KONDISI SOSIAL DAN POLITIK EKSIL DI PRANCIS DALAM NOVEL PULANG KARYA LEILA S. CHUDORI DAN IMPLIKASINYA PADA PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh Dwina Agustin 1110013000011

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2014


(2)

(3)

(4)

(5)

i

dalam Novel Pulang Karya Leila S. Chudori dan Implikasinya pada Pembelajaran

Sastra di SMA.” Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu

Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Doesn Pembimbing: Ahmad Bachtiar, M. Hum.

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan kondisi sosial dan politik eksil di Prancis dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori dan implikasi pada pembelajaran sastra di SMA. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan disipliin ilmu sastra dan sosiologi. Analisis novel Pulang dapat memenuhi standar kopetensi dan kopetensi dasar pada pembelajaran sastra melalui memahami pembacaan penggalan novel dengan menjelaskan unsur intrinsik dan ekstrinsik. Melalui pembelajaran ini, siswa diharapkan dapat saling toleransi, mengahargai, dan bertangung jawab serta kepekaan terhadap lingkungan sosial. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, hasil penelitian ini menunjukan bahwa kondisi sosial dan politik eksil politik mempengaruhi interaksi mereka kepada individu dan kelompok lain di luar kelompok eksil. Kondisi sosial yang tergambarkan adalah perekonomian, disorganisasi keluarga, dan nilai-nilai sosial, sedangkan kondisi politik yang digambarkan adalah kekuasaan dan nasionalisme.


(6)

ii

Novel Pulang by Leila S. Chudori and its Implications on Learning Literature in

Hight School” Majors Language Education and Indonesian Literature, Science Faculty Tarbiyah and Teacher Training, Jakarta Islamic State University. Advisor Ahmad Bahtiar, M.Hum.

This study aims to describe the social dan polilitical exile in France in the novel Pulang by Leila S. Chudori and its implications in the lessons literature in high school. The method used in this research is descriptive qualitative approach between disciplines, which is Literature and Sociology. Analysis of novel Pulang this can meet standard competence and basic competence in learning literature that is to reding a piece novel with a describe intrinsic dan extrinsic substance. Through this learning students are expected to tolerance, appreciative, responsibility, and sensitivnes to social in environment. Based on analysis has been done, these result showed the social dan polilitical exile can influence they interaction to individual and groups. Social condition witch is show economic, family disorganization, and sosial values. In the another, political conditionas witch is showen is power and nasionalism.


(7)

iii

semesta jagad raya dan telah memberi limpahan rahmat dan nikmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Shalawat serta salam senantiasa tercurah limpahkan untuk Nabi besar Muhammad saw, keluarga, para sahabat, dan umatnya.

Penulis menyusun penelitian ini guna memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar sarjana pendidikan program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Dalam penulisan penelitian ini penulis banyak mendapat masukan, bimbingan, saran, dorongan, dan semangat dari berbagai pihak. Semua itu tak lain untuk menjadikan penulis menjadi pribadi yang lebih baik dan kaya informasi, sehingga pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Nurlena Rifa’i, M.A.,Ph.D., dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah.

2. Hindun, M.Pd., ketua jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah.

3. Dona Aji Karunia, MA., sekertaris jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah.

4. Ahmad Bahtiar, M.Hum., dosen pembimbing skripsi yang dengan sabar membimbing dan membantu penulis untuk segera merampungkan penelitian ini.

5. Dosen-dosen jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah membagi ilmunya selama masa perkuliahan.

6. H. Setiawan dan Hj. Sulasmi, kedua orang tua yang sangat luar biasa karena selalu memberikan kebebasan kepada penulis untuk melakukan apapun. Kalian mengajarkan tanggung jawab yang akan selalu penulis genggam.


(8)

iv

penulis, untuk memberikan informasi sebagai data penunjang penelitian ini. 8. Nurul Fatihah, S.Pd., (saudara, sahabat, serta pesaing) yang dari jauh selalu

menemani penulis merampungkan masa studi dengan nyaman dan damai. 9. Teman-teman PBSI angkatan 2010, khususnya kelas B yang senantiasa

menemani tidak hanya selama perkuliahan tapi diwaktu-waktu senggang lainnya.

10.Anak-anak PKK (Penggiat Kumpul Kosan), Ade Fauziah, Tazka Adiati, Nurul Inayah, Mawaddah, Humairoh, Aulia Herdiana P, Fitri Khoiriani, Ade Ruafaida, Yunia Ria Rahayu, Mabruroh, Aisyatul Fitriah, dan anggota lain yang ikut meramaikan. Kalian semua hebat.

11.Guru-guru TK Tunas Karya, SD Purwawinaya, MTs. AI Mertapada, MAAI Mertapada, serta guru-guru kehidupan. Tanpa kalian, penulis tidak akan pernah sampai di tahap ini.

Terima kasih pula untuk seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam proses penyelesaian penelitian ini. Semoga Allah membalas kalian semua. Penulis mengharap kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk menjadikan penelitian ini lebih baik lagi. Besar harapan penulis agar penelitian ini dapat bermanfaat, baik untuk penulis pribadi maupun pembaca.

Jakarta, Desember 2014


(9)

v

KATA PENGATAR .. ………..………...iii

DAFTAR ISI………v

BAB I PENDAHULUAN……….………...1

A. Latar Belakang Masalah………1

B. Identifikasi Masalah……….. .... 5

C. Batasan Masalah………... 6

D. Rumusan Masalah……….. ... 6

E. Tujuan Penelitian……….. ... 6

F. Manfaat Penelitian……….. ... 7

G. Metode Penelitian………... 7

1. Teknik Penelitian……….. .. 8

2. Teknik Pengumpulan Data……….. 9

BAB II KAJIAN TEORI……….. .... 10

A. Sosiologi Sastra……….. ... 10

B. Sosial dan Politik……….. ... 11

1. Kondisi Sosial……….. ... 11

2. Kondisi Politik……….. .... 14

C. Eksil……….. ... 15

D. Pengertian Novel……….. ... 16

E. Jenis-jenis Novel……….. ... 17

F. Unsur Pembangun Karya Sastra………..19

1. Intrinsik……….. ... 19


(10)

vi

e. Sudut Pandang……….25

f. Gaya Bahasa……….. .. 26

2. Ekstrinsik……….. ... 27

G. Pembelajaran Sastra di Sekolah………...28

H. Penelitian Relevan……….. ... 30

BAB III PROFIL LEILA S. CHUDORI……….…33

A. Biografi Leila S. Chudori………..…….. 33

B. Karya-karya Leila S. Chudori……… . 34

C. Pemikiran Leila S. Chudori……….. ... 38

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN NOVEL PULANG KARYA LEILA S. CHUDORI………......……42

A. Deskripsi Data……….. ... 42

1. Tema……….. ... 42

2. Tokoh……….. ... 42

3. Latar……….. ... 51

4. Sudut Pandang……….. .... 57

5. Gaya Bahasa……….. ... 59

6. Alur………... 61

B. Kondisi Sosial Eksil……….. .. 64

1. Perekonomian……….. ... 65

2. Disorganisasi Keluarga………..68

3. Nilai-nilai Sosial………..….. 73

C. Kondisi Politik Eksil……… 78


(11)

vii

A. Simpulan………..89

B. Saran………90


(12)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Novel merupakan hasil karya sastra yang mewakili gagasan-gagasan penulis tentang sesuatu yang ingin diwakili oleh karya yang diciptakan. Di Indonesia, novel dari masa ke masa memliki karakteristik masing-masing. Bila diamati lebih jeli, perkembangan novel melikupi banyak hal. Tidak hanya dari segi bahasa dan ide, namun kebutuhan dan keadaan kondisi pada zamannya banyak mempengaruhi setiap novel yang diciptakan. Novel dapat dilatarbelakangi oleh gagasanan yang ingin ditanamkan pengarang pada pembaca.

Sesuai dengan ungkapan Plato yang menganggap sastra sebagai tiruan dari kenyataan. Karya sastra tidak akan terlepas dari konsep yang sudah ada dalam kehidupan, pijakan gambaran yang terdapat dalam karya tersebut sudah memiliki konsep yang telah dipahami oleh manusia termasuk penggunaan latar, tokoh, ataupun ide yang disampaikan. Pengarang membaurkan kenyataan dan realitas kehidupan dengan imajinasi. Terjadilah pengembangan cerita dan sisipan-sisipan yang menarik untuk pembaca dalam memahami karya sastra, walupun karya tersebut sedang memaparkan sebuah teori, ideologi, atau bukti sejarah.

Peristiwa yang terjadi pada sebuah negara dapat memberkan inspirasi pengarang dalam mengangkat cerita dari sudut pandangnya. Keruntuhan Orde Lama dan tibanya Orde Baru di Indonesia adalah salah satu peristiwa yang diceritakan dalam beberapa karya sastra. Runtuhnya Orde Lama menimbulkan lahirnya beberapa peristiwa yang cukup sering dibahas, baik dari segi keamaanan, politik, bahkan dunia sastra. Kejadian runtuhnya Orde Lama salah satunya dipicu oleh terjadinya pembunuhan enam orang jenderal dan beberapa perwira. Pembunuhan terhadap enam orang jenderal dan beberapa


(13)

perwira dituduhkan kepada Partai Komunis Indonesia (PKI). Tuduhan itu menimbulkan kekerasan sepanjang tahun 1965-1966. 1 Buku Dalih Pembunuhan Massal yang ditulis oleh John Roosa memaparkan bahwa pembantaian dan pengasingan terhadap PKI tidak hanya berlaku untuk anggota partai tersebut. Tapi merambat pula kepada anggota-anggota sealiran, seperti Lekra.

Penangkapan terhadap anggota PKI dan orang-orang yang dianggap melindungi, mendukung, atau ikut berpartisipasi dalam kegiatan yang menyangkut PKI dilakukan secara besar-besaran. Namun, ada pula orang-orang yang sedang berada di luar negeri, karena sedang menempuh pendidikan, menjalani tugas sebagai diplomat, atau yang sedang menjadi wakil di organisasi regional/internasional, ada juga rombongan yang diundang oleh pemerintahan Tiongkok untuk menghadiri perayaan ulang tahun mereka pada akhir 1965. Mereka umumnya diutus oleh pemerintahan Sukarno dan sedang berada di negara-negara sosialis-komunis.2 Mereka tertahan di luar negeri karena beberapa alasan, salah satunya takut ditanggap saat kembali ke Indonesia karena tuduhan anggota atau simpatisan PKI, atau mereka yang menolak pulang karena tidak mau mengakui kesetian kepada kepemimpinan Orde Baru. Mereka terlunta-lunta tanpa ada kepastian, paspor dicabut, para pelajar pun dicabut beasiswanya. Bertahan hidup dengan melakukan pekerjaan serabutan, demi bertahan hidup di luar negeri. Dalam perkembangnanya, para eksil tersebar ke berbagai negara Eropa, termasuk Prancis. Para eksil mendapat suaka dan kewarganegaraan di tempat mereka tinggal. Namun, jiwa mereka masih menganggap memiliki Indonesia. Mereka membuat komunitas, kegiatan, dan acara yang berhubungan dengan Indonesia.

1Amin Mudzakir, “Eksil Indonesia dan Nasionalisme Kita” makalah disamp

aikan dalam seminar PSDR-LIPI pada Selasa, 3 Desember 2013 di LIPI, Jakarta, h.2

2Ibid,


(14)

Bahkan eksil di Prancis membuka usaha rumah makan Indonesia yang sudah terkenal di kalangan pejabat Prancis waktu itu.

