Kerjasama dalam Kelembagaan Lahan

Sistem kelembagaan merupakan suatu sistem yang kompleks, rumit, abstrak, mencakup ideolgi, hukum, adat istiadat, aturan, kebiasaan yang tidak terlepas dari sistem perilaku dan lingkungan. Institusi sangat penting dalam pembangunan nasional mengingat kontribusinya yang besar dalam memecahkan masalah-maslah dalam pembagunan. Institusi merupakan inovasi manusia untuk mengatur atau mengontrol independensi antara manusia terhadap sesuatu, kondisi atau situasi seperti hak pemilikan, aturan representasi dan batas juridiksi. Pakpahan 1990 memberi batasan bahwa kelembagaan institution adalah suatu sistem organisasi yang dapat mengontrol sumberdaya. Dalam proses pembagunan institusi dapat mengkoordinasi pemilik input dalam proses produksi. Pemilk input tersebut dapat secara individu, organisasi, pemerintah dan lain-lain. Menurut Anwar 1997, bahwa pengertian hak-hak milik bersama atas suatu sumberdaya seperti lahan tidak identik dengan kedaan lahan yang tidak ada yang punya open acces, karena pada keadaan common resource, masih ada kelembagaan istitusion yang mengatur hak-hak secara bersama musyawarah adat, termasuk pengaturan hak-hak garap, hak pengambilan hasil dari hutan diatas lahan komunal tersebut, sehingga pada keadaan common resource, kelestarian sumberdaya masih dapat dipelihara. Kerusuhan sosial dapat muncul jika individu-individu kehilangan hak-hak atas lahan mereka, khususnya kepada yang bukan anggota masyarakat setempat. Namun, ketika teknologi sudah maju dan limpahan tenaga kerja dan aset produksi lainnya berbeda diantara rumah tangga, maka keterbatasan dari aturan transfer atas hak milik lahan dapat memberikan pengaruh buruk terhadap produktivitas. Pertimbangan efisiensi selanjutnya akan memotivasi perubahan baik aturan perundangan maupun tatanan kelembagaan berkaitan dengan hak-hak atas lahan Feder dan Feeney1993. Kelembagaan pedesaan dapat berupa kelembagaan penguasaan lahan, kelembagaan hubungan kerja dan kelembagaan perkreditan Kasryno1984. Kurang berkembangnya ekonomi pasar di pedesaan, maka hubungan kelembagaan ini memegang peranan penting dalam transaksi, baik untuk faktor produksi maupun untuk produksi. 2.4Pengertian dan Penyebab Kemiskinan. Pemahaman tentang definisi kemiskinan mutlak untuk dipahami, agar persepsi dan interpretasi tentang kemiskinan tidak multitafsir serta dalam intervensi kebijakan tidak salah sasaran. Secara umum kemiskinan adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompoknya dan tidak mampu memanfaatkan tenaga, mental, dan pikirannya dalam kelompok tersebut TKPK 2006 dan SNPK 2005. Dalam RPJM Nasional kemiskinan di definisikan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam, dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik perempuan maupun laki-laki. Sedangkan kemiskinan ketertinggalan wilayah ditentukan oleh ketersediaan infrastruktur bagi penduduk di wilayah bersangkutan. Selain dari itu, Sumodiningrat 2005 menyebutkan bahwa masyarakat miskin secara umum ditandai oleh beberapa hal sebagai berikut: 1. Ketidakberdayaan atau ketidakmampuan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar seperti pangan dan gizi, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan basic need deprivatiori. 2. Ketidakberdayaan dan ketidakmampuan melakukan kegiatan usaha produktif unproduetiveness. 3. Ketidakmampuan menjangkau sumberdaya sosial dan ekonomi inaccecibilty. 