Karakteristik Wilayah Perdesaan Linkage Analysis Between Distribution Of Farmland Tenure And Rural Farmers’ Income (Case Study Of North Aceh District, Aceh Province).

Meskipun keadaan alam wilayah perdesaan dapat dirasakan sangat nyaman alamiah dan menarik untuk dikunjungi dengan ruang hijau terbuka green openspace yang luas, tetapi masalah kemiskinan sering kali menjadi ciri dan menjadi pemandangan yang umum dari sebagian besar kehidupan penduduk yang bermukim di wilayah perdesaan. Penyebab utama dari keadaan yang memprihatinkan ini terutama disebabkan oleh karena masyarakat perdesaan tidak mempunyai posisi bargaining politik dengan kemampuan politik yang kuat untuk mempengaruhi pemerintah pusat yang bersifat sentralistik. Sehingga keadaan ini menjadi penyebab terjadinya kegagalan kebijaksanaan pemerintah government policy failure yang melaksanakan pembangunan secara top-down, sehingga tidak mengetahui kondisi ekosistem dan tatanan nilai masyarakat wilayahnya serta keinginan yang terkandung dalam nilai-nilai kehidupan mereka. Keadaan ini juga didorong oleh terjadinya kesalahan dalam pengaturan dan perancangan design dari program-program dan proyek-proyek pembangunan yang memberi dampak kepada terjadinya proses pemiskinan dari masyarakat perdesaan tersebut. Pengurangan dan pengambilanperampasan hak-hak penduduk komunal lokal dalam akses penguasaan dan penggunaan atas lahan yang didorong oleh kesalahan program pemerintah tersebut, menjadikan landasan yang menjadi kekuatan politik utama pada masyarakat perdesaan menjadi hilang, yaitu dengan hilangnya hak mereka kepada sumberdaya alam sebagai sumber mata pencaharian untuk bekerja dan sumber nafkah di atas lahannya. Banyak masyarakat perdesaan selama masa pembangunan lebih dari 30 tahun menjadi terampas hak-haknya atas lahannya oleh orang-orang pengusaha yang berasal dari kawasan perkotaan yang diberi ijin oleh pemerintah pusat untuk mengusahakan menjadi perusahaan HPH dan agribisnis besar-besaran yang sering merampas lahan masyarakat petani kecil. Sebagai akibatnya sumberdaya perdesaan menjadi terkuras dan karenanya potensi kemampuan mereka yang ada pada masyarakat perdesaan menjadi sirna atau menjadi tidak berdaya. Dalam program-program yang berkaitan dengan pembangunan kehutanan dan pembangunan perkebunan umpamanya, atau perusahaan real estate, sering terjadi perampasan hak-hak atas lahan-lahan kepunyaan para petani di perdesaan yang lahannya dirampas melalui atas nama program pemerintah dan haknya dialihkan kepada pengusaha-pengusaha besar yang berdiam di kawasan perkotaan. Sehingga sumberdaya dasar kekuatan masyarakat untuk pembangunan wilayah menjadi lemah, yang turut melemahkan kekuatan bargaining politik mereka, yang mengarah terjadinya aliran transfer sumberdaya secara besar-besaran dari wilayah perdesaan ke arah kawasan perkotaan. Keadaan penduduk secara spatial yang berdiam di wilayah perdesaan biasanya terpencar-pencar sesuai dengan penggunaan energi matahari dalamproduksi pertanian yang tersebar. Keadaan ini menyebabkan tingginya tingkat biaya dan kesulitan, serta mahalnya penyediaan fasilitas barang dan jasa publik secara efektif infrastruktur, pendidikan kesehatan dll. untuk masyarakat perdesaan. Kondisi ekonomi khusus seperti surplus kelebihan tenaga kerja yang tidak disertai dengan penyiapan persediaan kesempatan kerja di wilayah ini berakibat pada kurangnya lapangan kerja dibandingkan dengan kawasan perkotaan, menjadikan mereka