Komparasi Kemisikinan Antara Keluarga Pemulung Orang Tua Utuh dan Orang Tua Tunggal

(1)

LAMPIRAN

Dokumentasi

Gambar. 1 Gambar. 2

Gambar 1 dan 2 : FGD yang dilakukan bersama pemulung keluarga utuh

Gambar. 3 Gambar. 4


(2)

Notulensi FGD (Focus Discussion Group) Pemulung Kelurga untuh dan Pemulung Keluarga Tunggal

Topik FGD : Komparasi Kemiskinan Pemulung Keluarga Utuh dan Pemulung Keluarga Tunggal Lewat Kepemilikan Aset

Tujuan : Mengetahui Komparasi Kemiskinan Pemulung Keluarga Utuh dan Pemulung Keluarga Tunggal di daerah Inspeksi, Kelurahan Helvetia Timur, Medan Helvetia.

Frekuensi : FGD diselenggarakan 2 kali pada hari yang berbeda (tujuannya gar tidak terjadi kesamaan hasil FGD, mengingat tujuan dari FGD adalah untuk melihat komparasi kemiskinan masing-masing kelompok keluarga pemulung)

Jumlah kelompok : Setiap penyelenggaraan FGD terdiri dari 1 kelompok, yaitu kelompok pemulung keluarga utuh dan kelompok pemulung keluarga tunggal (masing-masing kelompok dihadiri 12 keluarga yang diwakili salah satu orang tua khusus bagi kelompok pemulung orang tua utuh)

Undangan : – Fasilitator/moderator (peneliti/penulis) – Pencatat/notulen (rekan)

– Peserta (12 keluarga pemulung keluarga utuh dan 12 keluarga pemulung keluarga tunggal

Tempat dan Waktu : Jln. Inspeksi, Kelurahan Helvetia Timur, Medan Helvetia. Sabtu, 14 Mei 2016 dan Selasa 17, Mei 2016.


(3)

Hasil Diskusi Kelompok (FGD) Dengan Pemulung Keluarga Utuh dan Pemulung Keluarga Tunggal

Jenis Aset Indikator Hasil FGD Pemulung KeluargaUtuh Hasil FGD Pemulung Keluarga Tunggal

SDM

• Pendidikan

(Formal & Non-Formal)

• Dari 12 peserta 2 Tamat SD, 7 tamat SMP, 3 tamat SMA.

• Dari 12 peserta hanya 1 yang pernah mengikuti kursus selama 3 bulan

• Dari 12 peserta 1 peserta tidak tamat SD, 5 tamat SD, dan 6 tamat SMA. • Dari 12 peserta hanya 1 yang pernah

mengikuti kursus selama 4 bulan • Ketrampilan • Dari 12 peserta hanya 2 yang memiliki

ketrampilan lain selain memulung untuk menambah pendapatan yaitu buruh cuci, , dan buruh bangunan

• Dari 12 peserta 4 yang memiliki ketrampilan lain selain memulung untuk menambah pendapatan yaitu buruh cuci, catering, tukang kusuk, dan asisten rumah tangga harian (tidak menentu)

• Pengolahan hasil memulung

• Seluruh peserta tidak mengolah kembali hasil memulung ke bentuk lain agar bernilai ekonomi lebih tinggi.

• Seluruh peserta tidak mengolah kembali hasil memulung ke bentuk lain agar bernilai ekonomi lebih tinggi. Berdasarkan hasil penilian

pemulumg keluarga utuh dalam FGD, SDM berada pada angka 3

Berdasarkan hasil penilian keluarga pemulung tunggal dalam FGD SDM mereka berada pada angka 1

Aset

• Pengahasilan • Pendapatan rata-rata dalam sehari ± Rp 30.000-Rp 50.000

• Pendapatan rata-rata dalam sehari ± Rp 30.000-Rp 50.000

• Pengeluaran • Pengeluran rata-rata dalam sehari ± Rp 30.000-Rp 50.000

• Pengeluran rata-rata dalam sehari ± Rp 20.000-Rp 50.000

• Tabungan dan

Pinjaman

• Seluruh peserta mengaku tidak memiliki simpanan/tabungan di lembaga keungan maupun pribadi.

• Seluruh peserta mengaku tidak

• Dari 12 peserta 4 memiliki tabungan di

CU (Credit Union) berupa simpanan

wajib pokok.


(4)

Ekonomi memiliki akses meminjam ke lembaga keuangan .

• Dari 12 peserta hanya 2 yang memiliki pinjaman kepada rentenir, selebihnya meminjam kepada tetangga atau ke tokeh dan b berhutang ke warung.

memiliki akses meminjam ke lembaga keuangan .

• Dari 12 peserta 1 memiliki pinjaman kepada rentenir, selebihnya meminjam kepada tetangga atau ke tokeh dan b berhutang ke warung.

Berdasarkan hasil penilian keluarga pemulung utuh dalam FGD aset ekonomi mereka berada pada angka 1

Berdasarkan hasil penilian keluarga pemulung tunggal dalam FGD aset ekonomi mereka berada pada angka 1

Aset Alam

• Lahan/ Ternak • Seluruh peserta tidak memiliki lahan dan hanya 1 peserta yang memiliki ternak (namun hanya unutk dikonsumsi saja)

• Seluruh peserta tidak memiliki lahan dan ternak

• Lokasi/Daerah beroperasi

• Dari 12 peserta 6 peserta memulung hanya di sekitar daerah tempat tinggal(masih sekitar daerah Inspeksi). (Berjarak Dekat)

• 4 peserta memulung diluar daerah Inspeksi dan juga daerah Medan Barat. (Berjarak Sedang)

• 1 peserta memulung diluar daerah Medan Helvetia dan Medan Barat dan sampai keluar kota.( Berjarak Jauh)

• Dari 12 peserta 7 peserta memulung hanya di sekitar daerah tempat tinggal(masih sekitar daerah Inspeksi). (Berjarak Dekat)

• 3 peserta memulung diluar daerah Inspeksi dan juga daerah Medan Barat. (Berjarak Sedang)

• 2 peserta memulung diluar daerah Medan Helvetia dan Medan Barat dan sampai keluar kota.( Berjarak Jauh) Berdasarkan hasil penilian keluarga

pemulung utuh dalam FGD aset alam mereka berada pada angka 2

Berdasarkan hasil penilian keluarga pemulung orang tua tunggal dalam FGD aset alam mereka berada pada angka 1 • Infrastruktur dan

fasilitas umum

• Seluruh peserta mengaku kondisi infrastruktur dearah tempat tinggal cukup memadai dan lokasi tempat tinggal cukup mudah diakses?

• Seluruh peserta mengaku kondisi infrastruktur dearah tempat tinggal cukup memadai dan lokasi tempat


(5)

Aset Fisik

• Seluruh peserta mengaku kondisi fasilitas umum seperti sekolah, puskesmas, kantor kelurahan cukup baik dan memadai meski cukup jauh dari tempat tinggal.

tinggal cukup mudah diakses?

• Seluruh peserta mengaku kondisi fasilitas umum seperti sekolah, puskesmas, kantor kelurahan cukup baik dan memadai meski cukup jauh dari tempat tinggal.

• Akses Listrik dan Air Bersih

• Sudah terdapat akses listrik

• Belum terdapat akses air bersih dari PAM (masih menggunakan sumur)

• Sudah terdapat akses listrik

• Belum terdapat akses air bersih dari PAM (masih menggunakan sumur) • Kepemilikan

rumah

• Dari 12 peserta 11 peserta sudah memiliki rumah sendiri namun masih hak pakai dan 1 peserta masih menyewa/mengontrak rumah

• Dari 12 peserta 5 peserta sudah memiliki rumah sendiri namun masih hak pakai, 4 peserta masih menyewa/mengontrak rumah, dan 3 peserta masih menumpang dengan orang tua

• Kepemilikan

kendaraan sebagai alat produksi

• Dari 12 peserta 7 orang memulung dengan berjalan kaki , 1 orang memulung menggunakan sepeda, dan 4 orang menggunakan gerobak becak/motor.

• Dari 12 peserta 9 orang memulung dengan berjalan kaki , 3 peserta memulung gerobak becak/motor.

• Bantuan dari

pemerintah

• Dari 12 peserta 11 menerima bantuan Kartu Sehat/ BPJS, sisanya belum mendapat

• Dari 12 peserta 10 menerima bantuan raskin sisanya belum mendapat.

• Dari 12 peserta 10 mendapat BLT, sisanya belum mendapat.

• Dari 12 peserta 7 menerima bantuan Kartu Sehat/ BPJS, sisanya belum mendapat

• Dari 12 peserta 6 menerima bantuan raskin sisanya belum mendapat.

• Dari 12 peserta 5 mendapat BLT, sisanya belum mendapat

Berdasarkan hasil penilian keluarga pemulung utuh dalam FGD aset fisik

Berdasarkan hasil penilian keluarga pemulung orang tua tunggal dalam FGD


(6)

mereka berada pada angka 2 aset fisik mereka berada pada angka 1

Modal Sosial

• Jaringan • Dari 12 peserta 10 diantaranya tergabung dalam perkumpulan Marga. • Seluruh peserta tergabung dalam

perkumpulan Gereja.

• Tidak ada perkumpulan/organisasi pemulung yang terbentuk maupun yang diikuti.

• Seluruh peserta mengaku jika mengalami kesulitan termasuk ekonomi akan meminta tolong kepada tetangga sekitar.

• Dari 12 peserta 5 diantaranya tergabung dalam perkumpulan Marga.

• Seluruh peserta tergabung dalam perkumpulan Agama.

• Tidak ada perkumpulan/organisasi pemulung yang terbentuk maupun yang diikuti.

• Seluruh peserta mengaku jika mengalami kesulitan termasuk ekonomi akan meminta tolong kepada tetangga sekitar.

• Resiprositas • Seluruh peserta mengaku

berbagi/bertukar informasi hanya mengenai harga barang bekas dan tokeh.

• Seluruh peserta mengaku sebagai pemulung mereka kerap saling meminjamkan modal untuk memulung.

• Seluruh peserta mengaku

berbagi/bertukar informasi hanya mengenai harga barang bekas dan tokeh.

• Seluruh peserta mengaku sebagai pemulung mereka kerap saling meminjamkan modal untuk memulung. • Trust • Seluruh peserta mengaku rasa percaya

antar sesama pemulung dan tetangga cukup tinggi..

• Seluruh peserta mengaku rasa percaya antar sesama pemulung dan tetangga cukup tinggi..

Berdasarkan hasil penilian keluarga pemulung utuh dalam FGD aset sosial mereka berada pada angka 3

Berdasarkan hasil penilian keluarga pemulung tunggal dalam FGD aset sosial mereka berada pada angka 3


(7)

Daftar Pustaka

Arikunto,Suharsini.2006.Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan

Praktek.Jakarta:PT.Rineka Cipta

Bungin, Burhan. 2007.Analisis Data Penelitian Kualitatif.Jakarta:PT Raja Grasfindo Persada.

Colletta, cullen &. "pengembangan masyarakat." (Fakultas Pertanian - IPB) 2000.durkheim. durkliem dan pengantar sosiologi moralitas. disunting oleh

tafik Abdullah dan A.C van der leeden. Jakarta: yayasan obor indonesia,

1986.

Meleong, Lexy J.2006.Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: RemajaKarya. Mudrajad Kuncoro, 1997, Ekonomi Pembangunan, Teori, masalah dan kebijakan

Cetakan pertama, Unit penerbitan dan percetakan akademi manajemen perusahaan YKPN,Yogyakarta.

Nasikun. 1995. Kemiskinan di Indonesia Menurun, dalam Perangkap Kemiskinan,

Problem, dan Strategi Pengentasannya, (Bagong Suyanto, ed), Airlangga

Univercity Press

Ninik, Sudarwati.2009. Kebijakan Pengentasan Kemiskinan.Malang: Intimedia. Setiadi, M Elly & Kolip,Usman.2011.Pengantar Sosiologi, Pemahaman Fakta

Dan Gejala Permasalahan Sosial : Teori, Aplikasi, Dan Pemecahannya

.Jakarta:Kencana.

Sutopo, HB. 2006.Metode Penelitian Kualitatif.Surakarta: UNS Press.

Sugiyono.2011.Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & Alfabeta. Bandung.

Suyanto, Bagong . 2010. Masalah Sosial Anak. Jakarta:Kencana.