4. Ketidakberdayaan dan ketidakmampuan menentukan nasib dirinya sendiri serta senantiasa mendapat perlakuan diskriminatif, mempunyai perasaan ketakutan dan kecurigaan, serta sikap apatis; dan 5. Membebaskan diri dari mental dan budaya miskin serta senantiasa merasa mempunyai martabat dan harga diri yang rendah no freedom for poor. Di sisi lain, Chambers 2001 mengatakan bahwa kemiskinan adalah suatu integrated concept yang memiliki lima dimensi, yaitu: 1 kemiskinan itu sendiri proper , 2 ketidakberdayaan powerless, 3 kerentanan menghadapi situasi darurat state of emergeney, 4 ketergantungan dependence, dan 5 keterasingan isolation baik secara geografis maupun sosiologis. Sedangkan Masoed 1997 membedakan kemiskinan menjadi dua jenis, yaitu kemiskinan alamiah dan kemiskinan buatan artificial . Kemiskinan alamiah berkaitan dengan kelangkaan sumberdaya alam dan prasarana umum, serta keadaan tanah yang tandus. Kemiskinan buatan lebih banyak diakibatkan oleh sistem modernisasi atau pembangunan yang membuat masyarakat tidak dapat menguasai sumberdaya, sarana, dan fasilitas sosial ekonomi yang ada secara merata. Di Indonesia, pengertian kemiskinan didasarkan pada pengertian yang ditetapkan berdasarkan kriteria dari tiga institusi BPS 2008 yaitu: 1. Kriteria BPS , kemiskinan adalah suatu kondisi seseorang yang hanya dapat memenuhi makannya kurang dari 2.100 kalori per kapita per hari. Datakemiskinan yang digunakan oleh BPS terdiri dari data Susenas dan untuk menyalurkan Bantuan Langsung Tunai BLT. Data Susenas merupakan data yang bersifat makro, data ini hanya menunjukkan jumlah agregat dan persentase penduduk miskin, tetapi tidak dapat menunjukkan siapa, dimana alamatnya secara rinci, data ini hanya digunakan untuk mengevaluasi pertambahanpengurangan jumlah penduduk miskin. Sedangkan untuk menyalurkan BLT dalam rangka kompensasi BBM, sifatnya mikro yang dapat menunjukkan nama kepala keluarga yang berhak menerima BLT dan lokasi tempat tinggalnya. Sedangkan untuk mengukur kemiskinan dengan menggunakan kebutuhan dasar makanan setara 2.100 kalori per kapita per hari dan bukan makanan variabel kuantitatif, penentuan rumah tangga penerima BLT didasarkan pada pendekatan karakteristik rumah tangga dengan menggunakan 14 variabel kuantitatif penjelas kemiskinan. Ke 14 variabel yang digunakan adalah luas lantai per kapita, jenis lantai, jenis dinding, fasilitas tempat buang air besar, sumber air minum, sumber penerangan, bahan bakar, membeli daging, ayamsusu, frekuensi makan, membeli pakaian baru, kemampuan berobat, lapangan usaha kepala rumah tangga, pendidikan rumah tangga, dan asset yang dimiliki rumah tangga. 2. Kriteria BKKBN, kemiskinan adalah keluarga miskin prasejahtera, apabila memenuhi kriteria berikutBPS 2008 : a. Tidak dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya. b. Seluruh anggota keluarga tidak mampu makan dua kali sehari c. Seluruh anggota keluarga tidak memiliki pakaian berbeda untuk di rumah, bekerjasekolah dan bepergian. d. Bagian terluas dari rumahnya berlantai tanah. e. Tidak mampu membawa anggota keluarga ke sarana kesehatan. 