Deskripsi Keberadaan Keluarga Pemulung di Daerah Inpeksi

35 mayoritas penduduk di Kelurahan Helvetia Timur beragama Muslim. Kemudiaan jumlah gereja sebanyak 5 buah, sementara tempat ibadah sperti Vihara dan Pura tidak tersedia di Kelurahan ini. Untuk beribadah Umat Budha dan Umat Hindu harus mencari tempat ibadah di lingkungan lain.

4.1.3 Deskripsi Keberadaan Keluarga Pemulung di Daerah Inpeksi

Daerah speksi merupakan salah satu lingkungan yang berada di Kelurahan Helvetia Timur, Kecamatan Medan Helvetia. Daerah ini terbagi atas dua lingkungan yaitu lingkungan 9 dan lingkungan 12. Daerah ini awalnya hanya berupa lahan kosong yang berada di pinggir aliran sungai Singkarak. Menurut Kepala Lingkungan daerah ini Bapak Abdul Manaf Matondang, awalnya daerah yang merupakan lahan milik pemerintah ini dibuka sejak tahun 1998 menjadi pemukiman warga. Menurut penuturan beliau awalnya hanya terdapat satu, dua rumah di tempat, namun seiring berjalannya waktu pemukiman warga mulai memadati lahan ini. Menurut salah satu warga yang tinggal di sini, lahan di tempat ini adalah milik pemerintah daerah. Awalnya ada beberapa orang warga yang dianggap berkuasa atas sebagian besar tanah di daerah ini yang biasa diantaranya yaitu Bapak Pasaribu dan Bapak Sianturi dikenal dengan sebutan Amang Boru. Amang Boru yang dimaksud disini adalah orang yang dianggap berkuasa atas tanah di tempat ini dan beliau juga yang menjaga lahan tersebut sekaligus juga menanami dengan berbagai jenis seperti ubi, pisang dan sayuran. Tidak diketahui secara jelas bagaimana para Amang Boru ini dapat menguasai lahan dan dipercaya menjaga lahan di tempat ini, namun menurut salah satu warga awalnya daerah tersebut masih lahan kosong yang dipenuhi semak- Universitas Sumatera Utara 36 semak dan dimanfaatkan untuk tempat persembunyian para pencuri yang sering disebut maling. Lahan Kosong tersebut berbatasan langsung dengan tembok perumahan warga-warga kaya, sehingga sering menjadi incaran para pencuri. Hingga warga yang sering menjadi korban pencurian mencari solusi untuk membersihkan lahan kosong yang sering dijadikan tempat persembunyian pencuri . Pada Akhirnya Amang Boru tersebut dipercayai dan juga membersihkan lahan kosong tersebut dan sekaligus memanfaatkan lahan untuk ditanami dengan tujuan untuk menambah pendapatan. Hingga Akhirnya para Amang Boru tersebut dianggap sebagai orang yang menguasai lahan. Mengetahui terdapat lahan kosong yang dapat ditempati sehingga masyarakat dari berbagai lingkungan atau pun daerah berdatangan dan meminta ijin agar lahan tersebut dapat di beli untuk didirikan rumah. Sehingga setiap masyarakat yang ingin membangun rumah di lahan ini meminta ijin kepada pihak yang yang dianggap berkuasa yaitu Amang Boru itu sendiri, walaupun mereka bukanlah pemilik lahan dan lahan tersebut merupakan milik pemerintah. Sebagai pihak yang dianggap berkuasa , para Amang Boru tersebut membatasi ukuran tanah yang akan digunakan oleh setiap masyarakat yang ingin mendirikan rumah yaitu dengan batasan satu persil untuk setiap rumah tangga. Dengan alasan bahwa masih banyak juga masyarakat yang ingin mendirikan rumah di tempat ini, agar semua mendapat bagian. Setiap persil hargai Rp500.000- Rp 700.000, dengann ukuran ± 3x7meter persil. Bayaran tersebut dianggap sebagai ganti rugi terhadap tanaman hasil tangan amang boru yang sudah ada sebelumnya. Salah satu warga yang membeli lahan yaitu Keluarga Rosmawaty Simbolon ditahun 