sayraf yang layak. Secara keseluruhan, kemampuan persepsi kita ditanamkan dan tergantung pada pengalaman.
14
1.5.1.1. Pengaruh Psikologi dan Budaya
Fakta bahwa beberapa proses persepsi tampak sebagai kemampuan bawaan tidak berarti bahwa orang-orang mempersepsikan dunia dalam cara-cara yang
sama. Faktor-faktor psikologis kita dapat mempengaruhi bagaimana kita mempersepsikan serta apa yang kita persepsikan. Berikut ini adalah beberapa
faktor yang memepengaruhi.
15
1. Kebutuhan. Ketika kita membutuhkan sesuatu, atau memiliki
ketertarikan pada suatu hal, atau mengingikannya, kita akan dengan mudah mempersepsikan sesuatu berdasatkan kebutuhan ini.
2. Kepercayaan. Apa yang kita anggap sebagai benar dapat mempengaruhi
interpretasi kita terhadap sinyal sensorik yang ambigu 3.
Emosi. Emosi dapat mempengaruhi interpretasi kita mengenai suatu informasi sensorik.
4. Ekspektasi. Pengalaman masa lalu sering mempengaruhi cara kita
mempersepsikan dunia Lachmann, 1996. Kecendrungan untuk mempersepsikan sesuatu sesuai dengan harapan disebut sebagai set
persepsi. Set persepsi dapat sangat berguna membantu kita mengisi kata-kata dalam sebuah kalimat, misalnya, sebelum kita sepenuhnya
mendengarkan keseluruhan kalimat tersebut. Tetapi set persepsi juga dapat menyebabkan terjadinya kesalahan persepsi.
14
Ibid, hal. 226-228
15
Op Cit, hal. 228
Universitas Sumatera Utara
Semua kebutuhan, kepercayaan, emosi, dan ekspektasi kita di pengaruhi oleh budaya di mana kita tinggal. Budaya yang berbeda memberikan kita
kesempatan untuk bertemu dengan lingkungan yang berbeda. Budaya juga mempengaruhi persepsi dengan membentuk streotip, yang mengarahkan perhatian
kita, dan mengatakan pada diri kita apa yang penting untuk disadari atau diabai- kan.
1.5.1.2. Persepsi Menurut Psikologi Lingkungan Hidup
Menurut undang-undang No. 41982 tentang lingkungan hidup, yang dimaksud dengan lingkungan hidup adalah
16
Penjelasan mengenai bagaimana manusia mengerti dan menilai lingkungan dapat didasarkan pada dua cara pendekatan, pendekatan pertama adalah yang
dinamakan pandangan konvensional. Secara umum, pandangan konvensional ini menganggap persepsi sebagai kumpulan pengindraan, maka kumpulan
pengindraan itu diorganisasikan secara tertentu, dikaitkan dengan pengalaman masa dan ingatan masa lalu, dan diberi makna tertentu sehingga kita bisa
mengenal. Cara pandang seperti ini dinamakan juga pendekatan konstruktivisme. :
Kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan mahluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelang-
sungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya.
Dalam kenyataannya, lingkungan hidup itu terdiri atas objek-objek yang harus ditangkap keberadaannya melalui indra-indra, seperti indra penglihatan
menangkap cahaya dan benda-benda, indra pendengaran menangkap gelombang suara, indra pengecap menangkap rasa, dan indra temperatu menangkap suhu
udara. Pengindraan itu tidak berdiri sendiri melainkan merupakan kombinasi dari berbagai alat indra.
16
Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Lingkungan, Jakarta: Grasindo, 1992, hal. 45
Universitas Sumatera Utara
Aktivitas mengenali objek atau benda itu sendiri adalah aktivitas mental, yang disebut juga sebagai aktivitas kognisi. Jadi, sebetulnya otak tidak secara pasif
menggabung-gabungkan kumulasi pengalaman dan memori, melainkan aktif untuk menilai, memberi makna, dan sebagainya. Karena adanya fungsi aktif dari
kesadaran manusia, pandangan konvensional ini kadang-kadang digolongkan juga kepada pandangan funsionalisme.
Pendekatan kedua adalah pendekatan ekologik. Pendekatan ini di kemukakan oleh Gibson Fisher et al¸1984:24. Menurut Gibson individu tidaklah
menciptakan makna-makna dari apa yang diindrakannya karena sesungguhnya makna itu telah terkandung dalam stimulus itu sendiri dan tersedia untuk
organisme yang menyerapnya. Ia berpendapat bahwa persepsi terjadi secara spontan dan langsung. Jadi, bersifat holistik. Spontanitas itu terjadi karena
organisme selalu menjejaki eksplorasi lingkungannya dan dalam penjejekan itu ia melibatkan setiap objek yang ada du lingkungannya dan setiap objek menonjol-
kan sifat-sifatnya yang khas dan untuk organisme bersangkutan. Proses terbentuknya suatu persepsi bahwa manusia mengindrakan objek
yang ada lingkungannya, ia memproses pengindraannya itu dan timbulah makna tentang objek itu pada diri manusia. Tahapan awal hubungan manusia dengan
lingkungannya adalah kontak fisik antara individu dengan objek-objek lingkungannya. Objek tampil dengan kemanfaatannya masing-masing, sedangkan
individu datang dengan sifat individualnya, pengalaman masa lalunya, bakat, minat, sikap, dan berbagai cara kepribadiannya masing-masing pula. Hasil
interaksi individu dengan objek menghasilkan persepsi individu tentang objek itu. Jika persepsi itu berada dalam batas-batas opitmal maka individu dikatakan dalam
Universitas Sumatera Utara
keadaan homeostatis, yaitu keadaan yang serba seimbang. Keadaan ini biasanya ingin dipertahankan oleh individu karena menimbulkan perasaan-perasaan
menyenangkan. Sebaliknya, jika objek dipersepsikan sebagai di luar batas-batas optimal maka individu itu akan mengalami stress pada dirinya.
Tekanan-tekanan energi dalam dirinya meningkat sehingga orang itu harus melaksanakan coping untuk menyesuaikan dirinya atau menyesuaikan lingkungan
pada kondisi dirinya. Sebagai hasil coping ada dua kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, tingkah laku coping itu tidak membawa hasil seperti yang di-
harapkan. Gagalnya tingkah laku coping ini menyebabkan stress berlanjut dan dampaknya dapat stress berlanjut dan dampaknya bisa berpengaruh pada kondisi
individu maupun persepsi individu. Kemungkinan kedua, tingkah laku coping yang berhasil. Dalam hal ini terjadi penyesuaian antara diri individu dengan
lingkungannya atau penyesuaian keadaan lingkungan dengan pada diri individu. Dampak dari keberhasilan ini juga bisa mengenai individu maupun persepsinya.
Jika dampak coping yang berhasil berulang-ulang maka kemungkinan terjadi penurunan tingkat toleransi terhadap kegagalan atau kejenuhan. Di samping itu
terjadi peningkatan kemampuan untuk menghadapi stimulus berikutnya. Kalau efek kegagalan terjadi berulang-ulang kewaspadaan akan meningkat. Namun,
pada satu titik akan terjadi ganguan mental yang lebih serius seperti keputusasaan, kebosanan persaan tidak berdaya, dan menurunya prestasi sampai pada titik
terendah.
Universitas Sumatera Utara
1.5.1.3. Pengenalan Kognisi A. Pengindraan dan Pengamatan