Perumusan Masalah Ruang Lingkup Penelitian Sistematika Penulisan

dapat dikatakan hal diatas menunjukan adanya pengaruh etnisitas terhadap perilaku politik seseorang, demokrasi tidak hanya didasari pada perubahan institusi atau perilaku elit politik, melainkan keberlangsungannya akan tergantung pada nilai dan kepercayaan dari masyarakat awam di wilayahnya. Perilaku pemilih dari sesuatu masyarakat dipengaruhi dan mempunyai hubungan dengan etnisitaskesukubangsaan, karena etnisitas itu menjadi salah satu unsur pembentuk perilaku pemilih, selain faktor lain, seperti pengaruh luar melalui difusi dan akulturasi, pendidikan, perubahan sosial dan lain-lain. Namun bagi bangsa Indonesia faktor etnisitas itu dalam kehidupan politik sampai sekarang masih menjadi salah satu faktor yang terpenting. Kesadaran akan etnisitas masih cukup besar dan berpengaruh dalam kehidupan individu atau perorangan maupun dalam kehidupan kelompok atau masyarakat. Manusia yang membentuk masyarakat menjadi konteks, strategi membangun masyarakat atau menjamin dan meningkatkan kemasyarakatan itu. Dalam konteks ini adalah jati diri manusia dan konteksnya, baik lingkungan sosial dan maupun historinya. 8

1.2. Perumusan Masalah

Masyarakat itu sendiri tidak dapat melepaskan faktor etnisitas di dalam menentukanmelihat preferensi terhadap calon-calon Kepala Daerah yang bersaing dalam Pemilihan Kepala Daerah secara langsung tersebut. Dengan demikian perilaku politik ada kaitannya dengan etnisitas. Sesuai dengan uraian yang terdapat dalam latar belakang, maka permasalahan dari proposal penelitian ini adalah: 8 Ibid, hal 31 Universitas Sumatera Utara 1. Persepsi masyarakat Batak Toba terhadap adanya pasangan calon dari suku Batak Toba yang ikut bersaing dalam pemilihan kepala daerah dan preferensi politik masyarakat Batak Toba. 2. Berkaitan dengan permasalahan 1 adalah permasalahan “ bagaimanakah etnis Batak Toba di Berastagi menentukan pilihan politik dalam Pemilihan Kepala Daerah pada tahun 2010”.

1.3. Ruang Lingkup Penelitian

Adapun yang dijadikan ruang lingkup penelitian oleh penulis adalah sebagai berikut: 1. Penelitian hanya dilakukan pada masyarakat etnis Batak Toba yang telah berhak memilih dalam Pemilihan Kepala Daerah secara langsung Kabupaten Karo tahun 2010 yang telah berusia 17 tahun keatas, atau yang sudah pernah menikah 2. Organisasi-organisasi yang dimasuki atau yang di bentuk oleh orang Batak Toba di Kabupaten Karo, khususnya di Kecamatan Berastagi 1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1. Tujuan penelitian Adapun tujuan penelitian yang akan dibuat oleh peneliti adalah : 1. Untuk mengetahui berapa banyak jumlah dukungansuara etnis Batak Toba pada pemilihan langsung Kepala Daerah yang berlangsung pada 27 Oktober 2010. Universitas Sumatera Utara 2. Untuk menjelaskan secara umum persepsi dan perilaku politik dari etnis Batak Toba dalam kaitannya dengan pilihan calon Bupati dan Wakil Bupati pada Pilkada Bupati Karo tahun 2010.

1.4.2. Manfaat Penelitian

Layaknya sebuah penelitian ilmiah tentunya diharapkan memiliki manfaat baik bagi penulis bahkan bagi orang yang membaca laporan penelitian ini. Adapun manfaat dari penelitian yang ingin dicapai oleh penulis adalah : 1. Bagi penulis sendiri penelitian ini guna mengembangkan kemampuan dalam menulis karya ilmiah dalam bidang Perilaku Politik dan menganalisis perkembangan politik yang ada dalam masyarakat. 2. Secara Teoritis maupun secara Metodologis studi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap pendalaman studi Perilaku Politik bagi yang membaca penelitian ilmiah ini. 3. Bagi instansi atau lembaga-lembaga politik kiranya dapat menjadi bahan acuan atau referensi dalam konteks perilaku pemilih serta persepsi yang dibangun oleh seseorang di dalam masyarakat.

1.5. Kerangka Teoritis

Setiap penelitian memerlukan titik tolak atau landasan berpikir untuk memecahkan atau menyoroti masalah. 9 9 Hadari Nawawi, Metode Penelitian Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2001, hal. 39. Kejelasan atau landasan berpikir itu disebut teori. Teori diperlukan karena menjadi penuntun dalam menentukan bahan-bahan yang diperlukan dan yang dikumpulkan melalui penelitian. Selain daripada itu teori juga berfungsi sebagai alat analisis terhadap bahan-bahan yang diperoleh melalui penelitian. Masri Singarimbun menjelaskan bahwa : Universitas Sumatera Utara Teori adalah serangkaian asumsi, konsep, kontrak, definisi, dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep, ringkasnya teori adalah hubungan satu konsep dengan konsep lainnya untuk menjelaskan gejala tertentu. 10

1.5.1. Teori Persepsi

Teori ini digunakan untuk menganalisa bagaimana persepsi yang timbul dalam masyarakat dan membentuk referensi masyarakat dalam menentukan pilihan poitik nya. Teori ini berada pada aspek kajian psikologi sosial. Psikologi sosial adalah menguraikan kegitan-kegitan manusia dalam hubungannya dengan situasi-situasi sosial, seperti situasi kelompok, situasi massa serta seterusnya. 11 Psikologi sosial mengamati kegiatan manusia dari segi-segi ekstern lingkungan sosial, fisik, peristiwa-peristiwa, gerakan-gerakan massa maupun segi intern kesehatan fisik perorangan, semangat, emosi. Psikologi sosial juga dapat menjelaskan bagaimana kepemimpinan tidak resmi dapat menentukan keputusan dalam kebijaksanaan politik dan kenegaraan, bgaimana sikap atitude dan harapan expectation masyarakat dapat melahiran tindakan-tindakan serta tingkah laku yang berpegang teguh pada tuntutan-tuntutan sosial conformity, bagaimana motivasi kerja dapat ditinggkatkan sehingga memperbayak produksi kerja melalui penanaman penghargaan terhadap waktu dan usaha. Betapa nilai- nilai budaya yang bertahun-tahun lamanya diterima masyarakat dapat melahirkan tingkah laku politik yang relatif stabil. Psikologi sosial juga dapat menerangkan sikap dan reaksi kelompok terhadap keadaan yang dianggap baru, asing atau yang bertentangan dengan konsensus masyarakat mengenai suatu gejala sosial tertentu . 12 Persepsi adalah sekumpulan tindakan mental yang mengatur impuls-impuls sensorik menjadi suatu pola bermakna. 13 10 Masri Singarimbun, Metode Penelitian Survai, Jakarta: PT. Pustaka LP3ES, 1989. hal. 37. 11 DR. W.A. Gerungan, Dipl. Psych, Psikologi Sosial, Bandung, PT. Refika Aditama, 2004, hal. 2- 3 12 Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hal. 24 13 Carol wade dan Carol Travis, Psikologi, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2002, hal. 193 Kemampuan persepsi adalah sesuatu yang sifatnya bawaan dan berkembang pada masa yang sangat dini. Meskipun kebanyakan kemampuan persepsi bersifat bawaan, pengalaman juga memaikan peranan penting. Kemampuan bawaan tidak akan bertahan lama karena sel-sel dalam syaraf mengalami kemunduran, berubah, atau gagal membentuk jalur Universitas Sumatera Utara sayraf yang layak. Secara keseluruhan, kemampuan persepsi kita ditanamkan dan tergantung pada pengalaman. 14

1.5.1.1. Pengaruh Psikologi dan Budaya

Fakta bahwa beberapa proses persepsi tampak sebagai kemampuan bawaan tidak berarti bahwa orang-orang mempersepsikan dunia dalam cara-cara yang sama. Faktor-faktor psikologis kita dapat mempengaruhi bagaimana kita mempersepsikan serta apa yang kita persepsikan. Berikut ini adalah beberapa faktor yang memepengaruhi. 15 1. Kebutuhan. Ketika kita membutuhkan sesuatu, atau memiliki ketertarikan pada suatu hal, atau mengingikannya, kita akan dengan mudah mempersepsikan sesuatu berdasatkan kebutuhan ini. 2. Kepercayaan. Apa yang kita anggap sebagai benar dapat mempengaruhi interpretasi kita terhadap sinyal sensorik yang ambigu 3. Emosi. Emosi dapat mempengaruhi interpretasi kita mengenai suatu informasi sensorik. 4. Ekspektasi. Pengalaman masa lalu sering mempengaruhi cara kita mempersepsikan dunia Lachmann, 1996. Kecendrungan untuk mempersepsikan sesuatu sesuai dengan harapan disebut sebagai set persepsi. Set persepsi dapat sangat berguna membantu kita mengisi kata-kata dalam sebuah kalimat, misalnya, sebelum kita sepenuhnya mendengarkan keseluruhan kalimat tersebut. Tetapi set persepsi juga dapat menyebabkan terjadinya kesalahan persepsi. 14 Ibid, hal. 226-228 15 Op Cit, hal. 228 Universitas Sumatera Utara Semua kebutuhan, kepercayaan, emosi, dan ekspektasi kita di pengaruhi oleh budaya di mana kita tinggal. Budaya yang berbeda memberikan kita kesempatan untuk bertemu dengan lingkungan yang berbeda. Budaya juga mempengaruhi persepsi dengan membentuk streotip, yang mengarahkan perhatian kita, dan mengatakan pada diri kita apa yang penting untuk disadari atau diabai- kan.

