Berjiwa besar dan mengalah demi kepentingan yang lebih besar
Tau Gak Sih ?
“Saja seorang jang pertjaja pada mistik. Saja tidak dapat
menerangkan setjara pertimbangan akal mengapa 17 lebih memberi
harapan kepadaku. Akan tetapi saja merasakan di dalam kalbuku,
bahwa waktu dua hari lagi adalah saat jang baik. Angka 17 adalah
angka keramat. 17 adalah angka sutji. Pertama-tama kita sedang
berada dalam bulan Ramadhan waktu
kita semua
berpuasa. Bukankah begitu?”
“Ja.” “Ini berarti saat jang paling
sutji bagi kita. Bukan begitu?” “Ja.”
“Hari Djum‟at ini Djum‟at Legi. Djum‟at jang berbahagia. Djum‟at sutji.
Dan hari Djum‟at adalah tanggal 17. Al-Qur‟an diturunkan tanggal 17. Orang Islam sembahjang 17 raka‟at.” Sukarno pun bangkit untuk mengakhiri
pertemuan tersebut Roem, 1972:31. Pada saat itu memang bangsa Indonesia khususnya pemuda diliputi
semangat merdeka yang menyala-nyala. Sementara itu, menurut Moedjanto 1988:101 pemimpin utama Indonesia pada waktu itu yaitu Sukarno-Hatta
menghadapi dilema yang sulit yaitu tunduk kepada sekutu atau kepada pemuda? Jika mereka tunduk atau bersikap manis terhadap sekutu, mereka menjauhkan
diri dari dukungan pemuda yang semangat revolusinya begitu berkobar-kobar dan merupakan kekuatan yang besar bagi RI. Di sisi lain, Bung Karno dan Bung
Hatta ingin memanfaatkan hubungan dengan Jepang semaksimal mungkin supaya bisa menghindari pertumpahan darah rakyat Indonesia. Hal ini
berdasarkan kenyataan bahwa pasukan Jepang di Indonesia masih utuh dan lengkap persenjataannya, kerena mereka belum sempat bertempur secara frontal
dengan sekutu. Apalagi Jepang sudah berjanji sendiri mengenai kemerdekaan Indonesia. Kalau pun mereka mengingkari janji, apakah kekuatan PETA, Heiho
dan golongan pemuda Indonesia sudah siap menghadapi kekuatan militer Jepang? Demikianlah yang menjadi pertimbangan para pemimpin Indonesia
pada saat itu. Pada dasarnya setiap orang pasti menginginkan untuk hidup merdeka,
tidak ada seorang pun yang ingin hidup dijajah. Begitu pun dengan golongan tua dan muda, mereka pasti mempunyai cita-cita yang sama yaitu Kemerdekaan
Indonesia, hanya saja terdapat perbedaan dalam cara mewujudkannya. Perbedaan yang tajam dalam cara menyatakan kemerdekaan ini berakhir dengan
dibawanya Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok oleh pemuda dan PETA pada tanggal 16 Agustus 1945 pukul 04.30 waktu Jawa Zaman Jepang
atau pukul 04.00 WIB. Tindakan ini menurut Poesponegoro, dan Notosusanto 1984:81 berdasarkan keputusan rapat terakhir yang diadakan oleh para pemuda
pada pukul 24.00 WIB menjelang tanggal 16 Agustus 1945 di Asrama Baperpi, Cikini 71, Jakarta. Keputusan para pemuda ini didasari atas pertimbangan jika
Bung Karno dan Bung Hatta masih berada di Jakarta, ada kemungkinan mereka bisa dipakai Jepang untuk menindas atau menghalangi pernyataan kemerdekaan.
B. Ada apa di Rengasdengklok ?
Pada tanggal 16 Agustus 1945 pukul 04:30 waktu Jawa Zaman Jepang atau jam 06.00 waktu Jepang atau pukul 04.00 WIB dalam rangka menjauhkan
Sukarno dan Moh.Hatta dari segala pengaruh Jepang, maka kedua tokoh ini dibawa ke Rengasdengklok sebuah kota kawedanan terletak sekitar 20 km arah
utara Kota Karawang oleh pemuda Chaerul Saleh, Sukarni, Wikana, dr.Muwardi, Yusuf Kunto, Singgih dan dr.Sucipto seorang perwira PETA dari
Kawedanan Rengasdengklok. Menarik dipertanyakan, mengapa Sukarno bersedia mengikuti saran
pemuda? Padahal sebelumnya dia begitu keras merespon desakan ketidaksabaran mereka. Kemungkinan pertama, Sukarno mulai luluh oleh
semangat para pemuda sehingga bersedia bekerja sama. Kemungkinan kedua, mengingat Jepang telah menyerah kepada sekutu, sehingga Sukarno pun percaya
Tau Gak
bahwa para pemuda akan melakukan pemberontakan kepada Jepang, revolusi mungkin akan meletus. Kemungkinan ketiga, Sukarno memang terpedaya oleh
alasan para pemuda yang hampir menemukan jalan buntu untuk menundukkan Sukarno Isnaeni, 2008:126.