Kisah eksil yang merantau di Prancis menjadi bahan yang diambil Leila S. Chudori untuk mengembangkan kisah yang ia tulis dalam Pulang, diterbitkan pada tahun 2012. Secara singkat Pulang digambarkan dalam sampul belakangnya adalah sebuah drama keluarga, persahabatan, cinta, dan pengkhianatan berlatar tiga peristiwa sejarah: Indonesia 30 September 1965, Prancis Mei 1968, dan Indonesia Mei 1998. Latar Prancis yang disampaikan mulai dari tahun 1965 melalui sudut pandang seorang perantau yang terbuang dari negaranya dan memberikan gambaran perjuangan hidup untuk bertahan serta berjuang.

Cerita ini bermula dengan penangkapan Hananto Prawiro oleh

“sepupu dari Jawa Tengah” atau aparat di Jakarta April 1968 yang sudah lama menjadi buronan karena meletusnya Gerakan 30 September 1966. Kemudian cerita meloncat ke Paris pada Mei 1968 yang mengisahkan tentang peristiwa kerusuhan mahasiswa dan buruh Prancis melawan pemerintahan De Gaulle yang membuat Dimas Suryo bertemu dengan Vivienne Deveraux seorang mahasiswa Sorbonne. Cerita terus berputar antara masa lalu yang terjadi tahun antara 1966 di Indonesia dan kisah yang berjalan pada masa waktu cerita berjalan di Prancis dan Indonesia. Dalam cerita akan bermunculan tokoh-tokoh yang menguatkan untuk menjadi saksi mata dalam kejadian-kejadian di Indonesia dan Prancis. Seperti surat-surat dari Surti Anandari seorang kekasih Dimas Suryo di masa lalu, surat dari Kenanga Prawiro, anak sulung Surti yang ikut diboyong Surti untuk memenuhi panggilan intrograsi aparat di Jalan Budi Kemuliaan, dan surat-surat dari Aji Suryo yaitu adik dari Dimas Suryo. Surat-surat yang dicantumkan seperti bukti sejarah yang kuat dalam novel Pulang. Cerita mengalir pada tahun 1998 di Indonesia oleh putri Dimas Suryo, yaitu Lintang Utara. Lintang Utara yang mendapatkan tugas dari dosen pembimbingnya untuk meliput peristiwa tahun 1966 dari berbagai pihak


(15)

saksi-saksi hal itu mengharuskan Lintang berangkat ke Indonesia pada tahun 1998, saat itu terjadi pergolakan politik di Indonesia. Kunjungan Lintang ke Indonesia membuatnya bertemu Segara Alam, anak bungsu dari Surti dan Hananto. Di Indonesia Lintang menemukan Indonesia yang baru dikenalnya secara dekat, sebab sebelumnya ia hanya mendengar tentang Indonesia dari Ayah dan kawan-kawan ayahnya hanya sampai tahun 1966. Akhir cerita ditutup dengan Dimas Suryo yang meninggal dan dapat dimakamkan di tempat yang ia inginkan dan rindukan, Karet.

Leila S. Chudori bukan penulis pertama yang mengangkat cerita berlatarkan peritiwa sejarah di Indonesia. Sebelumnya sudah banyak pengarang Indonesia yang mengakat keterkaitan sejarah Indonesia dengan karya sastra, seperti Ayu Utami dengan karyanya Saman dan Larung yang membahas kejadian sebelum masa reformasi Indonesia, atau Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Anantra Toer yang mengkisahkan keadaan Hindia (Indonesia) sebelum masa kemerdekaan. Para pengarang membuat perlawanan dengan karya sastra, memaparkan sejarah yang tidak diceritakan oleh buku-buku sejarah di sekolah. Pulang merupakan sebagian kecil dari karya sastra Indonesia yang berlatarkan sebuah realita sosial pada suatu zaman, kenyataan dalam interaksi masyarakat dan manusia tidak banyak diungkapkan oleh pemerintah. Hal tersebut mengidentifikasikan bahwa sastra tidak terlepas dari sosiologi sebuah bangsa, sehingga dalam perkembangan sastra muncul kajian sastra melalui pendekatan sosiologi. Menurut Sapardi Djoko Damono, sosiologi melakukan telaah objektif dan ilmiah tentang manusia dan masyarakat, telaah tentang lembaga dan proses sosial, mencari tahu bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung, dan bagaimana ia tetap ada; maka sastra menyusup, menembus permukaan


(16)

kehidupan sosial dan menunjukan cara-cara menusia menghayati masyarakat dengan perasaannya, melakukan telaah secara subjektif dan personal.3

Pada ranah pendidikan, terutama pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah, pembelajaran sastra persentase pengajarannya masih sangat kurang dibanding materi lainnya. Padahal, pengajaran sastra dapat membangkitkan keindahan, kepekaan, interaksi, bahkan sampai cara pandang hidup. Namun, ada materi yang sering dibahas dalam sekolah, yaitu kajian terhadap unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam novel ataupun cerita pendek, baik itu jenjang sekolah menengah pertama atau tingkat menengah atas. Karena dengan mempelajari sastra siswa dituntut memahami realitas kehidupan yang dapat tercermin oleh karya sastra. Sehingga penting bagi penelitian dapat mengaitkan bahan kajian yang dibahas dengan penerapan karya sastra di sekolah.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat dijelaskan rincian dasar penilaian sebagai berikut: Dari segi penceritaan, novel Pulang karya Leila S. Chudori begitu pas dikaji menggunakan telaah sosiologi sastra. Novel Pulang yang menggambarkan kehidupan eksil yang berada di Prancis. Hampir separuh kisah menggambarkan perjuangan hidup dan kekuatan bertahan akibat keputusan-keputusan pemerintah Indonesia pada masa Orde Baru. Serta impikasi kajian novel Pulang karya Leila S. Chudori terhadap pembelajaran sastra di SMA.

B. Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah yang memungkinkan setelah pemaparan latar belakang yang melikupi:

1. Sudah banyak penjabaran peristiwa yang terjadi di Indonesia sekitar tahun 1965 sampai 1998

2. Kurangnya pembahasan seputar eksil di Prancis.

3


(17)

3. Kondisi sosial dan politik eksil di Prancis dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori belum adanya implikasi terhadap kajian pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA.

C. Batasan Masalah

Penelitian sastra tidak harus mengkaji segala aspek yang terdapat pada karya sastra. Kajian sastra bisa dibatasi dari segi struktur, diksi, atau pendekatan ilmu indisipliner yang berkaitan dengan kajian karya sastra. Agar permasalahan yang diteliti tidak meluas pada aspek lainnya, penelitian ini hanya membahas kondisi sosial dan politik eksil di Prancis dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori dan implikasi pembelajaran sastra di SMA. D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah dipaparkan sebelumnya, permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi sosial dan politik eksil di Prancis pada novel Pulang karya Leila S. Chudori?

2. Bagaimana implikasi kondisi sosial dan politikeksil di Prancis pada novel Pulang karya Leila S. Chudori terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini, diharapkan:

1. Mendeskripsikan kondisi sosial dan politik eksil di Prancis pada novel Pulang karya Leila S. Chudori dengan tinjauan sosiologi sastra.

2. Mendeskripsikan penerapan kajian kondisi sosial dan politik eksil di Prancis pada novel Pulang karya Leila S. Chudori terhadap implikasi pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA.


(18)

F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan dan memperkaya khazanah ilmu pengetahuan menganai studi Sastra Indonesia khususnya dalam memahami sejarah dari sisi yang berbeda. Penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan sumbangan dalam teori sosiologi sastra dalam mengungkapkan novel Pulang Karya Leila S. Chudori.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis dengan penelitian ini diharapkan dapat membantu pembaca untuk memahami isi cerita novel Pulang karya Leila S. Chudori terutama mengguraikan cara pandanng pengarang yang direpresentasikan dalam karyanya, dengan pemanfaatan lintas disiplin ilmu sosisologi dan sastra. G. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Ada beberapa istilah yang digunakan untuk penelitian kualitatif, yaitu penelitian atau inkuiri naturalistik atau alamiah, etnogarfi, interaksionis simbolik, prespektif ke dalam, etnometodologi, the Chicago School, fenomenologis, studi kasus, interpretatif, ekologis, dan deskriptif.4 Menurut Strauss dan Corbin, penelitian kualitatif merupakan penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh prosedur statistik atau bentuk hitung lainnya. Para peneliti yang menggunakan pendekatan ini harus mampu menginterpretasikan segala fenomena dan tujuan melalui sebuah penjelasan. Pendekatan kualitatif adalah pendekatan yang penting untuk memahami suatu fenomena sosial dan prespektif individual yang diteliti. Tujuan pokoknya adalah menggambarkan, mempelajari, dan menjelaskan fenomena itu. Penelitian kualitatif menjadikan peneliti sendiri menjadi instrumen penelitian, sehingga penelitian kualitatif diolah secara fleksibel.

4

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosada Karya, 1999) h. 2


(19)

Penelitian kualitatif yang menuntut peneliti sendiri yang terjun mencari informasi dan menggumpulkan data secara nyata dari yang peneliti dapatkan. Data tersebut kemudian diolah peneliti untuk memperoleh jawaban atas masalah yang diangkat oleh penelitian. Sumber data dalam penelitian kualitatif adalah objek dari penelitian, yaitu novel Pulang karya Leila S. Chudori dan data-data yang menunjang penelitian seperti buku, esai, makalah dan jurnal.

Penelitian kulitatif yang menjadikan objek berupa novel dapat menggunakan model pendekatan sosiologi sastra.

1. Teknik Penelitian

Penelitian ini berbasis content analysis yang berarti dokumen merupakan objek dalam penelitian ini. Dokumen yang diteliti adalah novel Pulang karya Leila S. Chudori. Penelitian ini dijelasakan secara deskriptif ketika penggolahan data. Sebab penjelasaan deskriptif merupakan ciri khas penelitian berbasis data kualitatif. Penelitian ini dilakukan beberapa tahapan, yaitu:

a. Mengumpulkan data-data prosa karya Leila S. Chudori sebagai objek dalam penelitian ini.

b. Memilih novel Pulang sebagai objek penelitian.

c. Melakukan pembacaan secara intensif terhadap objek penelitian. d. Mengumpulkan data-data tambahan yang menunjang dalam

penelitian, seperti buku, esai, makalah, jurnal, maupun pencarian secara online.

e. Menganalisis data-data yang dijadikan objek penelitian dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra.

f. Menentukan hasil kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap objek.


(20)

2. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini mengunakan teknik dokumentasi, yaitu teknik pengumpulan data melalui pengumpulan dokumen untuk memperkuat informasi. Teknik dokumentasi dapat dikatakan sebagai strategi yang digunakan dengan mengumpulkan data dari buku, majalah, esai, jurnal, online, dan dokumen lain yang menunjang dalam penelitian ini. Penulis melakukan seleksi dalam pemilihan data yang menunjang dengan melihat keterkaitan data penunjang dengan objek yang dikaji.


