997: 9).


(29)

Konsep strategi adaptasi lain yaitu yang dikemukakan oleh A. Terry Rambo (1983) dalam ilmu ekologi manusia. Menurut Rambo, dalam kasus masyarakat manusia, adaptasi yang diterapkan adalah hasil seleksi alam pada tingkat kebudayaan atau sistem sosial yang berasal dari keputusan-keputusan dari individu atau kelompok. Keputusan yang dihasilkan adalah mengenai strategi berinteraksi yang menguntungkan dengan lingkungannya. Individu-individu atau kelompok membuat pilihan-pilihan mengenai eksploitasi sumberdaya yang tersedia pada saat ia memenuhi tuntutan hidup atau mengatasi ancaman-ancaman lingkungan. Dalam studi antropologi, adaptasi sering dilihat sebagai cara mempertahankan kondisi keberadaan kehidupan dalam menghadapi perubahan. Individu atau kelompok akan membuat pilihan, jika menguntungkan maka pilihan tersebut akan dipakai. (Nita Savitri, 1998, hal:15)

Sama seperti penelitian di atas, penelitian yang diajukan peneliti juga mengenai adaptasi manusia terhadap lingkungannya (lingkungan hidup9

Adaptasi budaya tidak bisa dilihat sebagai suatu yang statis yang dicapai pada saat permulaan sejarah suatu kebudayaan dan kemudian dipertahankan tidak berubah sampai kapanpun. Sebaliknya, hubungan antara manusia dan alam merupakan satu ), lebih spesifik lagi yaitu strategi adaptasi yang dilakukan oleh para pembuat arang. Sumber daya alam yang terdapat di lingkungan sekitar tempat tinggal manusia yang biasa dapat diakses secara bebas kini tidak dapat lagi dimanfaatkan atau digunakan untuk kepentingan hidup manusia, sehingga manusia akan mencari cara untuk dapat memanfaatkan sumberdaya alam yang ada demi mensejahterakan hidupnya.

9

Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan prikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain


(30)

hubungan yang dinamis dimana keduanya terus-menerus beradaptasi dan beradaptasi ulang sebagai bentuk perubahan menanggapi pengaruh dari yang lain.10

Heddy Shri Ahimsa Putra dalam bukunya Ekonomi Moral, Rasional dan Politik dalam Industri Kecil di Jawa mengatakan:

“Adaptasi bukan hanya sekedar persoalan bagaimana mendapatkan makanan dari suatu kawasan tertentu, tetapi juga mencakup persoalan transformasi sumber-sumber daya lokal dengan mengikuti model dan patokan-patokan, standard konsumsi manusia yang umum, serta biaya dan harga atau mode-mode produksi di tingkat nasional.”

Pengertian adaptasi ini menjadi sangat luas bahkan dapat dikatakan mencakup hampir seluruh pola perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari. Proses adaptasi manusia merupakan suatu bentuk kebudayaan, sehingga dapat disimpulkan bahwa seluruh perilaku manusia merupakan kebudayaan. Setiap perilaku kemudian dapat kita pandang sebagai suatu upaya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan agar tujuan yang diinginkan dapat tercapai atau masalah yang dihadapi dapat diatasi.

John W. Bennett (1969) membedakan antara adaptive behavior (perilaku adaptif) dengan adaptive strategies (siasat-siasat adaptif) dan adaptive processes (proses-proses adaptif). Bagi Bennett hanya perilaku yang berkenaan dengan pencapaian tujuan atau penyelesaian masalah saja yang dapat dikatakan adaptif, dan lebih khususnya lagi adalah perilaku untuk mengatasi kendala-kendala yang sulit, yang meliputi keterbatasan atau kelangkaan sumber daya guna mencapai tujuan-tujuan atau mewujudkan harapan-harapan yang diinginkan. Siasat-siasat adaptif berada pada tingkat yang disadari oleh yang menjalankannya, pelaku dapat

10


(31)

merumuskan atau menyatakan siasat-siasat tersebut, berbeda dengan proses adaptif yang merupakan pernyataan formulasi dari pengamat atau peneliti. (Heddy Shri Ahimsa-Putra, 2003: 10). Pencapaian tujuan dan harapan yang dimaksudkan adalah tujuan dan harapan untuk dapat melangsungkan kehidupan dalam upaya bertahan hidup dengan lingkungan sekitar.

Heddy Shri Ahimsa mengganti konsep adaptif menjadi adaptasi, sebab konsep adaptasi tidak menuntut pembuktian apakah suatu perilaku adaptif atau tidak. Setiap perilaku kemudian dapat kita pandang sebagai suatu upaya untuk menyesuaikan diri dengan suatu lingkungan agar tujuan yang diinginkan dapat tercapai atau masalah yang dihadapi dapat diatasi.

Selanjutnya Bennett (1969) mengatakan, perilaku adaptasi mencakup pengambilan berbagai keputusan, atau lebih khusus lagi pemilihan atas sejumlah

alternative. Perilaku adaptasi adalah perilaku yang ditujukan untuk mengatasi

masalah yang dihadapi atau untuk memperoleh sesuatu yang diinginkan. Strategi adaptasi dapat didefenisikan sebagai pola-pola yaitu perilaku atau tindakan berbagai usaha yang direncanakan oleh manusia untuk dapat memenuhi syarat minimal yang dibutuhkannya dan untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi (Heddy Shri Ahimsa-Putra, 2003: 12).

Sebagaimana telah dikatakan oleh Bennett di atas, maka secara sederhana strategi adaptasi dapat di defenisikan sebagai pola-pola berbagai usaha yang direncanakan oleh manusia untuk dapat memenuhi syarat minimal yang dibutuhkannya dan untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi di tempat tersebut. Seperti halnya para pembuat arang yang terdapat di Desa Gambus Laut. Mereka merupakan sekelompok orang yang mempunyai pola-pola dalam


(32)

berbagai usaha untuk memanfaatkan sumberdaya alam demi mencapai tujuannya. Tujuan untuk dapat bertahan hidup dalam masalah-masalah yang ada disekitar mereka dan bagaimana cara mereka menyiasati ataupun beradaptasi dalam menghadapi masalah-masalah yang ada di lingkungan hidup mereka.

1.3 Rumusan Masalah

Dari uraian di atas, maka penelitian ini akan mengkaji bagaimana masyarakat, khususnya para pembuat arang, menghadapi keterbatasan dalam mengakses sumber daya alam yang terdapat di sekitar lingkungan mereka, terutama sumber daya bakau yang digunakan sebagai bahan pembuatan arang.

Untuk lebih memudahkan dalam memahami permasalahan yang menjadi fokus dalam penelitian ini, maka permasalahan tersebut dirumuskan dalam beberapa pertanyaan penelitian, sebagai berikut:

1. Bagaimana pandangan masyarakat terhadap keberadaan hutan mangrove terkait dengan kegiatan pembuatan arang?

2. Bagaimana pandangan masyarakat, khususnya para pembuat arang, terkait dengan adanya larangan dari pemerintah dalam mengakses sumber daya kayu bakau? 3. Lantas, bagaimana strategi adaptasi yang dilakukan oleh para pembuat arang

tersebut?

