Laju Pertumbuhan Mikroalga Penghasil Biofuel Jenis Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp. yang Dikultivasi Menggunakan Air Limbah Hasil Penambangan Timah di Pulau Bangka

(1)

YANG DIKULTIVASI MENGGUNAKAN AIR LIMBAH

HASIL PENAMBANGAN TIMAH DI PULAU BANGKA

MUHAMMAD REZZA FACHRULLAH

SKRIPSI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(2)

Penghasil Biofuel Jenis Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp. yang

Dikultivasi Menggunakan Air Limbah Hasil Penambangan Timah di Pulau Bangka. Dibimbing oleh MUJIZAT KAWAROE dan ADRIANI

SUNUDDIN.

Penelitian dengan topik kultivasi mikroalga penghasil biofuel jenis

Chlorella dan Nannochloropsis dengan menggunakan air limbah tailing timah ini

dilakukan pada bulan Februari - April 2011 di Laboratorium PT. TIMAH Tbk. Bangka. Penghitungan kepadatan sel mikroalga menggunakan haemacytometer dan mikroskop. Parameter fisika dan kimia yang diukur meliputi suhu ruangan, salinitas, derajat keasaman (pH), dan kadar logam berat (Pb, Cu, Cd, dan Cr). Analisis yang digunakan meliputi penghitungan kepadatan, laju pertumbuhan spesifik, kapasitas biosorpsi, dan uji validitas Pearson terhadap kualitas air media.

Kultivasi sel Chlorella dan Nannochloropsis dilakukan dengan tiga perlakuan, yaitu kontrol, menggunakan pupuk, dan tanpa pupuk. Perlakuan kontrol menggunakan media kultur non-limbah yang disesuaikan dengan

keadaaan optimum pertumbuhan mikroalga dengan kualitas air pH 8 dan salinitas 27‰. Kualitas air media perlakuan limbah logam berat dengan menggunakan pupuk dan tanpa pupuk disesuaikan dengan keadaaan kualitas air di lokasi pengambilan sampel, yaitu dengan pH 6 dan salinitas 37‰.

Kultivasi dengan menggunakan Chlorella memperlihatkan bahwa pada perlakuan kontrol sel memiliki kepadatan maksimum tertinggi sebesar 31×106 sel/ml. Media dengan perlakuan memperlihatkan bahwa Chlorella memiliki kepadatan sel maksimum sebesar 16,72×106 sel/ml, sedangkan media tanpa perlakuan pupuk memiliki kepadatan sel maksimum terendah yaitu sebesar 1,71×106 sel/ml.

Kultivasi dengan menggunakan sel Nannochloropsis memperlihatkan bahwa dengan perlakuan kontrol sel memiliki kepadatan sel maksimum tertinggi sebesar 42,50×106 sel/ml. Media perlakuan pupuk memperlihatkan bahwa sel

Nannochloropsis memiliki kepadatan sel maksimum sebesar 9,30×106 sel/ml, sedangkan media tanpa perlakuan pupuk memiliki kepadatan sel maksimum terendah sebesar 1,26×106 sel/ml.

Logam berat Pb, Cu, dan Cd mampu diserap oleh sel Chlorella maupun

Nannochloropsis mencapai lebih dari 80%. Nannochloropsis memiliki kapasitas

penyerapan logam berat lebih besar dibandingkan Chlorella untuk semua jenis logam, yaitu Pb 99%, Cu 99%, Cd 98,73%, dan Cr 52,63%. Kapasitas serapan terendah sel mikroalga terdapat pada logam berat Cr.

Kultivasi menggunakan media limbah logam berat memperlihatkan bahwa sel Chlorella memiliki daya kemampuan tumbuh yang lebih baik dibandingkan sel Nannochloropsis. Hal tersebut dibuktikan dengan jumlah kepadatan sel maksimum sel Chlorella yang lebih besar mencapai 16,72×106 sel/ml dan 1,71×106 sel/ml untuk media perlakuan pupuk dan tanpa pupuk dibandingkan dengan sel Nannochloropsis. Sebaliknya, sel Nannochloropsis memiliki kapasitas serapan logam berat lebih tinggi dibandingkan sel Chlorella untuk semua jenis logam berat.


(3)

YANG DIKULTIVASI MENGGUNAKAN AIR LIMBAH

HASIL PENAMBANGAN TIMAH DI PULAU BANGKA

MUHAMMAD REZZA FACHRULLAH

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada

Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(4)

Dengan ini Saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:

LAJU PERTUMBUHAN MIKROALGA PENGHASIL BIOFUEL JENIS Chlorella sp. DAN Nannochloropsis sp. YANG DIKULTIVASI

MENGGUNAKAN AIR LIMBAH HASIL PENAMBANGAN TIMAH DI PULAU BANGKA

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Skripsi ini.

Bogor, September 2011

MUHAMMAD REZZA FACHRULLAH C54070074


(5)

© Hak Cipta milik IPB. Tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(6)

Judul Skripsi: Laju Pertumbuhan Mikroalga Penghasil Biofuel Jenis

Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp. yang Dikultivasi

Menggunakan Air Limbah Hasil Penambangan Timah di Pulau Bangka

Nama Mahasiswa: Muhammad Rezza Fachrullah Nomor Pokok: C54070074

Departemen: Ilmu dan Teknologi Kelautan

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Mujizat Kawaroe, M.Si. Adriani Sunuddin, S.Pi., M.Si. NIP. 19551213199403 2 002 NIP. 19790206 200604 2 013

Mengetahui,

Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc. NIP. 19580909 198303 1 003


(7)

vii

rahmat dan karunianya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul “Laju Pertumbuhan Mikroalga Penghasil Biofuel Jenis Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp. yang Dikultivasi Menggunakan Air Limbah Hasil Penambangan Timah di Pulau Bangka” diajukan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana.

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada orang tua dan keluarga. Tidak lupa ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada Ibu Mujizat Kawaroe selaku dosen pembimbing utama, Ibu Adriani Sunuddin selaku pembimbing anggota, Bapak Adrianis dan Ibu Henny Kristin selaku pembimbing lapang dan juga yang telah memberikan izin tempat untuk melakukan kegiatan penelitian, Rama, Barok, Ari, Adit, Maemar, Dori, Alvi, Dina, Agus, Ryan, Ikbal, Ayu, Hera, Mbak Dwi, Bang Yoga, keluarga besar ITK khususnya angkatan 44, staf karyawan PT. TIMAH Tbk. Bangka, serta semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan kegiatan dan penyusunan skripsi penelitian ini.

Penulis menyadari skripsi ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu saran dan kritik sangat diharapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap agar skripsi ini dapat berguna bagi diri sendiri maupun orang lain dan dapat dikembangkan untuk penelitian selanjutnya.