(21)

10

Swingewood mendefinisikan sosiologi merupakan studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses sosial.1 Dilihat dari pernyataan Swingewood tersebut ada perbedaan mendasar sosiologi dengan dunia sastra, sebab sosiologi bersifat objektif dan ilmiah, sedangkan sastra lebih berdasar pada perasaan. Walau memiliki perbedaan yang mendasar, ranah kajian sosiologi memiliki kesamaan pula dengan dunia sastra, karena karya sastra tidak tercipta dengan sendirinya, namun ada sastrawan yang merupakan anggota dari suatu masyarakat, juga karya sastrawan yang terpengaruh oleh lingkungan sosial sekitar. Seperti yang diungkapkan Wolff, bahwa sosiologi kesenian dan kesuasastraan merupakan suatu disiplin tanpa bentuk, tidak terdefinisikan dengan baik, terdiri dari sejumlah studi empiris dan berbagai percobaan pada teori yang lebih general, yang masing-masing hanya mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semuanya berurusan dengan hubungan antara seni/kesuasastraan dan masyarakat.2 Sosiologi dan sastra dapat dilihat dari hubunga antar manusia dan masyarakat, baik dari segi interaksi, hubungan, komunikasi, dan komponen-komponen sosial yang lainnya. Sehingga sastra tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat, karena pengaruh dari masyarakat menjadi poin penting penciptaan karya sastra. Dilihat dari penjabaran sebelumnya, bahwa sastra dan sosiologi saling melangkapi, walau kenyataannya selama ini cenderung untuk dipisahkan. Maka dapat diambil simpulan bahwa sosiologi sastra merupakan pendekatan

1

Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013) h. 1

2Ibid.


(22)

sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakat. 3 Lepas dari sastra itu cerminan dari realitas masyarakat, atau sebuah hasil yang baru dan otentik dari buah pemikiran seorang pengarang.

Klasifikasi sosiologi sastra menurut Wellek dan Werren dibagi menjadi tiga bagian. 4 Pertama, sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan institusi sastra. Permasalahan sosiologi pengarang berkaitan dengan ideologi, status sosial, dan hal lain yang berkaitan dengan pengarang dalam menghasilkan karya sastra. Kedua, sosiologi karya sastra. Ranah sosiologi karya sastra mencangkup isi, tujuan, serta hal-hal yang tersirat dalam karya sastra. Ketiga, sosiologi sastra yang berhubungan dengan pembaca dan dampak sosial karya sastra.

B. Sosial dan Politik

Masyarakat dan individu tidak bisa dilepaskan dengan gambaran-gambaran masalah yang ada di sekitarnya, kondisi sosial yang digambarkan akan menjelaskan permasalan yang ditemui. Keadaan sosial mempengaruhi cara bersikap masyarakat dalam menentukan sikap, begitu juga dunia politik ikut menyumbang gambaran kondisi sosial yang tercipta. Kondisi sosial dapat tergambarkan dari perekonomian, hubungan dengan keluarga, hingga nilai-nilai sosial yang muncul dalam masyarakat. Dalam ranah politik akan muncul permasalahan kekuasaan dan nasonalisme. Kondisi sosial dan politik tersebut akan memperjelas sebuah gambaran yang dapat menjabarkan perjalanan hidup suatu masyarakat.

1. Kondisi Sosial

Kondisi sosial novel dapat dikaji dari beberapa aspek yang terlihat dari cerita, baik terlihat secara langsung atau tidak langsung. Sesuai dengan pengkategorian Mundar Soelaeman pada buku Ilmu Sosial Dasar, aspek sosial

3

Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra: Pengantar Ringkas , (Jakarta: editum, 2013) h. 2

4


(23)

yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah kajian perekonomian, disorganisasi keluarga, dan nilai-nilai sosial.

a. Perekonomian

Ekonomi mencoba memahami kehidupan individu dan masyarakat dalam usahanya memproduksi, mendistribusi dan mengkonsumsi barang dan jasa yang terbatas dalam masyarakat.5 Kebutuhan individu dan masyarakat itu bisa dipenuhi dengan adanya institusi yang mengelola dalam memahami kebutuhan yang berbeda-beda. Individu dan kelompok yang memenuhi kebutuhannya dengan barang dan jasa bisa dikatakan sebagai fenomena ekonomi.6 Ekonomi juga dapat memperbesar jarak antar kelas sosial, rasial, dan ketidaksamaan gender. 7 Dalam mekanisme penerimaan dan penawaran, sosiologi dapat memberikan resep untuk mencegah konflik sosial. Dalam memenuhi kebutuhan manusia, selain merupakan kebutuhan ekonomi, dapat pula diklasifikasikan sebagai kebutuhan sosial, contoh ternak, selain fungsi ekonomi, dapat diklasifikasikan sebagai kebutuhan sosial. 8Sebab ekonomi saat ini menjadi salah satu penilaian kehidupan masyarakat.

b. Disorganisasi Keluarga

Disorganisasi sosial dapat diakibatkan oleh laju perubahan kondisi sosial. Perubahan kondisi sosial dapat berupa pengambilan tempat, pembaruan norma, peraturan baru, konflik yang terjadi, dan institusi yang mengambil bentuk dan fungsi yang baru. 9 Disorganisasi

5

Ng. Philipus dan Nuril Aini, Sosiologi dan Politik, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009) h. 2

6Ibid.,

h.65

7

Kenneth J. Neubeck and Davita Silfen Glasberg, Sosiology: Diversity, Conflict, and Change, (New York: McGraw-Hill, 2005) h. 67

8

M. Munandar Soelaeman, Ilmu Sosial Dasar: Teori dan Konsep Ilmu Sosial, (Bandung: PT ERESCO, 1995) h. 186

9

Judson R. Landis, Sociology: Concepts and Characteristics, (California: Wadworth Publishing Company, 1971) h. 192


(24)

keluarga merupakan salah satu bentuk dari disorganisasi sosial yang disebabkan oleh perpecahan keluarga yang unit anggota keluarganya tidak dapat menunaikan kewajiban yang sesuai dengan peranan sosial. Disorganisasi kelurga menurut Soelaeman terdiri dari lima definisi:

1) Ketidaksaahan. Merupakan unit keluarga yang tidak lengkap. Kegagalan anggota keluarga menjalankan kewajiban peranannya.

2) Pembatalan, perpisahan, perceraian, dan meninggal.

3) Keluarga selaput kosong. Keluarga yang tinggal bersama, namun tiap anggota keluarga tidak ada interaksi.

4) Ketidak hadiran seseorang dari pasangan karena hal yang tidak diinginkan, baik karena meninggal, dipenjara, peperangan, depresi, dan malapetaka lainnya.

5) Kegagalan peranan penting yang tak diinginkan. Seperti penyakit mental, emosional, atau badaniah.

c. Nilai-nilai Sosial

Nilai merupakan patokan perilaku sosial yang melambangkan baik-buruk, benar-salah suatu objek hidup masyarakat. Nilai biasanya diukur berdasarkan kesadaran terhadapa apa yang pernah dialami seseorang, terutama pada waktu merasakan kejadian yang dianggap baik atau buruk, benar atau salah, baik oleh dirinya sendiri maupun anggapan masyarakat.10 Konsep keyakinan menjadi faktor utama munculanya nilai-nilai sosial, baik merupakan sebuah fakta yang pasti atau justru bukan, karena konsep tersebut tidak perlu dibuktikan. Nilai-nilai sosial juga mempengaruhi individu atau kelompok untuk berprilaku, baik secara keseluruhan ataupun hanya sebagian.

10


(25)

Nilai-nilai sosial dapat juga timbula kerena adanya prasangka, sehingga timbullah diskriminasi. Sikap yang ditunjukan dari sebuah prasangka mempunyai komponen-komponen, yaitu:

1) Kognitif: Memiliki pengetahuan mengenai objek sikapnya, terlepas pengetahuan itu benar atau salah.

2) Afektif: Selalu mempunyai evaluasi emosional (setuju-tidak setuju) mengenai objek sikapnya.

3) Konatif: Kecenderungan bertingkah laku bila bertemu dengan objek sikapnya, mulai dari bentuk yang positif (tindakan sosialisasi) sampai pada yang sangat aktif (tindakan agresif).

2. Kondisi Politik

Kondisi politik yang tergambarkan dalam sebuah novel dapat bermacam jenisnya, seperti partisipasi politik, sistem politik, kekuasaan dan wewenang, mobilisasi politik, hingga nasionalisme atau yang berhubungan dengan kewarganegaraan. 11 Aspek politik yang digunakan untuk penelitian ini terdapat pada kekuasaan dan nasionalisme.

a. Kekuasaan

Pengertian Kekuasaan yang paling umum menurut Roderick Martin mengacu pada suatu jenis pengaruh yang dimafaatkan oleh si objek, individu, atau kelompok terhadap yang lainnya.12 Kekuasaan bergaris besar dengan pengaruh, pemaksaan, dan otoritas. Pengaruh yang dimiliki individu atau kelompok dalam suatu tempat dapat digunakan untuk membujuk yang lain untuk melakukan atau mempercayai sesuatu, bila dengan membujuk tidak bisa dilakukan,

11

M. Munandar Soelaeman, Op. cit, h. 207

12 Ibid.,


(26)

maka sifat pemaksaan yang akan dikeluarkan sebegai otoritas yang dimiliki oleh si penguasa.

Soerjono Soekanto menyebutkan empat macam usaha untuk mempertahankan kekuasan13, yaitu:

1) Menghilangkan segenap peraturan-peraturan lama, terutama dalam bidang politik yang merugikan kedudukan penguasa.

2) Mengadakan sistem-sistem kepercayaan (bilief-system) yang akan dapat mengkokoh kedudukan penguasa atau golongannya, sistem-sistem kepercayaan tersebut meliputi agama, ideologi, dan seterusnya.

3) Pelaksanaan administrasi dan birokrasi yang baik. 4) Mengadakan konsolidasi secara horizontal dan vertikal. b. Nasionalisme

Menurut Kleiden bahwa nasionalisme merupakan semangat dari suatu kelompok bangsa tertentu dengan segala cita-cita dan harapan ideal yang akan dikejarnya merupakan roh yang tumbuh dan berkembang dari zaman ke zaman. Nasionalisme tidak terhalang oleh jarak suatu bangsa dengan tempat asalnya. Nasionalisme tidak mengenal jarak tersebut dikenal dengan nasionalisme jarak jauh. Nasionalisme jarak jauh lebih menekankan kepada komitmen politisi dengan melakukan aksi-aksi tertentu yang merupakan tanggapan terhadap situasi bangsanya.14

C. Eksil

Bahasa Inggris istilah exile, yang diindonesiakan menjadi eksil, memiliki tiga pengertian. Pertama, sebuah ketakhadiran, sebuah absensi yang

13

Abdulsyani, Op. cit., h. 141

14Amir Mudzakkir, “Eksil Indonesia dan Nasionalisme Kita”, makalah disampaikan dalam


(27)

panjang dan biasanya karena terpaksa dari tempat tinggal ataupun negeri sendiri. Kedua, pembuangan secara resmi (oleh negara) dari negeri sendiri, dan pengertian ketiga adalah seseorang yang dibuang ataupun hidup di luar tempat tinggal ataupun negerinya sendiri (perantau, ekspatriat). Istilah exile itu sendiri berasal dari bahasa Latin yaitu exsilium (pembuangan) dan exsul (seseorang yang dibuang). Dari ketiga pengertian istilah eksil di atas kita bisa melihat bahwa faktor dislokasi geografis dari tempat kelahiran ke sebuah tempat asing merupakan faktor utama yang menciptakan kondisi yang disebut sebagai eksil itu. Dislokasi geografis itu sendiri bisa terjadi karena disebabkan oleh negara secara resmi ataupun karena pilihan pribadi. Pada kasus pertama, para pelarian politik segera muncul dalam pikiran kita sebagai representasi dari mereka yang diusir dari negeri kelahiran sendiri oleh pemerintahan yang sedang berkuasa, sementara pada kasus kedua kita segera teringat pada para pengungsi, para transmigran, dan para perantau yang mencari hidup baru di luar tempat kelahiran mereka.15 Pada peristiwa di Indonesia tahun 1965, munculan istilah eksil untuk para warga negara Indonesia yang tertahan karena memiliki hubungan atau sebagai tertuduh peristiwa Gerakaan 30 September (G30S), dan dari pengertian eksil sebelumnya, konsep eksil yang disuguhkan untuk mewakili para eksil yang tersangkut peristiwa G30S adalah konsep geografis dari tempat kelahiran ke tempat baru baik karena keinginan pribadi atau perintah resmi pemerintahan atau istilah lainnya yaitu pembuangan.