Sumber Lainnya :

Tribun Medan, 2016. Jumlah Penduduk Miskin di Sumut 1.508.140 Orang. (Jurnal Online).http://medan.tribunnews.com/2016/01/04/jumlah-penduduk-miskin-di-sumut-1508140-orang. (Diakses 30 Maret 2016)

Badan Pusat Statistik. Anilis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan. Jakarta: BPS, 2008


(8)

BPS, 2015. Persentase Penduduk Miskin Maret 2015 Mencapai 11,22 Persen. (Jurnal Online) 2016)

Kompas,2015.BPS:Tingkat Pengangguran terbuak meningkat dari Tahun

Sebelumnya.(JurnalOnline

Purwanto, E.A.2007. Mengkaji potensi Usaha kecil dan Menengah (UKM) untuk

Pembuatan Kebijakan Anti Kemiskinan di Indonesia.Jurnal Ilmu Sosial dan

Politik Volume 110, Nomor 3)

Saleh, S.E.2014.Strategi Penghidupan Penduduk Sekitar Danau Limboto Provinsi Gorontalo. Disertasi Doktor Universitas Negri Gorontalo.

Siahaan,Hotman.2011. Profil Kemiskinan di Surabaya: Sebuah Analisis

Fenomenologis. Jurnal FISIp Universitas Airlangga Vol. 24, No 3, 2011:

219-227

SMERU, 2008.Penghidupan Masyarakat dan Kapasitas Daerah dalam Mengatasi Kemiskinan: Hasil AKP di Nias Selatan

Yuliana, 2015.Analisis Pola Konsumsi Keluarga Miskin Di Kota Medan. Jurnal Ekonomi Pembangunan Universitas Sumatera Utara.

http://www.landasanteori.com/2015/08/pengertian-kemiskinan-jenis-faktor.html. (diakses pada 1 Desember 2015)

http://peter-ahab.blogspot.co.id/2011/12/pemulung-dan-kemiskinan-kota.html. dikases pada 1 Desember 2015)

http://www.google.co.id/search?sclient=psyab&biw=1024&bih=461&noj=1&q=, ++BPS+Indonesia+juga+menggunakan+empat+belas+indikator+untuk+men gukur+kemiskinan+di+Indonesia&oq=,++BPS+Indonesia+juga+menggunak an+empat+belas+indikator+untuk+mengukur+kemiskinan+di+Indonesia.(dia kses pada 28 Desember 2015)


(9)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah melalui penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Metode Penelitian itu sendiri adalah cara-cara ilmiah untuk mendapatkan data yang valid, dengan tujuan dapat ditemukan, dikembangkan dan dibuktikan, suatu pengetahuan tertentu sehingga pada gilirannya dapat digunakan untuk memahami, memecahkan, dan mengantisipasi masalah (Sugiyono : 2011). Seperti yang telah dituliskan sebelumnya penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif . Metode penelitian kualitatif merupakan sebuah cara yang lebih menekankan pada aspek pemahaman secara mendalam terhadap suatu permasalahan. Dengan menggunakan metode penelitian kuliatatif, peneliti akan memperoleh informasi atau data yang lebih mendalam mengenai kemiskinan dari realitas masyarakat miskin itu sendiri yang dalam hal ini adalah keluarga pemulung serta komparasi kemiskinan pemulung dengan keluarga utuh dan keluarga tunggal (single parent).

Pendekatan deskriptif ditujukan untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu di dalam masyarakat. Peneliti berusaha menggali, mengidentifikasi, menjelaskan, meringkas berbagai kondisi yang menyangkut kemiskinan dari realitas masyarakat miskin yang dalam hal ini adalah pemulung dengan keluarga utuh dan keluarga tunggal (single parent), serta komparasi kemiskinan antara pemulung dengan keluarga utuh dan keluarga tunggal (single parent).


(10)

3.2 Lokasi Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti memilih lokasi penelitian di Kota Medan , tepatnya di Jalan Inspeksi, Kelurahan Helvetia Timur, Kecamatan Medan Helvetia. Pemilihan lokasi penelitian ini dengan alasan karena peneliti melihat di daerah tersebut memungkinkan untuk menggali informasi yang lebih mendalam mengenai permasalahan kemiskinan pada keluarga pemulung, karena daerah Inspeksi ini merupakan daerah yang mayoritas penduduk nya bermata pencaharian sebagai pemulung. Kemiskinan terlihat jelas dari pemukiman warga yang kumuh dan berada di pinggir aliran Sungai Singkarak, menjadikan lokasi ini tepat untuk melihat lebih dalam lagi bagaimana kemiskinan pada masyarakat pemulung. 3.3 Unit Analisis dan Informan

3.3.1 Unit Analisis

Unit analisis adalah satuan tertentu yang digunakan sebagai subjek dalam suatu penelitian (Arikunto : 2006). Dalam penelitian ini yang menjadi unit analisis adalah semua keluarga pemulung yang berada di daerah Speksi Kelurahan Helvetia Timur, Kecamatan Medan Helvetia. Dari keselurhan unit analisis akan diambil lagi informan yang dianggap dapat menjawab permasalah penelitian ini. Dalam penelitian ini dibedakan antara pemulung dengan kelauarga utuh dan pemulung keluarga tunggal,mengingat tujuan dari pengomparasian kemiskinan antar dua kelompok keluarga pemulung.

3.3.2 Informan

Informan adalah subyek yang memahami permasalahan penelitian sebagai pelaku maupun orang yang memahami permasalahan penelitian (Bungin : 2007).


(11)

Dalam peneltian ini yang menjadi informan adalah keluarga pemulung orang tua utuh dan keluarga pemulung orang tua tunggal (single parent).

Adapun yang menjadi informan adalah orang-orang yang dapat memberikan dan menjawab terkait permasalah pada penelitian ini, yaitu

1. Keluarga pemulung yang berada di Speksi , Kelurahan Helvetia Timur, Kecamatan Medan Helvet , yang dibedakan atas dua kelompok keluarga pemulung yaitu pemulung dengan keluarga utuh dan keluarga tungal. Dengan kriteria keluarga pemulung yang telah memulung lebih dari 2 tahun dan termasuk kategori masyarakat miskin.

2. Kepala Lingkungan di Speksi , Kelurahan Helvetia Timur, Kecamatan Medan Helveti.

3. Tokoh Masyarakat yang di percaya dan sekaligus menjadi wakil atau perpanjangan tangan Kepala Lingkungan.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

3.4.1 Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung oleh peneliti oleh peneliti. Untuk mendapat data tersebut peneliti melakukan penelitian langsung ke lapangan yaitu dengan :

1. Observasi Partisipasi (Perticipant Observer)

Observasi partisipasi adalah pengumpulan data melalui obesrvasi terhadap objek pengamatan ddengan langsung hidup bersama, merasakan serta berada dalam aktivitas kehidupan objek pengamatan (Bungin 2007:116) yang dalam hal ini adalah keluarga pemulung berada di Jln. Inspeksi di Kelurahan Helvetia Timur , Kecamatan Medan Helvetia.


(12)

2. Wawancara

Wawancara merupakan suatu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan percakapan langsung dengan informan yang berkompeten dan berhubungan dengan informasi yang dibutuhkan peneliti . Wawancara ditujukan untuk mendapatkan data dan informasi secara lebih lengkap.

3. Focus Group Disscusion (FGD)

Focus Group Discussion (FGD) adalah teknik pengumpulan data yang umumnya dilakukan pada penelitian kualitatif dengan tujuan menemukan makna sebuah tema menurut pemahaman sebuah kelompok. Teknik ini digunakan untuk mengungkap permaknaan dari suatu kelompok berdasarkan hasil diskusi yang terpusat pada suatu permasalahan tertentu. FGD juga dimaksudkan untuk menghindari permaknaan yang salah dari seorang peneliti terhadap fokus masalah yang sedang diteliti (Sutopo, 2006: 73)

3.4.2. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek penelitian.Data diperoleh dengan cara mengambil dari instansi tertentu yang berkaitan dengan penelitian dan melalui studi kepustakaan dan pencatatan dokumen, yaitu dengan mengumpulkan data yang berasal dari buku-buku yang sesuai dengan masalah yang diteliti , melakukan penelusuran sumber-sumber lainnya seperti jurnal, serta mengambil bahan dari situs-situs internet yang dianggap relevan dengan permasalahan penelitian.

3.5 Interpretasi Data

Interpretasi data merupakan suatu tahap pengkajian data yang mencakup perilaku objek, hasil wawancara, temuan data di lapangan yang teridentifikasi dan


(13)

bahan-bahan kepustakaan yang telah dikumpulkan . Interpretasi data dimulai dengan menelaah seluruh data diperoleh melalui observasi ,wawancara dan juga dokumentasi. Setelah iitu data yangd diperoleh tersebut dipelajari dan ditelaah kembali untuk mencari jawaban dari pertanyaan rumusan masalah sehingga terbentuklah solusi. Kemudian data yang sudah lengkap , direduksi dengan cara abstraksi. Abstraksi merupakan rangkuman yang terperinci yang merujuk pada inti temuan data sehingga tetap pada fokus penelitian. Setelah semua data terkumpul data dianalisis menggunkan teori dan kajian pustaka yang telah disusun , hingga akhirnya menjadi laporan penelitian.

3.6 Jadwal Kegiatan

NO Kegiatan

Bulan ke-

1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 Pra Proposal

2 ACC Judul

3 Penyusunan Proposal Penelitian 4 Seminar Proposal Penelitian 5 Revisi Proposal Penelitian 6 Penelitian Ke Lapangan

7

Pengumpulan Data dan Analisis Data

8 Bimbingan Skripsi 9 Penulisan Laporan Akhir 10 Sidang Meja Hijau


(14)

BAB IV

DESKRIPSI LOKASI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN

4.1Deskripsi Lokasi Penelitian

Kecamatan Medan Helvetia adalah salah satu dari 21 kecamatan yang berada di Wilayah Kota Medan, memiliki luas 1.156,147 Ha dan merupakan pecahan dari Kecamatan Medan Sunggal. Pada tahun 2012 jumlah penduduk di Kecamatan Helvetia berjumlah 145.519 jiwa penduduk. Kecamatan Medan Helvetia terdiri dari 7 (tujuh) Kelurahan, yaitu : Kelurahan Cinta Damai, Kelurahan Helvetia Tengah, Kelurahan Sei Sikambing C-II, Kelurahan Helvetia, Kelurahan Dwi Kora, Kelurahan Tanjung Gusta, Kelurahan Helvetia Timur.

Kecamatan Medan Helvetia memiliki letak geografis sebagai berikut : - Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Sunggal Kab. Deli

Serdang

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Medan Sunggal

- Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Medan Barat dan Medan Petisah

- Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Sunggal Kab. Deli Serdang.

Dalam penelitian ini daerah Inspeksi yang menjadi lokasi penelitian berada pada kawasan Keluruhan Helvetia Timur, yang merupakan salah satu Kelurahan pada Kecamatan Medan Helvet. Pemilihan lokasi tersebut karena berpacu pada


(15)

kebutuhan penelitian terkait pada kehidupan masyarakat pemulung yang mendominasi satu zona.

4.1.1 Gambaran Penduduk Kelurahan Helvetia Timur

Salah satu modal dasar dari pembangunan adalah penduduk sebagai sumber daya manusia bagi setiap daerah. Namun keberadaan penduduk sebagai potensi berkembanngnya suatu daerah dapat terkendala jika kualitas yang dimiliki rendah. Hal ini lah yang menjadi permasalahan bagi setiap daerah. Gambaran mengenai penduduk suatu daerah saja dapat dilihat berdasarkan jenis kelamin, pendidikan, agama, pekerjaan , kewarganegaraan, dan kelompok tenaga kerja. Berikut adalah gambaran penduduk Kelurahan Helvetia Timur:

4.1.1.1. Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel 4.1

Komposisi Penduduk Dilihat Jenis Kelamin Berdasrakan Kartu Keluarga

No Jenis Kelamin Jumlah (Jiwa) Peersentase (%) 1

2

Pria Wanita

15.491 15.205

50,5 49,5

JUMLAH 30.696 100,00

Sumber : Kantor Kelurahan Helvetia Timur Tahun 2012

Dari tabel di atas kita dapat memperoleh gambaran bahwa jumlah penduduk pria di Kelurahan Helvetia Timur lebih banyak dari jumlah penduduk wanita yaitu 15.491 jiwa atau 50,5%, sedangkan wanita 15.205 atau 49,5% dengan selisih 286 jiwa atau 1%, dengan luas wilayah Helvetia Timur 1,82 km².