Bogor, September 2011


(8)

viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 2

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1. Biologi, Morfologi, dan Habitat Chlorella sp. ... 3

2.2. Biologi, Morfologi, dan Habitat Nannochloropsis sp. ... 5

2.3. Kultivasi Mikroalga ... 7

2.3.1. Syarat Kultivasi Mikroalga ... 7

2.3.2. Fase Pertumbuhan Mikroalga ... 10

2.3.3. Biofuel dari Mikroalga ... 11

2.3.4. Teknik Kultivasi Mikroalga ... 11

2.4. Logam Berat ... 12

2.4.1. Deskripsi Logam Berat ... 12

2.4.2. Pencemaran Logam Berat Aktivitas Penambangan di Pulau Bangka ... 13

2.4.3. Beberapa Karakteristik Logam Berat, Sumber, dan Dampaknya ... 14

2.4.3.1. Timbal (Pb) ... 14

2.4.3.2. Kadmium (Cd) ... 15

2.4.3.3. Kromium (Cr) ... 15

2.4.3.4. Tembaga (Cu) ... 16

2.5.Adsorpsi Logam Berat oleh Mikroorganisme ... 17

2.5.1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses Biosorpsi .... 17

2.5.2. Mekanisme Proses Adsorpsi ... 19

3. METODOLOGI PENELITIAN ... 21

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 21

3.2. Alat dan Bahan ... 22

3.3. Prosedur Penelitian ... 23

3.3.1. Pengambilan Air Limbah di Daerah Penambangan Timah ... 23

3.3.2. Filterisasi ... 23

3.3.3. Sterilisasi ... 24

3.3.4. Proses Kultur Nannochloropsis sp. dan Chlorella sp. .... 25

3.3.5. Perhitungan Kepadatan Sel Mikroalga ... 26

3.3.6. Pengukuran Parameter Kimia dan Fisika Media Kultivasi Mikroalga ... 27

3.3.7. Pemanenan Populasi Mikroalga ... 27 3.3.8. Pemindahan Populasi Kultur ke Media yang


(9)

ix

3.4. Analisis Data ... 32

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33

4.1. Kepadatan dan Laju Pertumbuhan Spesifik Chlorella sp. dalam Media ... 33

4.1.1. Kepadatan dan Laju Pertumbuhan Spesifik Chlorella sp. dengan Perlakuan Kontrol ... 34

4.1.2. Kepadatan dan Laju Pertumbuhan Spesifik Chlorella sp. dengan Perlakuan Menggunakan Pupuk dalam Media Logam Berat ... 35

4.1.3. Kepadatan dan Laju Pertumbuhan Spesifik Chlorella sp. dengan Perlakuan Tanpa Menggunakan Pupuk dalam Media Logam Berat ... 38

4.2. Kepadatan dan Laju Pertumbuhan Spesifik Nannochloropsis sp. dalam Media ... 39

4.2.1. Kepadatan dan Laju Pertumbuhan Spesifik Nannochloropsis sp. dengan Perlakuan Kontrol ... 40

4.2.2. Kepadatan dan Laju Pertumbuhan Spesifik Nannochloropsis sp. dengan Perlakuan menggunakan Pupuk dalam Media Logam Berat ... 41

4.2.3. Kepadatan dan Laju Pertumbuhan Spesifik Nannochloropsis sp. dengan Perlakuan Tanpa Menggunakan Pupuk dalam Media Logam Berat ... 42

4.3. Perbandingan Kepadatan Sel Mikroalga (Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp.) ... 43

4.3.1. Kultivasi Chlorella sp. dengan Nannochloropsis sp. pada Media Kontrol ... 44

4.3.2. Kultivasi Chlorella sp. dengan Nannochloropsis sp. Menggunakan Pupuk dalam Media Limbah Logam Berat .. 46

4.3.3. Kultivasi Chlorella sp. dengan Nannochloropsis sp. Tanpa Pupuk dalam Media Limbah Logam Berat ... 48

4.4. Kapasitas Biosorpsi Mikroalga (Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp.) Media Limbah Logam Berat ... 50

4.5. Kualitas Air Media Kultur ... 55

4.5.1. Salinitas ... 55

4.5.2. Derajat Keasaman ... 58

5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 61

5.1. Kesimpulan ... 61

5.2. Saran ... 62

DAFTAR PUSTAKA ... 63


(10)

x

1. Alat dan bahan yang digunakan ... 22

2. Konsentrasi logam Timbal (Pb), Kadmium (Cd), Tembaga (Cu), dan Kromium (Cr ) pada media limbah logam berat ... 50

3. Indeks Korelasi Pearson pengaruh salinitas dan pH pada Chlorella sp. ... 60

4. Kepadatan dan laju pertumbuhan spesifik Chlorella sp. perlakuan kontrol ... 71

5. Kepadatan dan laju pertumbuhan spesifik Chlorella sp. perlakuan pupuk pada media limbah logam berat ... 72

6. Kepadatan dan laju pertumbuhan spesifik Chlorella sp. perlakuan tanpa pupuk pada media limbah logam berat ... 73

7. Kepadatan dan laju pertumbuhan spesifik Nannochloropsis sp. perlakuan kontrol ... 74

8. Kepadatan dan laju pertumbuhan spesifik Nannochloropsis sp. perlakuan pupuk pada media limbah logam berat ... 75

9. Kepadatan dan laju pertumbuhan spesifik Nannochloropsis sp. perlakuan tanpa pupuk pada media limbah logam berat ... 76

10. Salinitas pada media limbah logam berat ... 77

11. Derajat keasaman (pH) pada media limbah logam berat ... 78


(11)

xi

1. Bentuk sel Chlorella sp. ... 3

2. Bentuk sel Nannochloropsis sp. ... 5

3. Fase pertumbuhan mikroalga ... 10

4. Peta lokasi pengambilan sampel air limbah logam brerat di pulau bangka ... 21

5. Alat penyaring sampel air laut ... 23

6. Autoclave ... 25

7. Haemacytometer ... 26

8. Pemindahan bibit sel mikroalga ke dalam media limbah ... 29

9. Diagram alir proses pelarutan biomassa mikroalga hingga analisis logam berat ... 31

10. Grafik kepadatan sel Chlorella sp. ... 33

11. Grafik kepadatan sel Nannochloropsis sp. ... 39

12. Kepadatan sel Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp. dengan perlakuan kontrol, menggunakan pupuk, dan tanpa pupuk ... 43

13. Grafik kepadatan sel Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp. dengan perlakuan kontrol ... 44

14. Grafik Kepadatan Sel Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp. dengan perlakuan pupuk ... 46

15. Grafik kepadatan sel Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp. dengan perlakuan tanpa pupuk ... 49

16. Salinitas pada medium Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp. perlakuan kontrol, menggunakan pupuk, dan tanpa pupuk ... 55

17. Derajat keasaman (pH) pada medium Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp. dengan perlakuan kontrol, menggunakan pupuk, dan tanpa pupuk ... 58


(12)

xii

1. Penghitungan kepadatan Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp. .... 66

2. Penghitungan laju pertumbuhan spesifik mikroalga ... 67

3. Penghitungan kapasitas bioabsorpsi logam berat ... 68

4. Uji validitas Pearson dan uji lanjut regresi ... 69

5. Kepadatan dan laju pertumbuhan spesifik Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp. ... 71

6. Kualitas air media kultivasi ... 77

7. Komposisi kimiawi pupuk analis (Walne Media) ... 79

8. Dokumentasi foto alat dan bahan, serta kegiatan penelitian ... 80


(13)

1.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pulau Bangka dikenal sebagai pulau yang kaya dengan sumber daya alam mineral, khususnya timah, sehingga menjadikan penambangan sebagai roda penggerak ekonomi masyarakat dan pemerintah pulau ini. Sisa dari aktivitas penambangan ini berupa tailing (buangan pasir yang tidak digunakan) yang mengandung logam berat seperti timbal (Pb), kadmium (Cd), tembaga (Cu), dan kromium (Cr), yang berdampak mencemari biota dan lingkungan laut. Adanya Perda No. 6 Tahun 2001 yang mengizinkan kegiatan penambangan timah rakyat, menjadikan aktivitas penambangan timah berkembang pesat dan tidak terkendali. Hal ini dilihat dari adanya sejumlah penambang liar yang tidak memiliki izin dan kurangnya kapasitas dalam menangani buangan sisa hasil penambangan, sehingga menumpuknya tailing dan mayoritas tidak melalui proses pengelolaan yang layak.