D. Pengertian Novel

Menurut Abrams novel berasal dari bahasa Italia novella yang

memiliki arti “sebuah barang baru yang kecil”, kemudian diartikan

sebagai ”cerita pendek dalam bentuk prosa”. Namun, pada masa sekarang

penggunaan istilah novel di Indonesia sama dengan penggunaan istilah

15

Saut Situmorang, “Sastra Eksil Sastra Rantau”, diunduh tanggal 28 Oktober 2014, http://sastra-pembebasan.10929.n7.nabble.com/


(28)

novelet yang merujuk pada sebuah karya prosa yang cukup panjang dan tidak terlalu pendek.16 Pembauran istilah novel dan novelet masih dipertanyakan. Namun, dilihat tidak adanya batasan pasti untuk sebuah karya disebut novel, maka istilah tersebut novelet dan novel bisa dikatakan sama saja.

Novel dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai karangan prosa yang panjang, mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang di sekitarnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku. Biasanya novel menceritakan peristiwa pada masa tertentu. Bahasa yang digunakan lebih mirip bahasa sehari-hari. Penggunaan unsur-unsur instrinsik masih lengkap, seperti tema, plot, latar, gaya bahsa, nilai, tokoh dan penokohan. Dengan catatan, yang ditekankan aspek tertentu dari unsur instrinsik tersebut.17 Karena unsur intrinsik merupakan unsur yang membangun novel dari dalam karya tersebut, tidak ada perbedaan antara novel maupun roman.

Pengertian novel dari berbagai tokoh sebelumnya menitikberatkan bahwa novel adalah sebuah karya sastra yang memiliki unsur-unsur dalam mendukung jalan cerita sehingga terjadi alur yang berawal dari awalan hingga leraian atau penyelesaian dan tidak terlepas dari unsur-unsur luar yang mendukung terciptanya karya tersebut. Seperti unsur sosial, politik, ekonomi, dan unsur-unsur yang berkaitan dengan realita kehidupan. Istilah tersebut dikenal dengan unsur ekstrinsik.

E. Jenis-jenis Novel

Penggolongan novel dalam dunia penerbitan buku sulit dilakukan, karena beberapa hal yang bersifat subjektif sehingga pemisahan jenis novel menjadi kabur, seperti kebiasaan penerbitan dalam mengelurkan buku, atau kebiasaan seorang penulis dalam mengeluarkan karyanya. Berdasarkan teori

16

Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Perss, 2013) h. 11

17


(29)

Lukas, Girard, Goldmann mendefinisikan novel sebagai cerita tentang suatu pencarian yang terdegradasi akan nilai yang otentik yang dilakukan oleh seorang hero yang problematika dalam sebuah dunia yang juga terdegradasi. Goldmann membedakan jenis novel menjadi tiga jenis, yaitu: novel idealisme abstrak, novel psikologi, dan novel pendidikan.18 Novel idealis diwakili oleh Don Quixote yang menceritakan bahwa sang hero penuh optimisme dalam petualangan tanpa menyadari kompleksitas. Novel psikologi diwakili oleh L.

‘Education Sentrimentale, Goethe yang menceritakan bahwa sang hero

cenderung pasif karena kekuasaan kesadarannya tidak tertampung oleh dunia konvensi. Novel pendidikan diwakili oleh Wilhelm Meister yang menceritakan bahawa sang hero telah melepaskan pencariannya akan nilai-nilai yang otentik, tetapi tetap menolak dunia.

Nurgiyantoro lebih spesifik dalam mengkasifikasikan jenis novel berdasarkan keadaan sastra di Indonesia. Jenis novel Indonesia dapat dijeniskan menjadi dua bagian, novel serius dan novel populer. Novel serius dikenal pula dengan novel sastra. Menurut Stanton, fiksi populer memerlukan pembacaan dan „pembacaan kembali’. Maksud pernyatan tersebut bahwa pembacaan novel serius tidak mudah, sehingga pembaca tidak hanya menikmati saja, namun dituntut untuk memahami dengan cara diserap sedikit demi sedikit. Jarang sekali ada orang yang dapat langsung memahami novel serius hanya dengan sekali membaca.

Tujuan utama novel serius adalah memungkinkan pembaca membayangkan sekaligus memahami satu pengalaman manusia. Untuk menjawab pertanyaan mengapa maksud tersebut harus dicerna melalui berbagai hal rumit dan sulit, harus diingat bahwa pengalaman manusia bukanlah sekadar rangkaian kejadian-kejadian yang sinambung. Rangkaian tersebut hendaknya dirasakan sedalam mungkin seolah sedang benar-benar

18


(30)

dialami.19 Bila sebuah novel hanya menjadi bahan bacaan yang menghibur dan memuasakan kesamaan realita yang terjadi, tanpa membangkitkan imajinasi, bisa diaktakan novel tersebut adalah novel populer.

Pembatasan novel serius dan novel populer masih memiliki kekaburan dan pembantasan yang tipis, salah satu penyebabnya adalah steriotip pembaca terhadap pengarang. Bila ada pengarang yang dikenal melahirkan karya yang selalu serius, maka pembaca akan langsung menilai karya yang dilahirkan akan serius, padahal belum tentu semua karya yang dibuat memiliki karakter novel serius, begitu pula sebaliknya dengan novel populer. Bila pembaca atau masyarakat mengenal suatu penerbit sering mencetak novel-novel populer, walau novel itu memiliki karakter novel serius, pembaca akan tetap mengkatagorikan sebagai novel populer.

F. Unsur Pembangun Karya Sastra

Karya sastra merupakan sebuah hasil karya pengarang yang diwakili dalam bentuk kata-kata dan rangkaian cerita yang saling membangun. Unsur pembangun karya sastra, khususnya novel terdiri dari unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.

1. Intrinsik

Unsur intrinsik (intrinsic) adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan suatu teks hadir sebagai teks sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai orang membaca karya sastra. Unsur yang terkandung dalam instrinsik menjadi bahan kajian kritik sastra seperti tema, alur, tokoh, latar, sudut pandang, dan gaya bahasa.

a. Tema

Tema merupakan aspek yang sejajar dengan „makna’ dalam pengalaman manusia; sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman

19


(31)

begitu diingat. 20 Ada banyak kisah berhubungan dengan pengalaman yang dirasakan manusia, mulai dari cinta hingga penderitaan. Aminuddin berpendapat tema adalah ide yang mendasari suatu cerita. Tema berperan sebagai pangkal tolak pengarang saat memaparkan karya rekaan yang diciptakannya. Tema merupakan kaitan hubungan antara makna dengan tujuan pemaparan prosa rekaan oleh pengarangnya. 21 Hartoko & Rahmanto mengemukakan bahwa tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan terkandung di dalam teks sebagai struktur sistematis dan menyangkut persamaan juga perbedaan.22 Di pihak lain, Nurgiyantoro menyimpulkan tema sebagai gagasan (makna) dasar umum yang menompang sebuah karya sastra sebagai struktur sematis dan bersifat abstrak secara berulang-ulang dimunculkan lewat motif-motif dan biasanya dilakukan secara implisit.23 Dari beberapa pendapat ahli, diketahui bahwa tema merupakan makna pokok pembicaraan sebuah cerita, kemunculannya akan lebih sering terlihat karena masalah-masalah yang ada pada cerita akan menuju kepada makna tersebut.

b. Alur

Stanton menjelaskan bahwa alur atau plot (istilah yang digunakan Nurgiyantoro) merupakan cerita yang berisi urutan kejadian, namun kejadian dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain.24 Pendapat Stanton sebelumnya sudah dikemukakan oleh Forster yang mengartikan alur sebagai peristiwa-peristiwa

20

Robert Stanton, Op.cit., h. 36

21

Wahyudi Siswanto, Op.cit, h. 161

22

Burhan Nurgiyantoro, Op.cit, h.115

23Ibid. 24Ibid.,


(32)

cerita yang mempunyai pendekatan pada adanya hubungan kausalitas. Penggambaran peristiwa berdasarkan pada urutan cerita saja tidak dapat menggambarkan pengertian alur. Alur haruslah menjadi sebuah jalinan cerita yang memiliki keterkaitan cerita satu dengan yang lain. Peristiwa terjadi pasti ada penyebabnya, atau peristiwa itu terjadi karena penyebab peristiwa lain. Hal seperti itu merupakan jalinan cerita saling berkaitan, maka akan terjadilah jalinan cerita tidak hanya berdasarkan urutan cerita, tapi lebih kepada kaitan antar cerita yang memiliki ikatan satu sama lain.

Abrams mengungkapkan, bahwa alur haruslah berupa rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita. 25 Sedangkan Sudjiman mengartikan alur sebagai jalinan peristiwa di dalam karya sastra untuk mencapai efek tertentu. Siswanto mengartikan alur adalah rangkaian peristiwa rekaan dan dijalani dengan saksama, menggerakan jalan cerita melalui rumitan ke arak klimaks dan selesaian. Menurut pendapat Abrams dan Siswanto menggambarkan alur dengan tahapan-tahapan tertentu sehingga cerita dapat bergerak menghadirkan peristiwa. Bila dilihat kembali dari pendapat beberapa ahli seputar alur atau plot, cerita fiksi pada umumnya harus memiliki jalinan peristiwa yang memiliki keterkaitan sehingga akan menimbulkan tahapan-tahapan pembangun cerita yang akan mengesankan pembaca.