3. Kriteria Bank Dunia, kemiskinan adalah keadaan tidak tercapainya kehidupan yang layak dengan penghasilan US 1,00 per kapita per hari BPS 2008. Ketiga kriteria tersebut di atas, belum mampu menunjukkan rumah tangga miskin dengan tepat dan benar, sehingga seringkali menyulitkan pelaksana dalam implementasi kebijakan penanggulangan kemiskinan. Banyaknya komplain dan reaksi yang menolak beberapa program dan kegiatan merupakan bukti lemahnya sistem pendataan yang dilakukan selama ini, terutama dalam penyaluran bantuan yang sifatnya sementara seperti bantuan langsung tunai BLT. Beberapa lembaga seperti Smeru dan Komite Penanggulangan Kemiskinan Nasional mendorong pemerintah daerah untuk menentukan kriteria kemiskinan yang sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. Namun demikian, dalam prakteknya sangat sedikit pemerintah daerah kabupatenkota di Indonesia yang melakukan kreativitas terkait dengan kriteria kemiskinan tersebut. Selanjutnya, penyebab kemiskinan di masyarakat khususnya di daerah perdesaan disebabkan oleh keterbatasan asset yang dimiliki Suryawati 2005, yaitu: a. Natural assets; seperti tanah dan air, karena sebagian besar masyarakat desa hanya menguasai lahan kurang memadai untuk mata pencahariannya. b. Human assets; menyangkut kualitas sumberdaya manusia yang relatif masih rendah dibandingkan masyarakat perkotaan tingkat pendidikan, keterampilan maupun tingkat kesehatan dan penguasaan teknologi. c. Physical assets; minimnya akses ke infrastruktur dan fasilitas umum seperti jaringan jalan, listrik, dan komunikasi di perdesaan. d. Financial assets; berupa tabungan saving serta akses untuk memperoleh modal usaha. e. Social assets; berupa jaringan, kontak dan pengaruh politik, dalam hal ini kekuatan bargaining position dalam pengambilan keputusan-keputusan politik. Namun demikian, secara umum penyebab kemiskinan dapat dikategorikan dalam tiga bentuk, antara lain Makmun 2003 : 1. Kemiskinan Struktural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh hal-hal yang berhubungan dengan kebijakan, peraturan maupun lembaga yang ada di masyarakat sehingga dapat menghambat peningkatan produktivitas dan mobilitas masyarakat. 2. Kemiskinan Kultural, yaitu kemiskinan yang berhubungan dengan adanya nilai nilai yang tidak produktif dalam masyarakat, tingkat pendidikan yang rendah, kondisi kesehatan dan gizi yang buruk; dan 3. Kemiskinan alamiah, yaitu kemiskinan yang ditunjukkan oleh kondisi alam maupun geografis yang tidak mendukung, misalnya daerah tandus, kering, maupun keterisolasian. Sedangkan Chronic Poverty Research Centre CPRC dalam Shepherd 2007 menggambarkan kategorisasi dinamika kemiskinan menjadi tiga bagian yaitu meliputi: selalu miskin dan biasa miskin chronically poor kemiskinan transisional meliputi kemiskinan yang fluktuatif dan kadang-kadang miskin transitorily poor, dan tidak miskin non-poor. Penduduk yang berada pada kategori kronis bukan hanya miskin di dalam pendapatan akan tetapi juga sangat terbatas dalam pendidikan, nutrisi, akses ke pelayanan kesehatan, atau mungkin terisolasi dan dieksploitasi oleh para elit. Dalam beberapa konteks perempuan miskin dan anak-anak perempuan, anak-anak perempuan dan orang tua terutama janda cenderung terjebak dalam kemiskinan. Selanjutnya penduduk yang berada dalam kategori transisional lebih rentan terhadap kemiskinan. Penyebabnya bisa disebabkan oleh faktor internal karena penduduk kategori ini tidak memiliki kemampuan untuk menghadapi kondisi eksternal. Di samping itu, guncangan dalam bentuk kesehatan karena sakit, guncangan lingkungan, bencana alam, kekerasan, dan ketidakpastian hukum dan rontoknya perekonomian penyebab keluar masukanya rumah tangga dalam kemiskinan. Ketika penduduk hanya memiliki asset terbatas, layanan dasar yang tidak memadai dan tidak efektifnya perlindungan sosial menjadi jebakan orang dalam kemiskinan. Memahami kemiskinan dengan pengkategorisasian tersebut mempermudah pengambil kebijakan dalam menentukan sifat dan jenis intervensi kebijakan yang akan dilakukan. 