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apa yang dilakukan masyarakat dalam usaha untuk mempertahankan hidupnya, dan untuk mengetahui bagaimana masyarakat memanfaatkan sumber daya alam yang terdapat disekitar mereka.


(33)

Manfaat penelitian ini adalah secara praktis, yaitu yang nantinya hasil penelitian ini dapat menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya, dan memberi kontribusi yang berharga dalam memperluas wawasan pembaca, mahasiswa, para praktisi (LSM) atau pembuat kebijakan bahwa masyarakat pesisir itu menggunakan sumberdaya alam yang ada untuk kelangsungan hidupnya.

Manfaat secara akademis, untuk menambah kepustakaan pada bidang Antropologi, yaitu pada bidang masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya alam. 1.5 Metode Penelitian

1.5.1 Tipe penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Tipe penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang berusaha mengumpulkan data kualitatif sebanyak mungkin yang merupakan data utama untuk menggambarkan permasalahan yang akan dibahas nantinya. Untuk mencapai sasaran yang dituju yaitu mengungkap pengetahuan para pembuat arang desa Gambus Laut, Kec. Lima Puluh, Kab. Batu Bara tentang lingkungan hidup dan siasat para pembuat arang untuk bertahan hidup maka peneliti menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut.

1.5.2 Teknik pengumpulan data

a. Lapangan

o Informan

Wawancara dilakukan dengan informan. Informan yang lazimnya dikenal ada tiga jenis, yaitu: informan pangkal, informan pokok atau informan kunci, dan informan biasa. Informan pangkal, yaitu orang yang mempunyai pengetahuan luas mengenai berbagai masalah yang ada dalam suatu komunitas atau masyarakat. Dari


(34)

penjelasan tersebut maka peneliti telah menentukan informan pangkal meliputi kepala desa, aparat pemerintah dinas kehutanan, dan dinas kelautan dan perairan. - Bapak Kepala Desa di Desa Gambus Laut.

- Bapak Ernest, S.Hut (31 Tahun) merupakan Staff di Departement Kehutanan Sumatera Utara.

- Bapak Aditya (25 Tahun) merupakan Pegawai di Dinas Kelautan dan Perairan Batu Bara.

Data yang telah diperoleh dari informan pangkal meliputi kondisi desa, dan keadaan lingkungan di sekitar pesisir Desa Gambus Laut.

Informan pokok atau informan kunci, yaitu orang yang mempunyai keahlian mengenai suatu masalah yang ada dalam masyarakat tersebut dan yang menjadi perhatian penelitian, seperti para pembuat arang, pekerja di gudang arang dan para penjual kayu.

- Bapak Mujani (64 Tahun) merupakan Pembuat arang. - Bu Sani (50 Tahun) merupakan pembuat arang. - Bang Sutris (31 Tahun) merupakan pembuat arang. - Bang Sapri (30 Tahun) merupakan pembuat arang. - Kak Tuti

- Kak Wati

- Hasan (23 Tahun) merupakan pembuat arang.

Data yang telah diperoleh dari informan pokok tentang strategi adaptasi yang menjadi pokok permasalahan peneliti.


(35)

Informan biasa, yaitu orang yang memberikan informasi mengenai sesuatu masalah sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya, tetapi bukan ahlinya, seperti masyarakat yang ada di sekitar gudang arang.

- Mulyono (25 Tahun) merupakan pekerja pabrik, dahulunya pernah bekerja bersama bapak Sutimin.

- Nenek Ngatiem merupakan warga kampung Desa Gambus Laut. - Kakek merupakan warga kampung Desa Gambus Laut.

- Hendra (23) penjual kayu

- Arif ( 20 Tahun) anak pembuat arang

Jenis Informan Individu Informasi yang di dapat

Pangkal Kepala Desa

Departement Kehutanan

Dinas Kelautan dan Peraian

- Sejarah desa, data desa, batas-batas desa, dan data kependudukan.

- Undang-undang tentang Pengelolahan Kawasan Hutan Lindung.

- Informasi tentang kondisi pesisir di Desa Gambus Laut

Kunci Pak Mujani

Bang Sutris

Ibu Sani/Pak Sutimin

- Sejarah pembuatan arang, cara membuat arang, strategi adaptasi.

- Proses pembuatan arang, cara mendapatkan kayu, strategi adaptasi.

- Cara mendapatkan kayu, proses pembuatan arang,


(36)

Nenek Ngatiem dan Kakek

Hendra

Arif

arang, lokasi pengambilan kayu. - Tentang aktifitas masyarakat sekitar.

- Lokasi pengambilan kayu, hambatan dalam mengambil kayu, dan tentang para penjaga pantai.

- Lokasi pengambilan kayu, dan tentang penjaga pesisir pantai.

Data yang diperoleh dari informan biasa adalah tentang siapa-siapa saja yang bisa ditemui peneliti untuk mendapatkan informasi tentang masalah penelitian.

o Wawancara

Wawancara mendalam (indepth interview) digunakan untuk memperoleh data mengenai pandangan-pandangan Pembuat Arang di Desa Gambus Laut, Kec. Lima Puluh, Kab. Batu Bara tentang hutan mangrove dan larangan dari pemerintah dalam mengakses sumber daya kayu bakau serta siasat mereka dalam bertahan hidup.

Saat itu saya datang ke Desa Gambus Laut ini untuk melihat keadaan desa. Observasi awal saya sebelum saya tinggal di Desa Gambus Laut. Kemudian Mulyono membawa saya ke lokasi dapur arang. Wawancara pertama kali saya lakukan dengan Ibu Sani, dia adalah informan pertama saya. Wawancara dengan Ibu Sani sewaktu saya pertama kali datang ke Desa Gambus Laut. Saya melihat Bu Sani sedang memilah-milah kayu yang akan dibuat menjadi arang. Dia bersama suami dan dua orang anak laki-lakinya. Suami Bu Sani bernama Pak Sutimin. Ibu Sani agak terkejut dengan kedatangan saya, karena dia melihat saya bukan orang kampung sini


(37)

dia berfikir saya adalah wartawan yang mau mengambil berita tentang pembuatan arang dan masalah larangan pengambilan kayu bakau lalu saya memperkenalkan diri dan menjelaskan bahwa saya bukan wartawan, barulah pembicaraan dimulai dengan santai.