Tahapan alur menurut Aminuddin diawali dengan pengenalan, konflik, komplikasi, klimaks, peleraian, dan penyelesaian. Pengenalan adalah tahapan peristiwa suatu cerita rekaan atau

25


(33)

drama yang memperkenalkan tokoh-tokoh atau latar cerita. Konflik atau tikaian adalah ketegangan atau pertentangan antara dua kepentingan atau kekuatan di dalam cerita rekaan atau drama. Komplikasi atau rumitan adalah bagian tengah alur cerita rekaan atau drama yang mengembangkan tikaian. Klimaks merupakan bagian alur cerita rekaan atau drama yang melukiskan puncak ketegangan, terutama dipandang dari segi tanggapan emosional pembaca. Krisis atau titik balik berupa bagian alur yang mengawali penyelesaian. Leraian adalah bagian struktur alur sesudah tercapainya klimaks. Selesaian merupakan tahap akhir suatu cerita rekaan atau drama. 26 Sedangkan Nurgiyantoro membedakan alur berdasarkan kriteria urutan waktu, yaitu alur lurus (progresif), alur sorot-balik (flash back), dan alur campuran. Alur lurus menekankan kepada urutan kronologis yang tertata dari awal hingga akhir cerita. Alur sorot-balik lebih kepada pengambilan tengah cerita sebagai pembuka cerita, kemudian barulah cerita dilanjutkan secara berurutan. Alur campuran merupakan penggambungan antara alur lurus dan alur sorot-balik. c. Tokoh

Aminudin mengungkapkan bahwa tokoh merupakan pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan menampilkan tokoh disebut penokohan. Tokoh menurut Sudjiman merupakan individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Di samping tokoh utama (protagonis), ada jenis-jenis tokoh lain, yang terpenting adalah tokoh lawan (antagonis), yakni tokoh yang diciptakan untuk

26Ibid.,


(34)

mengimbangi tokoh utama. Konflik di antara mereka itulah yang menjadi inti dan menggerakan cerita.27 Bukan perkara tokoh protagonis adalah tokoh baik, atau tokoh antagonis adalah tokoh jahat. Tapi, lebih menyoroti kedudukan tokoh dalam cerita.

Boulton mengungkapkan bahwa cara sastrawan

menggambarkan atau memunculkan tokoh dapat menempuh berbagai cara.28 Jadi, dapat dikatakan tokoh merupakan tokoh rekaan yang menjalani peristiwa sehingga membangun cerita. Setiap tokoh memiliki karakterisasi atau pemeranaan, pelukisan watak. Metode karakterisasi dalam telaah karya sastra adalah metode melukiskan watak para tokoh yang terdapat dalam suatu karya fiksi. 29 Sehingga pengambaran tokoh ditunjukan oleh pengarang dapat dilihat melalui metode langsung (telling) dan metode tidak langsung (showing). Menurut Minderpop, metode langsung dapat disimak bahwa pengarang tidak sekadar menyampaikan watak para tokoh berdasarkan apa yang tampak melalui lakuan tokoh tetapi ia mampu menembus pikiran, perasaan, gejolak serta konflik batin dan bahkan motivasi yang melandasi tingkah laku para tokoh. Sedangkan metode tidak langsung dapat dijelaskan ketika seorang tokoh membicarakan tingkah laku tokoh lainnya ternyata pembicaraan justru dapat menunjukan tidak sekadar watak tokoh yang dibicarakan, bahkan watak si penutur sendiri tampak jelas.

27

Melani Budianta dkk, Membaca Sastra: Pengentar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi, (Indonesia Tera: Magelang, 2006) h. 86

28

Wahyudi Siswanto, Op.cit, h. 104

29

Albertine Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2005) h. 2


(35)

d. Latar

Latar adalah segala keterangan mengenai waktu, ruang dan susana terjadinya lakuan pada karya sastra. Deskripsi latar dapat bersifat fisik, realistis, dokumenter, dapat pula berupa deskipsi perasaan.30 Wellek & Warren mengemukakan bahwa latar adalah lingkungan yang dapat berfungsi sebagai metonimia, metafora, atau ekspresi tokohnya. Abrams mengemukakan latar cerita adalah tempat umum (general locale), waktu kesejarahan (historical time), dan kebiasaan masyarakat (social circumatances) pada setiap episode atau bagian-bagian tempat.31 Latar merupakan lingkungan yang menjelaskan segala keterangan, mencakup tempat, waktu, dan suasana.

Leo Hamalida dan Frederick R. Karell menjelaskan bahwa latar cerita karya fiksi bukan hanya berupa tempat, waktu, peristiwa, suasana serta benda-benda di lingkungan tertentu, tetapi juga dapat berupa suasana yang berhubungan dengan sikap, jalan pikiran, prasangka, maupun gaya hidup suatu masyarakat dalam menanggapi suatu problem tertentu. Pendapat Leo & Frederick sepaham dengan pendapat Abrams yang menyebutkan bahwa latar sebagai landasan tumpu, menunjuk pada pengertian tempat, hubungan sejarah, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa diceritakan. 32 Latar berhubungan dengan keadaan tertentu dikenal melalui penggambaran latar suasana, gambaran terjadi lebih membangun nuansa yang terasa oleh pembaca.

30

Melani Budianta dkk, Op.cit., h.

31

Wahyudi Siswanto, Op.cit., h.149

32


(36)

e. Sudut Pandang

Sudut pandang adalah tempat sastrawan memandang cerita, dari tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa, tempat, waktu dengan gayanya sendiri. 33 Hal itu biasanya dikemukakan oleh narator. Berbicara tentang narator, berarti berbicara tentang sudut pandang, yaitu suatu metode narasi yang menentukan posisi atau sudut pandang darimana cerita disampaikan.34 Sedangkan menurut Aminuddin, titik pandang diartikan sebagai cara pengarang menampilkan pelaku dalam cerita yang dipaparkannya. Titik pandang meliputi (1) narrator omniscient, (2) narrator observer, (3) narrator observer omniscient, dan (4) narrator the thrid person omnisceant.

Harry Shaw menyatakan titik pandang terdiri atas (1) sudut pandang fisik, yaitu posisi dalam waktu dan ruang yang digunakan pengarang dalam pendekatan materi cerita, (2) sudut pandang nentral, yaitu perasaan dan sikap pengarang terhadap masalah dalam cerita, dan (3) sudut pandang pribadi, yaitu hubungan yang dipilih pengarang dalam membawa cerita; sebagai orang pertama, kedua, atau ketiga. Sudut pandang pribadi dibagi atas (a) pengarang menguatkan sudut pandang tokoh, (b) pengarang menggunakan sudut pandang tokoh bawahan, dan (c) pengarang menggunakan sudut pandang yang impersonal: ia sama sekali berdiri di luar cerita.35 Pengarang sudah tidak punya kedudukan ketika cerita sudah dipaparkan. Tidak ada pengarang dalam cerita, melainkan tokoh yang diciptakan pengarang untuk memandu cerita.

33

Wahyudi Siswanto, Op.cit., h. 151

34

Albertine Minderop, Op.cit., h. 44

35


(37)

Baik tokoh yang terlibat langsung, atau tokoh di luar cerita berlangsung.

Sudut pandang orang pertama atau “akuan” adalah tokoh yang terdapat dalam cerita, walau kehadirannya belum tentu sebagai tokoh utama. Sedangkan sudut pandang orang ketiga atau “diaan” mengacu kepada kata ganti orang ketiga, dia, atau ia. Sudut

pandang “diaan” berada di luar cerita, ia bertugas menyampaikan suatu cerita tanpa ikut terlibat di dalamnya.36 Selain itu, ada pula sebutan sudut pandangan gabungan dapat mengamati bagaimana pengarang menyampaikan ceritanya. Menggunakan sudut pandang gabungan dapat melihat sebuah masalah ditinjau lebih dari satu tokoh yang terlibat dalam peristiwa tersebut.37 Menurut Miderop, sudut pandang berfungsi sebagai penentu tokoh mayor (utama) dan minor (bawahan), memahami perwatakan para tokoh yang dianalisi, memperlihatkan motivasi, menentukan alur dan latar bila dianggap perlu untuk mendukung perwatakn atau tema, dan menentukan tema karya sastra tersebut.

f. Gaya Bahasa

Aminuddin mengungkapkan bahwa gaya bahasa adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca. 38 Gorys Keraf membedakan gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna ke dalam dua kelompok, yaitu gaya bahasa retoris dan kisan. Gaya retoris adalah gaya bahasa yang harus diartikan menurut nilai lahirnya atau

36

Melani Budianta, dkk, Op.cit., h. 90

37

Albertine Minderop, Op.cit., h. 91

38


(38)

memiliki unsur kelangsungan makna. Sebaliknya, gaya bahasa kiasan adalah gaya bahasa yang maknanya tidak dapat ditafsirkan sesuai dengan makna kata-kata yang membentuknya.39 Gaya bahasa kiasan umumnya dikenal dengan sebutan majas.

Umumnya gaya bahasa adalah semacam bahasa yang bermula dari bahasa biasa digunakan dalam gaya tradisional dan literal untuk menjelaskan orang atau objek. Gaya bahasa mencangkup: arti kata, citra, perumpamaan, serta simbol dan alegori. Arti kata mencangkup, antara lain: arti denotatif dan konotatif, alusi, parodi, dan sebagainya; sedangkan perumpamaan mencangkup, antara lain: simile (merupakan perbandinngan langsung antara benda-benda yang tidak selalu mirip secara ensesial), matafor (suatu gaya bahasa yang membandingkan suatu benda dangan benda lain secara langsung, dalam bahasa Inggris menggunakan to be dan bisa digunakan secara langsung) dan personifikasi (suatu proses penggunaan karakteristik manusia untuk benda-benda non-manusia, termasuk abstrak dan gagasan).40 Ada beberapa macam gaya bahas kiasan selain perumpamaan. Ada kaya bahasa yang berupa perbandingan, sindiran, pertentangan, dan penegasan. 2. Ekstrinsik

Unsur ekstrinsik (extrinsic) adalah unsur-unsur yang berada di luar teks sastra itu, tetapi tidak langsung memengaruhi bangun atau sistem organisme teks sastra, atau secara khusus dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangunan cerita sebagai karya sastra, namun sendiri tidak ikut menjadi bagian di dalamnya.41

39

Burhan Nurgiyantoro, Op.cit., h. 399

40

Albertine Minderop, Op. cit., h. 42

41


(39)

Faktor lingkungan dan sejarah menjadi salah satu pembentuk unsur ekstrinsik sebuah karya.

Seperti ungkapan Wellek dan Warren yang meyakinkan bahwa metode terbaik dalam ekstrinsik adalah mengaitkan karya sastra dengan latar belakang keseluruhan.42 Baik dari segi biografi, psikologi, sosiologi, maupun pemikiran pengarang. Segala aspek kehidupan yang berada di lingkungan kehidupan pengarang dapat menjadi wahana pembangun sebuah karya sastra secara tidak langsung, baik itu disadari ataupun tidak oleh pengarang.

G. Pembelajaran Sastra di Sekolah

Pengajaran ranah formal atau dikenal dengan pembelajaran di sekolah atau perguruan tinggi merupkan salah satu cara mengenalkan sastra pada peserta didik. Pengajaran sastra dapat dikaitkan kedalam bidang disiplin ilmu lainnya, termasuk dalam bidang pendidikan. Walaupun sastra bersifat karya rekaan, namun keterkaitan karya sastra erat dengan kejadian-kejadian yang terjadi di kehidupan sehari-hari. Keluwesan sastra dapat membantu pengajar mengajarkan masalah-masalah yang akan dihadapi di dunia nyata.

Sayangnya, murid di sekolah tidak dibiasakan untuk membaca novel secara keseluruhan. Mereka hanya terbiasa membaca ringkasannya saja. Sedangkan ringkasan tidak dapat menggambarkan keindahan dan isi novel secara keseluruhan, tidak mengungkapkan gaya penulisan dan diksi pengarang yang bersangkutan dengan gaya kepenulisan pengarang lain, serta tidak dapat mengguah rasa dan menimbulkan kesan untuk merangsang perenungan.43 Hal seperti itu tidak dapat dibiarkan begitu saja oleh pengajar, sebab akan menimbulkan ketidaktertarikan siswa untuk mengkaji sebuah novel. Bila keadaan murid yang suka membaca novel secara ringkasannya saja terus

42

Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesuasastraan, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993) h. 80

43

Melani Budianta, dkk, Membaca Sastra: Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi, (Magelang: Indonesia Tera, 2006) h. 145


(40)

dilanjutkan, maka hanya akan lahir pengetahuan-pengetahuan sebatas teoretis saja. Murid akan menghafal unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik yang bersangkutan dengan novel yang dibahas. Mereka tidak akan terbiasa untuk mengkaji sastra dengan memberi apresiasi, kritik, atau proses kreatif pada sebuah novel. Hanya saja, kurikulum saat ini di sekolah hanya sebatas membahas unsur intrinsik dan ekstrinsik, serta struktur lain yang bersifat teoretis tanpa melibatkan kajian yang lebih dalam pada karya sastra, tidak terkecuali novel.