Salah satu upaya yang perlu dilakukan dalam pengendalian lingkungan adalah melakukan analisis mineral atau unsur (logam berat) terutama yang terdapat di wilayah sekitar penambangan. Selanjutnya, upaya analisis mineral tersebut dapat dikembangkan menjadi upaya pemulihan bahan pencemar logam-logam berat, sehingga antisipasi adanya akumulasi logam-logam berat di dalam tubuh mahluk hidup menjadi lebih kecil. Pemulihan kondisi lingkungan dari

pencemaran logam berat dapat dilakukan dengan memanfaatkan makhluk hidup atau dikenal dengan istilah bioremediasi. Upaya bioremediasi terbagi menjadi dua sistem, yaitu bioaugmentasi dan biostimulasi. Penelitian ini dikembangkan melalui sistem biostimulasi (menggunakan pupuk) dengan melakukan kultivasi,


(14)

sehingga organisme yang digunakan untuk rekoveri dapat bertahan hidup di dalam media kultur limbah logam berat.

Sistem kultivasi umumnya telah dikembangkan menggunakan mikroalga. Beberapa jenis mikroalga seperti Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp. memiliki toleransi yang baik terhadap lingkungan ekstrim. Kemudahan dalam mengkultur mikroalga ini memungkinkan untuk dilakukan penelitian terhadap kedua jenis mikroalga tersebut. Selanjutnya, dengan kandungan lemaknya yang tinggi, mikroalga berpotensi untuk menghasilkan biofuel sebagai salah satu solusi dalam mengatasi krisis sumber daya minyak (Kawaroe et al., 2010).

Sistem kultivasi mikroalga memiliki peran penting dalam upaya perbaikan lingkungan perairan yang tercemar logam berat. Namun sebelum pengembangan ini dilakukan, kajian biologi mikroalga seperti kemampuan penyerapan logam berat dan adaptasi terhadap media tumbuh yang tercemar logam berat sangat perlu dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui

kemampuan tumbuh dan bioabsorben mikroalga Chlorella sp. dan

Nannochloropsis sp. yang ditumbuhkan di media kultivasi tercemar logam berat.

1.2. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Membandingkan laju pertumbuhan dua jenis mikroalga (Chlorella sp. dan

Nannochloropsis sp.) yang dikultivasi menggunakan limbah tailing timah;

2. Membandingkan kapasitas penyerapan logam berat Pb, Cu, Cd, dan Cr oleh

Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp.;

3. Menentukan pengaruh parameter fisika dan kimia media kultivasi terhadap laju pertumbuhan Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp.


(15)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Biologi, Morfologi, dan Habitat Chlorella sp.

Menurut Vashista (1979) dalam Rostini (2007), Chlorella sp. termasuk dalam:

Filum : Chlorophyta

Kelas : Chlorophyceae

Ordo : Chlorococcales

Famili : Chlorellaceae

Genus : Chlorella sp.

Sel Chlorella sp. berbentuk bulat, hidup soliter, berukuran 2-8 m. Sel

Chlorella sp. di dalamnya mengandung 50% protein, lemak serta vitamin A, B, D,

E dan K, di samping banyak terdapat pigmen hijau (klorofil) yang berfungsi sebagai katalisator dalam proses fotosintesis (Sachlan, 1982 dalam Rostini, 2007). Setiap berat kering yang sama, Chlorella sp. mengandung vitamin A, B, D, E, dan K, yaitu 30 kali lebih banyak dibandingkan yang terdapat dalam hati anak sapi, serta empat kali vitamin yang terkandung dalam sayur bayam (Watanabe, 1978 dalam Rostini, 2007).


(16)

Mikroalga Chlorella sp. memiliki potensi sebagai pakan alami, pakan ternak, suplemen, penghasil komponen bioaktif, bahan farmasi dan kedokteran. Hal tersebut disebabkan Chlorella sp. mengandung berbagai nutrien seperti protein, karbohidrat, asam lemak tak jenuh, vitamin, klorofil, enzim, dan serat yang tinggi (Kawaroe, 2010). Chlorella sp. juga menghasilkan suatu antibiotik yang disebut Chlorellin, yaitu suatu zat yang dapat melawan penyakit-penyakit yang disebabkan oleh bakteri (Vashista, 1979 dalam Rostini, 2007). Protoplas sel dikelilingi oleh membran yang selektif, sedangkan di luar membran sel terdapat dinding yang tebal terdiri dari selulosa dan pektin. Di dalam sel terdapat suatu protoplas yang tipis berbentuk seperti cawan atau lonceng dengan posisi menghadap ke atas. Pineroid-pineroid stigma dan vakuola kontraktil tidak ada (Vashista, 1979 dalam Rostini, 2007).

Chlorella sp. dapat tumbuh pada salinitas 25 ‰. Alga tumbuh lambat pada

salinitas 15 ‰, dan hampir tidak tumbuh pada salinitas 0 ‰ dan 60 ‰. Chlorella sp. tumbuh baik pada suhu 20 oC, tetapi tumbuh lambat pada suhu 32 oC.

Tumbuh sangat baik sekitar 20-23 oC (Hirata, 1981 dalam Rostini, 2007). Pemanfaatan Chlorella sp. dilakukan menggunakan teknik kultur. Keberhasilan teknik kultur bergantung pada kesesuaian antara jenis mikroalga yang

dibudidayakan dan beberapa faktor lingkungan. Salah satu hal yang perlu

diperhatikan adalah faktor derajat keasaman (pH) agar metabolisme sel mikroalga tidak terganggu. Derajat keasaman (pH) media menentukan kelarutan dan

ketersediaan ion mineral sehingga mempengaruhi penyerapan nutrien oleh sel. Perubahan nilai pH yang drastis dapat mempengaruhi kerja enzim serta dapat menghambat proses fotosintesis dan pertumbuhan beberapa mikroalga.


(17)

2.2. Biologi, Morfologi, dan Habitat Nannochloropsis sp.

Klasifikasi Nannochloropsis sp. menurut Adehoog dan Simon (2001)

dalam Anon et al. (2009) adalah sebagai berikut:

Filum : Chromophyta

Kelas : Eustigmatophyceae Ordo : Eustigmatales

Famili : Eustigmataceae

Genus : Nannochloropsis sp.

Nannochloropsis sp. memiliki sejumlah kandungan pigmen dan nutrisi

seperti protein (52,11%), karbohidrat (16%), lemak (27,64%), vitamin C (0,85%), dan klorofil A (0,89%). Nannochloropsis sp. merupakan sel berwarna kehijauan, tidak motil, dan tidak berflagel. Selnya berbentuk bola dan berukuran kecil. Organisme ini merupakan divisi yang terpisah dari Nannochloris karena tidak adanya klorofil b. Nannochloropsis sp. merupakan pakan yang populer untuk rotifer, artemia, dan pada umumnya merupakan organisme filter feeder (penyaring) (Anon et al., 2009).


(18)

Nannochloropsis sp. memiliki ukuran sel 2-4 mikron, berwarna hijau dan

memilki dua flagella (Heterokontous) yang salah satu flagella berambut tipis.

Nannochloropsis sp. memiliki kloroplas dan nukleus yang dilapisi membran.

Kloroplas memiliki stigma (bintik mata) yang bersifat sensitif terhadap cahaya.

Nannochloropsis sp. dapat berfotosintesis karena memiliki klorofil. Ciri khas dari Nannochloropsis sp. adalah memiliki dinding sel yang terbuat dari komponen

selulosa.