Pertanyaan dimulai dari asalmuasal pembuatan arang. Dari mana mereka mempelajari pembuatan arang ini. Lalu pertanyaan berlanjut kepada cara pengambilan kayu. Bu Sani mengatakan bahwa dia dan suaminya tidak mengambil kayu sendiri. Mereka membeli kayu-kayu itu dari penjual kayu langganan mereka. Satu sampan berisi kayu dihargai sebesar sepuluh ribu rupiah. Bu Sani mengatakan kadang dia membeli sampai dua sampan berisi kayu. Dan terkadang hanya satu sampan saja. Tungku yang dimilikinya berkapasitas 200 kg. Proses Pembelian kayu tidak menggunakan sistem timbang berat, tapi hanya dengan sistem satu sampan, ntah berapa kilo isi kayu di sampan itu harganya tetap sepuluh ribu rupiah. Jika persediaan kayunya masih ada Bu Sani hanya membeli satu sampan saja. Namun, jika persediaan kayunya tinggal sedikit maka dia akan segera membeli kayu kembali. Tidak seperti suaminya Bu Sani adalah orang yang ramah. Itulah wawancara singkat saya dengan Bu Sani, karena hari sudah sore saya memutuskan untuk melanjutkan wawancara dilain waktu. Setelah mengambil beberapa foto saya pun pamit pulang.

Kedatangan saya yang kedua kalinya di Desa Gambus Laut, saya kembali medatangi Bu Sani. Hanya wawancara singkat tentang proses pembuatan tungku arang lalu Bu Sani menyuruh saya untuk mendatangi Pak Mujani yang merupakan pembuat arang juga. Rumah Pak Mujani tidak begitu jauh dari rumah Bu Sani.

Kemudian saya bertemu dengan keluarga Pak Mujani. Sama seperti Bu Sani. Keluarga Pak Mujani juga ramah, bahkan mereka sangat terbuka, mereka tidak


(38)

menganggap saya adalah orang asing. Awal perjumpaan saya saat itu adalah dengan Kak Tuti, Kak Tuti adalah Istri Bang Sapri yang merupakan anak dari Pak Mujani. Saat itu Pak Mujani sedang tidak ada dirumah, jadi saya memutuskan untuk mewawancarai anaknya saja. Bang Sapri merupakan pembuat arang, saat itu Kak Tuti sedang menjaga tungku arangnya yang sedang dalam proses pemasakan. Kemudian saya bertanya tentang proses pemasakan arang. Bang Sapri mengatakan proses pemasakan arang tidak boleh ditinggal, karena selama proses pemasakan api tidak boleh mati, jika api mati maka kayu tidak akan menjadi arang malahan kayu akan menjadi abu. Oleh karena itu, Bang Sapri dan Kak Tuti selalu bergantian untuk menjaga api bakaran arang.

Wawancara mendalam saya terapkan kepada keluarga Pak Mujani. Pak Mujani mempunyai lima orang anak laki-laki yang bekerja sebagai pembuat arang, dari keluarga Pak Mujani saya banyak mendapatkan informasi tentang kehidupan pembuat arang di Desa Gambus Laut. Keluarga Pak Mujani sangat terbuka, terutama istrinya Ibu Jumikem. Ibu Jumikem sangat senang didatangi oleh orang, apalagi jika yang datang adalah anak gadis, itu dikarenakan dia tidak mempunyai anak perempuan. Jadi jika dia melihat ada anak gadis yang datang dia langsung keluar dan mendatanginya.

Bang Sapri mengatakan susah saat ini untuk mencari kayu bakau, karena mereka musti kejar-kejaran dengan aparat pemerintahan yaitu polisi hutan. Karena jika ketahuan mereka akan ditangkap dan disuruh membayar denda. Walaupun kemudian mereka dilepaskan kembali, tapi adanya denda tersebut sangat memberatkan mereka. Dan lagi aparat pemerintah yang katanya adalah polisi hutan sesekali datang ke tempat pembakaran arang dan memeriksa kayu-kayu yang mereka


(39)

gunakan untuk membuat arang. hal itu terjadi dua atau tiga bulan sekali. dan saat mereka datang, mereka juga meminta uang kepada pembuat arang.

Sedikit keterangan diatas adalah kronologis dari jalannya wawancara mendalam yang telah saya laksanakan. Wawancara ini dilakukan agar mendapatkan data mengenai bagaimana strategi yang dilakukan pembuat arang dalam menghadapi permasalahan yang terjadi akibat larangan penganbilan kayu bakau yang dibuat oleh pemerintah.

o Observasi

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan observasi langsung untuk memperoleh gambaran selengkapnya mengenai pengolahan/pemanfaatan sumber daya alam kayu mangrove menjadi arang oleh para pembuat arang di desa Gambus Laut, Kec. Lima Puluh, Kab. Batu Bara. Pengamatan yang dilakukan peneliti terkait dengan kegiatan para pembuat arang dan kehidupan sehari-hari mereka yang merupakan cerminan dari strategi beradaptasi. Melihat bagaimana cara pembuat arang menyusun kayu-kayu di dalam tungku kemudian membongkar tungku yang telah selesai dimasak. Bagaimana keadaan rumah mereka dan apa-apa saja yang mereka lakukan selain membuat arang.

Pembuat arang yang terdapat di Desa Gambus Laut ini berjumlah delapan orang, sedangkan tungku arang yang terdapat di Desa tersebut ada delapan tungku, dan yang masih beroperasi ada enam tungku. Dua tungku berada di daerah rumah Pak Mujani, kedua tungku tersebut masih aktif sampai saat ini. Tiga tungku berada di daerah rumah Pak Sutimin, hanya dua tungku saja yang masih digunakan, satu tungku lagi tidak digunakan. Tiga tungku lagi di daerah rumah Pak Zul.


(40)

o Studi Dokumentasi

Untuk melengkapi data yang diperoleh di lapangan, peneliti akan mencari data yang terkait dengan masalah penelitian berupa buku-buku, jurnal, tesis, laporan penelitian, skripsi, majalah, surat kabar dan tulisan-tulisan lainnya termasuk tulisan dari media elektronik yang berkenaan dengan masalah penelitian untuk menambah pemahaman penulis terhadap pemasalahan yang akan diteliti. Penggunaan data-data ini adalah untuk mendukung data yang didapat dari lapangan.

o Data Visual

Gambar visual yang dihasilkan sebagai bukti yang dapat dilihat oleh semua orang, dan sebagai data pelengkap yang paling akhir.

b. Analisis Data

Data yang di peroleh dari lapangan dianalisi secara kualitatif. Data yang dikumpulkan melalui pengamatan dan wawancara akan disusun sesuai dengan kategori perilaku, siasat (pengetahuan), dan proses. Kemudian dilakukan penganalisaan hubungan dari setiap bagian yang telah disusun untuk memudahkan saat mendeskripsikannya. Setelah ini akan dianalisa kategori-kategori tersebut secara mendalam sesuai data yang dibutuhkan.

1.6 Pengalaman Di Lapangan

Kunjungan pertama saya pada pertengahan tahun 2011, saat itu saya datang hanya untuk observasi awal. Saya pergi ke kantor Kepala Desa Gambus Laut untuk meminta ijin penelitian, saat itu saya tidak bertemu dengan siapa-siapa karena seluruh pegawai sedang istrahat, kemudian ada salah seorang penduduk yang datang dan bertanya kepada saya apa yang saya lakukan di kantor itu, setelah saya menjelaskan apa maksud saya lalu bapak itu memberikan nomer telepon sekretaris


(41)

kepala desa. Saat itu langsung saya hubungi dan ternyata rumah sektretaris tidak jauh dari kantor kepala desa. Ibu itu pun segera membuka kantor dan memberikan data-data yang saya butuhkan.