Pembelajaran di sekolah, kajian terhadap novel dapat diterapkan kepada siswa kelas XII semester satu kurikulum KTSP yang membahas tentang kajian unsur ektrinsik dan instrinsik dari penggalan novel yang dibacakan.

SILABUS

Sekolah : SMA/MA

Mata Pelajaran : Bahasa dan Sastra Indonesia

Kelas : XII

Semester : 1 (Satu)

Standar Kopetensi : Memahami pembacaan novel

Kopetensi Dasar : Menjelaskan unsur instrinsik dan ekstrinsik dari penggalan novel.

Indikator Materi

Pembelajaran

Kegiatan Pembelajaran

Metode Penilaian Alokasi Waktu Sumber/ Bahan Alat  Menjelaskan unsur-unsur Instrinsik dalam Penggalan novel Menjelaskan unsur-unsur pembangun sastra (tema, Diskusi dan Present asi Jenis Tagihan: tugas individu

3 X 45 menit

 Buku novel  Media

setempat  Buku-buku


(41)

penggalan

novel yang

dibacakan.

latar, penokohan, alur, pesan atau sudut pandang, dan konflik) dalam penggalan novel yang dibacakan teman . Menjelaskan

unsur-unsur ektrinsik yang terdapat dalam penggalan novel. Mendiskusik

an unsur-unsur

intrinsik dan ekstrinsik penggalan novel.

tugas kelomp ok ulangan praktik Bentuk Instrumen:  uraian

bebas  pilihan

ganda jawaban singkat


(42)

H. Penelitian Relevan

Penelitian dilakukan terhadap novel Pulang karya Leila S. Chudori

pernah dilakukan oleh Bagus Takwin (2013) yang berjudul “Mencermati Naratif Novel Pulang. Makalah tersebut disajikan dalam musyawarah buku Pulang karya Leila S. Chudori di Serambi Salihara pada tanggal 29 Januari 2013, membahas tentang kekuatan naratif yang terdapat pada novel Pulang sehingga membuat kekuatan dan daya tarik yang menghasilkan daya pikat dan daya gugah. Kekuatan yang dijabarkan Takwin tentang kekuatan narasi Pulang terletak pada empat poin. Pertama, penetapan kejadian dalam alur waktu membantuk jejaring. Kedua, Penetapan waktu yang piawai sehingga menghasilkan dinamika cerita yang menggerakan. Ketiga, deskripsi lokasi tempat kejadian berlagsung juga menghasilkan karakteristik khas. Keempat, Penataan adegan dengan kesan visual yang kuat. Pulang dikatakan dapat membantu pembaca memaknai kembali menjadi orang Indonesia sehingga Pulang menjalankan fungsi dari naratif itu sendiri.

Kajian terhadap keberadaaan eksil pernah disampaikan dalam seminar

dengan makalah berjudul “Eksil Indonesia dan Nasionalisme Kita” oleh Amin

Mudzakkir (PSDR-LIPI) disampikan dalam seminar PSDR-LIPI “Eksil Indonesia dan Nasionalisme Kita” pada Selasa, 3 Desember 2013 d LIPI, Jakarta. Kajian makalah tersebut menjelaskan tentang kaum eksil yang tertahan di luar negeri karena dicabutnya paspor serta kewarganegaraa. Walau kaum eksil sudah tidak dianggap sebagai warga Indonesia dan telah memiliki kewarganegaraan sesuai negara tempat mereka tertahan, dan dipisahkan oleh ruang dan waktu dari tanah kelahairannya. Kaum eksil politik tersebut merasa masih memiliki identitas sebagai bangsa Indonesia. Istilah yang digunakan untuk menggambarkan keadaan tersebut adalah nasionalisme jarak jauh. Para nasionalis jarak jauh boleh saja tinggal bahkan menjadi warga negara lain, tetapi mereka tetap berjuang dan berpartisipasi untuk bangsa.


(43)

Makalah Amin Mudzakir menjelaskan bahwa nasionalisme kaum eksil menggugat konsep kewarganegaraan formal yang mengacu pada aspek legal. Mereka mematahkan nasionalisme terhadap satu negara saja, karena mereka telah menjadi warga negara lain, namun ideologi kaum eksil tetap mempertahankan Indonesia sebagai komitmen politik. Melalui argumen

tersebut munculah konsep “warga negara lintas-batas” oleh Schiller dan Fouron.

Penelitian terhadap novel Pulang pernah dilakukan oleh Eko Sulistyo

dengan judul “Novel Pulang karya Leila S. Chudori: Analisis Struktur Plot Robert Stanton” pada tahun 2014. Penelitian itu diajukan untuk tugas akhir Strata 1 (S1) jurusan Sastra Indonesia di UGM. Penelitian tersebut mendeskripsikan penggunaan struktur plot novel Pulang dengan hasil bahwa novel Pulang memiliki 840 peristiwa kausal yang disusun dalam 48 episode dan 5 bab (terbagi dalam 17 subbab). Dari keseluruhan cerita dapat dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu tahapan awal, tengah, dan akhir. Tahapan awal menjelaskan pengenalan tokoh, latar, serta konflik-konnflik yang mulai bermunculan. Tahapan tengah menampilkan konflik yang semakin meningkat dan memunculkan konflik baru. Tahapan akhir menampilkan klimaks dan penyelesaian dari kisah perjalanan Dimas serta keragu-raguan Lintang untuk menetap di Indonesia. Dari hasil penelitian tersebut mengemukakakn bahwa novel Pulang memiliki sifat rekat dan plausibel atau tiap peristiwa keseluruhan dalam novel tersebut memiliki hubungan kausal.


(44)

33 A. Biografi Leila S. Chudori

Leila Salikha Chudori lahir di Jakarta, 12 Desember 1962. Leila tinggal di Jakarta bersama putri tunggalnya, Rain Chudori-Soerjoatmodjo. Ia terpilih mewakili Indonesia mendapat beasiswa menempuh pendidikan di Lester B. Pearson College of the Pacific (United World Colleges) di Victoria, Kanada. Lulus sarjana Political Science dan Comparative Development Studies dari Universitas Trent, Kanada.1 Pendidikan pertamanya tahun 1969-1975 SD Batahari Jakarta, dilanjutkan SMP Negeri 8 Jakarta tahun 1976-1979, kemudian SMA 3 Jakarta tahun 1979-1984.2

Leila selalu pergi dan pasti kembali. Setelah beberapa tahun

“menghilang“, Leila yang ditulis Kompas sebagai anak emas sastra Indonesia yang telah kembali.3 Terbukti setelah menghilang dari dunia kepengarangan selama 20 tahun, ia muncul dengan melahirkan kumpulan cerita pendek 9 dari Nadira.

Ia seorang gemar membaca, bila gizi manusia terpenuhi dengan empat sehat lima sempurna, bagi Leila, nomor lima itu adalah membaca buku. Membaca buku bukan lagi sebuah hobi, tapi sebuah kebutuhan seperti manusia membutuhkan udara untuk bernafas. Ia pun seorang yang detail dalam segala hal, termasuk dalam menentukan detail ilustrasi setiap karya-karyanya. Namun, tanpa dipungkiri Leila merupakan orang yang mudah bosan. Termasuk dalam menggarap karya-karyanya. Ia bukan pengarang yang setiap

1

Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia, Leila S. Chudori, diunduh 23 Juni 2013, (http://www.penerbitkpg.com/),

2

Taman Ismail Marzuki, Leila S. Chudori, diunduh 26 Juni 2013, (http://www.tamanismailmarzuki.com/)

3


(45)

tahun menlahirkan karya, dan tidak akan langsung melahirkan karya lanjutan dalam waktu yang kronologis.4

Nama Leila S. Chudori pernah tercantum dalam daftar keanggotaan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) periode 1993-1996. Ia menegaskan bahwa sudah sejak lama menolak untuk duduk dalam keanggotaan itu. Sebuah jurnal sastra Asia Tenggara mencantumkan Leila S. Chudori sebagai salah satu sastrawan Indonesia dalam kamus sastra Dictionnaire des Creatrices diterbitkan oleh EDITIONS DES FEMMES, Prancis, disusun oleh Jacqueline Camus. Kamus sastra ini berisi data dan profil perempuan yang berkecimpung di dunia seni.

B. Karya-karya Leila S. Chudori

Karya-karya awal Leila dimuat saat berusia 12 tahun di majalah Si Kuncung, Kawanku, dan Hai. Pada usia dini ia menghasilkan buku kumpulan cerpen berjudul Sebuah Kejutan, Empat Pemuda Kecil, dan Seputih Hati Andra. Pada usia dewasa cerita pendeknya dimuat di majalah Zaman, majalah sastra Horison, Matra, jurnal sastra Solidarity (Filipina), Menagerie (Indonesia), dan Tenggara (Malaysia). Cerpen Leila dibahas oleh

kritikus sastra Tinneke Hellwig “Leila S. Chudori and Women in Contemporary Fiction Writing dalam Tenggara”.

Selain sehari-hari bekerja sebagai wartawan majalah berita Tempo, Leila (bersama Bambang Bujono) juga menjadi editor buku Bahasa! Kumpulan Tulisan di Majalah Tempo (Pusat Data Analisa Tempo, 2008). Leila juga aktif menulis skenario drama televisi.

Masa kanak-kanak, Leila mengarang semenjak anak-anak hingga dewasa. Semasa kanak-kanak, Leila memulai kariernya dengan membuat cerpen yang berjudul “Sebatang Pohon Pisang”, dimuat di majalah Kawanku

4

Hasil wawancara pribadi dengan Leila S. Chudori tanggal 28 Oktober 2014 pukul 13:00-15:00, bertempat di Thai Alley Gandaria City.


(46)

tahun 1974. Setelah itu karyanya rajin muncul di majalah tersebut dan majalah lainya seperti Kuncung.

Bakatnya dalam menulis memang sudah menonjol sejak kecil. Dia terpikirkan untuk membuat animasi benda mati, menghidupkan botol, kursi, dan lain-lainnya sehingga bisa bicara, punya perasaan atau berkeluh kesah. Kemampuan Leila untuk menangkap sesuatu terus berlanjut seiring dengan umurnya, wawasan yang didapat memiliki hubungan dengan karya-karyanya. Ketika beranjak remaja dengan wawasan remaja dia membuat cerita remaja. Tetapi mulanya sempat tak yakin, permasalahannya merasa tidak bisa membuat cerpen yang bertemakan cinta, ungkap Leila yang menurutnya lebih senang membuat cerita fiksi ketimbang artikel. Meski begitu, pada kenyataannya Leila dikenal sebagai pengarang cerita remaja.5

Karyanya manis, menggemaskan, tapi tidak cengeng. “Saya tidak bisa

membuat karya yang dibikin-bikin. Pokoknya apa yang saya pikirkan, saya

tuangkan,” cetusnya. Untungnya dipikirkan Leila bukan cinta saja meski usia remaja lumrah berisi dengan warna-warna cinta. Ini tercermin dari keragaman tema cerita yang diproduksinya. Salah satu karya yang diingatnya, persahabatan seorang remaja dengan tukang koran. Itu tidak lazim dibuat pengarang remaja masa itu, yang umumnya senang membuat cinta-cintaan si tampan dan si cantik.