Nannochloropsis sp. bersifat kosmopolit dapat tumbuh pada salinitas 0-35

‰. Salinitas optimum untuk pertumbuhannya adalah 25-35 ‰, dan suhu 25-30

o

C merupakan kisaran suhu yang optimal. Mikroalga ini dapat tumbuh baik pada kisaran pH 8-9,5 dan intensitas cahaya 100-10000 lux. Nannochloropsis sp. lebih dikenal dengan nama Chlorella sp. laut dikultur untuk pakan Barchionus plicatilis atau Rotifer karena mengandung Vitamin B12. Kepadatan optimum yang dapat

dicapai untuk skala laboratrium 50-60 juta sel/mL, skala semi massal 20-25 juta sel/mL dan massal 15-20 juta sel/mL dengan masa kultur 4-7 hari (Anon, 2009).

Nannochloropsis sp. memiliki kandungan lipid yang cukup tinggi yaitu

antara 31-68% berat kering (Campbell, 2008; Kawaroe, 2007; Rao, 2008). Persentase PUFA (Poly Unsaturated Fattc Acid) utama pada Nannochloropsis sp. tetap stabil pada kondisi dengan keterbatasan cahaya, tetapi pada kondisi dengan intensitas cahaya jenuh kandungan PUFA menurun yang diikuti dengan kenaikan proporsi SFA dan MUFA (Mono Unsaturated Fatty Acid). Nannochloropsis sp. mengandung Vitamin B12 dan Eicosapentaenoic acid (EPA) sebesar 30,5 % dan

total kandungan omega 3 HUFAs sebesar 42,7%, serta mengandung protein 57,02% .


(19)

2.3. Kultivasi Mikroalga

2.3.1. Syarat Kultivasi Mikroalga

Kultivasi mikroalga dipengaruhi oleh beberapa faktor umum seperti faktor eksternal (lingkungan) yang biasa dikenal. Faktor-faktor lingkungan tersebut berpengaruh terhadap laju pertumbuhan dan metabolisme dari makhluk hidup mikro ini. Faktor-faktor tersebut antara lain:

(1) Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman atau pH digambarkan sebagai keberadaan ion hidrogen. Variasi pH dalam media kultur dapat mempengaruhi metabolisme dan

pertumbuhan kultur mikroalga antara lain mengubah keseimbangan karbon anorganik, mengubah ketersediaan nutrien dan mempengaruhi fisiologi sel. Kisaran pH untuk kultur alga biasanya antara 7-9, kisaran optimum untuk alga laut berkisar antara 7,8-8,5. Secara umum kisaran pH yang optimum untuk kultur mikroalga adalah antara 7–9.

(2) Salinitas

Kisaran salinitas yang berubah-ubah dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroalga. Beberapa mikroalga dapat tumbuh dalam kisaran salinitas yang tinggi tetapi ada juga yang dapat tumbuh dalam kisaran salinitas yang rendah. Namun, hampir semua jenis mikroalga dapat tumbuh optimal pada salinitas sedikit dibawah habitat asal. Pengaturan salinitas pada media yang diperkaya dapat dilakukan dengan pengenceran dengan menggunakan air tawar. Kisaran salinitas yang paling optimum untuk pertumbuhan mikroalga adalah 25-35‰ (Sylvester et


(20)

(3) Suhu

Suhu merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi

pertumbuhan mikroalga. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses kimia, biologi dan fisika, peningkatan suhu dapat menurunkan suatu kelarutan bahan dan dapat menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi mikroalga di perairan. Secara umum suhu optimal dalam kultur mikroalga berkisar antara 20-24 oC.

Suhu dalam kultur diatur sedemikian rupa bergantung pada media yang digunakan. Suhu di bawah 16 oC dapat menyebabkan kecepatan pertumbuhan turun, sedangkan suhu diatas 36 oC dapat menyebabkan kematian (Taw, 1990).

(4) Cahaya

Cahaya merupakan sumber energi dalam proses fotosintesis yang berguna untuk pembentukan senyawa karbon organik. Intensitas cahaya sangat

menentukan pertumbuhan mikroalga yaitu dilihat dari lama penyinaran dan panjang gelombang yang digunakan untuk fotosintesis. Cahaya berperan penting dalam pertumbuhan mikroalga, tetapi kebutuhannya bervariasi yang disesuaikan dengan kedalaman kultur dan kepadatannya.

(5) Karbondioksida

Karbondioksida diperlukan oleh mikroalga untuk memenbantu proses fotosintesis. Karbondioksida dengan kadar 1-2% biasanya sudah cukup digunakan dalam kultur mikroalga dengan intensitas cahaya yang rendah. Kadar

karbondioksida yang berlebih dapat menyebabkan pH kurang dari batas optimum sehingga akan berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroalga (Taw, 1990).


(21)

(6) Nutrien

Mikroalga memperoleh nutrien dari air laut yang sudah mengandung nutrien yang cukup lengkap. Namun pertumbuhan mikroalga dalam kultur dapat mencapai optimum dengan mencampurkan air laut dengan nutrien yang tidak terkandung dalam air laut tersebut.

Nutrien tersebut dibagi menjadi makro nutrien dan mikro nutrien. Unsur makro nutrien terdiri atas N (meliputi nitrat), P (Posfat), K (Kalium), C (Karbon), Si (silikat), S (Sulfat) dan Ca (Kalsium). Unsur mikro nutrien terdiri atas Fe (Besi), Zn (Seng), Cu (Tembaga), Mg (Magnesium), Mo (Molybdate), Co (Kobalt), B (Boron), dan lainnya (Sylvester et al., 2002; Edhy et al., 2003; Cahyaningsih, 2009).

(7) Aerasi

Aerasi dalam kultivasi mikroalga digunakan dalam proses pengadukan media kultur. Pengadukan sangat penting dilakukan bertujuan untuk mencegah terjadinya pengendapan sel, nutrien tersebar dengan baik sehingga mikroalga dalam kultur mendapatkan nutrien yang sama, mencegah sratifikasi suhu, dan meningkatkan pertukaran gas dari udara ke media (Taw, 1990).

Pertumbuhan mikroalga dalam media kultur dapat ditandai dengan

bertambah besarnya ukuran sel atau bertambah banyaknya jumlah sel. Kepadatan sel dalam kultur Nannochloropsis sp. dan Chlorella sp. digunakan untuk

mengetahui pertumbuhan jenis mikroalga hijau tersebut. Kecepatan tumbuh dalam kultur ditentukan dari media yang digunakan dan dapat dilihat dari hasil pengamatan kepadatan Nannochloropsis sp. dan Chlorella sp. yang dilakukan setiap 24 jam.


(22)

2.3.2. Fase Pertumbuhan Mikroalga

Pertumbuhan mikroalga secara umum dapat dibagi menjadi lima fase yang meliputi fase lag (adaptasi atau istirahat), fase eksponensial, fase penurunan kecepatan pertumbuhan (deklinasi), fase stasioner dan fase kematian.

Gambar 3. Fase pertumbuhan mikroalga

Pada fase lag penambahan jumlah densitas mikroalga sangat rendah atau bahkan dapat dikatakan belum ada penambahan densitas. Hal tersebut disebabkan karena sel-sel mikroalga masih dalam proses adaptasi secara fisiologis terhadap media tumbuh sehingga metabolisme untuk tumbuh manjadi lamban. Pada fase eksponensial terjadi penambahan kepadatan sel mikroalga (N) dalam waktu (t) dengan kecepatan tumbuh (µ) sesuai dengan rumus eksponensial.

Pada fase penurunan kecepatan tumbuh pembelahan sel mulai melambat karena kondisi fisik dan kimia kultur mulai membatasi pertumbuhan. Pada fase stasioner, faktor pembatas dan kecepatan pertumbuhan bersifat setimbang karena jumlah sel yang membelah dan yang mati sama. Pada fase kematian, kualitas fisik dan kimia kultur berada pada titik dimana sel tidak mampu lagi mengalami pembelahan.