1.5.1.2. Persepsi Menurut Psikologi Lingkungan Hidup

Menurut undang-undang No. 41982 tentang lingkungan hidup, yang dimaksud dengan lingkungan hidup adalah 16 Penjelasan mengenai bagaimana manusia mengerti dan menilai lingkungan dapat didasarkan pada dua cara pendekatan, pendekatan pertama adalah yang dinamakan pandangan konvensional. Secara umum, pandangan konvensional ini menganggap persepsi sebagai kumpulan pengindraan, maka kumpulan pengindraan itu diorganisasikan secara tertentu, dikaitkan dengan pengalaman masa dan ingatan masa lalu, dan diberi makna tertentu sehingga kita bisa mengenal. Cara pandang seperti ini dinamakan juga pendekatan konstruktivisme. : Kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan mahluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelang- sungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya. Dalam kenyataannya, lingkungan hidup itu terdiri atas objek-objek yang harus ditangkap keberadaannya melalui indra-indra, seperti indra penglihatan menangkap cahaya dan benda-benda, indra pendengaran menangkap gelombang suara, indra pengecap menangkap rasa, dan indra temperatu menangkap suhu udara. Pengindraan itu tidak berdiri sendiri melainkan merupakan kombinasi dari berbagai alat indra. 16 Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Lingkungan, Jakarta: Grasindo, 1992, hal. 45 Universitas Sumatera Utara Aktivitas mengenali objek atau benda itu sendiri adalah aktivitas mental, yang disebut juga sebagai aktivitas kognisi. Jadi, sebetulnya otak tidak secara pasif menggabung-gabungkan kumulasi pengalaman dan memori, melainkan aktif untuk menilai, memberi makna, dan sebagainya. Karena adanya fungsi aktif dari kesadaran manusia, pandangan konvensional ini kadang-kadang digolongkan juga kepada pandangan funsionalisme. Pendekatan kedua adalah pendekatan ekologik. Pendekatan ini di kemukakan oleh Gibson Fisher et al¸1984:24. Menurut Gibson individu tidaklah menciptakan makna-makna dari apa yang diindrakannya karena sesungguhnya makna itu telah terkandung dalam stimulus itu sendiri dan tersedia untuk organisme yang menyerapnya. Ia berpendapat bahwa persepsi terjadi secara spontan dan langsung. Jadi, bersifat holistik. Spontanitas itu terjadi karena organisme selalu menjejaki eksplorasi lingkungannya dan dalam penjejekan itu ia melibatkan setiap objek yang ada du lingkungannya dan setiap objek menonjol- kan sifat-sifatnya yang khas dan untuk organisme bersangkutan. Proses terbentuknya suatu persepsi bahwa manusia mengindrakan objek yang ada lingkungannya, ia memproses pengindraannya itu dan timbulah makna tentang objek itu pada diri manusia. Tahapan awal hubungan manusia dengan lingkungannya adalah kontak fisik antara individu dengan objek-objek lingkungannya. Objek tampil dengan kemanfaatannya masing-masing, sedangkan individu datang dengan sifat individualnya, pengalaman masa lalunya, bakat, minat, sikap, dan berbagai cara kepribadiannya masing-masing pula. Hasil interaksi individu dengan objek menghasilkan persepsi individu tentang objek itu. Jika persepsi itu berada dalam batas-batas opitmal maka individu dikatakan dalam Universitas Sumatera Utara keadaan homeostatis, yaitu keadaan yang serba seimbang. Keadaan ini biasanya ingin dipertahankan oleh individu karena menimbulkan perasaan-perasaan menyenangkan. Sebaliknya, jika objek dipersepsikan sebagai di luar batas-batas optimal maka individu itu akan mengalami stress pada dirinya. Tekanan-tekanan energi dalam dirinya meningkat sehingga orang itu harus melaksanakan coping untuk menyesuaikan dirinya atau menyesuaikan lingkungan pada kondisi dirinya. Sebagai hasil coping ada dua kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, tingkah laku coping itu tidak membawa hasil seperti yang di- harapkan. Gagalnya tingkah laku coping ini menyebabkan stress berlanjut dan dampaknya dapat stress berlanjut dan dampaknya bisa berpengaruh pada kondisi individu maupun persepsi individu. Kemungkinan kedua, tingkah laku coping yang berhasil. Dalam hal ini terjadi penyesuaian antara diri individu dengan lingkungannya atau penyesuaian keadaan lingkungan dengan pada diri individu. Dampak dari keberhasilan ini juga bisa mengenai individu maupun persepsinya. Jika dampak coping yang berhasil berulang-ulang maka kemungkinan terjadi penurunan tingkat toleransi terhadap kegagalan atau kejenuhan. Di samping itu terjadi peningkatan kemampuan untuk menghadapi stimulus berikutnya. Kalau efek kegagalan terjadi berulang-ulang kewaspadaan akan meningkat. Namun, pada satu titik akan terjadi ganguan mental yang lebih serius seperti keputusasaan, kebosanan persaan tidak berdaya, dan menurunya prestasi sampai pada titik terendah. Universitas Sumatera Utara

1.5.1.3. Pengenalan Kognisi A. Pengindraan dan Pengamatan

Pada uraian diatas telah dijelaskan bahwa persepsi seseorang itu ada bukan hanya bawaan dari lahir tetapi di pengaruhi oleh budaya dan lingkungan dimana individu itu berada. Proses terbentuknya suatu persepsi adalah adanya rangsangan atau stimulus yang dapat menyadari keadaan sekitar, merupakan persoalan yang berhubungan dengan alat indra dan pengamatan. Beberapa syarat yang harus di penuhi agar dapat menyadari sesuatu yaitu: 17 1. Merupakan suatu kompleks suatu keadaan yang kabur, belum jelas Pengindraan dan pendirian ialah penyaksian indra kita atas rangsangan yang. Dalam pengindraan bagian-bagian dari rangsangan belum terurai, masih menjadi satu kesatuan bahkan diri kita seakan-akan termasuk di dalamnya. Jadi jiwa kita masih bersifat pasif. 2. Pengamatan penyerapan, persepsi: ialah hasil perbuatan jiwa secara aktif dan penuh perhatian untuk menyadari adanya rangsangan. Pada umumnya pengamatan dilakuakan pada rangsangan-rangsangan yang menarik perhatian individu. Jadi dalam pengamatan jiwa kita aktif. 3. sintesa dan adaptasi. Sintesa adalah suatu keadaan orang menyadari sesuatu kesan tidak melalui indra yang semestinya. Adaptasi ialah penyesuain diri dengan keadaan yang baru.

B. Tanggapan

Tanggapan sebagai salah satu fungsi jiwa yang pokok, dapat diartikan sebagai gambaran ingatan dari pengamatan, ketika objek yang diamati tidak lagi dalam ruangan dan waktu pengamatan. Tanggapan di sebut laten tersembunyi, belum terungkap apabila tanggapan itu berada di bawah sadar, atau tidak kita sadari, dan tanggapan disebut aktual apabila tanggapan tersebut kita sadari. Apabila tanggapan-tanggapan yang kita sadari langsung berpengaruh pada kehidupan kejiwaan berfikir, perasaan, dan pengenalan, maka fungsi tanggapan di sebut fungsi primer. Sebaliknya jika tanggapan-tanggapan tidak lagi disadari dan ada dalam bawah sadar itu berpengaruh terhadap kehidupan kejiwaan kita 17 Drs. H. Abu Ahmadi, Psikologi Umum, Jakarta, PT. RINEKA CIPTA, 2009, hal. 65-90 Universitas Sumatera Utara maka fungsi tanggapan itu disebut sebagai fungsi sekunder. Bilamana fungsi tersebut menyangkut pengalaman-pengalam masa lampau, yang sedikit atau banyak pasti memberikan pengaruh terhadap kepribadian seseorang.