Kunjungan kedua saya untuk melihat lokasi pembuatan arang, saat itu Mulyono membawa saya ke tempat Bu Sani dan Pak Sutimin. Tatapan mereka agak tidak mengenakkan saat melihat saya. Saat saya menghampirinya, dia langsung berbicara bahasa jawa kepada Mulyono. Dalam bahasa jawa dia bertanya kepada Mulyono saya ini siapa dan mau apa datang ke tempat dapur arangnya. Lalu mulyono menjelaskan dengan bahasa jawa juga bahwa saya hanya seorang mahasiswa dan hanya ingin belajar. Setelah saya berbincang-bincang dengan Bu Sani, ternyata awalnya dia berfikir saya adalah wartawan. Sebab dia bilang sebelumnya pernah wartawan datang dan mengambil gambar kegiatan mereka. Tidak seperti Bu Sani yang mulai mencair dalam suasana perbincangan suami bu Sani yaitu Pak Sutimin tidak terlalu memberikan respon yang baik. Dia lebih banyak diam dan sesekali memperhatikan saya. Kendalanya adalah mereka masih menggunakan bahasa Jawa untuk berkomunikasi, sehingga saya kurang mengetahui apa yang mereka katakan, Mulyono lah yang menjadi translater saya.

Kunjungan penelitian berikutnya saya menginap tiga hari dirumah salah seorang warga, namanya Nenek Ngatiem dan Kakek Tukimin dan anak bungsunya bernama yayuk. Nenek dan Kakek sangat baik dan ramah, dan setelah saya tinggal disitu baru saya mengetahui bahwa mereka tidak mempunyai sanitasi yang baik. Mereka masih menggunakan jamban, semua rumah di dusun ini masih menggunakan jamban, termasuk rumah Kepala Desa. Kebetulan rumah Kepala Desan terletak di Dusun yang sama tempat saya menginap. Sore harinya saya pergi ke gudang arang


(42)

untuk mengunjungi Bu Sani, lalu Bu Sani menyarankan saya untuk ke tempat Pak Mujani, di sana saya bertemu dengan Bang Supri, Hasan, Kak Tuti, Kak Wati dan Bu Jumikem, sambutan mereka sangat baik tetapi saya hanya sebentar saja karena sudah sore. Malamnya saya berniat pergi ke rumah Kepala Desa untuk melapor bahwa saya tinggal di dusun itu untuk beberapa hari, tetapi ternyata Kakek sudah lebih dulu melapor kepada Kepala Desa. Keesokan harinya saya langsung menuju kerumah Bu Jumikem dan disana saya bertemu dengan Pak Mujani, Bang Budi dan Bang Sutris yang merupakan anak Bu Jumikem dan Pak Mujani. Bu Jumikem langsung membuat keripik pisang untuk teman mengobrol, pisang itu hasil dari kebunnya, dan tidak tanggung-tanggung Bu Jumikem juga menyuruh anaknya memanjat pohon kelapa untuk mengambil “degan”. Ibu Jumikem sangat baik dan ramah, kami juga di ajak makan siang di rumahnya tapi kami sudah janji sama nenek untuk makan siang dirumah. Sorenya saya membantu Bang Sutris dan Kak Wati membongkar tungku arangnya. Saat membongkar arang banyak yang membantu, Hasan dan Arif juga ikut membantu memasukkan arang ke goni, keseluruhan arang ada enam goni. Keesokan paginya saya kembali ke rumah Bu Jumikem, saat itu bu Jumikem sedang mencuci jadi saya ke rumah Kak Wati untuk mengobrol sedikit dengannya sebelum saya kembali ke Medan. Setelah lama mengobrol dengan kak Wati saya kembali ke rumah Ibu Jumikem untuk berpamitan karena akan pulang ke Medan.

Saya sempat membiarkan data penelitian ini selama sebulan. Data penelitian saya berupa foto-foto yang ada di handphone hilang, dikarenakan handphonenya dicuri orang, tidak tau kenapa saya menjadi malas untuk mengerjakan skripsi ini. Sampai beberapa bulan saya diamkan. Kemudian saya mendapat pekerjaan, saya berfikir akan dapat mengerjakan skripsi ini sambil bekerja, dan ternyata saya tidak


(43)

sanggup. Satu tahun berlalu dan saya masih bekerja dan memdiamkan data-data penelian saya. Kemudian di satu kesempatan saya datang ke Desa Gambus Laut lagi untuk mengambil data-data peneliat yang hilang berupa foto-foto, dan saya kembali

me-refresh kembali data-data penelitian saya. Saya pergi kerumah Ibu Jumikem,

ternyata Ibu Jumikem sedang pergi ke Perdagangan tempat saudaranya yang sedang pesta jadi saya pergi ke rumah kak Wati, saya mengobrol dengan kak Wati dan Bang Sutris, kebetulan ada Bang Budi, Hasan dan Arif. Lalu kami mengobrol di pondok yang ada di rumah Bu Jumikem.

Setelah kembali ke Medan saya mulai mengerjakan skripsi ini, namun karena sambil bekerja saya tidak dapat fokus dengan skripsi ini. Saya kebanyakan mendiamkan skripsi ini dari pada mengerjakannya, dan akhirnya skripsi ini tidur selama setahun lagi sampai akhirnya di saat terakhir masa kuliah, saya memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan saya karena saya tidak dapat fokus dengan dengan skripsi ini jika masih bekerja. Akhirnya saya kembali fokus ke skripsi ini, lalu saya kembali ke lapangan untuk mengambil data-data kembali sebagai tambahan data-data saya sebelumnya.


(44)

BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

2.1. Gambaran Lokasi

Kabupaten Batu Bara merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Sumatera Utara yang baru terbentuk pada tahun 2007, yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Asahan. Batu Bara berada di kawasan Pantai Timur Sumatera Utara yang berbatasan dengan Selat Malaka. Kabupaten Batu Bara menempati area seluas 90.496 Ha yang terdiri dari 7 Kecamatan serta 100 Desa/Kelurahan Definitif.

Wilayah Kabupaten Batu Bara di sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Serdang Bedagai, di sebelah Selatan dengan Kabupaten Asahan, di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Simalungun dan di sebelah Timur berbatasan dengan Selat Malaka.

Sebagian besar kecamatan yang terdapat di kabupaten batu bara berada di pesisir pantai timur. Ibu kota kabupaten yaitu kecamatan lima puluh yang merupakan kecamatan terbesar di kabupaten batubara ini terletak di pesisir pantai timur juga, sehingga tidak heran jika wilayah ini merupakan wilayah pesisir yang banyak menghasilkan produksi pantai.