tidak produktif. Sektor pertanian pada umumnya merupakan sektor yang sangat penting bagi kegiatan ekonomi masyarakat perdesaan, sehingga menyebabkan wilayah perdesaan sangat bergantung kepada kinerja dari satu-satunya sektor tunggal ini, dimana investasi pada sektor ini sangat beresiko tinggi. Lagi pula penerimaan revenues yang dapat dikumpul oleh pemerintah desa lokal keadaannya sangat terbatas karena sumber pendapatan dari pajak sangat langka. Keadaan terakhir ini menyebabkan sangat sukar untuk memobilisasikan sumberdaya secara mencukupi guna mampu membiayai program-program penelitian dan pengembangan yang dilakukan oleh pemerintah lokal secara mandiri. Lebih lanjut wilayah perdesaan secara politik banyak dikesampingkan marginalized, yang menyebabkan masyarakat perdesaan menjadi miskin, tidak mempunyai pengaruh kepada kekuatan politik dalam menentukan kebijaksanaan pemerintah. Kebijaksanaan pemerintah pusat sering bertindak secara diskriminatif kepada kebanyakan wilayah-wilayah perdesaan, terutama kepada wilayah yang belum maju dan berpenduduk jarang. Malah mereka banyak mengalami penderitaan karena hak-hak akses mereka terhadap sumberdaya disekelilingnya tidak diakui oleh pemerintah, sehingga akibatnya mereka menghadapi ketidakpastian hak-haknya dan cenderung menjadi perusak sumberdaya yang ada hutan, lahan, bahari dll. Demikian juga adanya kebijaksanaan pemerintah yang secara konsisten melakukan diskriminasi di masa 10 tahun terakhir belakangan ini, mengakibatkan tidak menguntungkan sektor pertanian secara luas melalui kebijaksanaan perpajakan yang tinggi dan kebijaksanaan ekonomi makro nilai tukar rupiah overvalued, inflasi dan suku bunga tinggi dll, yang kesemuanya berakibat buruk dan berdampak kepada kinerja sektor pertanian, menyebabkan terjadinya kebocoran wilayah berupa transfer sumberdaya netto lari keluar wilayah perdesaan. Dampak dari kombinasi keadaan faktor-faktor geografi, ekonomi dan sosial politik, semuanya menimbulkan tingginya kejadian kemiskinan dan rendahnya tingkat pembangunan wilayah seperti yang diukur dengan: tingkat melek huruf, harapan hidup, mortalitas anak-anak balita dan Karena investasi-investasi di wilayah perdesaan baik secara fisik material capital: man-made dan natural, sumberdaya manusia human capital dansumberdaya sosial social capital dan kebijaksanaan pengembangan teknologitidak dilakukan secara memadai, bahkan di masa yang lalu banyak terabaikan.Melemahnya posisi masyarakat perdesaan yang menjadi rawan terhadap berbagaibentuk eksploitasi sehingga sumberdaya perdesaan banyak terkuras depletiondan terkikisnya nilai-nilai dan kemampuan masyarakat, yang manfaat nilaitambahnya banyak disedot oleh sektor-sektor kegiatan di kawasan perkotaanbesar. Sebaliknya, dampak negatifnya externalities yang tertinggal di wilayahperdesaan yang menimbulkan ekternalitas negatif dimana biaya-biaya sosial yangbesar harus ditanggung oleh masyarakat perdesaan yang lemah dan menerimasalah perlakuan. Sebagai akibatnya, maka beberapa sumberdaya mengalamikelangkaan yang gawat bahkan ada yang mengarah kepada irriversibility yang pada gilirannya berdampak juga ke kawasan perkotaan. Sedangkan di lokasi kawasan perkotaan sendiri sumberdaya yang diolah menjadi produk-produk industri lanjut, yang meskipun menghasilkan nilai tambah, tetapi karena lemahnya hak-hak masyarakat lapisan menengah dan bawah di kawasan ini, maka kemudian menimbulkan dampak eksternalitas lagi dalam berbagai bentuk pencemaran-pencemaran kepada masyarakat kota sendiri yang merugikan masyarakat keseluruhan. 