C. Reproduksi dan Asosiasi

Reproduksi ialah pemunculan tanggapan dari keadaan di bawah sadar ke dalam keadaan sadar, ketika mengingat kembali sesuatu yang kita amati dan kita alami. Reproduksi dapat juga terjadi oleh adanya perangsang atau pengaruh dari luar, reproduksi juga muncul dengan sendirinya atau tidak dengan sengaja dan terjadi secara spontan, muncul tidak dengan sengaja. Asosiasi tanggapan ialah sangkut paut antara tanggapan saru dengan yang lain di dalam jiwa. Tanggapan yang berasosiasi berkecendrungan untuk bermereproduksi, artinya apabila yang satu disadari maka yang lain ikut disadari pula. Dalam asosiasi hanya ada satu hukum yang dikenal yaitu hukum kontiguitas. Tanggapan-tanggapan akan teasosiasi satu sama lain apabila mereka itu kontinu, berdampingan atau berbatasan satu sama lain, karena timbul bersamaan konsisten secara suksesi di dalam kesadaran. Pada proses asosiasi, bisa berlangsung hambatan emosional, berupa, rasa malu, kecemasan, rasa minder, rasa takut, yang menghambat kelancaran proses reproduksi dan asosiasi.

D. Ingatan

Ingatan ialah kekuatan jiwa untuk menerima, menyimpan, dan mereproduksi kesan-kesan. Dengan adanya kemampuan untuk mengingat pada manusia, berarti ada suatu indikasi bahwa manusia mampu menyimpan dan menimbulkan kembali sesuatu yang pernah dialami, namun tidak semua pengalaman itu dapat di ingat Universitas Sumatera Utara karena ingatan mempunyai kemampuan yang terbatas. Salah satu produk ingatan ialah mengenal kembali, apa yang kita amati sekarang ini senyatanya pernah kita alami atau amati pada masa lampau. Mengenal kembali recognize ialah kesadaran masa lampau sebagai akibat dari pengamatan dan hal ini di bantu oleh rangsangan baik dari dalam maupun dari luar diri manusia.

E. Berfikir

Berfikir merupakan aktivitas psikis yang intensional dan terjdi apabila seserang menjumpai masalah yang harus dipecahkan. Dalam berfikir seseorang menghubungkan pengertian satu dengan pengertian lainnya dalam rangka mendapatkan pemecahan masalah yang dihadapi dan berusaha menjawab pertanyaan mengapa, untuk apa, dimana, bagaimana dan lain sebagainya. Pengertian dapat dibedakan atas pengertian empiris yaitu pengalaman yang didapat dalam kehidupan sehari-hari sehingga adanya perbedaan pengalaman antara individu yang satu dengan individu yang lain. Pengertian logis biasanya di peroleh dengan aktivitas pikir dengan sadar dan sengaja, dalam memahami sesuatu, karena pengertian logis ini banyak di gunakan dalam kalangan ilmu pengetahuan maka disebut juga pengertian ilmiah.

F. Inteligensi

Intelegensi berasal dari bahasa latin intelligere yang berarti menghubungkan atau menyatukan satu sama lain. Menurut panitia istilah pedagogik yang dimaksud dengan intelegensi ialah daya menyesuaikan diri dengan keadaan baru dengan mempergunakan alat-alat berfikir menurut tujuannya Stern, Kamus Pedagogik, 1953. Jadi inndividu itu dikatakan intilegen kalau respon yang diberikan itu sesuai dengan stimulus yang diterimanya. Untuk memberikan respon Universitas Sumatera Utara yang tepat, organisme harus memiliki lebih banyak hubungan stimulus dan respon, hal tersebut dapat di peroleh dari hasil pengamatan yang diperoleh dari hasil pengalaman yang diperolehnya dan hasil respon yang telah lalu.

1.5.2. Etnis

Menurut Em Zul Fajri dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia bahwa etnis berkenaan dengan kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Sedangkan menurut Ariyuno Sunoyo dalam Kamus Antropologi, bahwa: “Etnis adalah suatu kesatuan budaya dan territorial yang tersusun rapi dan dapat digambarkan ke dalam suatu peta etnografi”. 18 Setiap kelompok memiliki batasan-batasan yang jelas untuk memisahkan antara satu kelompok etnis dengan etnis lainnya. Menurut Koentjaraningrat, konsep yang tercakup dalam istilah etnis adalah golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan kesatuan kebudayaan, sedangkan kesadaran dan identitas seringkali dikuatkan oleh kesatuan bahasa juga . 19 Ciri-ciri tersebut terdiri dari: Suku bangsa yang sering disebut etnik atau golongan etnik mempunyai tanda-tanda atau ciri-ciri karekteristiknya. 20 1. Memiliki wilayah sendiri. Hak memiliki itu diperoleh dari para pendahulu yang dianggap sebagai pemilik pertama atau terdahulu. Wilayah yang dimiliki itu penting sekali karena merpakan jaminan keabsahan dan kebenaran keanggotaan sukubangsa 2. Mempunyai struktur politik sendiri berupa tata pemerintahan dan pengaturan kekuasaan yang ada 3. Adanya bahasa sendiri yang menjadi alat komunikasi dalam interaksi. Selain alat komunikasi bahasa tersebut dianggap juga sebagai idetintas sukubangsa. Bahasa sukubangsa tersebut masih sering digunakan dalam interaksi antara anggota sukubangsa, khususnya dalam acara dan upacara kesukubangsaan, seperti upacara perkawinan, upacara kematian, dan lain-lain. 4. Mempunyai seni sendiri seni tari lengkap dengan alat-alatnya, cerita rakyat, seni ragam hias dengan pola khas tersendiri 18 Ariyuno Sunoyo, Kamus Antropologi, Jakarta, Antropologi Press, 1985. 19 Koentjaranigrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Penerbit Djambatan, 1982, hal. 58. 20 Payung Bangun, Sistem Sosial Budaya Indonesia, Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UKI, 1998, hal. 63 Universitas Sumatera Utara 5. Seni dan teknologi arsitektur serta penataan pemukiman. Berbagai bentuk rumah dan bangunan lain dapat ditemukan menunjukkan kekhasan arsitektur masing-masing sukubangsa 6. Sistem filsafat sendiri yang menjadi landasan pandangan, sikap dan tindakan. Filsafat tersebut terdapat sebagai kandungan kebudayaannya dan banyak yang merupakan nilai yang menjadi pokok orientasi mereka 7. Mempunyai sistem religi kepercayaan, agama sendiri. Etnisitas secara substansial bukan sesuatu yang ada dengan sendirinya tetapi keberadaannya terjadi secara bertahap. Etnisitas adalah sebuah proses kesadaran yang kemudian membedakan kelompok kita dengan mereka. Basis sebuah etnisitas adalah berupa aspek kesamaan dan kemiripan dari berbagai unsur kebudayaan yang dimiliki, seperti misalnya adanya kesamaan dan kemiripan dari berbagai unsur kebudayaan yang dimiliki, ada kesamaan struktural sosial, bahasa, upacara adat, akar keturunan, dan sebagainya. Berbagai ciri kesamaan tersebut, dalam kehidupan sehari-hari tidak begitu berperan dan dianggap biasa. Dalam kaitannya, etnisitas menjadi persyaratan utama bagi munculnya strategi politik dalam membedakan “kita” dengan “mereka”. 21 21 Ivan, A, Hadar, “Etnisitas dan Negara Bangsa”, Kompas, 29 Mei 2000. Menguatanya identitas kesukuan memepunyai berbagai konsekuensi. Dua jenis konsekuensi antara lain pertama, adakah menjaukan diri atau bahkan keluar dari tatanan negara bangsa dan kedua adalah berusaha mendudukkan orang sesuku dalam pemerintahan negara-bangsa, hal ini dapat kita lihat dalam realitas kehidupan sehari-hari di dalam jajran pemerintahan dari pusat hingga ke daerah dimana para pejabat lebih senang mendudukkan orang di sekitarnya yaitu orang yang seetnis atau sedaerah dengannya. Universitas Sumatera Utara

1.5.3. Perilaku Politik

Perilaku politik ialah segala perilaku yang berkaitan dengan proses politik. 22 Karakteristik sosial seperti status sosial, ekonomi, kelompok, ras, etnis, usia, jenis kelamin dan agama baik hidup dipedesaan ataupun diperkotaan termasuk dalam organisasi sukarela akan mempengaruhi perilaku politik warga negara. Ciri yang dimiliki secara kolektif yaitu memiliki perilaku pendorong dalam mempengaruhi partisipasi seseorang. Sebagaimana yang dapat dilihat dalam kampanye pemilihan umum, dalam penentuan dukungan yang diberikan dalam pemilihan, dalam pilihan keanggotaan organisasi atau partai politik dan lain sebagainya. Sedangkan Perilaku memilih berkaitan dengan tingkah laku individu dalam hubungannya dengan proses Pemilihan Umum. Menurut Plato dan Nelson menyebutkan sebagai electoral activity, yakni termasuk pemberian suara voting, bantuan kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, menarik masuk atas nama calon, atau tindakan lain yang direncanakan untuk mempengaruhi proses Pemilihan Umum. 23 22 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta, Gramedia Widiasarana Indonesia, 1992, hal.15 23 Sudijono Sastroatmojo,Op.cit., hal. 16 Mengapa seseorang melakukan tindakan politik atau terlibat efektif dalam tindakan politik tertentu dan mengapa yang lain apatis? Mengapa seseorang memilih partai politik tertentu dan tetap konsisten dari satu pemilihan umum ke pemilihan umum berikutnya sementara yang lainnya berubah-ubah pilihan politiknya dari waktu ke waktu? Sederetan pertanyaan tersebut dan lainnya yang ada akan muncul apabila kita hendak menganalisis perilaku pemilih dalam pemilihan umum. Universitas Sumatera Utara