(16)

4.1.1.2. Penduduk Berdasarkan Agama

Ditinjau dari sudut agama yang dianut oleh penduduk kelurahan Helvetia Timur, dikelompokkan atas penganut Agama Muslim, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Budha. Untuk lebih jelasnya dapat di lihat pada table berikut ini:

Tabel 4.2

Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama

No Agama Jumlah (jiwa) Persentase (%)

1 Islam 21.712 70,732

2 Protestan 7.196 23,44

3 Katolik 712 2,32

4 Hindu 56 0.18

5 Budha 1020 3,32

JUMLAH 30.696 100

Sumber : Kantor Kelurahan Helvetia Timur Tahun 2012

Dari tabel komposisi penduduk berdasarkan agama di atas, di Kelurahan Helvetia Timur mayoritas penduduk menganut agama Islam dengan jumlah sebanyak 21. 712 jiwa atau 70,32 %, menyusul penganut agama Kristen Protestan sebanyak 7.196 jiwa atau 23,44%, kemudian penganut Agama Budha sebanyak 1020 jiwa atau 3,32%, menyusul penganut Agama Katolik sebanyak 712 jiwa atau 2.32% dan penganut Agama Hindu sebanyak 56 jiwa atau 0,18%.

4.1.1.3. Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu sarana untuk mengembankan diri baik secara kepribadian maupun intelektual, baik itu pendidikan formal maupun informal. Pendidikan juga menjadi salah satu penentu kualitas penduduk sebagai sumber daya manusia dalam suatu daerah. Bila dilihat dari pendidikan nya penduduk Kelurahan


(17)

Helvetia Timur memiliki berbagai tingkatan pendidikan, hal tersebut tergambar pada table berikut:

Tabel 4.3

Komposisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan

No Tingkat Pendidikan Jumlah (jiwa) Persentase (%)

1 Tidak/Belum Sekolah 7.850 25,6

2 Tidak Tamat SD 909 2,96

4 Tamat SD 3.377 11

5 Tamat SMA/SLTA 10.773 35

6 Akademi (D1-D2) 38 0,12

7 Akademi -D3 930 3

8 Sarjana (S1-S3) 3.898 12,6

JUMLAH 30.696 100

Sumber : Kantor Kelurahan Helvetia Timur Tahun 2012

Dari tabel komposisi penduduk berdasarkan tingkat pendidikan diatas memperlihatkan bahwa pendidikan penduduk di Kelurahan Helvetia Timur cenderung dikatakan cukup , ini terbukti dari mayoritas penduduk berpendidikan SMA yaitu sebanyak 10. 773 jiwa atau 35% , penduduk yang mencapai pendidikan sarjana sebanyak 3.898 jiwa atau 12,6% , menyusul penduduk dengan tingkat pendidikan akademi yang jika digabungkan seluruh tingkat akademi (D1-D3) mencapai 968 jiwa atau 3,12 %. Hal ini mengambarkan bahwa penduduk Helvetia Timur sudah cukup sadar akan pentingnya pendidikan.

4.1.2 Gambaran Sarana dan Prasarana Keluruhan Helvetia Timur 4.1.2.1. Sarana di Bidang Kesehatan

Sarana Kesehatan yang terdapat di Kelurahan Helvetia Timur adalah rumah sakit, Poliklinik Balai Pengobatan dan Ruang Bersalin, Apotik/Toko Obat, Dokter Umum,Dokter Spesialis, Dokter Gigi, Bidan dan Posyandu. Keberadaan sarana dan prasarana kesehatan tersebut guna untuk menunjang dan mendukung


(18)

kesehaatan masyarakat. Kesehatan juga merupakan salah satu faktor penentu kualitas dari suatu penduduk. Berikut adalah rincian sarana dan prasarana kesehatan di Kelurahan Helvetia Timur:

Tabel 4.4

Keadaan Sarana Kesehatan di Kelurahan Helvetia Timur

No Sarana Kesehatan Jumlah

1 Rumah Sakit 1

2 Posyandu 9

3 Poliklinik, Balai Pengobatan dan Ruang Bersalin 4

4 Apotik/Toko Obat 7

JUMLAH 21 unit

Sumber : Kantor Keluruhan Helvetia Timur Tahun 2012

Apabila melihat luas wilayah Keluarahan Helvetia Timur 1,82 km² dengan jumlah penduduk sebanyak 30.696 jiwa hanya terdapat 1 unit rumah sakit, 9 unit Posyandu, 4 unit Poliklinik, Balai Pengobatan dan Ruang Bersalin , maka dapat dikatan bahwa saranan kesehatan di Kelurahan Helvetia Timur ini kurang memadai. Hal tersebut diperkuat dari data yang di dapat langsung dari kantor kelurahan Helvetia Timur hanya terdapat 11 dokter yang mencakup Dokter umum, spesialis,dan gigi, serta 9 bidan yang tersedia.

4.1.2.2. Pemukiman/ Perumahan

Rumah sebagai saran untuk tempat tinggal dan berlindung bagi keluarga serta sebagai sarana yang di dalamnya terjadi interkasi serta sosialisai bagi keluarga. Berdasarkan data yang diperoleh tempat tinggal masyarakat dibedakan atas dua berdasarkan keberadaan wilayah nya yaitu komplek perumahan dan dibantaran sungai, yang dapat kita lihat pada tabel berikut:


(19)

Tabel 4.5

Pemukiman/Perumahan

No Jenis Wilayah Jumlah

1 Komplek Perumahan 28

2 Bantaran Sungai 141

JUMLAH 169

Sumber : Kantor Kelurahan Helvetia Timur Tahun 2012

Dari tabel yang didata berdasarkan Kartu Keluarga (KK) diatas dapat dilihat bahwa jumlah pemukiman dibantaran sungai lebih banyak dibandingkan di komplek perumahan. Hal ini menggambarkan bahwa banyaknya pemukiman liar tanpa surat ijin dari pihak yang berwenang menandakan keterbatasan lahan di kelurahan ini serta padatnya jumlah penduduk. Ini juga menggambarkan bahwa kondisi jalur hijau sebagai ruang terbuka hijau kurang memadai mengingat banyak nya daerah aliran sungai yang digunakan sebagai pemukiman warga.

4.1.2.3. Sarana di Bidang Agama

Untuk memudahkan masyarakat dalam melaksanakan ibadah maka di Kelurahan Helvetia Timur ini terdapat sejumlah rumah-rumah ibadah yang dirinci dalam tabel berikut ini :

Tabel 4.6

Keadaan Sarana Di Bidang Agama

No Sarana Agama Jumlah

1 Mesjid, Mushollah/Surau 13

2 Mushollah/Surau 7

3 Gereja 5

4 Vihara -

5 Pura -

JUMLAH 25 buah

Sumber : Kantor Kelurahan Helvetia Timur Tahun 2012

Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa jumlah rumah ibadah yang paling banyak adalah Mesjid serta Mushollah/Surau sebanyak 20 buah , hal ini dikarenakan


(20)

mayoritas penduduk di Kelurahan Helvetia Timur beragama Muslim. Kemudiaan jumlah gereja sebanyak 5 buah, sementara tempat ibadah sperti Vihara dan Pura tidak tersedia di Kelurahan ini. Untuk beribadah Umat Budha dan Umat Hindu harus mencari tempat ibadah di lingkungan lain.

4.1.3 Deskripsi Keberadaan Keluarga Pemulung di Daerah Inpeksi

Daerah speksi merupakan salah satu lingkungan yang berada di Kelurahan Helvetia Timur, Kecamatan Medan Helvetia. Daerah ini terbagi atas dua lingkungan yaitu lingkungan 9 dan lingkungan 12. Daerah ini awalnya hanya berupa lahan kosong yang berada di pinggir aliran sungai Singkarak. Menurut Kepala Lingkungan daerah ini Bapak Abdul Manaf Matondang, awalnya daerah yang merupakan lahan milik pemerintah ini dibuka sejak tahun 1998 menjadi pemukiman warga.

Menurut penuturan beliau awalnya hanya terdapat satu, dua rumah di tempat, namun seiring berjalannya waktu pemukiman warga mulai memadati lahan ini. Menurut salah satu warga yang tinggal di sini, lahan di tempat ini adalah milik pemerintah daerah. Awalnya ada beberapa orang warga yang dianggap berkuasa atas sebagian besar tanah di daerah ini yang biasa diantaranya yaitu Bapak Pasaribu dan Bapak Sianturi dikenal dengan sebutan Amang Boru.

Amang Boru yang dimaksud disini adalah orang yang dianggap berkuasa atas

tanah di tempat ini dan beliau juga yang menjaga lahan tersebut sekaligus juga menanami dengan berbagai jenis seperti ubi, pisang dan sayuran.

Tidak diketahui secara jelas bagaimana para Amang Boru ini dapat menguasai lahan dan dipercaya menjaga lahan di tempat ini, namun menurut salah satu warga awalnya daerah tersebut masih lahan kosong yang dipenuhi


(21)

semak-semak dan dimanfaatkan untuk tempat persembunyian para pencuri yang sering disebut maling. Lahan Kosong tersebut berbatasan langsung dengan tembok perumahan warga-warga kaya, sehingga sering menjadi incaran para pencuri. Hingga warga yang sering menjadi korban pencurian mencari solusi untuk membersihkan lahan kosong yang sering dijadikan tempat persembunyian pencuri . Pada Akhirnya Amang Boru tersebut dipercayai dan juga membersihkan lahan kosong tersebut dan sekaligus memanfaatkan lahan untuk ditanami dengan tujuan untuk menambah pendapatan. Hingga Akhirnya para Amang Boru tersebut dianggap sebagai orang yang menguasai lahan.

Mengetahui terdapat lahan kosong yang dapat ditempati sehingga masyarakat dari berbagai lingkungan atau pun daerah berdatangan dan meminta ijin agar lahan tersebut dapat di beli untuk didirikan rumah. Sehingga setiap masyarakat yang ingin membangun rumah di lahan ini meminta ijin kepada pihak yang yang dianggap berkuasa yaitu Amang Boru itu sendiri, walaupun mereka bukanlah pemilik lahan dan lahan tersebut merupakan milik pemerintah.

Sebagai pihak yang dianggap berkuasa , para Amang Boru tersebut membatasi ukuran tanah yang akan digunakan oleh setiap masyarakat yang ingin mendirikan rumah yaitu dengan batasan satu persil untuk setiap rumah tangga. Dengan alasan bahwa masih banyak juga masyarakat yang ingin mendirikan rumah di tempat ini, agar semua mendapat bagian. Setiap persil hargai Rp500.000- Rp 700.000, dengann ukuran ± 3x7meter persil. Bayaran tersebut dianggap sebagai ganti rugi terhadap tanaman hasil tangan amang boru yang sudah ada sebelumnya. Salah satu warga yang membeli lahan yaitu Keluarga Rosmawaty Simbolon ditahun 2002 membayar sekitar Rp500.000 kepada amang


(22)

boru Pasaribu. Keluarga ini mengetahui keberadaan lahan di sini dari salah satu temannya. Adanya informasi pembukaan lahan tersebar luas ke daerah Medan Barat dan Medan Helvet sekitarnya. Sehingga semakin banyak masyarakat berdatangan dan bermukim di daerah ini.

Ada juga masyarakat tidak mengetahui bahwa lahan di tempat ini merupakan milik pemerintah yang tidak memiliki ijin untuk mendirikan bangunan seperti keluarga dari ibu R. Simbolon. Hingga saat adanya rencana penggusuran daerah Speksi pada tahun 2003, beliau baru mengetahui bahwa lahan tempat ia mendirikan banguan rumahnya adalah milik pemerintah. Menurut Kepala Lingkungan Bapak Abdul Manaf, sudah terjadi 5 kali penggusuran sejak pemukiman warga dibangun hingga saat ini. Mengetahui adanya rencana penggusuran seluruh warga menolak dan membentuk perwakilan dari mereka untuk berunjuk rasa ke pemerintah daerah hingga dipertemukan dengan salah salah fraksi partai politik yang mau membela mereka dan penggusuran saat itu dibatalkan. Hingga sekarang pemukiman liar di daerah speksi ini masih bertahan.

Namun ada juga yang mengetahui akan keberadaan status lahan di tempat ini dan tetap memilih mendirikan rumah di sini kareana alasan keterbatasan biaya dan tidak tahu ingin tinggal di mana. Penduduk di daerah Speksi ini mayoritas berasal dari Kecamatan Medan Barat seperti dari daerah Betlehem, daerah Sei Agul, dan daerah Helvet. Ada juga yang berasal dari daerah lain yaitu daerah Kampung Lalang.