Sumber: Fogg dan Thake, 1987 dalam Edhy et al., 2003 1

2

3 4

5

1.Lag or Induction phase 2.Exponential phase

3.Phase of declining relative growth 4.Stationary phase

5.Death phase

Age of culture Log of

cell numbers


(23)

2.3.3. Biofuel dari mikroalga

Mikroalga berpotensi menghasilkan biofuel dalam jumlah yang sangat besar. Biofuel yang dapat terbarukan dapat menggantikan minyak yang dijadikan bahan bakar yang berkontribusi pada pemanasan global dan ketersediannya yang terbatas. Biodiesel dan Bioethanol merupakan bahan bakar yang berpotensi dapat diperbaharui yang menarik perhatian dunia. Biodiesel dan bioethanol diproduksi oleh tanaman pertanian menggunakan metode yang ada dan keberadaannya tidak dapat menggantikan minyak fosil yang dijadikan bahan bakar.

Tingginya potensi bahan dari mikroalga ini telah dikemukakan oleh Umdu

et al. (2008) bahwa minyak mikroalga mengandung lipid yang cocok untuk

esterifikasi atau transesterifikasi.

Mikroalga merupakan biota yang menjanjikan hasil lebih baik karena: 1. Memiliki laju pertumbuhan tinggi (Umdu et al., 2008).

2. Kandungan lipid dapat disesuaikan dengan mengubah komposisi media untk tumbuh (Umdu et al., 2008).

3. Dapat dipanen lebih dari satu kali dalam satu tahun (Umdu et al., 2008). 4. Dapat menggunakan air laut atau air limbah (Umdu et al., 2008).

2.3.4. Teknik Kultivasi Mikroalga

Kultivasi (kegiatan kultur) mikroalga dalam skala laboratorium

membutuhkan kondisi lingkungan yang stabil, sehingga diperlukan pendingin ruangan (AC) agar suhu ruangan selalu terkendali dan ruangan terisolasi dari lingkungan luar. Selain itu, ada beberapa mikroalga yang dapat tumbuh baik pada suhu rendah.


(24)

Pupuk yang digunakan pada skala laboratorium terbuat dari bahan kimia PA (Pro Analis) dengan dosis pemakaian 1ml/L volume kutur. Jenis dan formula pupuk adalah yang telah distandarkan dan umum digunakan yaitu Conwy

(Walne’s Media), Guilard, dan Rhyter modifikasi F. Penggunaan pupuk pada skala laboratorium dimanfaatkan agar pertumbuhan mikroalga optimal sehingga didapatkan bibit (starter) yang bermutu tinggi untuk skala kultur selanjutnya.

2.4. Logam Berat

2.4.1. Deskripsi Logam Berat

Keberadaan logam berat dalam lingkungan dapat berasal dari dua sumber, yaitu berasal dari proses alamiah seperti pelapukan secara kimiawi dan kegiatan geokimiawi serta dari tumbuhan dan hewan yang membusuk, dan berikutnya berasal dari hasil aktivitas manusia terutama hasil limbah industri. Berdasarkan sudut pandang toksikologi, logam berat dapat dibagi dalam dua jenis. Jenis pertama adalah logam berat esensial, di mana keberadaannya dalam jumlah tertentu sangat dibutuhkan oleh organisme hidup, namun dalam jumlah yang berlebihan dapat menimbulkan efek racun. Contoh logam berat ini adalah Zn, Cu, Fe, Co, Mn, dan lain sebagainya. Sedangkan jenis kedua adalah logam berat tidak esensial atau beracun, dimana keberadaannya dalam tubuh masih belum diketahui manfaatnya atau bahkan dapat bersifat racun, seperti Hg, Cd, Pb, Cr, dan lain-lain.

Logam berat yang masuk ke dalam lingkungan perairan akan mengalami pengendapan, pengenceran dan dispersi, kemudian diserap oleh organisme yang hidup di perairan tersebut. Pengendapan logam berat di suatu perairan terjadi karena adanya anion karbonat hidroksil dan klorida (Hutagalung, 1995). Logam berat mempunyai sifat yang mudah mengikat bahan organik dan mengendap di


(25)

dasar perairan dan bersatu dengan sedimen sehingga kadar logam berat dalam sedimen lebih tinggi dibanding dalam air (Hutagalung, 1995).

2.4.2. Pencemaran Logam Berat Aktivitas Penambangan di Pulau Bangka Pulau Bangka dikenal sebagai daerah penghasil timah sejak 3 abad silam yang dimulai pada pemerintahan Kolonial Belanda. Seiring bergulirnya roda pemerintahan, yang pada awalnya penambangan timah tidak diperbolehkan untuk skala rakyat. Berdasarkan Perda No. 6 Tahun 2001, Pemprov Bangka

membolehkan penambangan timah rakyat untuk tujuan kemakmuran, sehingga aktivitas penambangan tumbuh pesat, khususnya oleh penambang skala kecil.

Keadaan ini terlihat dengan semakin maraknya kegiatan penambangan rakyat yang sifatnya ilegal, dan cenderung mengabaikan pengelolaan hasil samping penambanganyang dapat mencemari lingkungan. Eksplorasi timah di daerah laut secara besar-besaran telah menghasilkan limbah tailing yang besar pula dan dibuang langsung ke laut tanpa pengolahan terlebih dahulu. Hal tersebut menyebabkan terjadinya sedimentasi pada sebagian Laut Bangka. Di samping limbah tailing, tumpahan oli dan solar dari aktivitas penambangan juga turut memperparah pencemaran terutama berkaitan dengan pencemaran logam berat di perairan Pulau Bangka.

Kegiatan penambangan timah di pulau Bangka ini telah berlangsung sejak zaman kolonial Belanda hingga sekarang. Pulau Bangka merupakan pulau penghasil timah terbesar di Indonesia. Dari luas Pulau Bangka sebesar 1.294.050 ha, sekitar 27,56 % daratan pulau ini merupakan areal Kuasa Penambangan (KP) timah PT. Tambang Timah menguasai lahan seluas 321.577 ha dan PT. Kobatin seluas 35.063 ha.


(26)

Selain kedua perusahan tersebut, izin kuasa penambangan (KP) timah juga diberikan kepada perusahaan swasta. Sampai dengan pertengahan tahun 2007, jumlah KP timah mencapai 101 izin dengan luas pencadangan 320.219 ha, dan yang telah ditambang 6.084 ha.

2.4.3. Beberapa Karakteristik Logam Berat, Sumber, dan Dampaknya 2.4.3.1. Timbal (Pb)

Timbal merupakan logam berat beracun yang dapat dideteksi secara praktis pada seluruh benda mati di lingkungan dan seluruh sistem biologis. Logam ini merupakan racun yang mudah terakumulasi dan akan mengalami peningkatan jumlah dalam tubuh, hingga akhirnya mencapai suatu titik dimana telah terjadi kerusakan sistem tubuh. Mobilitas timbal di tanah dan tumbuhan cenderung lambat dengan kadar normalnya pada tumbuhan berkisar 0,5 – 3,0 ppm

(Suhendrayatna, 2001). Sumber utama timbal adalah dari makanan dan minuman yang terkontaminasi timbal (Suhendrayatna, 2001).