1.5.3.1. Ruang lingkup perilaku politik

Dalam pelaksanaan pemilu di Negara ataupun dalam pelaksanaan pilkada langsung di suatu daerah, perilaku pemilih dapat berupa perilaku masyarakat dalam menentukan sikap dan pilihan dalam pelaksanaan pemilu atau pilkada tersebut hal ini jugalah yang membuat digunakannya teori perilaku politik dalam proposal penenlitian ini. Perilaku politik dapat di bagi tiga yaitu: 24 1. Perilaku politik lembaga-lembaga dan para pejabat pemerintah, yang bertanggung jawab membuat, melaksanakan dan menegakkan keputusan politik. 2. Perilaku warga negara biasa, berhak mempengaruhi pihak pemerintah dalam melaksanakan fungsinya karena apa yang dilakukan pihak pemerintah menyangkut kehidupan masyarkat luas. 3. Tipologi kepribadian pemimpin, yaitu tipe-tipe kepribadian pemimpin otoriter, Machivelist dan demokrat. Kajian terhadap perilaku politik sering kali dijelaskan dalam kajian psikologis di samping pendekatan struktural fungsional dan struktural konflik. Perilaku aktor politik seperti perencanaan, pengambilan keputusan dan penegakan keputusan dipengaruhi oleh berbagai dimensi latarbelakang yang merupakan bahan dalam pertimbangan politiknya. Demikian juga warga negara biasa dalam berperilaku politik juga dipengaruhi oleh berbagai faktor dan latar belakang.

1.5.3.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku politik

Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku politik masyarakat adalah sebagai berikut: a. Perilaku politik, faktor politik ada empat faktor yang meliputi: 1. Lingkungan sosial politik tak langsung, seperti sistem politik, sistem ekonomi, sistem budaya dan media massa. 24 Ibid hal. 132 Universitas Sumatera Utara 2. Lingkungan sosial politik langsung yang mempengaruhi dan membentuk kepribadian aktor politik seperti keluarga, agama, sekolah dan kelompok pergaulan. 3. Struktur kepribadian yang tercermin dalam sikap individu. 4. Faktor ini saling mempengaruhi aktor politik dalam kegiatan dan perilaku politiknya, baik langsung maupun tidak langsung. 25 b. Faktor sosial, yaitu: 1. Komunikasi politik Kompol, yaitu komunikasi yang mempunyai konsekuensi politik baik secara actual maupun potensial, yang mengatur kegiatan dalam keberadaan suatu konflik. 2. Kesadaran Politik, yang menyangkut minat dan pengetahuan seseorang terhadap lingkungan masyarakat dan politik. 3. Pengetahuan masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan. 4. Kontrol masyarakat terhadap kebijakan publik yakni masyarakat menguasai kebijakan publik dan memiliki kewenangan untuk mengelola suatu objek kajian tertentu. Pembentukan perilaku politik seseorang salah satunya dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan ini bisa termasuk juga lingkungan etnis seseorang itu dibesarkan. 26 25 Mar’at, Sikap Manusia, Perubahan Serta Pengukurannya, Jakarta: Gramedia Widyasarana, 1992. Hal. 132. 26 Muhammad Asfar, “Beberapa Pendekatan Dalam Memahami Perilaku Memilih”, Jurnal Ilmu Politik edisi no.16, Jakarta, PT.Gramedia Pustaka Utama,1996, hal. 47-48 Lebih lanjut lagi jika menggunakan pendekatan struktural untuk mempelajari perilaku politik seseorang akan dikaitkan dengan suku atau etnisitasnya. Hal ini juga tidak terlepas dari budaya politik yang dianut oleh etnis tertentu, sehingga untuk menjelaskan perilaku politik seseorang terlebih dahulu Universitas Sumatera Utara harus diketahui sejauh mana tingkat orientasi seseorang terhadap sistem politiknya dengan kata lain perilaku politik seseorang dapat dipahami melalui budaya politiknya. Adapun pendekatan yang dibuat penulis adalah Pendekatan Sosiologis. 27 Gerald Pomper Pendekatan ini pada dasarnya menekankan peranan faktor-faktor sosiologis dalam membentuk perilaku politik seseorang, pendekatan ini menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan sosial itu mempunyai peranan yang cukup signifikan dalam menentukan perilaku pemilih. Karakter dan pengelompokan sosial berdasarkan umur tua-muda, jenis kelamin Laki- Perempuan, status sosioekonomi seperti pendidikan, jenis pekerjaan, pendapatan dan kelas, agama, etnik, bahkan wilayah tempat tinggal misalnya kota, desa, pesisir ataupun pedalaman. 28 Dalam studi-studi perilaku pemilih di negara-negara demokrasi, agama tetap merupakan faktor sosiologis yang sangat kuat dalam mempengaruhi sikap pemilih terhadap partai politik atau kandidat. Dalam hal ini agama diukur dari afiliasi pemilih terhadap agama tertentu seperti Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, memperinci pengaruh pengelompokan sosial dalam kajian voting behavior ke dalam dua variable yaitu predisposisi kecenderungan, sosial ekonomi, dan keluarga pemilih. Sosialisasi yang diterima seseorang pada masa kecil sangat mempengaruhi pilihan politik mereka, terutama pada saat pertama kali menentukan pilihan politik. Apakah preferansi politik ayah dan ibu berpengaruh pada preferensi politik anak, sedangkan predisposisi sosial ekonomi berupa agama yang dianut, tempat tinggal, kelas sosial, karakteristik demografis dan sebagainya. Hubungan antara agama dengan perilaku pemilih nampaknya sangat berpengaruh dimana nilai-nilai agama selalu hadir di dalam kehidupan privat dan publik dianggap berpengaruh terhadap kehidupan politik dan pribadi para pemilih. Hal ini biasanya berhubungan dengan status ekonomi seseorang. 27 http:id.shvoong.comlaw-and-politics1916121-membaca-perilaku-pemilih 28 Gerald Pomper, Voter’s Choice: Varieties of American Electoral Behavior, New York : Dod, Mead Company, 1978, hal.198 Universitas Sumatera Utara Hindu, Budha. Asumsinya bahwa para pemilih yang beragama Islam akan cenderung memilih partai-partai Islam demikian juga yang beragama Kristen Protestan akan memilih Partai Kristen dan seterusnya. 29