Sejak kecil Leila sudah biasa berkumpul dengan pengarang terkenal seperti Yudhistira Massardi, Arswendo Atmowiloto, dan Danarto. Tapi dia memang bukan perempuan yang pantang mundur, terutama untuk bidang tulis menulis yang diyakininya sebagai pilihan hidup dan karier. Karena itu, dia memilih karier sebagai wartawan. Kerjanya memang sungguh menyita waktu dan meletihkan, sehingga ia tak sempat lagi menulis cerita fiksi. Sempat mewawancarai tokoh-tokoh terkenal, yang kemungkinan tak bisa dijumpai

5


(47)

kalau ia cuma sekadar penulis fiksi. Meski diakui kariernya sebagai pengarang cukup cemerlang, diminta ceramah, sampai diundang ke pertemuan pengarang Asia di Filipina. Tapi dia juga tak bisa menyembunyikan kegembiraannya sempat bertemu dengan Paul Wolfowitz, Bill Morison, HB Jassin, Corry Aquino dan menjadi satu dari 11 wanita Indonesia yang bisa makan siang bersama Lady Diana.

Berikut ini beberapa karyanya yang sudah dipublikasikan, baik berupa novel, kumpulan cerrita pendek, maupun naskah film:

1. Dunia Tanpa Koma

Drama TV berjudul Dunia Tanpa Koma, produksi SinemArt, sutradara Maruli Ara. Menampilkan Dian Sastrowardoyo dan Tora Sudiro ditayangkan di RCTI tahun 2006. Mendapatkan penghargaan sebagai acara TV terbaik tahun 2007 pada penghargaan Bandung Film Festival. Leila S. Chudori mendapatkan penghargaan sebagai penulis drama dan televisi pada acara dan tahun yang sama.

2. Drupadi

Menulis skenario film pendek Drupadi pada tahun 2008, produksi SinemArt dan Miles Films, sutradara Riri Riza. Merupakan tafsir kisah Mahabharata. Diperankan oleh Dian Sastrowardoyo sebagai Drupadi dan Nicholas Saputra sebagai Arjuna.

3. Malam Terakhir

Kumpulan cerpen Malam Terakhir pertama kali terbit tahun 1989 oleh Pustaka Utama Grafiti beberapa bulan sebelum pengarang bergabung dengan majalah Tempo,6 kemudian pada tahun 2009 dicetak ulang oleh Kepustakaan Populer Gramedia. Terdiri dari sembilan judul cerpen, “Paris,

Juni 1988’, “Adila”, “Air Suci Sita”, “Sehelai Pakaian Hitam”, “Untuk Bapak”, “Keats”, “Ilona”, “Sepasang Mata Menatap Rain”, dan “Malam

6


(48)

Terakhir”. Kumpulan cerpen Malam Terakhir diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman Die Letzie Nacht (Horlemman Verlag).7

4. 9 dari Nadira

Kumpulan cerpen 9 dari Nadira terbit pertama kali tahun 2009 bersamaan dengan terbit ulang Malam Terakhir oleh penerbit Kepustakaan Populer Gramedia. Terdiri dari sembilan judul, “Mencari Seikat Seruni”,

“Nina dan Nadira”, “Melukis Langit”, “Tasbih”, “Ciuman Terpanjang”, “Kirana”, “Sembilan Pisau”, “Utara Bayu”, dan “At Pedder Bay”.

Beberapa judul cerpen dalam 9 dari Nadira pernah dipublikasikan di

beberapa media, “Melukis Langit” dimuat di majalah Mantra Maret 1991 dan direvisi ketika masuk menjadi kumpulan 9 dari Nadira, “Nina dan

Nadira” di majalah Mantra Mei 1992 direvisi ketika masuk menjadi kumpulan 9 dari Nadira, “Mencari Seikat Seruni” di majalah Horison April 2009, dan “Tasbih” di majalah Horison September 2009.8 Tahun 2011, 9 dari Nadira mendapat apresiasi dari Penghargaan Sastra Badan Bahasa Indonesia. Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Lontar Foundation dengan judul The Longest Kiss.9

5. Pulang

Akhir tahun 2012, lahirlah Pulang sebagai novel pertama Leila S. Chudori. Diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia, dan diluncurkan pertama kali di Goethe Institut Jakarta. Riset yang dilakukan penulis selama enam tahun untuk pergi ke Pernacis dan mewawancari Oemar Said dan Sobron Aidit sebagai eksil tahanan politik.10Pulang menceritakan tentang perjalanan hidup eksil politik di Prancis, khususnya

perjalanan hidup Dimas Suryo yang berusaha untuk “Pulang” kembali ke

7

Taman Ismail Marzuki, loc.cit 8

Leila S. Chudori, 9 dari Nadira, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012)

9

Leila S. Chudori, “Tentang Leila”, 28 Oktober 2014, ( http://www.leilaschudori.com/)


(49)

pelukan Tanah Air. Tahun 2013, Pulang memenangkan Katulistiwa Literary Award.11

C. Pemikiran Leila S. Chudori

Leila S. Chudori merupakan pengarangan yang hampir selalu memilih cerita pendek sebagai format ketika berkarya. Baginya, cerita pendek dalam beberapa hal memiliki peraturan yang lebih ketat, lebih keras, dan lebih galak dari pada jenis format lainnya. Sebab cerita pendek harus memuat ledakan dalam ruang yang sempit, tidak ada tempat untuk ngalor-ngidul seenaknya menghabiskan kata-kata untuk memperlihatkan keindahan kosa kata. Keputusan itu tidak hanya berurusan dengan masalah fisik dari cerita pendek, tapi berhubungan dengan perasaan yang disampaikan.12

Ia sangat tidak percaya dengan bakat, baginya kata bakat itu

mengandung misteri. “Manusia itu ditentukan oleh faktor internal dan eksternal. Kita harus menguji diri kita, punya jiwa seni atau tidak.” katanya.

Bagi Leila, seorang pengarang memiliki kepekaan menangkap fenomena dalam dirinya, kemudian diekspresikan lewat kertas. “Kita harus mengadakan pendekatan pada kepekaan itu. Sesudah mengenal kepekaan itu, barulah dilanjutkan dengan proses edukasi, ya membaca, belajar dari pengalaman,

menghayati kehidupan,” Bagi Leila, seni itu tidak diperoleh dalam pendidikan

akademis, kecuali masalah politik dan ekonomi. Seorang pengarang berbakat itu tak ditentukan oleh kuantitas karyanya, tapi bobot karya itu sendiri. Pengarang yang terlalu produktif itu diragukan kualitas karya-karyanya.

“Kapan sih kesempatannya untuk mengendapkan karyanya dan kemudian

merenung. Lain halnya dengan Putu Wijaya yang benar-benar produktif, tapi terasa ada pengulangan-pengulangan tanpa disadarinya,”13 Leila beranggapan,

11

The Jakarta Post, Leila s. Chudori: Khatulistiwa Award winner’s commitment to the writing process, 28 Oktober 2014, http://www.thejakartapost.com/

12

Hasil wawancara pribadi dengan Leila S. Chudori tanggal 28 Oktober 2014 pukul 13:00-15:00, bertempat di Thai Alley Gandaria City.


(50)

menulis haruslah dari hati dan menikmati prosesnya. Tidak hanya sekadar ingin terkenal, apalagi mendampatkan penghargaan. Bila suatu karya diapresiasi baik, maka itu menjadi nilai tambah, tapi bukan sesuatu yang diharapkan dari awal pembuatan.14

Leila tumbuh dengan cerita-cerita pewayangan yang memiliki cerita yang mendalam dan kerumitan tidak biasa. Kisah pewayangan seperti kisah yang agung semacam dengan kisah-kisah para dewa di Yunani. Karyanya pun banyak terinspirasi dengan kisah-kisah pewayangan. Beberapa karyanya memiliki dasar kisah drama keluarga tidak biasa seperti kisah pewayangan. Baginya, kisah keluarga yang baik-baik saja tidak menarik untuk diceritakan. Berbeda hal bila cerita menggambarkan drama keluarga yang rumit karena anggota keluarganya meninggal karena bunuh diri15 atau keluarga yang menjadi korban dari peristiwa 30 September 196516 akan sangat menarik bila diceritakan dalam sebuah karya.17

Leila tidak mematok karya menjadi karya yang harus mendidik, justru menurut pandangannya bila karya sudah dilahirkan dan dinikmati oleh pembaca, pengarang haruslah membuat jarak dengan karya. Tidak ada lagi keharusan menjawab dan membahas masalah-masalah yang tidak dipahami dari karya tersebut. Biarkan pembaca menafsirkan sendiri maksud dari karya-karyanya. Termasuk memberikan kebebasan pengamat dan pembaca mengkatagorikan karya dalam bentuk novel sastra, novel populer, novel sejarah, atau katagori lainya.18

14

Hasil wawancara pribadi dengan Leila S. Chudori tanggal 28 Oktober 2014 pukul 13:00-15:00, bertempat di Thai Alley Gandaria City.

15

Kisah yang mendasari kumpulan cerita pendek 9 dari Nadira, keluarga yang ditinggal mati oleh Ibunya dengan cara bunuh diri, tanpa sebab dan tidak ada kejelasan kenapa sang ibu bisa

memutuskan bunuh diri, sehingga menimbulkan pertanyaa-pertanyaan serta kejutan bagi anggota keluarga lainnya.

16

Kisah ini merupakan formula dari novel Pulang.

17

Hasil wawancara pribadi dengan Leila S. Chudori tanggal 28 Oktober 2014 pukul 13:00-15:00, bertempat di Thai Alley Gandaria City.

18 Ibid.


(51)

Tahun 1982, Leila pergi kuliah ke Kanada, negeri multikultural yang

damai dengan standar hidup yang jauh lebih “menjanjikan“. Enam tahun

hidup di negeri yang “tertib“ tak membuat Leila kehilangan selera atas tanah

airnya. Ia memilih pulang: kembali ke tempat yang chaos, sumpek dan penuh persoalan. Leila ingat pesan ayahnya, “Ada alasan mengapa kita dilahirkan sebagai orang Indonesia. Alasan itu harus kita cari sepanjang hidup kita.”

“Karena tanah air ini sungguh remuk luka, penuh persoalan…

Manusia Indonesia? Manusia yang gemar duit dan malas bekerja, yang gemar bergunjing hanya untuk kesenangan sehari-hari, yang main tembak, yang

mempermainkan hukum…” tulis Leila dalam peringatan 40 hari kepergian ayahnya.