Selain itu menurut Vinithkumar (2004), timbal juga terdapat di udara bebas sebagai akibat dari penggunaan bahan bakar kendaraan dan industri yang tidak bebas timbal. Timbal menimbulkan efek beracun pada sistem syaraf,

hemetologik, hemetotoksik, dan mempengaruhi kerja ginjal serta paru-paru, bahkan gangguan pertumbuhan pada anak-anak dan bayi (Vinithkumar, 2004). Mobilitas timbal di tanah dan tumbuhan cendrung lambat dengan kadar


(27)

2.4.3.2 Kadmium (Cd)

Kadmium lebih mudah diakumulasi oleh tanaman dibandingkan dengan timbal dan lebih banyak dijumpai pada permukaan sampel tanah yang diambil dekat penambangan bijih seng (Suhendrayatna, 2001). Sumber dari logam ini antara lain berasal dari industri baterai, pewarnaan, plastik, dan pengolahan logam. Logam kadmium tergolong berbahaya karena memiliki resiko tinggi pada pembuluh darah. Kadmium berpengaruh terhadap tubuh manusia dalam jangka waktu panjang dan dapat terakumulasi dalam tubuh, khususnya di hati dan ginjal. Logam berat ini bersama timbal dan merkuri sebagai the big three heavy

metal yang memiliki tingkat bahaya tertinggi pada kesehatan manusia. Kadmium

adalah logam beracun yang merupakan polutan yang berbahaya bagi lingkungan karena bersifat toksik selain dapat membahayakan makhluk hidup dan ekosistem perairan. Kadmium dapat meleleh pada 320 oC dan bersifat sangat elektropositif. Logam-logam kadmium cenderung membentuk kompleks dengan NH3, ion halida

dan CN-. Kadmium dapat melarut lambat dalam asam encer dengan melepaskan hidrogen.

2.4.3.3 Kromium (Cr)

Logam kromium di alam ditemukan dalam bentuk chromite (FeO.Cr2O3).

Kromium adalah logam yang berwarna putih, tak begitu liat (keras tapi rapuh), dan tak dapat ditempa. Logam ini memiliki titik leleh di atas 1800 oC. Logam kromium larut dalam asam klorida encer atau pekat. Jika tidak terkena udara, akan terbentuk ion-ion kromium.

Logam kromium tidak dapat teroksidasi oleh udara yang lembab dan bahkan pada proses pemanasan cairan, logam kromium teroksidasi dalam jumlah


(28)

yang sangat sedikit. Logam kromium mudah larut dalam HCl, sulfat, dan

perklorat. Sesuai dengan tingkat oksidasinya, logam atau ion kromium yang telah membentuk senyawa, mempunyai sifat-sifat yang berbeda sesuai dengan tingkat oksidasinya.

Sebagai logam berat, kromium termasuk logam yang mempunyai daya racun tinggi. Umumnya dijumpai di alam dalam bentuk bervalensi tiga yang sifat racunnya lebih rendah daripada 6 valensi. Meskipun demikian, kromium terutama yang bervalensi 6 dapat mengakibatkan kanker saluran pencernaan, penyakit kulit, dan bisul serta radang pada membran mukus nasal (Vinithkumar, 2004).

2.4.3.4 Tembaga (Cu)

Tembaga di alam dapat ditemukan dalam bentuk logam bebas, akan tetapi lebih banyak ditemukan dalam bentuk persenyawaan atau sebagai senyawa padat dalam bentuk mineral. Secara global, sumber masuknya logam Cu ke dalam lingkungan dapat terjadi secara alamiah (akibat berbagai peristiwa alam) seperti: erosi batuan, mineral, debu atau partikulat Cu yang ada di udara. Sumber Cu di alam kini lebih banyak dipengaruhi aktifitas manusia, khususnya buangan industri yang memakai Cu dalam proses produksinya, seperti industri galangan kapal, industri pengolaan kayu, buangan rumah tangga, pertambangan, dan lainnya.

Cu digolongkan sebagai logam berat esensial, yang berarti walaupun termasuk logam berat yang berbahaya tetapi unsur ini dibutuhkan oleh tubuh dalam jumlah sedikit. Manusia memerlukan Cu sebagai metalloenzim dalam sistem metabolismenya atau sistem enzim oksidatif. Selain itu, Cu juga sebagai kompleks Cu protein yang mempunyai fungsi tertentu dalam pembentukan hemoglobin, kolagen, pembuluh darah dan mielin otak. Walaupun demikian,


(29)

logam Cu dalam metabolismenya akan berbalik menjadi bahan racun untuk manusia bila masuk dalam jumlah berlebihan (Palar, 1994 dalam Yefrida, 2008). Tembaga bersifat racun terhadap semua tumbuhan pada konsentrasi larutan di atas 0,1 ppm. Konsentrasi normal komponen ini di tanah berkisar 20 ppm, sedangkan konsentrasi yang aman bagi air minum manusia adalah < 1 ppm.

2.5. Adsorpsi Logam Berat Oleh Mikroorganisme

2.5.1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses Bioabsorpsi

Adsorpsi secara umum adalah proses pengumpulan benda-benda terlarut yang terdapat dalam larutan antara dua fase, yaitu fase padat (adsorben) dan fase cair (pelarut, biasanya air) yang mengandung spesies terlarut yang akan diserap (adsorbat, ion logam). Dalam penelitian ini, adsorbatnya adalah ion logam Pb (Timbal), Cd (Cadmium), Cr (Chromium), dan Cu (Tembaga / Cuprum) dan mikroalga sebagai adsorbennya. Jenis interaksi yang terjadi antara logam dengan permukaan sel adalah interaksi ionik, interaksi pengomplekan, interaksi

pertukaran ion dan pengendapan.

Secara umum ada dua jenis adsorpsi logam berat oleh mikroorganisme yaitu yang tidak bergantung pada mikroorganisme (metabolism-independent) yang terjadi pada permukaan sel dan adsorpsi yang bergantung pada metabolisme (metabolism-dependent) yang menyebabkan logam terakumulasi di dalam sel (Lestari et al., 2002 dalam Triani, 2006). Proses tersebut terjadi pada dinding sel dan permukaan eksternal lainnya melalui mekanisme kimia dan fisika misalnya pertukaran ion (kation exchangeable), pembentukan kompleks (dengan bahan-bahan organik / gugus funngsional sel) dan adsorpsi itu sendiri.


(30)

Proses adsorpsi dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut: (1) pH (Derajat Keasaman)

Derajat keasaman (pH) mempunyai pengaruh besar dalam proses adsorpsi karena pH mampu mempengaruhi terjadinya interaksi ion logam dengan gugus aktif adsorben. pH optimum untuk adsorpsi tembaga oleh Chlorella sp. yang diimobilisasi pada silika gel dicapai pada pH 5 (Triyatno, 2004).

(2) Konsentrasi Logam

Konsentrasi logam sangat berpengaruh terhadap penyerapan logam oleh adsorben. Pada permukaan penyerap (biomassa mikroalga) terdapat sejumlah sisi aktif yang proporsional dengan luas permukaan penyerap. Jadi dengan

memperbesar konsentrasi larutan serapan logam akan meningkat secara linier hingga konsentrasi tertentu.

(3) Waktu Kontak

Waktu kontak antara adsorbat dengan adsorben selama proses adsorpsi berlangsung dipertahankan konstan. Triyatno (2004) melaporkan bahwa adsorpsi

maksimum Cu2+ dalam Chlorella sp. yang terimobilisasi silika gel dicapai setelah 20 menit.

(4) Tumbukan Antar Partikel

Proses adsorpsi tergantung pada banyaknya tumbukan yang terjadi antara partikel-partikel adsorbat dan adsorben. Tumbukan antar partikel ini dapat dipercepat dengan adanya kenaikan suhu.


(31)

(5) Karakteristik dari Adsorben

Ukuran partikel dan luas permukaan adsorben akan mempengaruhi proses adsorpsi. Semakin kecil ukuran partikel akan semakin cepat proses adsorpsi yang terjadi dan semakin besar luas permukaan adsorben maka penyerapan yang terjadi semakin merata.

