Maslahah Konsumen pada Tabungan Syariah

36 Secara umum perilaku menabung setiap orang ditentukan oleh dua faktor keputusan penting. Pertama adalah merujuk pada seberapa besar pendapatan riil yang diterima akan dimanfaatkan untuk keperluan konsumsi. Kedua adalah merujuk pada seberapa besar pendapatan riil yang diterima akan disisihkan untuk ditabung Muhlis, 2011. Analisis teoritik maupun empirik tentang tabungan dalam perspektif teori moneter konvensional selalu didominasi oleh dua poros teori besar, yakni teori Klasik dan Keynesian. Namun demikian, belakangan banyak penelitian empiris yang menunjukkan hasil yang tidak konsisten dengan kedua teori tersebut. Meskipun, beberapa temuan belakangan masih tetap menganut mo del ekonomi konvensional yang masih berbasis pada “kekuatan bunga”, namun relatif masih belum mampu mengatasi persoalan. Bersamaan dengan hal tersebut, komunitas ilmuan lain melakukan ijtihad dan melahirkan sebuah konsep baru, yakni model ekonomi syariah Muhlis, 2011.

a. Maslahah Konsumen pada Tabungan Syariah

Model ekonomi syariah dibangun atas dasar filosofi religiusitas, dan institusi keadilan, serta instrumen kemaslahatan Q.S. At-Takaatsur: 1-2, Al-Munaafiquun:9, An-Nuur:37, Al-Hasyr:7, Al-Baqarah:188. 237-281, Al-Maidah:38, 90-91, Al-Muthaffifin:1-6. Filosofi religiusitas melahirkan basis ekonomi dengan atribut pelarangan riba bunga. Institusi keadilan melahirkan basis teori profit and loss sharing PLS dengan atribut nisbah 37 bagi hasil. Instrumen kemaslahatan melahirkan kebijakan pelembagaan zakat, pelarangan israf, dan pembiayaan bisnis halal yang semuanya dituntun oleh nilai falah. Ketiga dasar di atas, yakni filosofi religiusitas, institusi keadilan, dan instrumen kemaslahatan merupakan aspek dasar yang membedakan dengan mainstream ekonomi konvensional. Sedangkan untuk memahami mainstream ekonomi syariah secara mendalam dibutuhkan pemahaman terhadap ketiga dasar di atas Muhlis, 2011. Secara umum perdebatan konseptual antara riba dan bunga, pada semua penganut agama sudah muncul sejak jaman Yunani kuno. Pada saat itu istilah riba usury diganti dengan istilah bunga uang interest. Istilah interest hanya merujuk pada tambahan yang tidak terlalu banyak. Sedangkan usury meruju pada tambahan uang yang berlipat ganda hingga dua kali lipat lebih Ahmad Dimyati, 2007. Karenanya mereka sepakat bahwa riba usury dilarang, sedangkan bunga uang interest dibolehkan karena alasan demi perdangan bisnis dan untuk usaha yang produktif Mircea [ed.], 1991. Dengan latar belakang pijakan tersebut penerapan bunga di perbankan sejak saat itu dimasukkan dalam kategori bukan riba interest. Di kalangan muslim pun terjadi perbedaan tentang bunga. Sebenarnya sejarah telah mencatat bahwa semua mazhab fiqh telah mencapai suatu konsesus bahwa riba yang diharamkan dalam Al- Qur’an meliputi semua 38 bentuk dan variannya. Namun setelah era post-kolonial yang melanda hampir semua negara muslim di seluruh penjuru dunia, serta dominasi pasar finansial internasional yang berbasis bunga, muncul kontroversi perihal penentuan substansi riba dan aplikasinya dalam dunia ekonomi Umar Chapra, 2001. Secara lebih detail riba didefinisikan sebagai setiap penambahan yang diambil tanpa adanya suatu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariah. Meskipun ada beberapa pendapat dalam menjelaskan hakekat riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip syariah Syafii Antonio, 2007. Badr al-Diin al-Ayni 576 H menyatakan prinsip utama dalam riba adalah penambahan. Kemunculan “bunga” menurut pemahaman ekonomi non-syariah adalah sebuah kewajaran. Konsep time value of money melihat bahwa nilai uang masa kini lebih berharga dibanding dengan masa mendatang. Dengan kata lain terdapat sebuah positive time preference. Riba bunga merupakan sebuah tambahan yang ditentukan di muka yang berarti mengacu pada konsep positive time preference. Islam sangat menghargai nilai waktu, karena yang menentukan waktu bukanlan manusia, melainkan Tuhan. Nilai atas penghargaan waktu economic value 39 of time ditentukan oleh pemanfaatannya untuk berbagai aktivitas Q.S. Al- Ashr; Adh-Dhuha; Al-Fajr; Al-Lail; Hadits Shahih al Bukhari. Syariat Islam memandang bahwa uang tidak dapat dipastikan akan menghasilkan keuntungan di masa depan. Tidak ada seorangpun yang dapat mengetahui, memastikan apa yang akan terjadi di masa depan Q.S. Luqman, 34. Karena ketidakpastian masa depan, maka pemanfaatan uang dapat saja memberikan hasil untung, impas, atau bahkan rugi. Ketika seseorang telah memahami dan meyakini terhadap posisi bunga adalah dikategorikan riba, dan riba adalah dilarang agama, maka orang akan berusaha menjauhi segala kegiatan ekonomi bisnis yang berbasis ribabunga. Preferensi konsumen menurut konsep syariah bukan berdasarkan pada semangat nilai rasionalisme dan utilitarianisme, tetapi berdasa rkan nilai “falah” Chapra, 2001. Utilitarianisme hanya merujuk pada kepuasan yang berdasar atas rasionalitas perhitungan manfaat F ekonomis belaka, sedangkan falah mengacu pada pertimbangan kemaslahatan M Chapra, 2001; Munhorim Misanam, et al., 2008. Kondisi di atas akan berakibat mempengaruhi perilaku pilihan ekonomi seseorang terhadap produk-produk tabungan perbankan konvensional yang hanya berisi unsur F, atau perbankan syariah yang mengandung unsur M Muhlis, 2011. 40 Untuk mengukur maslahah konsumen, pertama-tama dipaparkan formulasi dengan persamaan berikut Munhorim Misanam, et.al., 2008. M = F+B 2.1 Di mana: M = maslahah F = manfaat B = berkah Sedangkan berkah adalah interaksi antara manfaat dan pahala. Sehingga dapat diformulasikan: B = F P 2.2 Di mana: P = total pahala; yang terdiri dari: P = b p 2.3 Dimana b adalah frekuensi dan p pahala per unit kegiatan. Dengan mensubtitusikan persamaan 2.2 ke persamaan 2.3, maka: B = F b p 2.4 Selanjutnya melakukan substitusi persamaan 2.4 ke persamaan 2.1, maka diperoleh: M = F + F b p 2.5 Ekspresi di atas dapat ditulis kembali menjadi: M = F 1+ F b p 2.6 Dari formulasi di atas dapat ditunjukkan bahwa ketika pahala suatu kegiatan tidak ada, maka mslahah yang akan diperoleh konsumen adalah hanya sebatas manfaat F yang dirasakan. Sebagai misal ketika seorang penabung bank konvensional mendapatkan “bunga”, maka ia tidak akan 41 mendapatkan berkah, melainkan hanya manfaat duniawi saja seperti kepuasan ekonomi.

b. Konsep Religiusitas dalam Perilaku Menabung