109
meningkatkan kerjasama internasional dan regional untuk memberantas terorisme, dan juga membuat regulasi kebijakan keamanan dalam menghadapi dan
menyelesaikan masalah terorisme di Indonesia. Setelah melihat bahwa Keamanan Nasional merupakan sesuatu yang
merupakan kebutuhan dasar bagi setiap umat manusia, maka pemerintah Indonesia dalam menanggapi isu terorisme yang mengancam keamanan nasional
ini telah melakukan berbagai kebijakan, untuk memberantas terorisme di Indonesia, hal ini dilakukan dalam menanggapi kasus peledakan bom di Bali pada
tahun 2002, sejak saat itu beberapa kebijakan keamanan telah dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia, adapun beberapa kebijakan keamanan tersebut adalah
Undang-undang No. 15 Tahun 2003, Undang-Undang No. 6 Tahun 2006, Undang-Undang No. 5 Tahun 2012, dan Undang-undang No. 9 Tahun 2013.
3.2.1. Undang-Undang No. 15 Tahun 2003
Pasca terjadinya ledakan Bom di Bali pada tahun 2002 diikuti dengan respon PBB, yang mana Dewan Keamanan PBB pada tanggal 15 Oktober 2002
mengeluarkan sebuah resolusi baru No. 1438 yang isinya adalah mengecam terorisme, dan juga permintaan agar seluruh 15 negara anggota Dewan Keamanan
PBB membantu Indonesia untuk menyeret para pelaku, pengorganisasian dan sponsor serangan teror di Bali ke Pengadilan.
103
103
Hadi Setia Tunggal dalam Mardenis, Op.Cit., hal 151.
Resolusi yang dikeluarkan PBB ini mengingatkan bahwa kewajiban dari seluruh anggota PBB untuk bekerja sama
dalam memerangi terorisme. Dalam pernyataannya DK PBB tidak hanya prihatin
Universitas Sumatera Utara
110
terhadap jumlah korban yang kehilangan jiwa akibat serangan teroris di Bali akan tetapi juga dampak dari tragedi Bom Bali terhadap ekonomi Indonesia.
Menanggapi resolusi DK PBB No. 1438, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan dua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang PERPPU
Republik Indonesia yaitu Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang pemberantasan tindak terorisme dan Perpu Nomor 2 Tahun 2002 tentang pemberlakuan Perpu Nomor 1
tahun 2002 untuk Bom Bali I, kedua Perppu tersebut mulai berlaku sejak tanggal 18 Oktober 2003. Kemudian pada 4 April 2003, kedua Perpu tersebut menjadi
Undang-Undang Anti Terorisme Indonesia yakni UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan UU No. l6 Tahun 2003 tentang asas
retroaktif yang kemudian dinyatakan tidak mengikat secara hukum karena melanggar Konstitusi.
UU Anti-Terorisme Indonesia ini sekaligus memuat endorsement tentang ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB dalam
Convention Against Terorism Bombing 1997 dan Convention on the Supression of Financing Terrorism 1997. Selain itu melalui UU ini juga berperan sebagai
UU pencucian uang dan mengkriminalkan dukungan pendanaan terhadap aktivitas teroris.
104
Salah satu pertimbangan yang dimuat dalam kedua peraturan tersebut adalah bahwa pemberantasan terorisme didasarkan pada komitmen nasional dan
internasional dengan membentuk peraturan perundang-undangan nasional yang
104
Anggalia Putri Permata Sari, Penerapan Strategi Penggentaran Dalam Upaya Penanggulangan Terorisme di Singapura, Malaysia, Filipina, dan Indonesia, Tesis Fakultas Ilmu Soial dan Ilmu Politik Universitas
Indonesia, Depok, 2013, hal 221.
Universitas Sumatera Utara
111
mengacu pada konvensi internasional dan peraturan perundang-undangan nasional yang berkaitan dengan terorisme. Hal ini mengakibatkan penilaian terhadap
undang-undang pemberantasan terorisme UU No. 15 Tahun 2003 yang telah dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia pasca tragedi Bom Bali I tahun 2002
merupakan bentuk penerapan kepentingan internasional di Indonesia. Asumsi tersebut diperkuat dengan fakta bahwa secara substantif kedua undang-undang
tersebut mengandung banyak pasal kontroversial yang isinya sejalan dengan Undang-undang Anti Terorisme AS UU Patriot yang intinya memberikan
kekuasaan luas kepada aparat penegak hukum dan intelijen dalam mengintervensi hak-hak pribadi privacy masyarakat.
105
Adanya adopsi Undang-Undang Patriot Uniting and Strengthening America by Providing Appropriate Tools Required to Intercept and Obstruct
Terrorism AS dalam UU No. 15 Tahun 2003 menjadikan bahwa Undang- Undang yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia sangat diskriminatif
terhadap umat Islam, dan pemerintah Indonesia dianggap pro dengan kebijakan AS. Adopsi UU anti-terorisme dalam regulasi kebijakan keamanan dalam negeri
Indonesia dan negara-negara lainnya yang tergabung dalam koalisi internasional dalam memberantas terorisme adalah akibat adanya tekanan yang diberikan AS
terhadap Indonesia dan juga negara-negara yang berada di kawasan Asia Dalam Undang-Undang ini tindakan
koersif dianggap suatu hal yang diperlukan untuk kesuksesan kampanye perang melawan terorisme.
105
Mardenis, Op. Cit., hal 153.
Universitas Sumatera Utara
112
Tenggara lainnya. Hal ini terlihat dari pernyataan Presiden Bush pada saat itu dalam kampanye war on terrorism, “He who is not with us against us”, jadi
melalui pernyataan ini setiap negara yang menolak mengatur regulasi keamanannya sesuai dengan kebijakan UU Anti Terorisme AS dianggap sebagai
pro terhadap teroris. Indonesia telah dianggap sebagai sarang teroris sebelum terjadinya
peristiwa Bom Bali I, karena Presiden Megawati belum menyatakan dukungan dalam kampanye anti terorisme AS dan belum membuat kebijakan keamanan
dalam pemeberantasan terorisme seperti yang telah dikampanyekan AS. Pasca serangan teroris dalam Bom Bali I 2002, maka Pemerintah Indonesia akhirnya
mengeluarkan UU No. 15 Tahun 2003 sebagai UU anti terorisme di Indonesia.
3.2.2. Undang-Undang No. 6 Tahun 2006