2.7Penelitian Terdahulu yang Relevan Pertama, studi oleh Sumarya 2002 dengan judul Hubungnan antara distribusi pengusaan lahan usahatani dengan kemiskinan di pedesaan studi kasus di kecamatan ciampea dan nanggung, kabupaten bogor Konsekuensi dan adanya tekanan penduduk terhadap lahan, menjadikannya sebagai barang langka dengan nilai yang semakin tinggi. Luas penguasaan lahan usahatani merupakan peubah yang sangat penting berkenaan dengan tingkat pendapatan keluarga di pedesaan yang menunjukkan kecenderungan bahwa semakin luas akan semakin tinggi pendapatannya, tetapi luas penguasaan lahan usahatani ternyata bukan satu- satunya peubah yang menentukan tingkat pendapatan petani kemiskinan di pedesaan, karena ia juga dipengaruhi oleh peubah-peubah lain seperti jenis pekerjaan lain yang ditekuni, aksesibilitas fisik, aksesibilitas tertiadap sumberdaya modal maupun keeratan hubungan antar anggota keluarga. Kedua studi oleh Ginting 2004 Analisis Faktor Penyebab PendapatanPetani Miskin di Kecamatan Deli Tua. Demikian juga, pada penelitian AnalisisFaktor Penyebab Pendapatan Petani Miskin di Kecamatan Deli Tua ini didugapendapatan rumah tangga petani dipengaruhi oleh faktor tingkat pendidikankepala keluarga, luas penguasaan lahan, akses terhadap lembaga keuangan,keberadaan altematifusaha dan jumlah tanggungan keluarga.Tujuan penelitian tesis ini adalah; I untuk rnengetahui apakah luaspenguasaan laban, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, aksesibilitasterhadap lembaga keuangan dan keberadaan alternatif usaha berpengaruh terhadaptingkat pendapatan petani, 2 untuk mengetahui apakah ada pengaruh perbedaan luas lahan terhadap tingkat pendapatan, 3 untuk mengetahui apakah adapengaruh perbedaan status lahan milik sendiri dan menyewa terhadap tingkatpendapatan, dan 4 untuk mengetahui distribusi pcndapatan antara petaru yang menguasai luas garapan 0,5 ha dengan petani yang menguasai luas garapan yanglebih besar dari 0,5 ha. Ketiga, studi oleh Sugiarto 2009 dengan judul Keragaan Ketenagakerjaan Dan Distribusi Penguasaan Lahan : Kasus Di Perdesaan Patanas Penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi keragaan ketenagakerjaan dan penguasaan lahan pertanian didalam menunjang sistem agribisnis di perdesaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pertisipasi kerja secara keseluruhan di Jawa dan luar Jawa cukup tinggi dengan tingkat pengangguran relatif tinggi. Dilain pihak angkatan kerja di pertanian telah meningkat kearah pendidikan yang lebih tinggi dari tamat SD keatas. Penguasaan lahan menunjukan bahwa penguasaan lahan pertanian di Jawa dan luar Jawa dibawah 0,5 hektar yang meliputi 75 persen petani. Dalam distribusi lahan sawah belum terjadi ketimpangan, kecuali penguasaan pada lahan kering telah mengarah ketimpangan GI 0,5.Hal ini disebabkan karena lahan pada awalnya mempunyai nilai sosial dan spiritual, beralih kenilai ekonomi dan sering terjadi ketidak seimbangan didalam pemilikan dan penguasaan Gini indeks 0,5. KeempatStudi oleh Suwarto at all 2010 dengan judul pilihan petani pada kelembagaan lahan usahatani tanaman pangan di Paranggupito Kabupaten Wonogiri, pemilihan lahan kelembagaan di pertanian tanaman bagi petani dapat dipengaruhi oleh situasi dankondisi para petani yang bekerja di bidang kelembagaan. Kelembagaan lahan di peternakan adalah penting, sehingga adalah sebuah kebutuhan untuk mengetahui tanah kelembagaan yang saat ini ada di suatu daerah bersama dengan faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan tanah kelembagaan bagi petani. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerjasama di atas lahan tanah kelembagaan adalah gadai,sewa, sakap, dan pinjaman. Berbagai faktoryang mempengaruhi pilihan petani di daerah kelembagaan diketahui, yaitu: posisi tawar petani yang bekerja sama, jarak lahan oleh petani, dan kekerabatan. 3 METODE PENELITIAN