1.5.4. Partisipasi Politik

Digunakannya teori partispasi politik ini dalamproposal penelitian ini adalah, karena tinkat partisiasi politik adalah faktor yang menentukan apakah Pemilu ataupun Pilkada yang berlangsung berhasil atau tidak, semakin tinggi tingkat partisipasi pemilih, maka tingkat keberhasilan Pemil ataupun Pilkada semakin tinggi. Dalam analisa Modern, partisipasi politik merupakan suatu masalah yang penting dan banyak dipelajari terutama dalam hubungan dengan Negara-negara berkembang. Pada awalnya studi mengenai partisipasi politik hanya memfokuskan diri pada partai politik sebagai pelaku utama, akan tetapi dengan berkembangnya demokrasi, banyak mundul kelompok masyarakat yang juga ingin berpartisipasi dalam politik khususnya mengenai kebijakan umum. 30 Herbert Mc Closky berpendapat bahwa partisipasi politik adalah kegiatan- kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum Secara umum dapat dikatakan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik. 31 Berikut ini dikemukakan sejumlah karakteristik partisipasi politik: 32 Pertama, partisipasi politik berupa kegiatan atau perilaku luar individu warga negara biasa yang dapat diamati, bukan perilaku dalam yang berupa sikap dan 29 William, Liddle dan Saiful Mujani, Politik Aliran Memudar, “Kepemimpinan Nasional Menentukan Pilihan Partai Politik”, Kompas, 1 September 2000. 30 Miriam Budiarjo, Ibid. hal. 367. 31 Miriam Budiarjo, OP Cit. 32 Ramlan Surbakti, Ibid, hal. 141 Universitas Sumatera Utara orientasi. Karena sikap dan orientasi tidak selalu termanifestasikan dalam perilakunya. Kedua, kegiatan tersebut diarahkan untuk mempengaruhi perilaku selaku pembuat dan pelaksana keputusan politik. Seperti mengajukan alternatif kebijakan umum, dan kegiatan mendukung atau menentang keputusan politik yang dibuat pemerintah. Ketiga, kegitan yang berhasil efektif maupun yang gagal mempengaruhi pemerintah termasuk dalam konsep partisipasi politik Keempat, kegiatan mempengaruhi kebijakan pemerintah secara langsung yaitu mempengaruhi pemerintah dengan menggunakan perantara yang dapat meyakikan pemerintah. Kelima, mempengaruhi pemerintah melalui prosedur yang wajar dan tanpa kekerasan seperti ikut memilih dalam pemilu, mengajukan petisi, bertatap muka, dan menulis surat atau dengan prosedur yang tidak wajar seperti kekerasan, demonstrasi, mogok kudeta, revolusi, dan lain-lain. Di negara-negara demokrasi umumnya dianggap bahwa lebih banyak partisipasi masyarakat, lebih baik. Dalam alam pikir ini, tingginya tingkat partisipasi menunjukkan bahwa warga negara mengikuti dan memahami masalah politik dan ingin melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan itu, tingginya tingkat partisipasi juga menunjukkan rezim yang sedang berkuasa memiliki keabsahan yang tinggi, dan sebaliknya, rendahnya partisipasi politik di sutu Negara dianggap kurang baik karena menunjukkan rendahnya perhatian warga terhadap masalah politik, selain itu rendahnya partisipasi politik juga menunjukkan lemahnya legitimasi dari rezim yang sedang berkuasa. Partisipasi suatu bentuk kegiatan dibedakan atas dua bagian, yaitu: 33 1. Partisipasi aktif, yaitu kegiatan yang berorientasi pad aoutput dan input politik. Yang termasuk dalam partisipasi aktif adalah, mengajukan usul mengenai suatu kebijakan yang dibuat pemerintah, mengajukan kritik dan perbaikan untuk meluruskan kebijakan, membayar pajak dan memilih pemimpin pemerintah. 2. Partisipasi pasif, yaitu kegiatan yang berorientasi pada output politik. Pada masyarakat yang termasuk kedalam jenis partisipasi ini hanya menuruti segala kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah tanpa mengajukan kritik dan usulan perbaikan. Kemudian terdapat masyarakat yang tidak termasuk kedalam kedua kategori ini, yaitu masyarakat yang mengaggap telah terjadi penyimpangan sistem politik dari apa yang telah meraka cita-citakan. Kelompok tersebut disebut apatis golput 33 Ramlan Surbakti, Ibid, hal. 143 Universitas Sumatera Utara

1.5.4.1. Konsep Partisipasi Politik

Konsep partisipasi politik menjadi penting pada masa demokrasi sekarang. Partisipasi politik dianggap sebagai prasyarat dari bangunan atau bekembangnya demokrasi. Menurut Sherman dan Kolker 1987, partisipasi politik merupakan jalan bagi massa untuk mempengaruhi atau mengontrol pemerintah. Sehingga dalam proses mempengaruhi dan mengontrol pemerintah itu, dapat dalam kelembagaan atau non kelembagaan. Weiner, mengemukakan terdapat lima penyebaba timbulnya gerakan ke arah partisipasi lebih luas dalam proses politik, yaitu sebagai berikut: 34 1. Modernisasi dalam segala bidang kehidupan yang menuntut untuk ikut dalam kekuasaan politik 2. Perubahan-perubahan struktur kelas. Masalah siapa yang berhak berpartisipasi dan pembuatan keputusan politik menjadi penting dan mengakibatkan perubahan dalam pola partisipasi politik 3. Pengaruh kaum intelektual dan komunikais massa modern. Ide demokratisasi partisipasi telah menyebar ke bangsa-bangsa baru sebelum mereka mengembangkan modernisasi dan industrialisasi yang cukup matang 4. Konflik antar kelompok pemimpin politik. Jika timbul konflik antar elit, maka yang dicari adalah dukungan rakyat. Terjadi perjuangan kelas menantang melawan kaum aristokrat yang menarik kaum buruh dan membantu memperluas hak pilih rakyat 34 Budi Suryadi, S.Sos., M.Si., Sosiologi Politik, Yogjakarta, IRCiSoD, 2007, hal. 128 Universitas Sumatera Utara 5. Keterlibatan pemerintah yang meluas dalam urusan sosial, ekonomi dan kebudayaan. Meluasnya ruang lingkup aktivitas pemerintah sering merangsang timbulnya tuntutan-tuntutan yang terorganisasi akan kesemptan untuk ikut serta dalam pembuatan keputusan politik. Kategori partisipasi politik menurut Milbrath sebagai berikut: 1. Kegitan gladiator meliput i: a. Memegang jabatan publik atau partai b. Menjadi calon pejabat c. Menghimpun dana politik d. Menjadi anggota aktif suatu partai e. Menyisihkan waktu untuk kampanye politik 2. Kegiatan transisi meliputi: a. Mengikuti rapat atau pawai politik b. Memberi dukungan dana partai atau calon c. Jumpa pejabat publik atau pemimpin politik 3. kegiatan monoton meliput i: a. Memakai simbolidentitaspartaiorganisasi politik b. Mengajak orang untuk memilih c. Menyelenggarakan diskusi politik d. Memberi suara 4. Kegiatan apatismasa bodoh Faktor-faktor yang mempengaruhi pastisipasi politik seseorang adalah: 1. kesadaran politik, yaitu kesadaran akan hak dan kewajibannya sebagai warga Negara Universitas Sumatera Utara 2. Kepercayaan politik, yaitu sikap dan kepercayaan orang tersebut terhadap pemimpinnya. Berdasarkan dua faktor tersebut, terdapat empat tipe partisipasi politik yaitu: 35 1. Partisipasi politik aktif jika kesadaran dan keprcayaan politik yang tinggi 2. Patisipasi politik apatis jika kesadaran dan kepercayaan politik yang rendah 3. Partisipasi politik pasif jika memiliki kesadaran politik rendah, sedangkan kepercayaan politiknya tinggi 4. Partisipasi politik militan radikal jika memiliki kesadaran politik tinggi, sedangkan kepercayaan politiknya rendah.