Sebagai lingkungan yang mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai pemulung yang lebih di kenal dengan sebutang pencari botot atau tukang


(23)

sampah-sampah hasil mereka memulung serta gerobak atau becak sampah-sampah. Setiap pagi dengan jam yang tidak menentu, subuh jika cuaca mendukung maka para pemulung mulai beraktivitas untuk memulung. Mereka mulai menyusuri daerah sekitar tempat mereka tinggal hingga ada yang sampai ke daerah Sibolangit.

Bagi mereka yang hanya nmengggunakan alat sederhana berupa goni/karung dan berjalan kaki biasanya mereka hanya menyusuri daerah sekitar daerah Inspeksi seperti jalan tinta, jalan periuk, daerah Skip dan daerah Petisah sekitarnya. Bagi mereka yang memiliki gerobak/becak sampah sebagai transportasi biasnya menyusuri daerah Glugur,Griya, daerah Kapten Muslim, daerah Petisah sekitarnya bahkan ada yang menyusuri hingga ke daerah Simalingkar, Pancur Batu,Tanjung Anom dan juga jika ada kesempatan mereka menyewa mobil secara patungan hingga ke dearah Bandar Baru, Sibolangit. 4.2 Komparasi Kemiskinan Pemulung dengan Keluarga Utuh dan Keluarga Tunggal (Single Parent)

Banyaknya defenisi maupun kajian-kajian mengenai kemiskinan belum juga menjawab permasalahan kemiskinan yang ada hingga saat ini. Sulit memperoleh informasi yang jelas mengenai indikasi-indikasi yang dapat memperlihatkan bahwa seorang individu atau kelompok masyarkat itu miskin atau tidak.

Jika dilihat dari kondisinya pemulung di daerah Inspeksi ini dapat dikatakan memiliki gejala miskin, salah satunya adalah komdisi kepimilikan faktor produksi. Melihat kepemilikan faktor produksi pemulung yang bekerja di sektor informal dan termasuk pekerjaan ekonomi sisa, membuktikan bahwa mereka termasuk kelompok masyarakat yang memiliki gejala atau bahkan sudah


(24)

tergolong masyarakat miskin. Gejala lainnya yaitu tingkat pendidikan yang rendah, mayoritas dari pemulung memiliki jenjang pendidikan SMP dan SMA bahkan ada yang hanya tamat SD. Hal tersebut turut mebuktikkan masyarakat pemulung di Inspeksi ini memiliki gejala miskin.

Pemukiman masyarakat yang berada di pinggir sungai termasuk dikategorikan sebagai Slum Area, dimana Slum Area identik dengan pemukiman kumuh yang ditempat oleh masyarakat miskin. Daerah Inspeksi tersebut juga merupakan pemukiman liar karena lahan tempat mereka mendirikan bangunan adalah milik pemerintah daerah, oleh karena itu meskipun diantara mereka ada yang mendirikan rumah mereka hanya memiliki hak pakai saja.

Mereka memilih tinggal di daerah ini karena ketidakmampuan mereka membeli lahan, hal ini membuktikan ketidakmampuan ekonomi mereka sehingga memilih untuk tinggal di daerah dengan lahan milik pemerintah. Mereka juga hanya mampu membangun rumah dengan kondisi seadanya saja. Rumah yang mereka tempati pada umumnya bangunan semi permanen yang sebagian bangunan rumah berdindingan batu tanpa “plesteran”, sebagian lagi berdindingkan papan dan jarang sekali lantai rumah beralaskan ubin dengan letak yang rapat satu dengan yang lainnya. Tempat tinggal mereka kumuh karena dipenuhi sampah-sampah.

Pekerjaan sebagai pemulung merupakan pekerjaan sektor informal yang tidak memerlukan ketrampilan khusus maupun kemampuan intelektual, membuktikan bahwa mereka termasuk kepada warga yang memiliki gejala masyarakat miskin, namun bagaimana sebenarnya kondisi kemiskinan dari peniliain mereka sendiri.


(25)

Penilian kemiskinan yang dinilai oleh keluarga pemulung dikaji dari kepemilikan 5 modal dalam kehidupan yang dikenal dengan pentagonal asset. Melalui FGD diharapkan mereka dapat memberi penilian langsung terhadap tingkat kesejahteraan mereka. Penilaian Setiap individu ataupun kelompok masyarakat mengenai suatu hal tentunya akan berbeda, begitu juga halnya dengan antara pemulung keluarga utuh dan pemulung keluarga tunggal yang juga memiliki perbedaan penilain terhadap tingkat kesejahteraan mereka.

Dari FGD terlihat bahwa asset yang paling rendah pada keluarga pemulung keluarga utuh adalah asset ekonomi, hal ini menggambarkan bahwa kendala utama pada pemulung keluarga utuh adalah rendahnya pendapatan. Menurut peserta FGD pendapatan mereka sehari-hari Rp 30.000-Rp 50.000 dalam sehari, sementara itu pengeluaran mereka sehari-hari sebesar Rp 30.000 – Rp 50.000 dalam sehari. Hal tersebut menunjukkan bahwa pendapatan mereka hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja, bahkan cenderung kurang. Untuk menutupi kekurangan pendapatan yang ada, mereka biasanya akan meminjam kepada tetangga atau berhutang ke warung sekitar rumah mereka. Sehingga tidak ada kesempatan bagi mereka untuk memiliki tabungan ataupun simpanan, seperti penuturan salah satu peserta FGD Ibu M. Siagian (60 tahun) yang mengatakan:

“Bagaimana kami mau memiliki tabungan atau simpanan, untuk makan sehari-hari jika ada saja sudah syukur sekali, terlebih lagi kami sudah tua ini tenaga juga terbatas jadi barang bekas yang didapat juga terbatas, tapi kalau tidak bekerja yah kami mau makan dari mana. Mau mengaharapkan anak , anak kami juga terbatas juga kemampuan

ekonomi nya dan sama juga dengan kami bekerja sebagai pemulung

Sementara itu asset yang yang terendah yang dimiliki oleh pemulung keluarga tunggal (single parent ) mencakup empat asset diantaranya yaitu Asset


(26)

Manusia(Sumber Daya Manusia), asset ekonomi, asset infrastruktur/fisik dan asset alam . Perbedaan kepemilikan asset antara dua kelompok keluarga pemulung menggambarkan bahwa yang menjadi kendala utama pada pemulung keluarga utuh adalah asset ekonomi sementara itu yang menjadi kendala utama bagi pemulung keluarga tunggal adalah Asset Manusia(Sumber Daya Manusia), asset ekonomi, asset infrastruktur/fisik dan asset alam

Perbedaan kondisi asset ini memperlihatkan perbedaan tingkat kemiskinan antar sesama pemulung sekalipun. Perbedaan asset juga memperlihatkan perbedaan kendala atau permasalahan utama pada masing-masing kelompok keluarga pemulung, hal ini juga menyiratkan bahwa penanganan masalah kemiskinan bahkan pada antar sesama pemulung sekalipun juga berbeda.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya keberadaan ke lima asset tersebut saling berkaitan satu sama lain. Hal ini terlihat pada keberadaan asset pemulung keluarga utuh terlebih pada pemulung keluarga tunggal. Rendahnya asset sumber daya manusia karena minimnya indikator sumber daya manusia itu sendiri, seperti pendidikan formal mereka yang rendah , begitu juga dengan pendidikan non formal yang tidak pernah diikuti, hanya terdapat satu orang dan hanya bertahan selama 3 bulan, selain itu mayoritas dari mereka tidak memiliki pekerjaan sampingan, serta tidak adanya pengetahuan dan ketrampilan seputar profesi mereka sebagai pemulung.

Pada umumnya penyebab rendahnya indikator sumber daya manusia tersebut adalah karena rendahnya asset ekonomi. Asset ekonomi yang rendah menjadi kendala bagi mereka untuk mengembangkan usaha seperti memperoleh alat kerja yang dapat membantu mendapatkan hasil memulung yang lebih banyak


(27)

lagi, sehingga wilayah operasi memulung terbatas. Wilayah operasi memulung yang terbatas menandakan pencapain asset alam yang rendah, akibatnya pendapataan yang dihasilkan juga rendah. Pada akhirnya mereka akan terjerat pada lingkaran kemiskinan dan menghasilkan generasi-generasi miskin berikutnya.

Jika dilihat asset ekonomi sama-sama menjadi kendala utama bagi kedua kelompok keluarga pemulung. Dari hal tersebut patut diduga yang menjadi kendala utama keluar dari kemiskinan, baik itu bagi pemulung keluarga utuh maupun pemulung keluarga tunggal adalah masalah ekonomi. Sementara itu asset yang paling dapat diandalkan dan menempati posisi tertinggi pada pemulung baik pemulung keluarga utuh maupun pemulung keluarga tunggal adalah asset sosial/modal sosial.

Modal sosial adalah modal yang dapat diakses secara umum oleh semua kelompok masyarakat. Terlebih lagi pada kelompok masyarkat miskin, modal ini sangat dapat diandalkan. Begitu juga dengan pemulung di daerah ini, yang paling dapat mereka andalkan adalah modal sosial. Namun tentunya modal sosial ini tidak dapat maksimal tanpa adanya asset-asset hidup lainnya.

Dari penjelasan sebelumnya memperlihatkan terdapat perbedaan kemiskinan pada sesama masyarakat pemulung sekalipun. Oleh karena itu pengentasaan kemiskinan yang dilakukan tentunya berbeda dari masing-masing kelompok keluarga pemulung. Begitu juga dengan tingkat kesejahteraan antara sesama masyarakat pemulung sekalipun, juga memiliki perbedaan. Berikut rangkuman persepsi masyarakat pemulung daerah Inspeksi mengenai tingkat kesejahteraan dan juga persepsi pemulung mengenai kemiskinan:


(28)

Tabel 4.7. Persepsi Masyarakat Pemulung mengenai Tingkat Kesejahteraan No Persepsi

Masyarakat Tentang

Pemulung Keluarga Utuh Pemulung Keluarga Tunggal

1 Miskin - Penghasilan yang dimiliki hanya cukup untuk makan, bahkan cenderung kurang.

- Makan kurang dari tiga kali sehari - Bekerja seorang diri/pencari nafkah tunggal

- Memulung masih dengan berjalan kaki -Usia sangat tua masih memulung -Tidak menerima bantuan pemerintah sekalipun benar-benar miskin karena terkendala biaya admistrasi untuk kelengkapan data

- Banyak Tanggungan

- Memulung secara regenerasi (turun-temurun)

-Memulung seorang diri/pencari nafkah tunggal

-Memiliki banyak tanggungan (anak)

- Boros

- Makan kurang dari tiga kali sehari - Mengikutsertakan anak untuk memulung

-Rumah/Tempat Tinggal masih mengontrak dengan bayaran perbulan

2 Berkecukupan (Sedang)

-Memulung sudah menggunakan alat bantu seperti becak barang

- Makan tiga kali sehari meskipun dengan lauk seadanya

- Mampu untuk melakukan kredit terhadap suatu barang/ benda.

- Kedua Orang tua bekerja

- Makan tiga kali sehari dengan lauk seadanya

- Rumah/ tempat tinggal masih mengontrak dengan pembayaran pertahun

- Berprofesi menjadi rentenir (menjalankan uang)

3 Kaya - Tokeh/ Penampung barang bekas dari para pemulung

- Mempunyai kendaraan lebih dari satu.

- Mempunyai usaha seperti koperasi

- Berprofesi sebagai rentenir (menjalankan/membunngakan uang)

- Tokeh/ Penampung barang bekas dari para pemulung - Rumah/tempat tinggal milik

sendiri meskipun hanya hak pakai

- Mempunyai usaha seperti koperasi

- Sudah menggunakan

kendaraan untuk memulung - Mampu memberi bantuan

kepada keluarga yang lebih kesulitan ekonomi.

- Tergabung dalam kumpulan marga dan gereja (karena

semakin banyak perkumpulan yang diikuti

semakin banyak relasi menandakan semakin tinggi

tingkat kesejateraan seseorang


(29)

Tabel 4.8. Kemiskinan Dari Persepsi Peserta FGD Keluarga Pemulung Orang Tua Utuh

No Persepsi Keluarga Pemulung Oarng Tua Utuh Mengenai Miskin 1 Menurut salah satu peserta FGD, kelurga miskin adalah keluarga yang

pendapatannya terbatas hanya untuk cukup makan, dan juga menerima bantuan sosial dari pemerintah

2 Menurut salah satu peserta FGD, miskin itu ditujukkan bagi orang yang tidak bekerja sama sekali, makan kurang dari 3 kali sehari bahkan terkadang tidak makan sama sekali. Selain itu mereka yang miskin ialah bagi mereka yang memulung dengan berjalan kaki dan menjunjung dengan kepala nya sendiri 3 Menurut salah peserta FGD, miskin itu adalah bagi mereka yang merupakan

orang tua tunggal khususnya bagi wanita yang suaminya sudah meninggal, tidak mempunyai ketrampilan dan memiliki banyak tanggungan. Miskin juga ialah orang yang malas dan anak nya juga tidak bersekolah.