2.5.2. Mekanisme Proses Adsorpsi

Mekanisme adsorpsi logam berat menggunakan biomassa mikroalga telah banyak dikembangkan, namun masih memiliki kelemahan dan resiko terkait akumulasi logam berat terhadap sel mikroalga. Metode yang digunakan adalah absorbsi kation logam berat oleh dinding sel media bio (mikroalga) yang bermuatan negatif dari gugus karboksil, hidroksil, sulfidril, amina dan fosfat.

Hal demikian dapat terjadi pada mikroorganisme dari golongan alga (fitoplankton). Dalam tulisannya, Oswald (1988) menyebutkan bahwa alga atau ganggang memiliki permukaan yang bermuatan negatif tinggi sehingga dapat menarik logam berat yang memiliki muatan positif yang kuat. Melalui tingginya tingkat resirkulasi di perairan, logam berat terserap oleh alga dan mendiami tempat yang bersifat fakultatif atau di bawah kondisi lingkungan normal.

Mekanisme active uptake atau proses bioremoval terjadi pada berbagai sel hidup dan secara simultan terjadi sejalan dengan konsumsi ion logam untuk

pertumbuhan mikroorganisme dan/atau akumulasi intraselular ion logam tersebut. Proses ini tergantung pada energi yang terkandung dan sensitifitasnya terhadap parameter-parameter yang berbeda seperti suhu, pH, kekuatan ikatan ionik, cahaya, dan lain-lain.


(32)

Proses bioabsorpsi dapat dihambat dengan suhu rendah, tidak tersedianya sumber energi, dan penghambat-penghambat metabolisme sel. Di sisi lain, bioabsorpsi logam berat dengan sel hidup ini terbatas dikarenakan oleh akumulasi ion yang menyebabkan racun terhadap mikroorganisme, sehingga dapat

menghalangi pertumbuhan mikroorganisme disaat keracunan terhadap ion logam tercapai. Mikroorganisme yang tahan terhadap efek racun ion logam akan dihasilkan berdasarkan prosedur seleksi yang ketat terhadap pemilihan jenis mikroorganisme yang tahan terhadap kehadiran ion logam berat.


(33)

3.

BAHAN DAN METODE

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari - April 2011 di

Laboratorium Air PT. TIMAH, Tbk. Pangkalpinang, Bangka. Penelitian ini menggunakan air laut sampel yang berasal dari aktivitas hasil penambangan timah di Pantai Rebo, Kabupaten Bangka Induk, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Secara rinci, referensi geografis tempat pengambilan sampel air laut adalah 01°55′22,2″ LS dan 106°10′30,9″ BT. Tempat pengambilan sampel air limbah logam berat hasil aktifitas penambangan timah di Pulau Bangka dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Peta lokasi pengambilan sampel air limbah logam berat di pulau Bangka


(34)

3.2. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian

Alat dan Bahan Spesifikasi Jumlah Unit

Aerator Air Pump AC-9902 4

Autoklaf - 1

Batu dan selang Aerasi - 9

Pipet Tetes - 12

Botol Gelas 1.5 L 12

Bulb Assistant 1

Bunsen - 1

Erlenmeyer Iwaki 100, 250, 750, dan 2800 mL 1

Gelas Beker Iwaki 1000 dan 2000 mL 1

Gelas Ukur Iwaki 50, 100, dan 500 mL 1

Haemacytometer Assistant (Neubauer) 25x10-4 mm2 1

Handcounter - 1

Hotplate Labinco L-32 1

Lampu Neon Philips 40 watt 3

Mikroskop Olympus (4×, 10×, 40×, 100×) 1

Kertas pH Indikator Merck (pH 1-14) 1

Pipet Mohr Iwaki 1, 2, 10, dan 25 mL 1

Refraktometer Hand Refraktometer Atago 1

Thermometer Air Raksa (Hg) 1

Sprayer - 1

Tabung Durham Iwaki 15 mL 18

Timbangan Analitik AND EK-3000i 1

Air laut - 60 L

Akuabides - 5 L

Akuades - 100 L

Alkohol 70% 1000 L

Aluminium Foil - 1

Bibit Nannochloropsis sp. - 250 mL

Bibit Chlorella sp. - 250 mL

KNO3 Pekat - 100 mL

NaOH Pekat - 100 mL

Tisu - 5 gulung

Kertas Saring Millipore Wheatman 150

Filtering Apparatus - 1

Ember 100 L - 2

Corong kaca - 1

Labu Ukur 100 mL 18

Inkubator Memmert 1

Jerigen 35 L 1


(35)

3.3. Prosedur Penelitian

3.3.1. Pengambilan Air Limbah di Daerah Penambangan Timah

Pengambilan sampel air laut dilakukan tanggal 6 Februari 2011, pukul 14:30 WIB dengan menggunakan perahu nelayan. Sampel air laut diambil menggunakan wadah polietilen berukuran 35 Liter.

3.3.2. Filterisasi

Filterisasi merupakan suatu metode yang dilakukan untuk menyaring air laut dengan tujuan menghilangkan partikel-partikel sedimentasi yang ada di dalam sampel tersebut. Metode ini menggunakan prinsip penyaringan dengan kertas

Millipore. Penggunaan kertas saring dimaksudkan agar partikel-partikel suspensi

dapat tersaring, sehingga yang terlarut akan menjadi media bagi kultivasi mikroalga.

Alat yang digunakan dalam proses filterisasi ini adalah penyaring air laut. Bagian-bagiannya terdiri atas pompa vakum, gelas media tampungan (sebagai wadah filtrat), selang silikon (penghubung pompa vakum dengan gelas filtrat), dan kertas saring Millipore.


(36)

Metode filterisasi tidak bertujuan untuk membunuh bakteri, karena hal tersebut bertujuan agar partikel yang berukuran lebih dari 0,45 µm akan tersaring, dan kurang dari 0,45 µm akan menjadi bagian partikel terlarut, termasuk ion atau logam-logam berat di dalamnya. Proses filterisasi dimulai dengan mengalirkan air limbah yang mengandung suspensi ke filtering apparatus, selanjutnya air filtrat (yang tersaring) akan digunakan sebagai media kultur yang sebelumnya akan melalui tahap sterilisasi (autoclave) agar air sampel limbah bebas dari patogen dan sel plankton lainnya yang memiliki ukuran sel kurang dari 0,45 µm.

3.3.3. Sterilisasi

Sterilisasi bertujuan untuk menyucihamakan alat serta bahan yang akan digunakan untuk isolasi maupun kultur mikroalga dari mikroorganisme serta bahan kimia yang dapat menjadi kontaminan (Kawaroe, 2008). Metode sterilisasi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu melalui pemanasan sederhana (air tawar untuk sterilisasi alat dan wadah) dan menggunakan autoclave (panas bertekanan) untuk media air laut dan peralatan yang tahan panas lainnya.

Pemanasan air tawar atau akuades digunakan untuk sterilisasi alat dan wadah kultur, terdiri atas: selang dan batu aerasi, pipet mohr 1 mL; 2 mL; 5 mL; 10 mL; dan 25 mL, tabung reaksi, penutup tabung reaksi, dan erlenmeyer volume 2800 mL. Sterilisasi dimulai dengan pemanasan air tawar dengan menggunakan

hot plate hingga mendidih. Wadah dan alat yang sebelumnya telah dicuci dan

dibilas dengan air tawar, selanjutnya dialirkan air panas dari hot plate (membunuh bakteri yang ada di wadah) dan ditiriskan. Sterilisasi menggunakan autoclave merupakan suatu metode yang memanfaatkan uap panas bertekanan, dengan suhu hingga 126 oC, dan tekanan mencapai 1,5 atm.