2.1.1. Lokasi dan Luas Desa Gambus Laut

Desa Gambus Laut terdapat di kecamatan Lima Puluh kabupaten Batubara. Untuk mendapatkan desa Gambus Laut dari Medan, ibukota Propinsi Sumatera Utara, di tempuh dengan menggunakan bus umum dari terminal terpadu Amplas. Bus yang mempunyai trayek langsung ke desa Gambus Laut adalah bus CV Sartika. Lama perjalanan dari kota medan sekitar 4 jam.


(45)

Berdasarkan data tahun 2011, luas desa Gambus Laut adalah 1430 ha, terdiri dari pemukiman penduduk 448 ha, hutan mangrove 461 ha, sawah 321 ha, pekarangan dan lain-lain 200 ha. Desa Gambus Laut terbagi atas wilayah administrasi pemerintahan yang lebih kecil yang dinamakan dusun, dan masing-masing dusun dipimpin oleh seorang Kepala Dusun dan dipilih oleh warga dusun yang disyahkan oleh Kepala Desa Gambus Laut. Di desa Gambus Laut terdapat 8 dusun, setiap dusun memiliki nama, dusun 1 adalah titi payung, dusun 2 adalah pematang panai, dusun 3 adalah kampung lima, dusun 4 adalah kampung mesjid, dusun 5 sungai megang, dusun 6 dan dusun 7 adalah pemetang segenap, dan dusun 8 adalah sei kuba.

2.1.2. Sejarah Desa

Desa Gambus laut pada awalnya merupakan bagian dari Desa Perupuk, Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Asahan pada tahun 1993. Desa Perupuk di mekarkan menjadi dua Desa,. Desa Perupuk sebagai Desa Induk dan Desa Gambus Laut sebagai Desa Pemekaran.

Kata Gambus Laut berasal dari sebuah pohon kayu gambus yang mana pohon tersebut daunnya dapat dibuat sebagai alat bunyi musik tradisional yang diberi nama alat musik Gambus yang terletak di Dusun XIII (pada Desa Perupuk) dan Dusun VII (pada Desa Gambus Laut) yang terletak di pinggir sungai. Sementara nama “Laut” dikarenakan pohon Gambus tersebut yang terletak di pinggir sungai yang merupakan aliran bias menuju sungai. Dibuatlah nama desa ini Desa Gambus Laut, walaupun desa ini merupakan desa pemekaran perkembangan desa ini bisa dikatakan cukup pesat.


(46)

2.1.3. Letak Geografis dan Lingkungan Alam

Secara administratif batas-batas desa Gambus Laut adalah, -Sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka

-Sebelah selatan berbatasan dengan desa Lau kuk Bulan

-Sebelah barat berbatasan dengan desa Suka Ramai/Kuala Indah -Sebelah timur berbatasan dengan desa Perupuk

Desa gambus Laut merupakan wilayah pesisir dan terletak di dataran rendah dengan tetinggian di atas permukaan laut sebesar 0,5 m. Kondisi geografis dan rendahnya permukaan tanah menyebabkan desa Gambus Laut di pengaruhi oleh pasang surut air laut, beberapa rumah di desa Gambus Laut ini terutama pemukiman warga yang terletak di pinggiran sungai saat air pasang besar maka akan terendam air sampai ketinggian 50 cm. Pasang surutnya air dapat terjadi siang dan malam. Curah hujan rata-rata 16 mm setiap tahun dan suhu udara rata-rata 36 derajat C setiap tahun. 2.1.4. Keadaan Penduduk

Berdasarkan monografi desa pada tahun 2011 penduduk desa Gambus Laut berjumlah 4.409 jiwa atau 1.198 kepala keluarga (KK), yang terdiri atas 2.260 jiwa laki-laki (51,26%) dan 2.149 jiwa wanita (48,74%). Jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 3

No Jenis Kelamin Kelompok Umur Jumlah %

1 Laki-laki 0-15 513 11,63

16-55 1126 25,53


(47)

2 Perempuan 0-15 686 15,55

16-55 1019 23,12

>55 444 10,08

Total 4409 100

Sumber: Monografi desa Gambus Laut tahun 2011

Penduduk tersebar di 8 dusun yang kepadatannya berbeda antara satu dusun dengan dusun lainnya. Menurut data dari kantor kepala desa Gambus Laut penduduk yang sangat padat adalah dusun VII dengan jumlah penduduk 1.091 jiwa. Dusun yang mempunyai tingkat kepadatan penduduk rendah adalah dusun I dengan jumlah penduduk 420 jiwa. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 4

No Dusun Jumlah KK Jumlah

1 I 113 KK 420 jiwa

2 II 130 KK 451 jiwa

3 III 128 KK 439 jiwa

4 IV 132 KK 473 jiwa

5 V 144 KK 537 jiwa

6 VI 136 KK 484 jiwa

7 VII 278 KK 1091 jiwa

8 VIII 137 KK 514 jiwa

Total 1198 KK 4409 jiwa Sumber: Monografi desa Gambus Laut tahun 2011

Penduduk asli desa Gambus Laut adalah suku Melayu Batubara, sehingga mayoritas suku di desa Gambus Laut adalah suku Melayu. Terdapat juga beberapa


(48)

suku yang di desa Gambus Laut yaitu suku jawa, aceh, banjar dan batak toba. Keberagaman suku ini akibat migrasi.

Berdasarkan agama, mayoritas penduduk desa Gambus Laut beragama Islam dengan jumlah 4.252 jiwa (96,44%), sedangkan yang beragama lain adalah: beragama Kristen Protestan 106 jiwa (2,40%), dan beragama Kristen Katolik 51 jiwa (1,16%).

Tingkat pendidikan penduduk desa relatif tinggi, tidak tamat SD 225 jiwa (5,13%), tamat SD 1353 jiwa (30,68%), tamat SLTP 1.169 jiwa (26,51%), tamat SLTA 1146 jiwa (25,99%). Sedangkan penduduk yang menamatkan perguruan tinggi 63 jiwa (1,425%). Jumlah penduduk yang belum bersekolah sebanyak 453 jiwa (10,27%).

Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian besar penduduk di desa Gambus Laut tergolong berpendidikan cukup tinggi. Hal ini didorong oleh fasilitas pendidikan di desa Gambus Laut yang memadai. Kesadaran tentang pentingnya pendidikan terutama pendidikan 9 tahun baru terjadi beberapa tahun ini, sehingga jumlah lulusan SD dan SLTP mendominasi peringkat pertama.

2.1.4. Keadaan Flora dan Fauna

Jenis tumbuhan yang terdapat di desa Gambus Laut cukup beragam walaupun desa ini terletak di daerah pesisir pantai. Tumbuhan yang terdapat di daerah ini antara lain: kelapa, kelapa sawit, rumbia, cemara, pohon bakau (mangrove), dan nipah. Beberapa jenis tumbuhan palawija juga dapat timbuh di desa ini antara lain: jagung, padi, cabai, dan kacang-kacangan.