Tabel 4.9. Kemiskinan Dari Persepsi Peserta FGD Keluarga Pemulung Orang Tua Utuh

No Persepsi Keluarga Pemulung Orang Tua Tunggal

1 Menurut salah satu peserta FGD keluarga tunggal, miskin itu adalah orang ga tidak punya tempat tinggal/ rumah sama sekali, kalau saya kurang setuju dibilang miskin lah, saya lebih setuju dibilang kurang mampu, karena, miskin itu berbeda dengan yang kurang mampu”

2 Menurut salah satu peserta FGD keluarga tunggal, miskin itu orang yang hidup kekurangan , yang masih meminjam-minjam uang untuk keperluan sehari-hari sekalipun”

3 Menurut peserta FGD pemulung keluarga tunggal, miskin itu adalah bagi mereka yang makan kurang dari 3 kali sehari, bahkan terkadang dalam satu hari tidak makan, dan mengikutsertakan anak-anaknya yang bersekolah turut bekerja.

Dari tabel hasil wawancara dan FGD diatas menggambarkan persepsi miskin antara pemulung keluarga utuh dan pemulung keluarga tunggal.

Selain itu dari tabel diatas dapat juga diketahui juga bahwa pada daerah speksi yang merupakan daerah slum area , terdapat perbedaan tingkat kesejahteraan. Ini yang diartikan dengan kemiskinan relatif. Kategori miskin di suatu daerah belum


(30)

tentu miskin di daerah lainnya. Hal ini diperkuat oleh pernyataan salah satu keluarga pemulung keluarga tunggal, Rosmawaty Lubis (44 tahun), yang mengatakan :

“Keluarga dengan tingkat kesejahteraan tinggi di tempat ini ya sudah bisa memiliki rumah sendiri , memulung sudah menggunakan alat bantu transportasi seperti becak barang . Jika di tempat ini bisalah keluarga saya dikategorikan kesejahteraan saya di kelas atas, ga susah susah kali lah, ga pernah kami sampai tidak makan”.

Informan tersebut merupakan salah satu dari pemulung yang ada di daerah Inspeksi, bila dilihat dari kondisi rumah, pendapatan serta mengingat pekerjaan nya sebagai pemulung, beliau dapat dikategorikan dalam kelompok masyarakat miskin, bahkan beliau merupakan salah satu penerima bantuan dari pemerintah. Hal tersebut membuktikan bahwa penilaian atau pandangan miskin dari kelompok masyarakat yang dikategorikan miskin berbeda dengan defenisi kemiskinan pada umumnya.

Berdasarkan hasil FGD mayoritas dari keseluruhan mereka baik pemulung keluarga utuh dan pemulung keluarga tunggal, mereka tidak begitu setuju jika dikategorikan sebagai masyarakat miskin. Mayoritas dari mereka lebih memilih dikatakan sebagai masyarakat kurang mampu dibandingkan dengan miskin, meskipun terdapat peserta yang setuju jika dikategorikan sebagai masyarakat miskin . Bagi mereka miskin itu ialah mereka yang tidak memiliki kemampuan apapun baik itu pekerjaan ataupun tempat tinggal untuk melangsungkan hidup , sedangkan kurang mampu bagi mereka lebih diatas levelnya dibandingkan dengan kata miskin.

. Dari tabel diatas juga menggambarkan bahwa di daerah Slum Area, sekalipun terdapat pengklasifikasian penduduk berdasarkan kelas sosialnya.


(31)

Secara kasat mata jika dilihat dari bangunan rumah dengan mayoritas kondisi bangunan yang semi permanen, tingkat kesejahteraan penduduk dapat dikatakan sama rata. Namun dari hasil FGD dan Wawancara didapati bahwa terdapat perbedaan tingkat kesejahteraaan, ini terbukti para peserta FGD yang juga sekaligus informan mampu untuk mengkategorikan tingkat kesejahteraan masyarakat di daerah ini.

Dari hasil FGD dan wawancara yang dilakukan terdapat fakta bahwa pada daerah yang termasuk kawasan Slum Area ini tidak semua warga yang bermukim di tempat ini adalah kelompok masyarakat miskin. Hal ini diperkuat oleh pernyataan salah seorang Kepala Lorong yang juga merupakan orang kepercayaan Kepala Lingkungan yaitu Ibu Siregar, (54 tahun) yang mengatakan :

“Hanya orang miskin lah yang tau siapa yang miskin , karena banyak juga di tempat ini mengaku-ngaku miskin agar mendapat bantuan pemerintah. Jika dilihat memang lingkungan ini kumuh dan kondisi rumah pun apa adanya saja, namun ada beberapa orang di umah tempat ini memiliki banyak harta dan usaha di luar sana. Bahkan rumahnya yang paling tidak layak di sini memiliki rumah kontrakan juga di daerah ini “

4.2.1 Kemiskinan Aset Keluarga Pemulung Orang Tua Utuh dan Pemulung Keluarga Pemulung Orang Tua Tunggal

Keberadaan aset atau modal sangat mempengaruhi keberlangsungan hidup masyarakat. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya terdapat lima aset/modal dalam kehidupan manusia yaitu diantaranya modal manusia/sumber daya manusia( human capital), modal ekonomi (financial capital), modal alam (nature

capital), modal fisik (physical capital), dan modal sosial (social capital) yang

dikenal dengan Pentagonal Asset. Keberadaan kelima aset/modal tersebut saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Rendahnya kualitas modal manusia/ sumber daya manusia berpengaruh pada rendahnya produktivitas, jika


(32)

produktivitas rendah maka pendapatan sebagai modal ekonomi rendah, jika aset/modal ekonomi rendah maka maka cenderung sulit untuk mengakses modal/aset yang lainnya.

Kondisi kesejahteraan suatu kelompok masyarakat dapat dilihat dari kondisi kepemilikikan aset/modal. Semakin banyak aset/modal yang dimiliki maka semakin tinggi tingkat kesejahteraan masyarakat, begitu juga sebaliknya semakin minim/rendah aset/modal yang dimiliki maka semakin rendah tingkat kesejahteraan masyarakat.

Lewat FGD serta wawancara yang dilakukan, keluarga pemulung baik keluarga dengan orang tua utuh atau tunggal dapat menilai langsung tentang aset/modal dikehidupan mereka. Karena dengan mengetahui kondisi aset/modal yang mereka miliki maka dapat menggambarkan bagaiman tingkat kesejahteraan (kemiskinan) mereka. Selain itu lewat hal tersebut dapat juga diketahui asset mana yang paling dapat diandalkan dan juga modal/aset mana yang paling menghambat kehidupan mereka.

Modal/aset yang paling dapat diandalkan juga termasuk modal/aset yang paling tinggi/maksimal dalam kehidupan mereka, begitu juga dengan modal/aset yang paling menghambat yang dimaksudkan adalah modal/aset yang paling rendah. Dengan diketahuinya aset terendah/minim dalam kehidupan mereka secara bersamaan dapat juga diduga penyebab kemiskinan yang mereka. Berikut ini adalah persepsi keluarga pemulung mengenai kemiskinan aset :


(33)

Tabel 4.10. Miskin Modal/Aset Menurut Keluarga Pemulung

Modal/Aset Keluarag Utuh Keluarga Tunggal

Sumber Daya Manusia (SDM)

Miskin SDM yaitu:

• Jika tidak memiliki pekerjaan (mengangur), dan memiliki motivasi diri yang rendah.

• Pengalaman rendah/ tidak

punya ketrampilan/ mengandalkan orang lain

atau keluarga lain

Miskin SDM yaitu:

• Malas bekerja dan tidak mau berusaha

• Tidak mengalami

perkembangan usaha : yang awalnya memulung berjalan kaki terus-menerus berjalan kaki.

Ekonomi Miskin modal ekonomi yaitu:

• Pendapatan sedikit < Rp 20.000/ hari dan tidak menentu .

• Pendapatan dari pekerjaan lain (uang masuk) lain tidak seberapa

• Tidak memiliki tabungan walaupun sudah hidup secukupnya/berhemat.

• Banyak hutang

Miskin modal ekonomi yaitu :

• Pendapatan pas-pasan, < Rp 20.000/hari

• Hidup boros/ lebih banyak pengeluaran dari pendapatan atau tidak mampu berhemat.

• Tidak memiliki

tabungan/simpanan uang baik secara pribadi maupun di lembaga keuangan sperti CU ataupun Bank

• Banyak hutang

Sumber Daya Alam (SDA)

Miskin Sumber Daya Alam yaitu : • Tidak memiliki lahan/ ternak

yang dapat membantu ekonomi.

• Minimnya kemampuan untuk

mengetahuiinformasi/kebera daan barang bekas

Miskin Sumber Daya Alam yaitu :

• Tidak memiliki lahan/ternak yang untuk menambah pemasukkan rumah tangga.

• Sedikitnya lokasi/wilayah pencarian barang bekas


(34)

Fisik Miskin Modal Fisik yaitu:

• Tidak mendapat akses listrik dan air bersih. Mengunakan sumur timba, kondisi air sumur tidak layak minum. • Hidup masih menumpang

dengan keluarga lainnya/ dalam suatu rumah dihuni oleh beberapa keluarga.

• Tidak memiliki saluran rumah tangga yang layak ,saluran limbah rumah tangga/kotoran langsung dialirkan ke sungai.

• Tidak memiliki transportasi untuk memulung.

• Menerima bantuan dari pemerintah karena memang tidak mampu

Miskin Modal Fisik yaitu:

• Tidak menadapat akses listrik dan air bersih. Menggunakan sumur timba, kondisi air sumur tidak layak minum.

• Masih mengontrak/menyewa rumah dengan pembayaran per bulan bukan per tahun

• Tidak memiliki saluran rumah tangga yang layak ,saluran limbah rumah tangga/kotoran langsung dialirkan ke sungai. • Memulung masih berjalan

kaki.

• Tidak menerima bantuan dari pemerintah meskipun sangat layak mendapat bantuan karena tidak terdata.

Modal Sosial Miskin Modal Sosial yaitu :

• Tidak tergabung dalam perkumpulan marga (STM) /agama seperti perkumpulan gereja.

• Tidak adanya kelompok

swadaya terkait kesejahteraan hidup pemulung di daerah ini.

• Tidak tergabung dalam perkumpulan sesama warga di daerah ini, walaupun bergabung namun pasif, tidak berkontribusi sama sekali.

• Tidak memiliki

keluarga/kerabat yang dapat diandalkan .

• Tidak mampu membangun relasi yang baik dengan tokeh dan sesama pemulung ataupun tetangga sekitar.

Miskin Modal Sosial yaitu :

• Tidak tergabung dalam perkumpulan marga (STM) /agama seperti perkumpulan gereja.

• Tidak adanya kelompok swadaya terkait kesejahteraan hidup pemulung di daerah ini • Tidak tergabung dalam

perkumpulan sesama warga di daerah ini, walaupun bergabung namun pasif, tidak berkontribusi sama sekali.

• Tidak memiliki

keluarga/kerabat yang dapat diandalkan.

• Tidak mampu membangun relasi yang baik dengan tokeh dan sesama pemulung, ataupun tetangga sekitar.


(35)

4.2.2 Analisis Aset Keluarga Pemulung

Hasil FGD yang kami lakukan sebanyak dua kali dengan membedakan FGD antara pemulung dengan keluarga utuh dan kelompok pemulung dengan keluarga tunggal (single parent). Peneliti membedakan jadwal pelaksanaan FGD antar masing-masing keluarga pemulung mengingat tujuan pengomparasian antara dua kelompok keluarga pemulung yaitu untuk melihat penilaian masing-masing keluarga pemulung.