1.5.4.2. Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik

Berdasarkan perwujudannya, Huntington dan Nelson 1994, membeda- kannya ke dalam bentuk-bentuk yang berbeda jenis perilakunya, yaitu sebagai berikut: 36 1. Kegitan pemilihan mencakup suara, akan tetapi juga sumbangan-sumbangan untuk kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, mencari dukungan bagi seorang calon, atau setiap tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil proses pemilihan 2. Lobbying mencakup upaya-upaya perorangan atau kelompok untuk menghubungi pejabat-pejabat pemerintah dan pemimpin-pemimpin politik dengan maksud mempengaruhi keputusan-keputusan merekamengenai persoalan-persoalan yang menyangkut sejumlah besar orang. 3. Kegiatan organisasi menyangkut partisipasi sebagai anggota atau pejabat dalam suatu organisasi yan tujuan utama dan eksplisit adalah mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. Organisasi demikian dapat memusatkan usaha-usahanya kepada kepentingan-kepentingan yang sangat khusus atau dapat mengarahkan perhatiannya kepada persoalan-persoalan umum yang beraneka ragam. 35 Ramlan Surbakti, Ibid, hal. 144 36 Budi Suryadi, S.Sos., M.Si., Ibid, hal. 131-133 Universitas Sumatera Utara 4. mencari koneksi contacting merupakan tindakan perorangan yang ditujukan terhadap pejabat-pejabat pemerintah dan biasantadengan maksud memperoleh manfaat bagi hanya satu orang atau segelintir orang. Kegitan pemilihan, lobbying, kegiatanorganisasi, dan mencari koneksi, semuanya dapat berbentuk legal atau illegal. Penyuapan, intimidasi, dan pemalsuan hasil-hasil pemilihan, sejauh hal itu dilakukan oleh orang-orang pribadi dan bukan oleh orang-orang professional, jelas merupakan partisipasi politik, sama seperti memberikan suara, menghadiri rapat-rapat umum partai atau menempel poster-poster kampanye. 5. Tindakan kekerasan violence juga dapat merupakan satu bentuk partisipasi politik, dan untuk keperluan analisis ada manfaatnya untuk mendefenisikannya sebagai satu kategori tersendiri; artinya sebagai upaya untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah dengan jalan menimbulkan kerugian fisik terhadap orang-orang atau harta benda. Kekerasan dapat di tujukan untuk mengubah pemimpin politik kudeta, pembunuhan, mempengaruhi kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah huru-hara, pemberontakan, atau mengubah seluruh sistem politik revolusi Bentuk partisipasi politik lain dikemukakan oleh Almond 1993, yang menunjukkan macam-macam partisipasi politik yang terjadi di berbagai Negara dan berbagai waktu. Kegiatan politik “konvensional” adalah bentuk partisipasi politik “normal” dalam demokrasi modern. Bentuk “non konvensional” termasuk beberapa yang mungkin legal seperti petisi maupun illegal, penuh kekerasan, dan revolusioner. Bentuk-bentuk dan frekuensi partisipasi politik dapat dipakai sebagai ukuruan untuk menilai stabilitas sistem politik, integrasi kehidupan politik dan kepuasan atau ketidakpuasan warga negara. Universitas Sumatera Utara Tabel 1 Bentuk-bentuk partisipasi politik Konvensional Non konvensional Pemberian suara voting Diskusi politik Kegiatan kampanye Membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan Komunikasi individual dengan pejabat politik dan administrative Pengajuan petisi Berdemonstrasi Konfrontasi Mogok Tindak kekerasan politik terhadap harta-bendaperusakan, pengeboman, pembakaran Tindak kekerasan politik terhadap manusia penculikan, pembunuhan Perang gerilya dan revolusi Goel mengemukakan dengan menigndetifikasi 7 tujuh bentuk partisipasi politik secara individual, yaitu sebagai berikut: 37 1. Aphatetic inactives: individu yang tidak beraktivitas secara partisipatif, dan tidak pernah memilih 2. Passive supporters: individu yang memilih secara regularteratur, menghindari parade patriotik, membayar seluruh pajak, dan mencintai Negara 3. Contact specialist: pejabat penghubung lokal daerah, propinsi dan nasional dalam masalah-masalah tertentu 4. Communicators: individu yang mengikuti informasi-inforasi politik, terlibat dalam diskusi, menulis surat pada editor surat kabar, mengirim persan-pesan dukungan dan protes rerhadap pemimpin-pemimpin politik 5. Party and campaign workers: individu yang bekerja untuk partai politik atau kandidat, meakinkan orang lain tentang bagaimana memilih, mengadiri pertemuan-pertemuan, meyumbang uang pada partai politik atau kandidat, bergabung dan mendukung partai politik, dipilih menjadi kandidat partai politik 6. Community activists: individu yang bekerja dengan orang lain berkaitan dengan masalah-masalah lokal, membentuk kelompok untuk menangani problem-problem lokal, keanggotaan aktif dalam organisasi-organisasi kemasyarakatan, melakukan kontak terhadap pejabat-pejabat berkenaan dengan isu-isu sosial 7. Protesters: individu yang bergabung dengan demonstrasi-demonstrasi publik di jalanan, melakukan kerusuhan bila perlu, melakukan protes keras bila 37 Budi Suryadi, S.Sos., M.Si., Ibid, hal. 135-138 Universitas Sumatera Utara pemerintah melakukan sesuatu yang salahm menghadapi pertemuan-pertemuan protes, menolak mematuhi aturan-aturan. Secara prakteknya, partispasi politik warga negar di antara negara-negara berbeda-beda, hal ini terjadi karena kondisi sosial politik yang ada di negara tersebut. Namun secara umum tingkatan partisipasi warga negara diklarifikasikan berdasarkan bentuk piramida, seperti gambar di bawah ini. Gambar piramida partispasi politik Aktivis kegiatan partisipasi yang menyimpang seperti pembunuh politik, pembajak, teroris. Partisipan orang yang secara aktif ikut sebagai petugas kampanye, aktif dalam partai politikkelompok kepentingan, aktif dalam proyek- proyek sosial. Pengamat orang yang menghadiri rapat umum, anggota kelompok kepentingan, udaha meyakinkan orang, memberikan suara dalam pemilu, mendiskusikan masalah politik, perhatian pada perkembangan politik. Roth dan Wilson 1980 membagi jenis partispasi ini berdasarkan frekuensi dan intensitasnya. Menurutnya orang mengikuti kegiatan secara tidak intensif, yaitu kegiatan yang tidak banyak menyita waktu dan biasanya tidak berdasarkan prakarsa sendiri, seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, jumlah Orang yang apolitis Aktivis Partisipan Pengamat Universitas Sumatera Utara orangnya banyak. Sebaliknya, sedikit sekali jumlah orang yang secara aktif dan sepenuh waktu melibatkan diri dalan politik. Berdasar gambar diatas juga menunjukkan warga negara yang berpartisipasi politik terbagi kedalam tiga klarifikasi, yaitu aktivis, partisipan, pengamat dan orang yang apolitis. Aktivis menduduki peringkat teratas dalam piramida itu karena keterlibatannya dalam politik lebih intensif, tetapi jumlah orang yang menduduki pada posisi ini lebih sedikit. Partisipan menduduki peringkat kedua di bawah aktivis, hal ini dikarenakan keterlibatan mereka dalam politikdalam ukuran sedang, tetapi jumlah orang yang menduduki posisi ini lebih banyak dari jumlah aktivis. Pengamat menduduki peringkat ketiga di bawah partisipan, hal ini dikarenakan keterlibatan meraka dalam kegiatan politik tidak terlalu intensif, tetapi jumlah orang yang menduduki posisi ini lebih banyak di bandingkan partisipan. Terakhir yang menduduki peringkat keempat adalah orang yang apolitis, hal ini di karenakan orang yang apolitis adalah orang yang anti terhdap politik atau tidak sama sekali melibatkan diri dalam kegiatan politik. Sehingga jumlah orang yang apolitis lebih banyak dibandingkan peringkat lainnya. Dalam konteks yang sama dengan praktek partisipasi politik diatas, Rush dan Althof 2001, mengemukakan pandapatnya mengenai tingkatan partisipasi politik berdasarkan posisi hirarkis. Baginya hirarkis yang paling sederhana dan paling berarti ialah hirarki yang didasarkan atas taraf atau luasnya partisipasi, dapat dilihat pada gambar berikut. 38 38 Budi Suryadi, S.Sos., M.Si., Ibid, hal. 139 Universitas Sumatera Utara Gambar hirarki partisipasi politik Pada puncak hirarki terdapat orang-orang yang menduduki berbagai macam jabatan dalam sistem politik, baik pemegang-pemegang jabatan politik maupun anggota-anggota birokrasi pada berbagia tingkatan. Mereka dibedakan dari partisipasi politik lainnya, dalam hal, bahwa pada berbagia taraf mereka berkepentindan dengan pelaksanaan kekuasaan politik yang formal. Di bawah para pemegang atau pencari jabatan di dalam sisrem politik terdapat mereka yang menjadi anggota dari berbagai tipe organisasi politik atau semu politik. Istilah organisasi politik dimaksudkan untuk mencakup baik partai politik maupun kelompok kepentingan yang bersifat politis. Partai politik dan kelompok kepentingan dapat dinyatakan sebagai agen-agen mobilisasi politik, Menduduki jabatan politik atau administratif Mencari jabatan politik atau administratfi Keanggotaan aktif suatu organisasi politik Keanggotan pasif suatu organisasi politik Keanggotaan aktif suatu organisasi semu politik Keanggotan pasif suatu organisasi semu politik Partisipasi dalam rapat umum, demonstrasi dan sebagainya Partisipasi dalam diskusi politik informal, minat umum dalam politik Voting pemberian suara Aphati total Universitas Sumatera Utara yaitu suatu organisasi, melalaui mana anggota masyarakat dapat berpartisipasi dalam kegiatan politik yang meliputi usaha mempertahankan gagasan posisi, situasi, orang atai kelompok-kelompok tertentu, lewat sistem politik yang bersangkutan. Karena berbagai macam alasan, individu mungkin tidak termasuk dalam suatu organisasi politik atau suatu organisasi semu politik, tetapi mereka dapat dibujuk untuk berpartisipasi dalam suatu rapat umum atau demonstrasi. Kemudian suatu bentuk partisipasi politik yang sebentar-sebentar adalah bentuk diskusi politik informal oleh individu-individu dalam keluarga mereka masinh-masing, di tempat-tempat bekerja atau di antara sahabat-sahabat. Akan tetapi ada beberapa orang yang mungkin tidak mau berdiskusi politik dengan siapapun, namun demikian mungkin dia mempunyai sedikit minat dalam soal-soal politik, dan mempertahankan minat tersebut lewat media massa. Kegiatan pemberian suara dapat dianggap sebagai bentuk partisipasi politik aktif yang paling kecil, karena hal itu menuntut suatu keterlibatan minimal, yang akan berhenti jika pemberian suara telah terlaksana. Orang-orang apatis total merupakan mereka yang tidak berpartisipasi sama sekali dalam proses politik, hal ini disebabkan oleh pilihan individu atau karena faktor di luar kontrol individu.