Hewan yang terdapat di desa Gambus Laut merupakan hewan yang ada di daerah persawahan seperti ular dan tikus, termasuk juga burung-burung yang berterbangan.


(49)

Dan ada juga hewan peliharaan penduduk seperti kambing, lembu, bebek, entok, dan ayam. Hewan peliharaan ini selain untuk dikonsumsi sendiri juga dijual sebagai penambah penghasilan rumahtangga. Jenis hewan peliharaan lain yang tidak untuk dikonsumsi adalah ikan lele, kucing dan burung perkutut.

2.2. Pola Pemukiman Penduduk dan Sarana Desa 2.2.1. Pola Pemukiman

Pola pemukiman penduduk di desa Gambus Laut tidak terlalu padat. Hal ini terlihat dari masih terdapat tanah kosong yang ditanami sawit dan cabai oleh penduduk. Jenis rumah di desa Gambus Laut ini berupa rumah permanen, semi permanen dan non permanen. Rumah-rumah yang dibangun tergantung dari keadaan ekonomi dan jumlah anggota keluarga yang tinggal di dalam rumah.

Rumah permanen yaitu rumah yang berlantaikan kramik atau semen dan berdindingkan semen, atap rumah dari seng bergelombang dan ada juga rumah yang sudah menggunakan seng multiroof. Rumah semi permanen yaitu rumah yang didasarnya adalah semen dan berdindingkan setengah tepas dan setengah semen, atap rumah terbuat dari tepas yaitu anyaman daun nipah. sedangkan rumah non permanen yaitu rumah yang berdinding anyaman bambu dan atap dari anyaman daun nipah, sedangkan lantainya ada yang sudah di semen dan ada juga yang masih berlantaikan tanah.

Pada umumnya rumah penduduk di desa Gambua Laut mempunyai tata rung seperti rumah pada umumnya yaitu memiliki ruang tamu, kamar tidur, dan dapur yang menyatu dengan ruang makan. Beberapa rumah mempunyai dapur kecil di luar dari bagian rumah yang berada belakang rumah. Sedangkan kamar mandi berada di luar bagian rumah, ada yang berada di belakang dan ada juga yang berada di samping


(50)

rumah. Rata-rata penduduk desa Gambus Laut kurang memperhatikan sanitasi. Penduduk desa Gambus Laut masih menggunakan jamban sebagai WC mereka, dengan mengorek lubang seluas 6x4meter dan di dalam kolam tersebut hidup beberapa ekor lele. Berbeda dengan rumah penduduk yang ada di dekat sungai, mereka membuat jamban di pinggir sungai, mereka tidak lagi membuat kolam.

Aliran listrik masuk di desa ini sekitar tahun 1992, waktu itu Perusahaan Listrik Negara melakukan program masuk listrik gratis. Sedangkan untuk sarana air minum mereka mengambil sumber air sumur bor yang diberikan oleh Perusahaan INALUM. Pada umumnya sumber air di desa Gambus Laut adalah air sumur, baik itu sumur bor atau sumur dangkal.

2.2.2. Sarana Ekonomi Desa

Kondisi desa Gambus Laut yang terletak di dataran rendah tidak membuat sarana ekonomi di desa ini terbatas. Penduduk desa Gambus Laut sangat beruntung karena memiliki tekstur tanah yang dapat diolah menjadi tanah pertanian untuk menanam padi dan palawija. Selain kekayaan alam lautnya, masyarakat juga punya kekayaan alam daratan.

Mayoritas mata pencaharian penduduk adalah nelayan dan petani. Hal ini disebabkan karena sudah turun temurun sejak dulu bahwa masyarakat adalah nelayan dan petani. Minimnya tingkat pendidikan menyebabkan masyarakat tidak punya keahlian lain dan akhirnya tidak punya pilihan lain selain menjadi petani dan nelayan.


(51)

Tabel 5

No Mata Pencaharian Jumlah %

1 Nelayan 896 62,70

2 Petani 232 16,23

3 Buruh Tani 128 8,95

4 Pedagang 86 6,10

5 Tukang Batu 5 0,34

6 Penjahit 5 0,34

7 Pegawai Negeri 46 3,21

8 Perangkat Desa 11 0,76

9 Pengrajin 2 0,13

10 Industri Kecil 8 0,55

11 Buruh Industri 10 0,69

Total 1429 100

Sumber: Monografi desa Gambus Laut tahun 2011 2.2.3. Sarana Pendidikan

Sarana pendidikan di desa Gambus Laut ini kurang memadai. Di desa Gambus Laut ini hanya terdapat 2 gedung SD Inpres, dan 6 Gedung PAUD. Lebih jelasnya dapat dilihat dari tabel di bawah ini:

Tabel 6

No Sekolah Unit Murid Guru

1 PAUD 6 127 8


(52)

3 SD Inpres 2 299 17

4 Madrasah 1 84 4

Total 4 531 31

Sumber: Monografi desa Gambus Laut tahun 2011

Dari tabel di atas tidak terdapat SLTP dan SLTA. Hal ini karena gedung SLTP dan SLTA tidak diperlukan di desa Gambus Laut karena jumlah siswa yang hanya sedikit sudah terakomodasi dalam SLTP dan SLTA terdekat. Penduduk desa Gambus Laut sudah sadar tentang pentingnya pendidikan terutama pendidikan 9 tahun. Gedung PAUD terdapat di dusun I, II, III, V, VII, VIII, menurut Kepala Desa seharusnya di desa Gambus Laut ini ada penambahan satu gedung PAUD lagi. Taman Kanak berada di dusun IV. SD terletak di dusun IV dan dusun VII. Madrasah terletak di dusun IV gedung ini pun masih perlu perbaikan karena bergabung dengan gedung SD Inpres.

2.2.4. Sarana Ibadah

Berdasarkan monografi desa Gambus Laut, mayoritas warga desa Gambus Laut beragama Islam. Dominasi suku melayu menjadi salah satu faktor banyaknya penduduk beragama Islam di desa ini. Terdapat 2 mesjid di desa ini dan 8 mushollah. Mushollah terdapat di setiap dusun sedangkan mesjid hanya terdapat di dusun I dan dusun IV. Gereja hanya ada satu yaitu di dusun VI.

Kegiatan ibadah yang dilakukan penduduk desa Gambus Laut adalah pengajian yang dilakukan oleh bapak-bapak dan ibu-ibu penduduk desa, seperti perwiritan. Perwiritan bapak-bapak dilakukan setiap malam jum’at sedangkan perwiritan ibu-ibu dilakukan setiap hari jum’at dilakukan di rumah penduduk secara bergantian. Saat


(53)

hari besar agama Islam seperti Maulid Nabi Muhammad SAW dan Isra’ Mi’raj dilakukan di Mesjid.