FGD membahas mengenai kepemilikan aset yang dimiliki oleh keluarga pemulung, yang lewat hal tersebut masing-masing kelompok dapat berpartisipasi serta informasi yang didapatkan adalah langsung penilaian masing-masing keluarga pemulung. Adapun ke lima asset yang terdapat pada pentagonal aset yaitu diantaranya Human Capital (Sumber Daya Manusia), Financial Capital (Modal EKonomi), Physical Capital (Modal Fisik), Nature Capital (Modal Alam), dan Social Capital (Modal Sosial). Masing-masing asset dinilai dalam skala antara 0-5, dengan angka yang makin besar menggambarkan kesejahteraan masyarakat makin terdukung, sebaliknya jika asset yang dimiliki semakin kecil maka hal itulah yang menggambarkan kurangnya kesejahteraan masyarakat. Masing- masing kelompok keluarga pemulung sendiri yang akan member penilaian mengenai keberadaan asset yang mereka miliki antara skala 0-5.

Lewat kelima asset yang telah mencakup seluruh aspek kehidupan, diharapkan dapat menggambarkan kondisi kemiskinan yang ada dan dari sudut pandang yang mengalami kemiskinan itu sendiri sendiri. Sehingga tujuan dari melihat kemiskinan dari sudut pandang orang miskin sendiri tercapai. Hasil dari FGD yang telah dilakukan terdapat perbedaan kepemilikan asset antar kelompok pemulung keluarga utuh dan kelompok pemulung keluarga tunggal yang mereka


(36)

miliki. Berikut gambaran kondisi aset keluraga pemulung orang tua utuh dan orang tua tunggal yang mereka miliki atau kondisi kemiskinan masyarakat tersebut adalah sebagai berikut:

4.2.2.1. Analisis Pentagonal Aset Keluarga Pemulung Orang Tua Utuh

Bagan Pentagonal Aset Keluarga Pemulung Orang Tua Utuh (Sumber : Hasil FGD)

Melalui FGD yang dihadiri oleh pemulung keluarga utuh, peserta memberikan penilaian langsung mengenai asset yang mereka miliki. Berdasarkan hasil FGD yang telah dilakukan diantara ke lima asset, berikut adalah kondisi aset pemulung keluarga utuh :

1. Kondisi Sumber Daya Manusia

Berdasarkan hasil FGD dengan peserta pemulung keluarga utuh, Sumber Daya Manusia menempati angka tiga, terkait sumber daya manusia ada beberapa indikator yang merujuk untuk melihat kondisi sumber daya manusia, indikator tersebut diantaranya pendidikan formal maupun non formal seperti pelatihan/kursus yang pernah dijalani, selain itu penilainan terhadap kondisi sumberdaya manusia dapat juga dilihat dari ketrampilan (skill) yang tertentu ,

1 2 3 4

5 1

2 4

5 1

2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 SDA E F S SDM


(37)

serta kemampuan untuk mengolah hasil memulung ke dalam bentuk lain yang lebih bernilai ekonomi tinggi.

Terkait pendidikan formal, mayoritas yaitu 7 dari 12 pserta mengaku hanya tamat SMP, sedangakan yang lainnya hanya tamat SD,SMA/SMK dan tidak terdapat diantara peserta yang tidak pernah bersekolah. Terkait pendidikan non-formal seperti pelatihan/kursus. Mengenai kursus atau pelatihan yang pernah diikuti satu peserta FGD pernah mengikuti kursus yaitu kursus kecantikan, namun hanya selama tiga bulan saja. Alasan mereka tidak pernah mengikuti pelatihan ataupun kursus adalah karena tidak ada biaya dan keterbatasan waktu serta motivasi diri yang kurang.

Melihat dari hasil FGD tingkat pendidikan pemulung keluarga utuh dapat dikatakan rendah, adapun yang menjadi faktor-faktor penyebab mereka tidak melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi diantaranya karena kemauan atau motivasi diri yang kurang (malas), karena kemampuan ekonomi orang tua yang terbatas, karena adanya faktor pengutamaan anak laki-laki dalam keluarga.

Seperti penuturan salah satu peserta FGD Hatian Obasa (40 tahun) yang mengatakan:

“Karena orang tu saya dulu memiliki banyak anak dan kami hidup di kampung jadi anak laki-laki itu lebih diutamkan khususnya pada keluarga suku Batak ini. Sehingga anak laki-laki yang diutamakan pendidikannya dipicu lagi oleh keterbatasan ekonomi, oleh karena itu anak perempuan haruslah mengalah. Oleh karena itu saya tidak disekolahkan tinggi-tinggi karena saya anak perempuan, belum lagi tugas saya sebagai anak perempuan sebagai penjaga adik-adik saya.

Dari penuturan tersebut membuktikan bahwa nilai dalam suatu budaya juga mampu mempengaruhi keberadaan kualitas sumber daya manusia yang ada. Hal tersebut juga membuktikan bahwa bukan saja faktor ekonomi yang dapat


(38)

mempengaruhi pendidikan seseorang tetapi nilai budaya yang juga memiliki andil di dalamnya. Itu artinya nilai budaya juga memberi pengaruh pada penyebab rendahnya kesejahteraan, pendidikan yang seharusnya dapat dijadikan modal untuk melakukan mobilitas sosial namun terbentur oleh nilai budaya yang dianut oleh kelompok masyarakat tertentu. Akibat pendidikan rendah kualitas sumber daya manusia yang dihasilkan juga rendah sehingga produktifitas juga rendah, produktifitas yang rendah melahirkan kemiskinan.

Rendahnya pendidikan mengakibatkan mereka memilih untuk bekerja hanya sebagai pemulung, karena mereka tidak memiliki kampuan intelektual serta ketrampilan tertentu. Sementara itu lapangan pekerjaan terbatas sedangkan jumlah penduduk semakin tinggi. Perkembangan zaman yang semakin modern, menuntut sumber daya manusia yang ada harus semakin terampil dan berpendidikan tinggi. Akibatnya mereka yang tidak berpendidikan tinggi tersingkirkan dan memilih bekerja di sektor informal seperti memulung. Hal ini deperkuat oleh penuturan salah satu informan, M. Siagian (60 tahun)

“Saya memulung sejak saya menikah dengan suami saya ini. Alasan saya bekerja sebagai pemulung karena saya tidak memiliki kemampuan lain, saya tidak tahu lagi mau bekerja dimana lagi, sementara itu kebutuhan hidup semakin mahal. Jadi saya memilih menjadi pemulung karena tidak memerlukan ketrampilan khusus, tidak perlu ijazah dan juga tidak perlu modal yang besar “

Sekalipun faktor nilai budaya memiliki andil dalam rendahnya pendidikan pada kelompok pemulung keluarga utuh, namun faktor yang paling dominan berdasarkan hasil FGD penyebab rendahnya pendidikan adalah faktor ekonomi.

Terkait ketrampilan yang menjadi salah satu indikator Modal Manusia dilihat dari, ketrampilan tertentu yang dapat dimanfaatkan untuk menambah


(39)

pendapatan, dan kemampuan untuk mengelola hasil memulung ke bentuk lain yang lebih bernilai ekonomi tinggi. Berdasarkan hasil FGD terdapat keluarga yang menambah pendapatan mereka dengan melakukan usaha lain seperti menjadi buruh cuci, asisten rumah tangga, berdagang di rumah, dan juga menjadi buruh bangunan. Seperti penuturan salah satu peserta FGD J. Panjaitan (66 tahun), yang mengatakan:

Jika hanya mengandalkan botot ini ga cukup lah, tanggungan

dalam keluarga cukup banyak sehingga unutk menambah-namabh pengahasilan sehari-hari dalam keluarga biasanya saya menjadi buruh bangunan itu juga jika ada borongan bangunan ya saya ikut. Menjadi buruh bangunan cukup membantu untuk menambah ekonomi tapi sayangnya tidak selalu ada borongan bangunan”.

Seluruh peserta FGD mengaku bahwa mereka tidak mengelola kembali barang bekas yang mereka dapatkan. Menurut peserta FGD yang menjadi alasan mereka tidak mengelola hasil barang hasil memulung diantaranya karena kurang nya pengetahuan , tidak ada modal untuk membeli peralatan, lokasi yang sempit, serta tidak ada pasar untuk memasarkan hasil produksi, seperti penuturan salah satu peserta FGD M.Siagian (66 tahun) yang mengatakan:

“Bagaimana kami dapat mengolah barang bekas ini semua, kami tidak memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk mengelolanya, sekalipun nanti kami diajari atau dibekali ketrampilan untuk mengolah barang bekas tersebut kami juga kana dibingungkan akan tempat pemasarannya akan dikemanakan?”

. Hal tersebut memperlihatkan bahwa selain pengetahuan dan kemampuan mereka yang masih kurang akan pengolahan barang hasil memulung, ternyata penyebab mereka tidak mengolah barang hasil memulung dikarenakan tidak adanya pasar untuk mendistribusikan barang. Sehingga adanya pemikiran bahwa sekalipun mereka mampu untuk mengeloh nantinya akan terbentur oleh ketiadaan


(40)

pasar. Hal tersebut memunculkan keengganan untuk tidak mengolah barang hasil memulung ke bentuk yang bernilai ekonomi lebih tinggi.

Selain itu faktor internal yang menghambat mereka untuk mengolah barang bekas, kurangnya motivasi dari dalam diri mereka. Menurut mereka karena tidak ada penggerak kegiatan pengolohan barang bekas tersebut, hal ini juga menyiratkan adanya kaitan dengan ketiadaan organisasi sesama pemulung yang seharusnya dapat dijadikan wadah untuk memberikan ketrampilan dan juga pengetahuan akan pengelolahan barang bekas. Menurut mereka jiaka hanya mengandalakan kemampuan mereka sulit bagi mereka untuk mengolah barang bekas ke bentuk yang berniali ekonimi lainnya , mengingat kondisi ekonomi mereka juga yang terbatas.

Dari bagan diatas dapat dilihat sumber daya manusia pemulung keluarga utuh menempati angka tiga, angka tersebut termasuk angka yang cukup tinggi. Secara umum pendidikan mereka dapat dikatakan rendah, namun menurut penilaian mereka secara internal pendidikan yang mereka miliki cukup tinggi, alasan lainya mengapa mereka menilai sumberdaya mereka berada di angka tiga karena selain memulung, sesekali mereka juga mencari tambahan pendapatan yang lainnya dengan mengerjakan pekerjaan lain seperti menjadi buruh cuci dan buruh bangunan. Hal tersebut memberi penilian bagi mereka bahwa mereka cukup produktif.

Menurut penilaian mereka selama masih bekerja pendidikan bukan menjadi penghalang , bagi mereka selama mereka tidak menganggur itu artinya mereka sebagai sumberdaya manusia masih berdaya. Bagi mereka sumberdaya


(41)

manusia yang rendah, jika individu tersebut sama sekali tidak bekerja dan menghasilkan pendapatan.

Sumber Daya Alam berada pada angka dua karena seluruh peserta FGD mengaku tidak memiliki lahan untuk diolah dan dari 12 peserta 1 orang mengaku memiliki ternak dan hanya untuk kebutuhan konsumsi saja. Alasan lainnya dikarenakn mayoritas dari mereka yaitu 7 dari 12 peserta mengaku mencari barang bekas hanya di dearah sekitar lingkungan tempat tinggal mereka dan sekitar Kelurahan Helvetia Timur, 1 dari 12 peserta yang mencari barang bekas ke daerah cukup jauh, dan sisa nya ke daerah luar kelurahan Helvetia Timur seperti daerah Sekip dan daerah Nibung serta Petisah. Setiap hari pada umunnya mereka cenderung akan melewati daerah yang sama dan tempat-tempat yang sama.

Aset Fisik berada diangka dua karena di daerah ini terkait fasilitas umum seperti Sekolah, Puskesmas, Kantor Kelurahan, Perhubungan seperti akses jalan dan transportasi cukup baik dan mudah untuk diakses. Tidak sulit untuk mengakses daerah tempat tinggal mereka ,terbukti dari terdapat angkutan umum yang melewati daerah ini, begitu juga dengan kondisi jalan yang cukup memadai.