2.5Ukuran-Ukuran Kemiskinan Untuk mengukur kemiskinan, Badan Pusat Statistik BPS membuat perkiraan jumlah penduduk miskin dibedakan antara wilayah perdesaan, perkotaan dan propinsi di Indonesia yang berpatokan pada pengeluaran rumah tangga menurut data SUSENAS Survei Sosial Ekonomi Nasional. Penduduk miskin ditentukan berdasarkan pengeluaran atas kebutuhan pokok, yang terdiri dari bahan makanan maupun bukan makanan yang dianggap sebagai dasar dan diperlukan dalam jangka waktu agar dapat hidup secara layak. Dengan cara ini, maka kemiskinan diukur sebagai tingkat konsumsi per kapita di bawah suatu standar tertentu yang disebut sebagai garis kemiskinan poverty line. Mereka yang berada di bawah garis kemiskinan tersebut dikategorikan sebagai miskin. Garis kemiskinan dihitung dengan cara menjumlahkan i biaya untuk memperoleh sekeranjang bundle makanan dengan kandungan 2.100 kalori per kapita per hari, dan ii biaya untuk memperoleh sekeranjang bahan bukan makanan yang dianggap dasar seperti pakaian, perumahan,- kesehatan, transportasi, dan pendidikan BPS 2008. Garis kemiskinan yang banyak dirujuk untuk menentukan jumlah penduduk miskin dan tidak miskin diajukan oleh Sajogyo 1977. Pada awalnya garis kemiskinan adalah setara dengan harga beras 240 kg beras per orang per tahun untuk perdesaan dan 360 kg per orang per tahun untuk perkotaan. Perkembanganselanjutnya ketentuan garis kemiskinan pun berubah menjadi lebih rinci yaitu di bawah 240; 240-320; 320-480; dan lebih dari 480 kg ekuivalen beras. Klasifikasi ini biasa digunakan untuk mengelompokkan penduduk lebih secara rinci. Kelompok paling bawah disebut sangat miskin, selanjutnya miskin, hampir berkecukupan, dan berkecukupan. Untuk mengukur distribusi pendapatan salah satu ukuran populer yang sering digunakan dalam penelitian empiris adalah koefisien gini Gini Coefficient dan kurva Lorenz Lorenz Curve . Formula koefisien atau rasio gini Tambunan 2003 adalah sebagai berikut : ���� = 1 2 � 2 − � � � − � � � =1 � �=0 Nilai koefisien gini berada pada selang 0 sampai dengan 1. Bila 0 : kemerataan sempurna setiap orang mendapat porsi yang sama dari pendapatan dan bila 1: ketidakmerataan yang sempurna dalam pembagian pendapatan, artinya satu orang atau satu kelompok pendapatan di suatu negara menikmati sebagian besar pendapatan negara tersebut. Ide dasar dari perhitungan koefisien gini berasal dari kurva Lorenz. Koefisien gini adalah rasio: a daerah di dalam grafik tersebut yang terletak di antara kurva Lorenz dan garis kemerataan sempurna yang membentuk sudut 45 derajat dan titik 0 dari sumbu y dan x terhadap b daerah segi tiga antara garis kemerataan tersebut dan sumbu y dan x. Semakin tinggi nilai rasio gini, yakni mendekati satu atau semakin menjauh dari kurva Lorenz dari garis 45 derajat tersebut, semakin besar tingkat ketidakmerataan distribusi pendapatan, seperti dalam Gambar 2 berikut. Gambar 5. KurvaLorenz

2.6 Karakteristik Wilayah Perdesaan