2002 membayar sekitar Rp500.000 kepada amang Universitas Sumatera Utara 37 boru Pasaribu . Keluarga ini mengetahui keberadaan lahan di sini dari salah satu temannya. Adanya informasi pembukaan lahan tersebar luas ke daerah Medan Barat dan Medan Helvet sekitarnya. Sehingga semakin banyak masyarakat berdatangan dan bermukim di daerah ini. Ada juga masyarakat tidak mengetahui bahwa lahan di tempat ini merupakan milik pemerintah yang tidak memiliki ijin untuk mendirikan bangunan seperti keluarga dari ibu R. Simbolon. Hingga saat adanya rencana penggusuran daerah Speksi pada tahun 2003, beliau baru mengetahui bahwa lahan tempat ia mendirikan banguan rumahnya adalah milik pemerintah. Menurut Kepala Lingkungan Bapak Abdul Manaf, sudah terjadi 5 kali penggusuran sejak pemukiman warga dibangun hingga saat ini. Mengetahui adanya rencana penggusuran seluruh warga menolak dan membentuk perwakilan dari mereka untuk berunjuk rasa ke pemerintah daerah hingga dipertemukan dengan salah salah fraksi partai politik yang mau membela mereka dan penggusuran saat itu dibatalkan. Hingga sekarang pemukiman liar di daerah speksi ini masih bertahan. Namun ada juga yang mengetahui akan keberadaan status lahan di tempat ini dan tetap memilih mendirikan rumah di sini kareana alasan keterbatasan biaya dan tidak tahu ingin tinggal di mana. Penduduk di daerah Speksi ini mayoritas berasal dari Kecamatan Medan Barat seperti dari daerah Betlehem, daerah Sei Agul, dan daerah Helvet. Ada juga yang berasal dari daerah lain yaitu daerah Kampung Lalang. Sebagai lingkungan yang mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai pemulung yang lebih di kenal dengan sebutang pencari botot atau tukang botot , tidak heran di sepanjang daerah lingkungan ini akan terlihat sampah- Universitas Sumatera Utara 38 sampah hasil mereka memulung serta gerobak atau becak sampah. Setiap pagi dengan jam yang tidak menentu, subuh jika cuaca mendukung maka para pemulung mulai beraktivitas untuk memulung. Mereka mulai menyusuri daerah sekitar tempat mereka tinggal hingga ada yang sampai ke daerah Sibolangit. Bagi mereka yang hanya nmengggunakan alat sederhana berupa gonikarung dan berjalan kaki biasanya mereka hanya menyusuri daerah sekitar daerah Inspeksi seperti jalan tinta, jalan periuk, daerah Skip dan daerah Petisah sekitarnya. Bagi mereka yang memiliki gerobakbecak sampah sebagai transportasi biasnya menyusuri daerah Glugur,Griya, daerah Kapten Muslim, daerah Petisah sekitarnya bahkan ada yang menyusuri hingga ke daerah Simalingkar, Pancur Batu,Tanjung Anom dan juga jika ada kesempatan mereka menyewa mobil secara patungan hingga ke dearah Bandar Baru, Sibolangit.

4.2 Komparasi Kemiskinan Pemulung dengan Keluarga Utuh dan Keluarga Tunggal Single Parent

Banyaknya defenisi maupun kajian-kajian mengenai kemiskinan belum juga menjawab permasalahan kemiskinan yang ada hingga saat ini. Sulit memperoleh informasi yang jelas mengenai indikasi-indikasi yang dapat memperlihatkan bahwa seorang individu atau kelompok masyarkat itu miskin atau tidak. Jika dilihat dari kondisinya pemulung di daerah Inspeksi ini dapat dikatakan memiliki gejala miskin, salah satunya adalah komdisi kepimilikan faktor produksi. Melihat kepemilikan faktor produksi pemulung yang bekerja di sektor informal dan termasuk pekerjaan ekonomi sisa, membuktikan bahwa mereka termasuk kelompok masyarakat yang memiliki gejala atau bahkan sudah Universitas Sumatera Utara