3.1 Kerangka Pemikiran

Lahan sebagai sumberdaya utama dalam usahatani telah mengalami penyusutan baik kualintas maupun kualitas akibat adanya tekanan penduduk yang memerlukannya berbagai keperluan, baik keperluan publik maupun individu. Di pihak lain, terjadinya hirarki sosial social hierarchy yang terjadi di masyarakat, menyebabkan terjadinya perbedaan aksesibilitas seseorang atau kelompok sosial terhadap kekausaan dan atau terhadap sumberdaya, termasuk sumberdaya lahan usahatani. Golongan masyarakat yang mampu, memandang lahan usahatani bukan saja sebagai faktor produksi usahatani tetapi juga sebagai alat spekulasi yang mempunyai kepastian resiko yang lebih pasti karena equlital market lain sebagai sarana untuk menanamkan modal belum berkembang dan mempunyai resiko ketidakpastian uncertainly yang lebih tinggi. Keadaan demikian menyebabkan terjadinya absentee land lahan guntai yang kerapkali tidak diusahakan. Sementara sebagai masyarakat lain sangat membutuhkan lahan tersebut untuk digunakan sebagai sumber pendapatan utama dan merupakan kekausan dasar power base untuk bisa bertahan hidup. Keberadaan supply lahan usahatani yang relatif tetap sementara kebutuhan akan lahan demand semakin meningkat, membawa implikasi semakin beratnya beban lahan yang ada untuk dapat memenuhi kebutuhan manusia akan pangan sehingga diperlakukan tidak semestinya yang melebihi kemampuan dan daya dukungnya sehingga mengarah kepada degredasi. Selain itu, kebutuhan akan pangan yang semakin meningkat akan mengakibatkan dibukanya lahan-lahan baru bahkan pada lahan-lahan yang tidak layak untuk usahatani. Ketimpangan antara ketersediaan dan permintaan terhadap lahan selanjutnya akan berakibat langsung terhadap melambungnya nilai lahan menjadi mahal. Kelangkaan dan perbedaan aksesibilitas di antara golongan masyarakat tentu saja hanya akan memperbesar ketimpangan penguasaan lahan, karena hanya mereka yang kuat secara finansial yang akan menguasaimemiliki lahan, sementara yang lemah harus tetap berjuang lebih keras untuk dapat menguasai lahan usahatani sebagai sumber penghidupannya. Kerjasama kelembagaan lahan yang diwujudkan dengan sistem sewa, gadai, dan bagi hasil memberi suatu kesempatan bagi rumah tangga tani untuk memperluas akses kepada penguasaan lahan yang lebih luas. Akses yang lebih lancar dalam penguasaan lahan diyakini merupakan jawaban dari ketimpangan dalam penguasaan lahan. Analisis yang dilakukan antara lain mengunakan analisis deskiptif kerjasama kelembagaan lahan kemudian dilakukan analisis regresi berganda untuk meihat variabel apa saja yang dapat mempengaruhi mendapatan petani. Dengan mengunankan indek gini ratio dicari berapa tingkat ketimpangan baik dari sisi pengusaan lahan maupun dari sisi pendapatan. Kemiskinan dihubungkan dengan tingkat penguasaan lahan yang mampu dimiliki oleh petani sehingga pendapatannya dapat dibandingkan dengan angka garis kemiskinan BPS menurut perdesaan. Gambar 6 Kerangka Pemikiran Penelitian