Kehidupan masyarakat perdesaan yang pada umumnya memperihatinkan, terampas hak-hak mereka sehingga mereka menjadi miskin. Penyebab utama dari keadaan yang demikian adalah disebabkan karena terjadinya urban bias, terutama sebagai sikap elit politik yang terlalu mementingkan dirinya sendiri. Dari sisi lain kemiskinan juga kemudian menjadi penyebab dan menjadi akibat dari terjadinya kerusakan sumber- sumberdaya alam di wilayah perdesaan yang berdampak kepada masyarakat luas. Kumulatif Populasi Kumulatif Pendapatan Meskipun keadaan alam wilayah perdesaan dapat dirasakan sangat nyaman alamiah dan menarik untuk dikunjungi dengan ruang hijau terbuka green openspace yang luas, tetapi masalah kemiskinan sering kali menjadi ciri dan menjadi pemandangan yang umum dari sebagian besar kehidupan penduduk yang bermukim di wilayah perdesaan. Penyebab utama dari keadaan yang memprihatinkan ini terutama disebabkan oleh karena masyarakat perdesaan tidak mempunyai posisi bargaining politik dengan kemampuan politik yang kuat untuk mempengaruhi pemerintah pusat yang bersifat sentralistik. Sehingga keadaan ini menjadi penyebab terjadinya kegagalan kebijaksanaan pemerintah government policy failure yang melaksanakan pembangunan secara top-down, sehingga tidak mengetahui kondisi ekosistem dan tatanan nilai masyarakat wilayahnya serta keinginan yang terkandung dalam nilai-nilai kehidupan mereka. Keadaan ini juga didorong oleh terjadinya kesalahan dalam pengaturan dan perancangan design dari program-program dan proyek-proyek pembangunan yang memberi dampak kepada terjadinya proses pemiskinan dari masyarakat perdesaan tersebut. Pengurangan dan pengambilanperampasan hak-hak penduduk komunal lokal dalam akses penguasaan dan penggunaan atas lahan yang didorong oleh kesalahan program pemerintah tersebut, menjadikan landasan yang menjadi kekuatan politik utama pada masyarakat perdesaan menjadi hilang, yaitu dengan hilangnya hak mereka kepada sumberdaya alam sebagai sumber mata pencaharian untuk bekerja dan sumber nafkah di atas lahannya. Banyak masyarakat perdesaan selama masa pembangunan lebih dari 30 tahun menjadi terampas hak-haknya atas lahannya oleh orang-orang pengusaha yang berasal dari kawasan perkotaan yang diberi ijin oleh pemerintah pusat untuk mengusahakan menjadi perusahaan HPH dan agribisnis besar-besaran yang sering merampas lahan masyarakat petani kecil. Sebagai akibatnya sumberdaya perdesaan menjadi terkuras dan karenanya potensi kemampuan mereka yang ada pada masyarakat perdesaan menjadi sirna atau menjadi tidak berdaya. Dalam program-program yang berkaitan dengan pembangunan kehutanan dan pembangunan perkebunan umpamanya, atau perusahaan real estate, sering terjadi perampasan hak-hak atas lahan-lahan kepunyaan para petani di perdesaan yang lahannya dirampas melalui atas nama program pemerintah dan haknya dialihkan kepada pengusaha-pengusaha besar yang berdiam di kawasan perkotaan. Sehingga sumberdaya dasar kekuatan masyarakat untuk pembangunan wilayah menjadi lemah, yang turut melemahkan kekuatan bargaining politik mereka, yang mengarah terjadinya aliran transfer sumberdaya secara besar-besaran dari wilayah perdesaan ke arah kawasan perkotaan. Keadaan penduduk secara spatial yang berdiam di wilayah perdesaan biasanya terpencar-pencar sesuai dengan penggunaan energi matahari dalamproduksi pertanian yang tersebar. Keadaan ini menyebabkan tingginya tingkat biaya dan kesulitan, serta mahalnya penyediaan fasilitas barang dan jasa publik secara efektif infrastruktur, pendidikan kesehatan dll. untuk masyarakat perdesaan. Kondisi ekonomi khusus seperti surplus kelebihan tenaga kerja