Tetapi, seperti kata Ayah pula, Indonesia juga memiliki matahari yang hangat. Ada banyak orang yang baik, yang peduli, yang bekerja tanpa mengeluh, banyak yang terus menerus berpeluh tanpa pamrih agar sekadar sejengkal-dua-jengkal tanah air ini membaik. Kekaguman Leila pada ayahnya

Mohammad Chudori wartawan kantor Berita Antara dan The Jakarta Post itu, tak

mampu disembunyikannya.19

Saat Leila merampungkan studinya dan akan kembali ke Indonesia, ia dan temannya mampir ke Eropa terlebih dahulu. Ia mengajak teman-temannya untuk mencicipi masakan Indonesia di Prancis, restoran masakan Indonesia yang berada di Prancis bernama Restoran Indonesia. Pemilik restoran tersebut adalah eksil politik dari peristiwa tahun 1965, Sobron Aidit dan Oemar Said. Cerita perjalan Sobron dan Oemar merupakan langkah awal Leila melahirkan Pulang.20 Kisah perlawanan eksil di Prancis dapat dikatahui dengan lebih jelas dalam buku Melawan dengan Restoran karya Sobron Aidit.

19

Anonim, Leila Selalu Pulang, 2013,(http://www.dw.de/)

20

Hasil wawancara pribadi dengan Leila S. Chudori tanggal 28 Oktober 2014 pukul 13:00-15:00, bertempat di Thai Alley Gandaria City.


(52)

Buku yang menceritakan perjuangan hidup para eksil di Prancis dalam menjalani kesehariansetelah penahanan mereka di Paris.


(53)

42 A. Deskripsi Data

1. Tema

Tema merupakan ide yang mendasari sebuah cerita berjalan merangkai peristiwa. Rangkaian peristiwa yang terjadi dalam Pulang didasari pada keberadaan segala keputusan Dimas Suryo yang tidak ingin memiliki ikatan dengan apapun atau siapa pun. Baik dari segi ideologi, percintaan, hingga keputusan-keputusan yang diambil dalam hidupnya. Kebimbangan Dimas dalam keputusannya yang tidak ingin terikat, menyeretnya dalam pusaran peristiwa sejarah.

“ … Lebih mudah untuk tidak memilih, seolah tak ada

konsekuensi. Tetapi seperti katamu, memilih adalah jalan

hidup yang berani.” 1

Keinginan bebas tanpa ikatan menimbulkan drama di kehidupannya, kehidupan keluarganya, dan sekelilingnya. Masalah-masalah yang timbul setelah memilih untuk tidak menentukan pilihan merupakan persoalan yang memicu permasalahan ia ditinggal menikah oleh Surti, kekasihnya, menjadi eksil di Paris, kemudian menikah dengan Vivienne dan akhirnya bercerai.

2. Tokoh

Novel Pulang memiliki kehadiran yang cukup banyak, terlebih dari sudut korban dari peristiwa tahun 1965. Satu sudut inilah yang membuat Pulang hampir memiliki keseragaman pemikiran pada tiap tokohnya. Namun, tiap tokoh memiliki karakter yang kuat dan dibekali proporsi cerita sesuai, sehingga tokoh yang akan ditampilkan pada penelitian ini

1


(54)

hanya tokoh yang memiliki pengaruh cukup besar dan mendapatkan sorotan lebih.

a. Dimas Suryo

Pulang dapat dikatakan cerita yang mengkisahkan perjalanan hidup Dimas Suryo. Di awal cerita, ia diceritakan terdampar di Paris pada tahun 1968 dengan sudut pandang dirinya sendiri dalam membandingkan demonstrasi yang terjadi di Paris dengan demonstrasi yang berkecamuk di Indonesia.

Aku iri. Aku cemburu. Pertarungan di Paris saat ini sungguh jelas keinginannya. … Di Indonesia, kami akrab dengan kekisruhan dan kekacauan tetapi tak tahu siapa kawan dan siapa lawan.2

Penggambaran dialog tersebut mengawali cerita tentang latar belakang terdamparnya Dimas Suryo di Paris, dan bertemu Vivienne Devereaux mahasiswa Sorbonne yang ikut revolusi Prancis Mei 1968. Kedekatannya dengan Vivienne membuat cerita-cerita masa lalu Dimas terungkap, sehingga membuat pembaca penasaran apa yang terjadi sesungguhnya pada kehidupan Dimas sebelumnya, kehidupannya di Indonesia dan kerinduannya terhadap Indonesia. Ia menguak cerita dibalik kedatangannya ke Prancis, hubungannya dengan keluarga Hananto Prawiro dan kedekatannya dengan Surti Anandari sebelum menikah dengan Hananto. Cerita itu mengalir melalui ingatan yang dipancing oleh sesuatu yang mengikangatkan pada masa lalu. Ingatan di masa lalu menjelaskan bahwa Dimas adalah seorang yang masih terikat dengan segala masa lalunya, entah dengan simbol benda ataupun perwakilan tokoh wayang yang ia kagumi.

Di ruang tengah apartemen kami, ada Indonesia yang ditanamkan Dimas Suryo, dua sosok wayang kulit yang

2Ibid.,


(55)

digantung di dinding: Ekalaya dan Bima. … Isi stoples

pertama adalah berliter-liter cengkih. Isi stoples kedua adalah bubuk kunyit kuning.3

Dimas merupakan pribadi yang tidak dapat menentukan pilihan, ia ingin bersikap netral pada segala hal. Ia ingin mengetahui segala pemikiran tanpa berpihak pada satu pemikiran, namun sikap itu yang menjebak Dimas dalam kondisi yang menyulitkannya karena ikut terkena arus pembersihan orang-orang yang bersentuhan dengan pihak “kiri”.

“Kau menolak masuk ormas. Apalagi masuk partai. Kau

menolak memihak. Kau mengkritik Lekra tapi kau juga

mengkritik para penandatangan Manifes Kebudayaan.”

“Ya, lalu?” Aku menatap Hananto, menantikan dia melanjutkan gerutunya.

“Apa maumu, Dimas? Lihat kehidupan pribadimu. Kau juga

tak punya keinginan jelas. Apa karena hatimu masih tertambat pada masa lalu, atau kau terlalu menyukai masa bujangmu?”4 Secara fisik, Dimas memiliki perawakan pria ideal. Memiliki kulit tubuh yang kecoklatan, rambutnya ikal tebal dan dagunya lacip dan mancung. Dimas adalah seorang wartawan di kantor Berita Nusantara sebelum tertahan karena peristiwa 30 September. Ia memiliki ketertarikan kepada dunia kuliner dan memiliki keahlian memasak di atas rata-rata eksil yang terdampar di Prancis, oleh karena itu didaulat sebagai juru masak di Restoran Tanah Air.

Menjadi wartawan, bagiku adalah jalan yang tak bisa ditolak. Wartawan adalah profesi yang memperlakukan kekuatan kata sama seperti koki menggunakan bumbu masakan.5

Dimas menjadikan dunia jurnalis dan memasak adalah hidupnya. Bahkan ketika di Prancis ia tetap aktif menulis dan berkontribusi dalm suratkabar

3Ibid.,

h. 214

4Ibid.,

h. 42

5Ibid.,


(1)

91

DAFTAR PUSTAKA

Bahtiar, Ahmad, “Kondisi Sosial dan Politik di Indonesia pada Zaman Pendudukan Jepang dalam Empat Novel Indonesia: Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra”, Tesis pada Pascasarjana Universitas Indonesia: 2006. Tidak dipublikasilaan. Budianta, Melani dkk.. Membaca Sastra: Pengentar Memahami Sastra untuk

Perguruan Tinggi. Indonesia Tera: Magelang. 2006

Chudori, Leila S.. 9 dari Nadira. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 2012 ---. Malam Terakhir. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 2012 ---. Pulang. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 2012

Damono, Sapardi Djoko. Sosiologi Sastra: Pengantar Ringkas. Jakarta: editum. 2013 Dw. De.. “Leila Selalu Pulang”. 2013. ( http://www.dw.de/)

Faruk. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2013 Hasil wawancara pribadi dengan Leila S. Chudori tanggal 28 Oktober 2014.

Landis, Judson R.. Sociology: Concepts and Characteristics. California: Wadworth Publishing Company. 1971

Leila S. Chudori. “Tentang Leila”. 2014. http://www.leilaschudori.com/

Minderop, Albertine. Metode Karakterisasi Telaah Fiksi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. 2005

Moleong, Lexy J..Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosada Karya. 1999

Mudzakkir, Amir. “Eksil Indonesia dan Nasionalisme Kita”. Makalah disampaikan dalam seminar PSDR-LIPI pada Selasa, 3 Desember 2013 di LIPI, Jakarta Neubeck, Kenneth J. and Davita Silfen Glasberg. Sosiology: Diversity, Conflict, and

Change. New York: McGraw-Hill. 2005

Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Perss. 2013


(2)

92

Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia. Leila S. Chudori. 2013. (http://www.penerbitkpg.com/)

Philipus, Ng. dan Nuril Aini. Sosiologi dan Politik. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2009

Robert, Robertus. “Pulang, Nostalgia, Harapan, dan Kebebasan”. Makalah disampaikan dalam acara musyawarah buku Pulang, karya Leila S. Chudori, di Serambi Salihara,29 Januari 2013

Roosa, John. Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto. Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra. 2008 Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Grasindo. 2008

Soelaeman, M. Munandar. Ilmu Sosial Dasar: Teori dan Konsep Ilmu Sosial. Bandung: PT ERESCO. 1995

Stanton, Robert. Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007

Syani, Abdul. Sosiologi: Sematika, Teori, dan Penerapan. Jakarta: PT Bumi Aksara. 2012

Takwin, Bagus. “Mencermati Naratif Novel Pulang”. Makalah disampaikan dalam acara musyawarah buku Pulang, karya Leila S. Chudori, di Serambi Salihara, 29 Januari 2013

Taman Ismail Marzuki. Leila S. Chudori. 2013. (http://www.tamanismailmarzuki.com/)

The Jakarta Post. Leila s. Chudori: Khatulistiwa Award winner’s commitment to the writing process. 2014. http://www.thejakartapost.com/

Wellek, Rene dan Austin Warren. Teori Kesuasastraan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 1993

Worsley, Peter (ed.). Pengantar Sosilogi: Sebuah Pembanding (Jilid I). Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya. 1991


(3)

(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Nilai sejarah dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori dan implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

19 99 77

Analisis tokoh lintang dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di SMA

79 375 114

Nilai Sejarah dalam Novel Pulang karya Leila S. Chudori dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

13 66 77

KONFLIK POLITIK DALAM NOVEL PULANG KARYA LEILASALIKHA CHUDORI: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA DAN Konflik Politik Dalam Novel Pulang Karya Leila Salikha Chudori: Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra Di SMA.

0 1 12

PENDAHULUAN Konflik Politik Dalam Novel Pulang Karya Leila Salikha Chudori: Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra Di SMA.

0 3 7

Daftar Pustaka Konflik Politik Dalam Novel Pulang Karya Leila Salikha Chudori: Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra Di SMA.

0 3 4

KONFLIK POLITIK DALAM NOVEL PULANG KARYA LEILASALIKHA CHUDORI: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA DAN Konflik Politik Dalam Novel Pulang Karya Leila Salikha Chudori: Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra Di SMA.

0 2 17

PENDEKATAN SOSIOLOGI SASTRA, RESEPSI SASTRA DAN NILAI PENDIDIKAN DALAM NOVEL PULANG KARYA LEILA S. CHUDORI.

0 0 13

NILAI MORAL DALAM NOVEL PULANG KARYA LEILA S CHUDORI.

6 49 186

Masalah-masalah sosial dalam Novel Pulang karya Leila S. Chudori: analisis sosiologi sastra - UWKS - Library

0 0 14