2.2.5. Sarana Kesehatan

Sarana kesehatan di desa Gambus Laut dapat dikatakan kurang memadai. Desa Gambus Laut hanya memiliki satu bangunan Puskesmas Pembantu. Puskesmas Pembantu terletak bersebelahan dengan kantor Kepala Desa, terdiri dari 1 dokter, 2 perawat, dan 1 bidan. Karena merupakan puskesmas pembantu sehingga puskesmas ini hanya dapat melayani penyakit yang ringan-ringan saja. Jika penyakit yang di derita cuku parah maka akan dirujuk ke rumah sakit umum yang terdapat di batubara. 2.2.6. Sarana Komunikasi

Hiburan yang dapat memberi kesenangan hidup di desa Gambus Laut ini adalah dengan adanya pesawat televisi. TV merupakan sumber informasi utama dan sarana hiburan bagi seluruh keluarga. Baragam siaran dapat di tangkap oleh TV, seperti TVRI, ANTV, SCTV, RCTI, INDOSIAR, MNC TV, Trans TV, dan Trans 7. Untuk Global TV, Metro TV dan TV One dapat dilihat tapi agak buram atau biasanya dibilang bersemut. Siaran yang paling digemari adalah sinetron, dan siaran berita.

Selain televisi penduduk juga menggunakan radio sebagai sarana komunikasi. Siaran radio yang dapat signal hanyalah Ropades fm, radio yang berpusat di kota Indrapura itu merupakan satu-satunya saluran radio yang ada dan dapat ditanggap oleh signal radio. Siaran yang paling digemari adalah musik pop dan dangdut saat ibu-ibu rumah tangga dan para remaja yang sedang melakukan rumahnya.

Di desa Gambus Laut sudah masuk alat komunikasi pesawat telepon. Akan tetapi warga di sini tidak banyak yang menggunakannya, hanya kantor pemerintah


(54)

saja yang menggunakannya. Warga lebih memilih menggunakan handphone dari pada memasang pesawat telepon, karena warga merasa lebih hemat dan simpel. Handphone tidak lagi menjadi barang mewah disini akan tetapi sudah menjadi kebutuhan pokok untuk sarana komunikasi.

2.2.7. Sarana Rekreasi dan Hiburan.

Desa Gambus Laut yang terletak di pesisir menjadikan desa ini memiliki banyak tempat rekreasi, yaitu rekreasi tepi pantai. Terdapat beberapa tempat rekreasi tepi pantai yang dapat menjadi pilihan untuk wisatawan. Beberapa pantai itu yaitu, Pantai Datuk, Pantai Sejarah, Pantai Bunga, dan Pantai Laut.

Pantai Datuk yang terletak tidak jauh dari desa Gambus Laut merupakan pantai berpasir putih dan memiliki pemandangan yang indah serta angin yang sejuk menenangkan hati. Di pantai ini juga terdapat kolam renang air tawar yang dibuat untuk menambah kesenangan pengunjung. Pantai Sejarah yang memiliki pemandangan kelaut lepas sungguh indah. Fasilitas yang ada di Pantai Sejarah tidak terlalu banyak, tidak seperti di Pantai Datuk, akan tetapi tetap saja pengunjung tidak pernah sepi di sini terutama pada hari sabtu dan minggu. Ada juga Pantai Bunga, dan Pantai Laut. Untuk mencapai Pantai Laut kita harus menggunakan sampan, pasir putih dan pemandangan yang indah, tidak banyak yang datang ke pantai ini karena untuk pergi kesana harus menggunakan sampan. Bagi para remaja yang memiliki teman orang kampung sini maka akan pergi kesana pada sore hari lalu malamnya mereka membakar ikan yang sudah dibawa dari desa.

2.2.8. Sarana Transportasi

Desa Gambus Laut terletak jauh dari jalan besar, atau biasanya disebut jalan lintas Kuala Tanjung. Untuk dapat mencapai desa ini dari jalan besar menaiki becak


(55)

motor, karena angkutan umum tidak ada yang masuk kedalam desa, tarifnya sekitar Rp.20.000-25.000. Rata-rata warga desa Gambus Laut memiliki sepeda motor sebagai sarana transportasi mereka untuk keluar desa atau hanya sekedar belanja ke pajak sore. Sepeda juga merupakan transportasi penduduk untuk pergi kerumah saudara terdekat yang masih satu dusun.

Dari Medan dapat ditempuh dengan menggunakan bus umum dari terminal terpadu Amplas. Bus yang mempunyai trayek langsung ke desa Gambus Laut adalah bus CV Sartika. Lama perjalanan dari kota medan sekitar 4 jam dengan tarif Rp. 20.000.

2.2.9. Hubungan Sosial dan Organisasi Sosial

Hubungan sosial antar tetangga di desa ini sangat baik. Hal ini terlihat saat berkumpul di kedai saat belanja pagi maka ibu-ibu akan bercerita dan bercanda tertawa dengan ibu-ibu yang lain. Setelah selesai mengerjakan pekerjaan rumah maka ibu-ibu akan kumpul di satu rumah. Begitu pula saat diadakannya wirit yang dilakukan setiap minggu disalah satu rumah warga maka warga akan datang membantu. Pada saat acara pernikahan atau sunatan juga begitu, biasanya disebut rewang, yaitu kegiatan masak memasak yang dilakukan warga disalah satu rumah yang ingin membuat acara.

Sama seperti ibu-ibu, bapak-bapak juga memiliki kebiasaan wirit setiap minggu dirumah warga, wirit bapak-bapak dilakukan saat malam. Bapak-bapak biasanya berkumpul saat malam hari di salah satu kedai kopi sambil main kartu. Berbincang-bincang tentang pekerjaan, yaitu ladang mereka, tentang harga pupuk, pestisida, harga gabah, dan lain-lain. Kadang juga membahas soal kondisi politik negara.


(1)

maupun manusia. Pasal 31

Kriteria kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan adalah tempat serta ruang disekitar bangunan bernilai budaya tinggi, situs purbakala dan kawasan dengan bentukan geologi tertentu yang mempunyai manfaat tinggi

untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Bagian Keempat

Kawasan Rawan Bencana Alam Pasal 32

Perlindungan terhadap kawasan rawan bencana alam dilakukan untuk melindungi manusia dan kegiatannya dari bencana yang disebabkan oleh

alam maupun secara tidak langsung oleh perbuatan manusia. Pasal 33

Kriteria kawasan rawan bencana alam adalah kawasan yang diidetifikasi sering dan berpotensi tinggi mengalami bencana alam seperti letusan gunung

berapi, gempa bumi, dan tanah longsor. BAB V

PENETAPAN KAWASAN LINDUNG Pasal 34

(1) Pemerintah Daerah Tingkat I menetapkan wilayah-wilayah tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 sebagai kawasan lindung daerah

masing-masing dalam suatu Peraturan Daerah Tingkat I, disertai dengan lampiran penjelasan dan peta dengan tingkat ketelitian minimal skala 1 : 250.000 serta memperhatikan kondisi wilayah yang

bersangkutan.

