C.  Keberadaan Obat Herbal di Indonesia
Herbal tradisional baru bisa dikatakan sebagai obat jika telah diteliti melalui proses yang panjang dan lama sehingga bisa dipastikan unsurzat
aktifnya,  diketahui  efek  farmakologisnya,  bisa  dipastikan  dosisnya, diketahui  efek  sampingnya,  dan  dipastikan  proses  pembuatannya.  Untuk
memudahkan  pengawasan  dan  perizinan,  Badan  Pengawas  Obat  dan Makanan  mengelompokkan  tanaman  obat  dalam  kelompok  jamu,  herbal
terstandar,  dan  fitofarmaka.  Masing-masing  memilik  syarat  tersendiri. Yang  disebut  jamu  adalah  ramuan  yang  dibuat  dari  bahan-bahan  alam,
digunakan  secara  turun  temurun,  dipercaya  berkhasiat  berdasarkan pengalaman,  dan  belum  ada  penelitian  ilmiah  untuk  mendapatkan  bukti
klinik  mengenai  khasiat  tersebut.  Bahan-bahan  jamu  umumnya  berasal dari  semua  bagian,  bukan  hasil  ekstrasiisolasi  mengenai  bahan  aktifnya
saja.  Bahkan  kemungkinan  bahan  aktif  belum  diketahui  secara  pasti karena belum ada penelitian Departemen Kesehatan RI, 2004.
Setingkat di atas jamu adalah herbal terstandar, yaitu bahan-bahan jamu yang telah diuji secara ilmiah penelitian praklinik dengan hewan uji
yang  meliputi  uji  khasiat  dan  manfaat.  Jamu  harus  memenuhi  kriteria aman.  Adanya  khasiat  dibuktikan  secara  ilmiah,  telah  dilakukan
standarisasi  terhadap bahan  baku  yang dipergunakan  dalam  produk  jadi, dan memenuhi persyaratan mutu yang berlaku. Hingga saat ini sudah ada
tujuh belas herbal terstandar di Indonesia Badan POM, 2004.
Universitas Sumatera Utara
Kategori  tertinggi  adalah  fitofarmaka  dengan  persyaratan  aman, klaim khasiat yang berdasarkan uji klinik diterapkan pada manusia, telah
dilakukan  standarisasi  terhadap  bahan  baku  yang  dipergunakan,  dan memenuhi persyaratan mutu yang berlaku. Sebuah jamu akan melalui uji-
uji  berikut ini  sebelum  sukses  diakui  sebagai  bagian  dari  fitofarmaka  :  uji toksisitas,  uji  eksperimental  pada  hewan  serta  uji  klinik  fitofarmaka  pada
manusia  yang  sehat  dan  pada  pasien  dengan  penyakit  tertentu.  Jamu pada  kategori  fitofarmaka  sudah  bisa  disejajarkan  dengan  obat  modern
Badan POM, 2004. Serangkaian  uji  itu  dimulai  dengan  uji  praklinis.  Dari  uji  praklinis
diperoleh informasi
penting tentang
efikasi farmakologi,
profil farmakokinetik, dan tingkat toksisitas bahan. Uji praklinis adalah pengujian
obat pada reseptor kultur sel terisolasi atau organ yang terisiolasi. Setelah itu  diuji  pada  hewan  utuh  seperti  mencit,  tikus,  kelinci,  marmot,  hamster,
anjing  atau  beberapa  primata  lain.  Hanya  dengan  menggunakan  hewan utuh  dapat  diketahui  efek  toksik  obat  pada  berbagai  dosis  pengobatan.
Selain  itu,  toksisitas  merupakan  cara  untuk  mengevaluasi  kerusakan genetik
genotoksisitas, mutagenesitas,
pertumbuhan tumor
onkogenesitas  dan  karsinogenesitas,  dan  kejadian  cacat  waktu  lahir Departemen Kesehatan RI, 2004.
Selain  uji  pada  hewan,  juga  dikembangkan  uji  in  vitro  untuk menentukan  khasiat  obat.  Contohnya,  uji  aktivitas  enzim,  uji  antikanker
menggunakan  cell  line,  uji  antimikroba  pada  perbenihan  mikroba,  uji antioksidan, dan uji antiinflmasi Departemen Kesehatan RI, 2004.
Jika  sudah  dinyatakan  memilki  manfaat  dan  aman  pada  hewan percobaan, bahan obat diuji ke manusia. Uji itulah yang disebut uji klinis.
Universitas Sumatera Utara
Uji  itu  harus  mengikuti  deklarasi  Helsinki  yang  terdiri  atas  empat  fase. Fase  pertama,  calon  uji  adalah  sukarelawan  sehat  untuk  mendapatkan
hasil  yang  sama  dengan  hewan  percobaan. Fase  kedua,  calon  obat diuji pada  pasien  tertentu  dan  diamati  efikasinya  pada  penyakit  yang  ingin
diobati.  Fase  ketiga,  pengujian  efikasi  dan  keamanan  obat  baru dibandingkan dengan obat pembanding yang selama ini digunakan untuk
mengobati penyakit itu. Setelah  calon  obat  dibuktikan  berkhasiat  dan  menunjukkan
keamanan  saat  dipakai,  obat  itu  diizinkan  untuk  diproduksi  sebagai  legal drug
. Obat tersebut dipasarkan dengan nama dagang tertentu yang dapat diresepkan oleh dokter Badan POM, 2004
Fase  terakhir  atau  fase  keempat,  setelah  obat  dipasarkan  masih dilakukan  studi  pascapemasaran  yang  diamati  pada  pasien  dalam
berbagai  kondisi,  usia  dan  ras.  Studi ini  dilakukan  dalam  jangka  panjang dan  dalam  jangka  waktu  lama  untuk  melihat  terapeutik  dan  pengalaman
jangka  panjang  dalam  menggunakan  obat.  Dari  hasil  evaluasi  itu  masih memungkinkan  suatu  obat  ditarik  dari  peredaran  jika  terbukti
membahayakan Badan POM, 2004. Tanaman  unggulan  nasional  yang  telah  diuji  klinis  adalah  salam,
sambiloto,  kunyit,  jahe  merah,  jati  belanda,  temulawak,  jambu  biji,  cabai jawa  dan  mengkudu.  Hingga  saat  ini  Indonesia    baru  memiliki  enam
produk fitofarmaka Departemen Kesehatan RI, 2007.
Universitas Sumatera Utara
D.  Kerangka Teori