1.5.5. Pemilu dan Sistem Pemilu

Pemilihan umum adalah mekanisme pergantian kepemimpinan nasional yang secara demokratis melibatkan seluruh masyarakat di suatu negara. Begitu bermaknanya pemilihan umum bagi semua orang, maka pemilihan yang menjadi indikator demokratisnya suatu negara. Untuk menjaga kelangsungan penyelenggaraan pemerintahan yang dibentuk melalui mekanisme pemilihan Universitas Sumatera Utara umum, maka keterlibatan masyarakat sangat dibutuhkan sebagai energi demokrasi itu sendiri. Pemilihan umum dengan makna demokrasinya adalah tempat berkompetisinya partai politik yang secara umum dapat menjadi tempat pembelajaran bagi elit dan komponen bangsa lainnya. Selain itu, pemilihan umum juga terkait dengan peran serta masyarakat dalam memberikan dukungan kepada kandidat dan partai politik yang ada. 39

1.5.5.1. Sistem Pemilu

Di negara-negara yang demokratis pemilihan umum merupakan alat untuk memberikan kesempatan kepada rakyat untuk ikut serta mempengaruhi kebijak- sanaan pemerintah dan sistem politik yang brelaku. Dengan hal itu pula, pemilih- an tetaplah merupakan partisipasi politik rakyat. Penyelenggaraan pemilihan umum Pemilu merupakan unsur yang harus ada dalam pemerintahan demokrasi. Pemilihan umum di negara demokrasi dapat dipandang sebagai awal dari paradigma demokrasi. Di samping unsur pemilihan umum, di negara demokrasi juga harus ada unsur pertanggungjawaban kekuasaan. Secara umum ada dua sistem pelaksanaan pemilihan umum yang dipakai yaitu sebagai berikut:

1. Sistem Distrik

Sistem ini diselanggarakan berdasarkan lokasi daerah pemilihan, dalam arti tidak membedakan jumlah penduduk, tetapi tempat yang sudah ditentukan. Jadi daerah yang sedikit penduduknya memiliki wakil yang sama dengan daerah yang padat penduduknya. Oleh karena itu sudah tentu banyaknya jumlah suara yang 39 Ibid., hal.16. Universitas Sumatera Utara terbuang di satu pihak tetapi malah menguntungkan pihak yang renggang penduduknya. Biasanya satu distrik hanya di wakili oleh seorang wakil saja single member consistuency. Keuntungan lain dari pelaksanaan sistem distrik adalah layanan terhadap konstituen, dalam hal ini anggota-anggota lokal berada dalam dewan terutama untuk mewakili distrik yang memilih mereka dan membawa keuntungan untuk serta melayani distrik tersebut. Mayoritas negara-negara berkembang, misalnya layanan lokal sangat diperlukan untuk jalan raya, pemeliharaan kesehatan dan sebagainya. Oleh sebab itu muncul argumentasi yang mengatakan bahwa seorang anggota dewan yang mewakili kepentingan suatu distrik lebih penting daripada seseorang yang kesetiaan utamanya diberikan kepada partainya sendiri.

2. Sistem Proporsional

Sistem ini didasari oleh jumlah penduduk yang akan menjadi peserta pemilu. Misalnya setiap 400.000 penduduk pemilih memperoleh 1 wakil suara berimbang, sedangkan yang dipilih adalah kelompok orang yang diajukan kontestan pemilu. Jumlah kursi yang diperoleh sesuai dengan jumlah suara yang diperoleh. Wilayah negara dibagi-bagi ke dalam daerah-daerah tetapi batas- batasnya lebih besar daripada batas sistem distrik. Kelebihan suara dari jatah satu kursi bisa dikompensasikan dengan kelebihan daerah lain. Terkadang, dikombinasikan dengan sistem daftar list system, dimana daftar calon disusun berdasarkan peringkat. Universitas Sumatera Utara

1.5.5.2. Pemilihan Kepala Daerah

Pemerintah Indonesia mengharapkan bahwa pembentukan, pembagian, penggabungan dan penghapusan sebuah daerah akan memberi dampak bagi meningkatnya kesejahteraan masyarakat, melalui pelayanan yang lebih baik, kehidupan demokratis yang semakin berkembang, pertumbuhan ekonomi yang semakin cepat, keamanan dan tatanan yang semakin bagus serta hubungan yang selaras antar daerah. Desentralisasi di Indonesia dilakukan antara lain karena memberikan janji untuk memberikan pelayanan publik yang lebih baik; pendidikan dasar, pemeliharaan kesehatan dasar, penyediaan air, sanitasi, and pelayanan publik lainnya seperti penyediaan kartu penduduk. UUD memberikan sejumlah hak-hak penting terkait dengan pelayanan dasar. UU 322004 tentang pemerintah daerah dan peraturan sektoral memberikan perincian yang lebih luas mengenai hasil yang diharapkan dari pemberian pelayanan dasar ini. Pemerintah daerah diberi mandat untuk meningkatkan pelayanan dan membuat terobosan inovatif dalam hal kualitas, efisiensi dan pertanggungjawaban. Sektor swasta juga diharapkan bisa berinvestasi dalam pelayanan dasar ini dan menggabungkannya dengan pemerintah daerah. Karena kecewa atas hubungan antara DPRD dan Kepala Daerah sesudah terjadinya reformasi pada tahun 1999, negara menyeimbangkan kembali hubungan tersebut dengan menata pola pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD serta dengan memberikan dasar politis yang lebih independen kepada Kepala Daerah melalui pemilihan langsung. Saat ini kedua lembaga Universitas Sumatera Utara penting di daerah ini diharapkan dapat mengartikulasikan dan menyatukan keinginan komunitas dan rakyat dengan lebih baik. Dalam UU 322004, pertanggungjawaban politis di daerah meliputi pertanggungjawaban Kepala Pemerintahan Daerah GubernurBupatiWalikota baik kepada konstituen melalui pemilihan langsung mulai Juni 2005 dan kepada DPRD. Juga diperbaharui dalam UU 322004 ini adalah pertanggungjawaban ke atas dalam bentuk laporan dari kepala Pemerintahan kabupatenkota kepada Gubernur dan Menteri Dalam Negeri, yang meliputi aspek teknis dan administratif. Pengaturan kembali ini menunjukkan perubahan mendasar dari pendekat-an yang termuat dalam UU 221999, dimana DPRD memegang peranan penting dalam mewakili rakyat dan dalam memilih kepala daerah. Perubahan ini dirasa perlu karena adanya kecurigaan meluas bahwa anggota DPRD, dan partai-partai politik, menyalahgunakan wewenang mereka dengan “menjual” jabatan kepala daerah ke orang yang bisa membayar paling tinggi. Dalam peraturan yang baru, pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat diusulkan ke KPUD oleh partai-partai politik atau gabungan partai politik yang sudah mencapai ambang tertentu. Peraturan baru ini juga mendorong partai untuk membuka pencalonan kepada calon baik dari kalangan partai sendiri atau dari masyarakat luas. Kepala Pemerintah Daerah melaporkan tugas dan kewajibannya kepada DPRD, pemerintah pusat dan ke masyarakat luas melalui mekanisme pelaporan berkala. DPRD juga dapat meminta para Kepala Pemerintahan Daerah untuk bertanggungjawab melalui pelaksanaan fungsi pengawasan, terutama terkait Universitas Sumatera Utara dengan pelaksanaan program dan proyek yang didanai lewat APBD, dan pelaksanaan peraturan daerah. Pemilihan Kepala Daerah ini diatur dalam Undang-Undang tentang pemerintahan daerah yakni Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan digantikan sertah di sahkan oleh Presiden menjadi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan di revisi menjadi Undang-Undang No. 12 Tahun 2008. Sebagian isi Undang-Undang ini berisi prosedur dan mekanisme pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung oleh rakyat. Pada hakekatnya pemilihan umum merupakan cara dan sarana yang tersedia bagi rakyat untuk menentukan wakil-wakilnya yang akan duduk di lem-baga pemerintahan guna menjalankan kedaulatan rakyat, maka dengan sendirinya terdapat berbagai sistem pemilihan umum. Perbedaaan sistem pemilihan umum ini banyak tergantung pada dimensi dan pandangan yang ditujukan terhadap rakyat. Pertama, apakah rakyat dipandang sebagai individu yang bebas untuk menentukan pilihannya dan sekaligus dapat mencalonkan dirinya sebagai calon wakil rakyat. Kedua, apakah rakyat hanya dipandang sebagai anggota kelompok yang sama sekali tidak berhak untuk menentukan siapa wakilnya yang akan duduk dalam lembaga pemerintahan dan dia tidak berhak mencalonkan diri sebagai wakil rakyat. Dari perbedaan dimensi dan pandangan diatas, maka sistem pemilihan umum dapat di bedakan menjadi sistem pemilihan mechanis dan sistem pemilihan organis. Pandangan Mechanis menempatkan rakyat sebagai suatu massa individu- individu yang sama sebagai satu kesatuan otonom dan memandang masyarakat sebagai kompleks hubungan yang bersifat kontraktuil. Berbeda dengan pandangan Universitas Sumatera Utara organis yang menempatkan rakyat sebagai sejumlah individu-individu yang hidup bersama dalam berbagai macam persekutuan hidup berdasarkan geneologis, fungsi tertentu, lapisan sosial dan lembaga-lembaga sosial. 40