Rengasdengklok dipilih untuk
menjauhkanSukarno- Hatta dari pengaruh Jepang
karena perhitungan militer, antara anggota PETA Daidan
Purwakarta dan Daidan Jakarta terdapat hubungan erat sejak
mereka mengatakan latihan bersama-sama. Di samping itu
Rengasdengklok letaknya terpencil yaitu 15 km ke dalam dari Kedunggede,
Karawang pada jalan raya Jakarta-Cirebon. Dengan demikian deteksi dapat dengan mudah dilaksanakan terhadap setiap gerakan tentara Jepang yang hendak
datang ke Rengasdengklok, baik yang datang dari arah Jakarta, maupun dari arah Bandung atau Jawa Tengah, karena pastilah mereka harus melalui Kedunggede
dahulu di mana pasukan Tentara PETA telah bersiap-siap untuk menahannya Poesponegoro, dan Notosusanto, 1984:82.Setibanya di Rengasdengklok, Bung
Karno dan Bung Hatta serta Ibu Fatmawati yang disertai Guntur Sukarnoputra ditempatkan
di rumah
penduduk setempat,
setelah sebelumnya
para prajurit
PETA meminta
pemiliknya mengosongkan
rumah tersebut.Menurut
Gambar 5.
Rumah Djiauw
Kie Siong
di Rengasdengklok.
Sumber:
http:rumahmimpi.net201104rengasdengklok- dan-beban-sejarah
Kahin 2013: 196, di Rengasdengklok golongan muda menyakinkan Sukarno dan Hatta bahwa Jepang benar-benar sudah menyerah. Sukarni bersikeras bahwa
ada 15.000 pemuda bersenjata di pinggiran-pinggiran Jakarta yang siap memasuki ibu kota begitu proklamasi dikumandangkan. Dalam waktu yang
hampir bersamaan, Dr.Sucipto dan Sukarni memerintah anggota PETA Rengasdengklok untuk menjemput Soncho camat Rengasdengklok Sujono
Hadipranoto dirumahnya. Memang benar menurut Sujono Hadipranoto dalam Suganda, 2009:51 pada Kamis pagi 16 Agustus 1945 seorang perwira PETA
Rengasdengklok mendatangi rumahnya. Ia diberitahu bahwa Bung Karno dan Bung Hatta sejak tadi malam sudah
dibawa ke Rengasdengklok, karena di Jakarta mereka tidak aman. Ia juga diberitahu bahwa Jepang sudah kalah perang dan tak lama lagi sekutu akan
datang menguasai Tanah Air kita. Oleh karena itu sebelum hal tersebut terjadi, kita Bangsa Indonesia harus
segera mengumandangkan kemerdekaan, maka dari itu Ia sebagai penguasa wilayah Rengasdengklok untuk segera mengumandangkan pernyataan bahwa
“Bangsa Indonesia adalah bangsa yang merdeka, yang berkuasa penuh dalam negaranya sendiri yang berbentuk Republik, Republik Indonesia.” Akan tetapi
Rengasdengklok-gunpada hari itu menjadi tuan rumah penyelenggara rapat untuk mengevaluasi sejauh mana hasil pengumpulan padi dari daerah ini.
Tempatnya di pendopo Kawedanan Rengasdengklok. Para pemuda pun tampak terkejut mengetahui hal tersebut. Menanggapi hal tersebut Sukarni dalam
Suganda, 2009: 54 mengatakan “Kalau ada tamu dari luar Kawedanan Rengasdengklok, antarkan saja ke chudan. Katakan saja Bung Karno dan Bung
Hatta ingin bicara dengan mereka.” Setelah segala sesuatunya siap, pada pagi itu juga, di halaman pendopo Kawedanan Rengasdengklok diselenggarakan upacara
penurunan bendera Jepang, Hinomaru, dan digantikan Sang Saka Merah Putih dis
ertai pernyataan “Merdeka” oleh camat setempat Soejono Hadipranoto Suganda, 2009: 56.