Dari 12 peserta 11 keluarga pemulung memiliki rumah sendiri walaupun hak hanya hak pakai dan sisanya masih mengontrak rumah. Kondisi sanitasi belum cukup memadai karena saluran pembuangan rumah tangga di tempat ini dialirkan langsung ke sungai. Secara langsung hal tersebut dapat mencemari lingkungan tempat tinggal mereka, ih langsung dari PAM. Terkait penerangan di tempat ini telah terdapat akses masuknya listrik langsung dari (PLN) Perusahaan Listrik Negara, sebelumnya di tempat ini belum terdapat akses terhadap listrik


(42)

mengingat daerah ini merupakan daerah hijau. Seperti penuturan salah satu warga dan juga pserta FGD Rospitawati Simbolon (52 tahun)

“Pertama kali kami tinggal pada tahun 2002, di sini belum ada akses listrik masuk, namun setelah kami sesama warga berembuk dan bertepan ada yang mengenal pihak dari PLN dan kami meminta tolong agar memberikan akses listrik ke daerah kami ini. Pada tahun 2005 daerah ini telah mendapat akses terhadap listrik, namun tidak dengan akses air”

Daerah ini tidak mendapat akses air dari PAM, dikarenakan masih termasuk daerah hijau sehingga untuk mengakses air bersih harus setiap rumah tangga harus menggali sumur. Penggunaan jenis sumur juga terbagi atas dua yaitu

sumur biasa dan sumur bor . Bagi rumah tangga dengan ekonomi yang menengah

di tempat ini, biasanya menggunakan sumur bor, namun bagi rumah tangga yang kurang mampu di tempat ini hanya menggunakan sumur biasa, terdpat juga rumah tangga yang menumpang dengan sumur rumah tangga lainnya.

2. Kondisi Aset Financial/Ekonomi

Untuk mengetahui gambaran Asset Financial/Ekonomi pada pemulung keluarga utuh dilihat dari indikator diantaranya adalah pendapatan dan pengeluaran, tabungan atau simpanan dan akses untuk meminjam. Berdasarkan hasil FGD Aset Ekonomi adalah aset yang terendah yaitu menempati angka 1.

Kondisi pendapatan pemulung keluarga utuh terbilang rendah karena pendapatan dari hasil memulung hanya cukup untuk kebutuhan sehari hari yang pada umunya untuk biaya makan, biaya anak sekolah dan lainnya bahkan cenderung kurang. Pendapatan pemulung keluarga utuh rata-rata Rp 30.000- Rp 50.000 dalam sehari begitu juga dengan pengeluaran mereka sehari-hari.


(43)

Menurut peserta FGD , hampir setiap hari mereka bekerja dimulai pagi hari tepat nya saat subuh. Bagi mereka yang tidak memiliki gerobak sampah atau yang lebih dikenal becak barang biasanya menjelang siang mereka akan kembali kerumah untuk makan siang dan beristarahat sejenak. Jarak daerah memulung yang tidak terlalu jauh karena keterbatasan akan transportasi, memungkinkan mereka untuk kembali ke rumah menjelang sinag hari. Setelah itu mereka kembali lagi memulung ke daerah lainya hingga menjelang sore hari bahkan malam hari.

Penghasilan sebagai pemulung tidak menentu jumlah dan waktunya, terkadang mereka dapat menjual perhari, dua kali dalam seminggu dan ada juga yang satu kali dalam sehari. Biasanya mereka akan menjual hasil memulung pada hari sepulang mereka memulung, namun jika harga jual rendah maka biasanya mengumpulkan serta menyimpan barang bekas tersebut dalam beberapa waktu hingga harga normal kembali. Hal ini juga menjadi kendala bagi mereka, tidak menetapnya harga jual barang bekas yang setiap waktu dapat turun drastis. Jika hal tersebut terjadi artinya selama menunggu harga barang tersebut naik, mereka tidak mendapatkan pengahasilan. Selama masa menunggu harga jual naik biasanya mereka mencari barang bekas yang bernilai tinggi. Jika harga jual barang cenderung rendah biasanya mereka akan meminjam pada pemulung lainya ataupun tetangga untuk modal bagi mereka yang memulung menggunakan transportasi.

Bagi mereka yang memiliki becak barang , biasanya mereka akan cenderung berada di luar rumah seharian untuk memulung. Pemulung yang seperti ini biasanya disebut pemulung luar kota. Daerah-daerah untuk memulung bagi mereka yang memiliki gerobak/becak barang cenderung lebih jauh dan luas


(44)

cakupannya, sehingga tidak memungkinkan bagi mereka untuk kembali ke rumah menjelang siang hari.

Namun terdapat juga pemulung yang memiliki becak barang hanya menyusuri daerah sekitar Kelurahan Helvetia Timur saja. Mereka menyusuri tempat-tempat sampah dan pulang ke rumah pada siang hari atau menjelang sore hari.

Bagi pemulung cuaca juga menjadi penentu bagi pekerjaan mereka, jika hujan biasanya pemulung cenderung jarang bekerja, dan jika musim hujan tiba biasanya mereka akan pulang lebih awal. Oleh karena itu dapat juga dikatakan musim hujan dapat menjadi salah satu faktor pendapatan mereka berkurang. Faktor lainnya yang menyebabkan pendapatan mereka berkurang yaitu diantarnya minimnya fasilitas kerja. Bagi mereka yang memulung hanya dengan berjalan kaki dan dengan alat seadanya , pendapatan mereka cenderung lebih rendah , namun lain hal nya bagi mereka yang memiliki pekerjaan sampingan.

Persaingan wilayah yang semakin tinggi antar sesama pemulung juga menjadi faktor rendahnya pendapatan. Sebagai pekerjaan yang dapat dikerjakan tanpa modal jumlah pemulung semakin meningkat, akibatnya wilayah-wilayah untuk mencari barang bekas semakin berkurang dan berdampak pada menurunya pendapatan. Belum lagi nilai barang bekas yang berbahan karton, plastik ataupun alumimum yang dapat bernilai ekonomi, mengakibatkan semakin sedikit ketersediannya di tempat-tempat sampah. Karena sudah dapat bernilai ekonomi banyak orang yang telah menyimpan barang bekas dan menjualnya kembali. Hal tersebut juga berpengaruh pada kehidupan ekonomi para pemulung. Hal tersebut juga menggambarkan persaingan untuk mendapatakan barang bekas bukan hanya


(45)

dikalangan sesama pemulung saja. Maka dari itu untuk mengatasi masalah persaingan antar sesama pemulung, tak jarang mereka menyusuri daerah yang lebih jauh lagi untuk mendapatkan hasil yang lebih banyak lagi.

Sebagai jenis pekerjaan non formal yang di pandang sebelah mata, kehidupan serba kekurangan sangat melekat bagi pemulung. Mayoritas dalam keluarga pemulung utuh, keduanya mencari nafkah dengan memulung namun ada juga yang salah satu pihak saja yang bekerja sebagi pemulung. Oleh karena itu tak jarang pemulung mengatasi masalah ekonomi dengan meminjam kepada teatngga atau berhutang pada warung.

Peserta FGD Pemulung keluarga utuh, menyatakan bahwa mereka hanya melakukan pinjaman kepada tetangga dan berhutang pada warung ataupun rentenir. Bahkan dari keseluruhan peserta FGD terdapat hanya satu peserta yang meninjam pada rentenir. Peserta lainnya mengaku bahwa mereka tidak sanggup untuk untuk meminjam kepada rentenir karena dikenakan bunga yang tinggi, sehingga meminjam kepada tetangga dan warung adalah pilihan terbaik bagi mereka.

Bagi mereka tidak ada akses untuk meminjam ke Bank atau pun lembaga keuangan lainya seperti BPR, Koperasi, CU. Mereka menuturkan alasannya ialah tidak adanya agunan yang dapat di jadikan jaminan. Dari gambaran diatas dapat diketahui bahwa asset lainya sangat mempengaruhi asset ekonomi. Terbatasnya asset fisik berupa alat kerja yang minim mempengaruhi sedikitnya hasil memulung, begitu juga tidak adanya akses pinjaman modal ke Bank dan lembaga keuangan lain karena tidak adanya asset fisik yang dapat dijadikan jaminan. Hal


(46)

ini menjadikan mereka sulit untuk mengembangkan usaha karena keterbatasan modal. Sehingga tidak heran mereka tetap berada dalam lingkaran kemiskinan.

3. Nature Capital/ Sumber Daya Alam

Mengingat bahwa pekerjaan sebagai pemulung berbeda dengan petani ataupun nelayan yang menggantungkan diri pada kekayaan alam. Sebagai pemulung tentunya kehidupan mereka bergantung pada keberadaan barang bekas. Oleh karena itu Sumber Daya Alam yang dimaksud ialah berupa wilayah-wilayah memulung, jarak jangkauan mereka memulung, kepemilikan lahan/kebun ataupun juga ternak.

Berdasarkan hasil FGD Aset alam yang dimiliki pemulung keluarga utuh berada pada angka dua, hal tersebut dikarenakan seluruh peserta mengatakan tidak memiliki lahan/kebun yang dapat dimanfaatkan baik secara menyewa maupun milik pribadi. Dari 12 peserta FGD hanya satu peserta yang mengaku memiliki ternak itupun hanya untuk kebutuhan konsumsi saja bukan untuk produksi.

Mereka pada umumya berasal dari desa untuk mencoba peruntungan dank arena sulitnya kehidupan di desa mereka pindah ke kota dan berumah tangga di kota. Keterbatasan ekonomi mengakibatkan mereka kesulitan membeli lahan untuk tempat tinggal terlebih lagi lahan untuk bercocok tanam. Karena awalnya kehidupan mereka di desa juga terbatas begitu juga dengan kepemilikan lahan.

Selain itu hal lain yang menyebabkan aset alam berada pada angaka dua yaitu terkait wilayah-wilayah beroperasi mayoritas dari mereka yaitu 6 dari 12 perserta mengaku mencari barang bekas ke kewilayah sekitar daerah Speksi saja. Daerah itu meliputi daerah Kapten Muslim, Karya, Griya dan Daerah Danau Singkarak saja. Sementara itu lainnya mencari ke daerah yang berjarak cukup jauh seperti


(47)

daerah Petisah , Skip, dan Nibung, sementara itu 4 dari 12 peserta mengaku mencari barang bekas di luar daerah Lingkungan Kelurahan Helvetia Timur seperti daerah Sekip, daerah Petisah, dan daerah Nibung. Dari keseluruhan peserta FGD hanya satu keluarga yang mencari barang bekas ke wilayah yang jauh, seperti ke daerah Simalingkar, Pancur Batu, dan Tanjung Anom.

Alasan mereka untuk mencari sampah dan barang bekas ke tempat yang jauh ialah karena faktor tingginya persaingan di daerah sekitar tempat ia tinggal. Menurut \ salah satu keluarga peserta FGD Janter Silalahi (25 tahun), salah satu peserta yang mewakili dari keluarga orang tuanya yang ikut juga memulung:

“Kami mencari ke tempat-tempat yang jauh karena sudah banyak yang mencari di daerah sekitar sini. Semakin hari semakin banyak pemulung, semakin sedikit barang bekas yang tersedia dan kalau tidak ke tempat yang jauh sedikit juga yang kami dapatkan, lagian juga saya masih muda jadi masih kuat pergi ke tempat yang jauh”.

Sementara itu menurut seluruh peserta FGD, tidak ada dari mereka yang mencari sampah atau pun barang bekas ke Tempat Pembuangan Akhir ( TPA) karena jarak nya yang jauh. Terkait tempat penampungan sampah lainnya , yang lebih mereka kenal dengan sebutan “ Konteiner”. Kontainer adalah sutau tempat penampungan sampah dari beberapa daerah/lingkungan tertentu . Jadi sebelum di bawa ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sampah akan di kumpulkan di Kontainer. Kontainer tersebut berada cukup dekat dengan daerah tempat tinggal para pemulung di daerah ini, namun mereka kesulitan mengambil barang bekas di sana dikarena larangan oleh petugas. Seperti penuturan salah satu peserta M.Siagian (60 tahun) yang mengatakan:

“ Kami tidak berani ke Kontainer padahal di tempat itu banyak barang bekas yang bisa diambil, namun kami para pemulung dilarang mengambil


(48)

barang bekas karena seluruh sampah yang terdapat di sana sudah ada bagian-bagiannya yang memiliki. Tidak bisa sembarangan masuk ke tempat tersebut. Saya pernah pergi mencari sampah ke sana, tetapi sesaat saya mencari-cari sampah sesaat itu juga petugas dengan truk sampah nya mengejar-ngejar saya dan terpaksa saya pun pergi. Sejak saya itu saya tidak pernah lagi pergi ke Kontainer.”