(2) Dalam menetapkan kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pemerintah Daerah Tingkat I harus memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penetapan

wilayah tertentu sebagai bagian dari kawasan lindung. (3) Pemerintah Daerah Tingkat II menjabarkan lebih lanjut kawasan

lindung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) bagi daerahnya ke dalam peta dengan tingkat ketelitian minimal skala 1 :

100.000, dalam bentuk Peraturan Daerah Tingkat II.

(4) Pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara terpadu dan lintas sektoral dengan mempertimbangkan masukan dari


(2)

Pasal 35

Apabila dalam penetapan wilayah tertentu terjadi perbenturan kepentingan antar sektor, Pemerintah Daerah Tingkat I dapat mengajukan kepada Tim Pengelolaan Tata Ruang Nasional untuk memperoleh saran penyelesaian.

Pasal 36

(1) Pemerintah Daerah Tingkat II mengupayakan kesadaran masyarakat akan tanggung jawabnya dalam pengelolaan kawasan lindung.

(2) Pemerintah Daerah Tingkat I dan Tingkat II mengumumkan kawasankawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 kepada

masyarakat. BAB VI

PENGENDALIAN KAWASAN LINDUNG Pasal 37

(1) Di dalam kawasan lindung dilarang melakukan kegiatan budidaya, kecuali yang tidak mengganggu fungsi lindung.

(2) Di dalam kawasan suaka alam dan kawasan cagar budaya dilarang melakukan kegiatan budidaya apapun, kecuali kegiatan yang berkaitan

dengan fungsinya dan tidak mengubah bentang alam, kondisi penggunaan lahan, serta ekosistem alami yang ada. (3) Kegiatan budidaya yang sudah ada di kawasan lindung yang mempunyai dampak penting terhadap lingkungan hidup dikenakan

ketentuan-ketentuan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1986 tentang Analisis

Mengenai Dampak lingkungan.

(4) Apabila menurut Analisis Mengenai Dampak Lingkungan kegiatan budidaya mengganggu fungsi lindung harus dicegah

perkembangannya, dan fungsi sebagai kawasan lindung dikembalikan secara bertahap.

Pasal 38

(1) Dengan tetap memperhatikan fungsi lindung kawasan yang bersangkutan di dalam kawasan lindung dapat dilakukan penelitian eksplorasi mineral dan air tanah, serta kegiatan lain yang berkaitan

dengan pencegahan bencana alam.

(2) Apabila ternyata di kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdapat indikasi adanya deposit mineral atau air tanah atau


(3)

bagi negara, maka kegiatan budidaya di kawasan lindung tersebut dapat diizinkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan

yang berlaku.

(3) Pengelolaan kegiatan budidaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan dengan tetap memelihara fungsi lindung kawasan yang

bersangkutan.

(4) Apabila penambangan bahan galian dilakukan, penambang bahan galian tersebut wajib melaksanakan upaya perlindungan terhadap

lingkungan hidup dan melaksanakan rehabilitasi daerah bekas penambangannya, sehingga kawasan lindung dapat berfungsi kembali. (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), diatur lebih lanjut oleh Menteri yang berwenang, setelah mendapat pertimbangan dari Tim Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang

Nasional. Pasal 39

(1) Pemerintah Daerah Tingkat II wajib mengendalikan pemanfaatan ruang di kawasan lindung.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi kegiatan pemantauan, pengawasan dan penertiban.

(3) Apabila Pemerintah Daerah Tingkat II tidak dapat menyelesaikan pengendalian pemanfaatan kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), wajib diajukan kepada Gubernur Kepala

Daerah Tingkat I untuk diproses langkah tindak lanjutnya.

(4) Apabila Gubernur Kepala Daerah Tingkat I tidak dapat menyelesaikan pengendalian pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3),

wajib diajukan kepada Tim Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional.

BAB VII

KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 40

(1) Selambat-lambatnya dua tahun setelah Keputusan Presiden ini ditetapkan, setiap Pemerintah Daerah Tingkat I sudah harus menetapkan Peraturan Daerah tentang penetapan kawasan lindung, dan segera sesudah itu Pemerintah Daerah Tingkat II menjabarkannya

lebih lanjut bagi daerah masing-masing.

(2) Penetapan kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), apabila dipandang perlu dapat disempurnakan dalam waktu setiap


(4)

lima tahun sekali. BAB VIII

KETENTUAN PENUTUP Pasal 41

Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 25 Juli 1990 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd. SOEHARTO

______________________________________

Lampiran 2

Data Informan

Nama`

: Mujani

Umur

: 62 Tahun

Jenis Kelamin : laki-laki

Alamat

: Desa Gambus dusun IV

Pekerjaan

: petani

Nama

: Jumikem

Umur

: 50 Tahun

Jenis Kelamin : perempuan

Alamat

:

Pekerjaan

: ibu rumah tangga

Nama

: budi

Umur

: 32 Tahun

Jenis Kelamin : laki-laki

Pekerjaan

: pembuat arang

Anak ibu jumikem yang pertama

Nama

: Sapri

Umur

: 31 Tahun

Junis kelamin : laki-laki

Pekerjaan

: pembuat Arang

Anak ibu jumikem yang ketiga


(5)

Nama

: Sutris

Umur

: 30 Tahun

Jenis Kelamin : laki-laki

Pekerjaan

: pembuat Arang

Anak ibu jumikem yang ke empat

Nama

: Hasan

Umur

: 25 Tahun

Jenis Kelamin : laki-laki

Pekerjaan

: pembuat Arang

Anak ibu jumikem yang ketujuh

Nama

: Arif

Umur

: 20 Tahun

Jenis Kelamin : laki-laki

Pekerjaan

: pembuat Arang

Anak ibu jumikem yang kedelapan

Nama

: Tuti

Umur

: 29 Tahun

Jenis kelamin : perempuan

Pekerjaan

: ibu rumah tangga+pembuat arang

Istri sapri

Nama

: Wati (Istri sutris)

Umur

: 28 Tahun

Jenis kelamin : perempuan

Pekerjaan

: ibu rumah tangga+ pembuat arang

Nama

: Sani

Umur

: 50 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan

: Ibu rumah tangga + pembuat arang

Istri Sutimin

Nama

: Sutimin

Umur

: 55 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki


(6)

Pekerjaan

: Pembuat arang

Nama

: Sugeng

Umur

: 47 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pekerjaan

: Kepala Desa Gambus Laut

Nama

: Mulyono

Umur

: 26 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pekerjaan

: Pegawai Swasta

Dulu bekerja membantu Pak Sutimin mencari kayu

Nama

: Hendra

Umur

: 25 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pekerjaan

: Pencari Kayu

Nama

: Esnest, S.Hut

Umur

: 31 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pekerjaan

: Pagawai Dinas Kehutanan

Nama

: Aditya

Umur

: 25 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pekerjaan

: Pegawai Dinas Kelautan dan Perairan

Nama

: Nenek Ngatiem

Umur

: 68 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan

: Ibu rumah tangga

Warga Desa Gambus Laut