1.6. Metodologi Penelitian

Kajian ilmu sosial terhadap satu fenomena sosial sudah tentu membutuhkan kecermatan. Sebagai suatu ilmu tentang metodologi atau tata cara kerja, maka metodologi adalah pengetahuan tentang tata cara mengkonstruksi bentuk dan instrumen penelitian. Konstruksi teknik dan instrument yang baik dan benar akan mampu menghimpun data secara objektif, lengkap dan dapat dianalisa untuk memecahkan suatu permasalahan. Menurut Antonius Birowo, metodologi akan mengkaji tentang proses penelitian yaitu bagaimana penelitian berusaha menjelaskan apa yang diyakini dapat diketahui dari masalah peneltian yang akan dilakukan. 41

1.6.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Bogdam Taylor mengungkapkan bahwa “ metodologi kualitatif” sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau tulisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. 42 40 Arifin Rahman, Sistem Politik Indonesia; Dalam Perspektif Struktural Fungsional, Surabaya, SIC, 1998, hal. 195 41 Antonius Birowo, Metode Penelitian Komunikasi, Yogyakarta, Gintayali, 2004, hal. 71-72 42 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rodakarya, 1994, hal. 3 Penelitian kualitatif dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan atau proses penjaringan informasi, dari kondisi sewajarnya dalam kehidupan suatu objek, dihubungkan dengan pemecahan masalah, baik dari sudut pandang teoritis maupun praktis. Universitas Sumatera Utara Secara khusus penelitian deskriptif yang penulis gunakan dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah dengan menggambarkan keadaan objek penelitian berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Fakta- fakta atau data yang akan dikumpulkan, diklasifikasikan dan kemudian akan dianalisa. Pada penelitian deskriptif, penulis memusatkan perhatian pada penemuan fakta-fakta sebagaimana keadaan yang seharusnya ditemukan. Karena itu dalam penelitian ini, penulis mengembangkan konsep dan menghimpun berbagai fakta, tetapi tidak melakukan pengujian hipotesa. 43

1.6.2. Populasi dan Sampel

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas: objeksubjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan ditarik kesimpulannya. Jadi populasi bukan hanya orang, tetapi juga objek dan benda-benda alam yang lain. Populasi juga bukan sekedar jumlah yang ada pada objeksubjek yang dipelajari, tetapi meliputi seluruh karakteristiksifat yang dimiliki oleh subjek atau objek tersebut. Sedangkan sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Bila populasi besar, dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi, misalnya karena keterbatasan dana, tenaga dan waktu, maka peneliti dapat menggunakan sampel yang diambil dari populasi itu, untuk itu sampel yang diambil harus betul-betul representatif mewakili. 44 Dalam penelitian ini digunakan teknik Purposive Samplin, yaitu terdapatnya keriteria-keriteria yang perlu dilakukan ataupun dibuat batasan-batasan 43 Ibid, hal. 6. 44 Prof. Dr. Sugioyo, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan RD, Bandung, CV. ALFABETA, 2008, hal. 80-81. Universitas Sumatera Utara berdasarkan tujuan-tujuan tertentu sehingga sesuai dengan sumberdaya yang tersedia namun tetap mencapai jumlah sampel yang ditetapkan. Batasan-batasan yang dimaksud pada Purposive Sampling disini adalah bahwa sampel-sampel yang dikumpulkan adalah Etnis Batak Toba yang merupakan penduduk Kecamatan Berastagi dan terdaftar sebagai pemilih pada pemilihan kepala daerah Kabupaten Karo. Jumlah populasi dalam penelitian ini adalah sebanyak 6808 orang. 45 1 . 2 + = d N N n Alasan memilih etnis Batak Toba sebagai populasi karena skripsi ini akan meneliti persepsi, perilaku dan preferensi golongan minoritas di dalam kegiatan politik yang di selenggarakan di dalam masyarakat yang mayoritas homogen. Selain faktor diatas salah satu pasangan calon ada yang berasal dari suku Batak Toba yang bersaing secara terbuka pada pemilihan umum Kepala Daerah dan yang selebihnya adalah homongen dari penduduk mayoritas. Dari populasi di tentukan sebanyak 98 orang sebagai sampel dengan cara menggunakan teknik pengambilan sampel Taro Yamane yang menggunakan rumus sebagai berikut: n = jumlah sampel N = jumlah populasi d = presisi, ditetapkan 10 dengan derajat kepercayaan 90 Maka dengan rumus diatas sampel dalam penelitian ini dicapai sebagai berikut: 1 1 . . 6808 6808 2 + = n 45 KPUD Kab. Karo Universitas Sumatera Utara 1 08 . 68 6808 + = n 08 . 69 6808 = n 55 . 98 = n

1.6.3. Lokasi Penelitian

Adapun lokasi penelitian yang penulis lakukan di Kecamatan Berastagi. Pemilihan lokasi penelitian ini didasarkan pada pertimbangan bahwa di Berastagi masyarakat etnis Batak Toba sudah mempunyai sejarah yang lama sejak jaman kolonial Belanda, etnis Batak Toba tersebut sudah ada dan membaur dengan masyarakat dan menetap di perkampungan penduduk lokal, hal itu berdasarkan informasi dari orang tua yang saya dapatkan. Kecamatan Berastagi merupakan daerah yang merupakan salah satu kecamatan dengan jumlah terbanyak penduduknya. beraneka ragam suku baik etnis Batak Toba, Karo, Jawa, Melayu, Nias dan sebagainya dengan bidang pekerjaan yang berbeda pula baik petani, pedagang, buruh tani, guru, pegawai pemerintahan, pegawai kesehatan, masyarakat dengan keaneka ragaman itu hidup berbaur baik di desa-desa dan kelurahan-kelurahan yang ada di Berastagi.

1.6.4. Teknik Pengumpulan data

Untuk memperoleh data atau informasi, keterangan-keterangan atau fakta- fakta yang diperlukan, maka penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut: 1. Data Primer: yaitu penelitian lapangan field research, yaitu pengumpulan data dengan terjun langsung ke lokasi penelitian, dengan cara: Universitas Sumatera Utara a. Kuisionerangket, yaitu suatu cara pengumpulan data dengan meyebarkan angketkuisioner yang berisi daftar pertanyaan kepada responden. b. Wawancara, yaitu suatu cara pengumpulan data dengan dialog langsung dengan responden yang berhubungan dengan objek penelitian guna melengkapi data yang kurang jelas pada kuisionerangket. 2. Data Sekunder: yaitu penelitian kepustakaan library Research, yaitu mempelajari buku-buku, peraturan-peraturan, laporan-laporan serta bahan- bahan lain yang berhubungan dengan penelitian.

1.6.5. Teknik Analisa Data

Dalam penelitian ini digunakan adalah jenis analisa data kualitatif, dimana analisa data seperti ini banyak dipergunakan dalam penelitaian deskriktif, yaitu : suatu metode yang lebih didasarkan kepada pemberian gambaran yang terperinci yang mengutamakan penghayatan dan berusaha memahami suatu peristiwa dalam situasi tertentu menurut pandangan peneliti. 46

1.7. Sistematika Penulisan

Kemudian data yang ada dikelompokkan dan disajikan dalam bentuk tabel-tabel dan uraian-uraian. Jadi penulis hanya menganalisa dengan cara menggambarkan data yang diperoleh dengan mengadakan atau memberi interpretasi. Untuk mendapatkan gambaran yang terperinci, dan untuk mempermudah isi skripsi ini, maka penulis membagi dalam empat 4 bab. Untuk itu disusun sistematika sebagai berikut: 46 Hadari Nawawi, ibid, hal. 40 Universitas Sumatera Utara

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini akan membahas tentang Latarbelakang, Pembatasan Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka Teoritis, Metodologi Penelitian, Perilaku Politik, Pemilihan Umum, Metodologi Penelitian, Jenis Penelitian, Lokasi Penelitian, Populasi dan Sampel, Teknik Pengambilan Data, Teknik Pengumpulan Data.

BAB II : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini menguraikan tentang gambaran umum lokasi penelitian yaitu kondisi goegrafis, kondisi sosial, kondisi ekonomi, budaya serta sistem pemerintahan di Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo.

BAB III : PENYAJIAN DAN ANALISA DATA

Bab ini berisi penyajian data-data yang telah diperoleh dari lapangan dan juga analisa dari data-data tersebut. Bab ini terdiri dari mekanisme dan sistem pilkada di Kelurahan Gundaling I Kecamatan Berastagi, latar belakang konflik, proses konflik dalam pilkada, dampak konflik bagi masyarakat serta pemerintahan dan resolusi konflik.

BAB IV : PENUTUP

Bab ini merupakan bab terakhir yang berisikan kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian serta tedapat saran-saran yang terdapat didalamnya setelah melakukan penelitian. Universitas Sumatera Utara