Dari penuturan salah satu peserta FGD diatas dapat diketahui bahwa dalam pencarian sampah dan barng bekas juga terdapat persaingan di dalamnya yaitu persaingan wilayah dalam mendapatkan sampah dan barang bekas. Barang bekas mengalami pergeseran nilai, kini barang bekas dapat bernilai ekonomi sehingga semakin banyak yang mencarinya. Semakin bernilai suatu barang maka akan semakin banyak peminatnya dan semakin sedikit ketersedianya. Halini diperkuat oleh pernyataan salah satu peserta FGD, Rosmawaty Lubis (44tahun) yang mengatakan:

“Dulu masih lebih enak memulung dibandingkan dengan masa sekarang-sekarang ini. Dulu belum banyak orang tau barang bekas seperti karton, plastik bisa bernilai uang jadi belum banyak yang mencari. Kalau sekarang sudah semakin sulit mencarinya karena sudah banyak yang tahu barang bekas bernilai ekonomi, bahkan orang-orang kaya itu seperti “orang-orang Cina “ itu sekarang ini tidak mau membuang barang bekasnya yang berupa karton dan sebagianya yang bisa di jual. Bisa nanti kita lihat di tempat tokeh itu justru orang-orang Cina itu nanti yang banyak menjual barang bekas berupa karton-karton. Banyak nanti itu, uniknya pada naik mobil pribadi itu mengantarkan barang nya”

Dari penuturan informan tersebut dapat diketahui bahwa pesaing mereka untuk menacari barang bekas bukan hanya sesama pemulung saja. Hal ini juga membuktikan bahwa mereka sebagai kelompok masyarakat yang termajinalkan, akan terasingkan bahkan selalu tergusur oleh kelompok masyarakat kelas atas.

4. Kondisi Aset Fisik

Asset/ modal fisik merupakan salah satu modal penunjang kehidupan masyarakat, asset tersebut dapat dilihat dari beberapa indikator diantaranya


(49)

meliputi infrastruktur, fasiltas umum, tempat tinggal, alat produksi/transportasi, ketersedian listrik dan air bersih, sanitasi serta bantuan yang di terima dari pemerintah. Bantuan pemerintah dijadikan indikator terhadap asset/modal fisik pemulung, karena bantuan dari pemerintah turut berpengaruh pada kehidupan mereka sebagai masyarakat kurang mampu.

Bedasarkan hasil FGD Aset/Modal Fisik pada pemulung kelurga utuh berada pada angka 3, hal tersebut dikarenakan beberapa hal berikut: yaitu terkait infrastruktur seperti kondisi jalan sudah memadai terbukti dengan jalan disekitar tempat tinggal mereka yang tidak berlubang serta mudah dijangkau dengan transportasi umum. Fasilitas umum seperti fasilitas pendidikan sudah tersedia SD,SMP dan SMA dengan kondisi yang cukup baik dan cukup mudah diakses. Fasilitas Kesehatan dan lembaga pemerintahan seperti Kantor Kelurahan yang dinilai peserta FGD cukup baik, namun mereka harusu cukup jauh untuk mengakses fasilitas kesehatan yang berada di dekat kantor Kelurahan Helvetia Timur.

Terkait kondisi fasiltas listrik di tempat ini menurut peserta FGD, sudah terdapat akses listrik dan penerangan yang memadai di daerah ini walaupun setiap rumah kapasitas aliran listrik terbatas. Berbeda hal nya dengan akses air bersih, seluruh peserta FGD mengaku bahwa daerah ini belum mendapat akses air bersih dari PAM ( Perusahaan Air Minum). Untuk mengakses air bersih mereka harus membuat sumur.

Terkait asset infrastruktur/fisik berupa fasilitas kerja peserta FGD mengaku mayoritas dari mereka yaitu 7 dari 12 pesreta mengaku menacri barang bekas berjalan kaki dan hanya menggunakan alat sederhana seeperti goni. 4 dari


(50)

12 peserta menggunakan alat transportasi berupa “becak barang” dan 1 dari 12 peserta mengaku menggunakan sepeda untuk memulung.

Terkait keberadaan tempat tinggal/rumah 11 dari 12 peserta mengaku memiliki tempat tinggal sendiri yang hanya berupa hak pakai saja dan suatu saat dapat digusur. Dari 12 peserta hanya 1 keluarga yang mengontrak rumah, alasanya karena biaya mengontark rumah di daerah ini lebih murah dibanding daerah lainnya. Terkait kondisi sanitasi seluruh peserta mengaku saluran sanitasi rumah tangga mereka langsung dialirkan menuju sungai yang tepat berada di depan rumah mereka. Hal tersebut dikarenakan dengan alasan lebih mudah dan praktis serta tidak memerlukan biaya lebih, belum lagi keterbatasan lahan tempat tinggal mereka.

Terkait bantuan dari pemerintah selaku masyarakat miskin mayoritas mereka menerima bantuan dari pemerintah seperti BPJS atau Kartu Sehat, bantuan Raskin (beras miskin), BLT (Bantuan Langsung Tunai) dan juga kartu pintar. Terdapat juga peserta yang mengaku tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah karena ke tidak jelasan data. Menurut salah satu peserta Hadian Obaja (40 tahun) :

Keluarga kami berasal dari luar daerah Helvetia Timur dan

pada saat pindah ke tempat ini, pendataan terkait bantuan pemerintah juga sudah dilakukan lama sebelum kami pindah ke tempat ini. Sehingga

kami tidak terdata untuk mendapat bantuan, namun walaupun itu kami

sudah mengurus kelengkapan data untuk kepentingan penerimaan

bantuan hingga kini tetap saja kami belum menerima bantuan jenis-jenis

bantuan tersebut.”

Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan salah satu peserta FGD lainnya, Dina Mariani (34 tahun) :

“ Sebelumnya saya tinggal di daerah Medan Barat, karena lahan tempat tinggal saya sekarang ini tidak memiliki ijin sehingga sulit bagi kami mendapat surat pindah kewargaan menjadi warga Medan Helvetia. Oleh karena itu hingga sekarang kami masih menjadi warga Medan


(1)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadiratuhan Yang Maha ESa karena berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini yang berjudul “Komparasi Kemisikinan Antara Keluarga Pemulung Orang Tua Utuh Dan Orang Tua Tunggal. Penulisan skripsi ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa dukungan dari berbagai pihak, skripsi ini tidak akan terselesaikan. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu dengan sepenuh hati, baik berupa ide, kritikan, saran, dukungan semangat, doa, bantuan moril maupun materil sehingga skripsi ini dapat diselesaikan pada waktu yang tepat.

Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Yaitu kepada

1. Bapak Dr.Muryanto Amin, S.Sos, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si selaku Ketua Departemen Sosiologi, sekaligus selaku dosen mata kuliah yang telah memberikan ilmu yang sangat berharga selama saya kuliah di Sosiologi .Terimakasih atas ilmu, pelajaran berharga. Semua hal itu sangat membantu saya dalam membuka wawasan dan pola berpikir saya. Terimakasih

3. Bapak Drs. Muba Simanihuruk, M.Si selaku Dosen Pembimbing Akademik sekaligus sebagai Dosen Pembimbing dalam penulisan skripsi ini. Terimkasih untuk waktu, tenaga, ide, gagasan, kritikan, dan saran serta telah sangat baik dalam membimbing saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Tiada kata yang dapat terungkapkan hanya ucapan terimakasih serta doa yang teramat dalam. Semoga Tuhan membalas segala kebaikan dan ilmu yang bermanfaat yang telah diberikan kepada saya.

4. Bapak Prof.Dr. Rizabuanan, M.Si selaku Dosen Penguji II atau Reader Skripsi saya. Terimakasih atas saran, masukan, kritikan, dan sumbangan pemikiran kepada saya yang tidak pernah terpikirkan oleh saya sebelumnya.

5. Kepada seluruh dosen yang telah memberikan ilmu yang sangat berharga selama saya kuliah di Sosiologi .Terimakasih atas ilmu, pelajaran berharga. Semua hal itu sangat membantu saya dalam membuka wawasan dan pola berpikir saya. Terimakasih.


(2)

6. Kepada seluruh staff dan pegawai Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

7. Penghargaan yang tertinggi saya berikan yang setinggi-tingginya unttuk kedua orang tua tercinta yaitu untuk Bapak M.Manurung dan Ibu R. Bukit yang telah merawat serta mendidik saya dengan sepenuh hati. Terimakasih untuk kasih sayang, pengorbanan dan doa-doanya selama ini. Akhirnya inilah salah satu persembahan yang dapat saya berikan sebagai tanda ucapan terimakasih dan tanda bakti saya kepada kedua orang tua. Semoga Bapak dan Mamak diberikan kesehatan, umur panjang dan segala bentuk kebaikan dalam hidup ini, doakan agar saya bisa menjadi kebanggaan dan memberi kebahagian buat Bapak dan Mamak.

8. Saya ucapkan terimakasih kepada saudara-saudara saya yaitu Andri Manurung dan Riand Manurung atas segala dukungannya kepada saya.

9. Terkhusus terimakasih yang tulus untuk Adrian Jan Putra Tarigan, terimakasih banyak untuk bantuaannya dan dukungannya selama ini. Kepada sahabat sedari bocah Musa Bukit ,terimakasih banyak untuk bantuannya selama ini. Tidak lupa juga untuk Sepni sahabat dari SD, terimakasih untuk motivasi dan terimakasih sudah jadi tempat berbagi selama ini (ada sukses buat kita ya…)

10.Kepada teman baik saya selama kuliah Feby, Asima (terimakasih untuk bantuannya saat FGD), Agita, Floren, Monica, Zultia (Titi), Yayang, Bram Endy, Joy, Fernando, Binsar, Deddy Roy, Ridho, Walber dan Andrie. Terimakasih buat bantuan dan kebersamaannya baik suka dan duka, kalian yang terbaik (Ada sukses buat kita semua). Kepada teman baik saya selama SMA Dea, Desy, Sarah, Nila, Krisna Terimakasih tetap ada sampai dengan saat ini.

11.Terlebih untuk kakak terbaik saya sekaligus pebimbing rohani saya, Kak Desi Natalia, juga Kak Mida, dan Kak Ibeth terimakasih atas bantuan dan semangatnya. Kepada Tim Ibra blessing Communtity dan juga untuk tim Bless news GKB-Blessing Communtity Calvin, Trisman, Kezia, Kak Dies, Bang Julian dan Bang Iwan terimakasih untuk pengertian dan dukungannnya selama ini. Tuhan Berkati lebih lagi.


(3)

sifatnya membangun demi kebaikan tulisan ini. Demikianlah yang dapat penulis sampaikan. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, dan akhir kata dengan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Medan, 18 Agustus 2016 Penulis

NIM. 120901028 Paska Wani Manurung


(4)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL……….……….viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

BAB II Kajian Pustaka 2.1 Kemiskinan ... 9

2..2 Konsep Aset Penghidupan (Livehood Asset) ... 13

2.3 Definisi Konsep ... 21

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 24

3.2 Lokasi Penelitian ... 25

3.3 Unit Analisis dan Informan ... 25

3.3.1 Unit Analisis ... 25

3.3.2 Informan ... 25

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 26

3.4.1 Data Primer ... 26

3.4.2 Data Sekunder ... 27

3.5 Interpretasi Data ... 27

3.6 Jadwal Kegiatan ... 28

BAB IV DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN 4.1 Deskripsi Lokasi ...29

4.1.1Gambaran Penduduk Kelurahan Helvetia Timur ...30

4.1.2Gambaran Sarana dan Prasarana ... 32


(5)

4.2.2Analisis Asset Keluarga Pemulung……….50

4.2.2.1.Analisis Pentagonal Aset Pemulung Orang Tua Utuh ... 51

4.2.2.2. Analisis Pentagonal Asset Pemulung Orang Tua Tunggal ... 70

4.3. Analisis Komparasi Pentagonal Aset Antara Keluarga Pemulung Orang Tua Utuh dan Orang Tua Tunggal………. 82

BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan ...89

5.2. Saran ...91

DAFTAR PUSTAKA ...94


(6)

DAFTAR TABEL

Tabel.1.1. Data Kemiskinan per Kecamatan………...4 Tabel. 4.1 .Komposisi Penduduk Dilihat Jenis Kelamin Berdasrakan Kartu

Keluarga……….30 Tabe 4. 2 Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama………31

Tabel 4.3 Komposisi Penduduk Berdasarkan Tungkat Pendidikan……... 32

Tabel 4.4 Keadaaan Sarana Kesehatan Di Kelurahan Helvetia Timur…………..33 Tabel 4.5 Pemukiman/Perumahan ... 34

Tabel 4.6 Keadaan Sarana di Bidang Agama ... 34

Tabel 4.7. Persepsi MAsyarakat Pemulung Mengenai Tingkat Kesejahteraan….43

Tabel 4.8 Kemiskinan Dari Persepsi Peserta FGD Keluarga Pemulung Orang Tua Utuh ... 44

Tabel 4.9 Kemiskinan Dari Persepsi Peserta FGD Keluarga Pemulung Orang Tua Tunggal ... 44