(37)

Metode ini digunakan untuk peralatan kultivasi dan air media, yang bertujuan untuk menghilangkan kontaminasi dari patogen yang ada di dalam media. Media autoclave dapat digunakan setiap pemakaian selama kurang-lebih 30 menit. Dengan luas penampang kira-kira 2 liter media.

3.3.4. Proses Kultur Nannochloropsis sp. dan Chlorella sp. (1) Persiapan Wadah Kultur

Wadah kultur (250 mL, 750 mL, 1500 mL, dan 2800 mL) yang telah disterilkan, baik menggunakan autoclave maupun pemanas disusun sesuai dengan kebutuhan pengkulturan. Wadah kultur terbagi menjadi dua, yaitu wadah bagi media Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp. Wadah yang telah disiapkan diberi air laut sesuai dengan kapasitas masing-masing wadah. Tahap awal kultur dimulai dari media 250 mL, atau dari gelas erlenmeyer 250 mL. Selanjutnya, media 250 mL diberi pupuk Pro Analis. Dalam penelitian ini, wadah yang digunakan berisi pupuk dari media Conwy (Walne’s media) sebanyak 1 mL untuk 1000 mL air sampel. Setelah mencapai masa puncak populasi, media 250 mL dapat dikultur kembali dengan menggunakan media 2000 mL, dan selanjutnya media dapat digunakan untuk keperluan penelitian.


(38)

(2) Persiapan Pupuk (Conwy atau Walne) Untuk Kultivasi Mikroalga Pupuk yang digunakan mengandung campuran dari beberapa bahan-bahan kimia yang berfungsi untuk memberikan nutrisi dalam mendukung pertumbuhan mikroalga. Tempat penyimpanan bahan-bahan kimia biasanya disediakan khusus agar tidak menimbulkan kontaminasi dengan benda-benda sekitarnya. Larutan media ini dicampurkan ke dalam wadah kultur sesuai dengan volume media kultur. Selanjutnya media tersebut dapat dihitung jumlah kepadatan sel secara rutin dengan menggunakan haemacytometer.

3.3.5. Perhitungan Kepadatan Sel Mikroalga

Perhitungan kepadatan bertujuan untuk menentukan kondisi mikroalga setiap harinya (sel yang bertambah besar dan bertambah banyak). Perhitungan sel mikroalga menggunakan haemacytometer dan alat bantu handcounter untuk mencatat jumlah perhitungan. Haemacytometer terbuat dari gelas yang dibagi menjadi kotak-kotak pada dua tempat bidang pandang untuk menghitung jumlah kepadatan sel.

Gambar 7. Haemacytometer Sumber: Isnansetyo (1995)


(39)

Kotak tersebut berbentuk bujur sangkar dengan sisi 1 mm dan tinggi 0,1 mm, sehingga bila ditutup dengan cover glass, akan menghasilkan volume

ruangan 0,1 mm3 atau 10-4 ml. Kotak tersebut dibagi lagi menjadi dua puluh lima kotak bujur sangkar, yang masing-masing dibagi lagi menjadi enam belas kotak bujur sangkar yang lebih kecil (Isnansetyo, 1995). Contoh penghitungan

kepadatan Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp. dapat dilihat pada Lampiran 1. Estimasi kepadatan sel mikroalga dapat digambarkan dalam perhitungan pada persamaan (1) sebagai berikut:

1. Dalam 400 kotak (bila kepadatan rendah)

Jumlah sel x 104/ml = N sel/mL ………

(1)

2. Dalam beberapa (80) kotak (bila kepadatan terlalu tinggi) Rata-rata jumlah sel (dari 80 kotak) x 400 x 104/ml = N sel/mL

3.3.6. Pengukuran Parameter Fisika dan Kimia Media Kultivasi Mikroalga Pengukuran parameter ini bertujuan untuk menentukan pengaruh dari masing-masing parameter terhadap pertumbuhan dari mikroalga (Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp.). Selain itu, pengukuran ini juga berperan penting dalam membandingkan pengaruh keadaan yang terkontrol dan fluktuatif terhadap

kehidupan mikroalga. Pengukuran parameter dilakukan setiap hari dengan menggunakan thermometer untuk parameter suhu (oC), Refraktometer untuk salinitas (‰), dan pH meter untuk parameter keasaman air sampel limbah dalam media kultivasi.

3.3.7. Pemanenan Populasi Mikroalga

Pemanenan dilakukan apabila hasil kultivasi telah mencapai tahap

maksimum. Hal tersebut dikarenakan, masa pertumbuhan mikroalga Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp. akan mengalami penurunan jumlah kepadatan (fase drop


(40)

atau kematian). Apabila pemanenan mikroalga terlalu cepat atau belum mencapai puncak populasi, sisa zat hara masih cukup besar sehingga dapat membahayakan organisme yang memanfaatkannya sebagai pakan alami. Pemanenan dilakukan agar diperoleh bibit awal yang sesuai dengan kualitas yang baik, dan selanjutnya dapat digunakan sebagai bibit kultur untuk perlakuan penelitian dengan media yang tecemar logam berat.

3.3.8. Pemindahan Populasi Kultur ke Dalam Media Limbah Logam Berat Populasi mikroalga akan mencapai masa puncak populasi. Hal ini

dimaksudkan kepadatan sel akan mencapai maksimum dan dapat digunakan untuk keperluan penelitian menggunakan media limbah logam berat dari air laut sampel. Selanjutnya populasi dari masing-masing jenis mikroalga (Chlorella sp. dan

Nannochloropsis sp.) dikontakkan ke dalam media khusus yang tercemar logam.

Jumlah sel (ml sampel mikroalga) yang dimasukkan ke dalam media sesuai dengan kepadatan sel yang diperoleh ketika mencapai puncak populasi.

Ketepatan pemindahan jumlah sel dapat menggunakan formula pengenceran air media dengan sampel bibit mikroalga. Semakin tinggi kepadatan sel mikroalga, maka semakin sedikit inokulan (sel) yang ditambahkan.

Pemindahan bibit (inokulasi bibit sel) Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp. ke dalam wadah 1500 mL (perlakuan pupuk) dan 750 mL (tanpa pupuk) dihitung berdasarkan kepadatan Chlorella sp. dan Nannochoropsis dalam wadah inokulum. Dengan demikian, perhitungan dapat dimulai dengan menggunakan rumus pengenceran (N1×V1 = N2×V2). Volume awal Chlorella sp. yang diperoleh

dari rumus pengenceran adalah sebesar 51 mL dalam media 1500 mL dan 25,575 mL dalam media 750 mL air sampel limbah (untuk memperoleh kepadatan


(41)

1.000.000 sel/mL dalam media kultur dari limbah). Volume ini diperoleh dari jumlah sel Chlorella sp. sebesar 29.325.000 sel/mL. Berbeda hal nya sel

Nannochloropsis sp. bervolume 35 ml untuk wadah media 1500 mL, dan 18,570

mL untuk media 750 mL, dengan jumlah kepadatan sel Nannochloropsis sp. sebesar 40.325.000 sel/mL.

Volume air media (air laut sampel) yang dibutuhkan dalam proses

pengkulturan diperoleh dari jumlah volume kultur media dikurangi volume bibit sel mikroalga yang dimasukkan ke dalam media. Dengan demikian, jumlah volume antara air laut sampel dengan bibit sel adalah 1500 mL untuk perlakuan menggunakan pupuk dan 750 mL tanpa menggunakan pupuk. Pada tahap akhir, dengan menggunakan rumus pengenceran, akan diperoleh jumlah kepadatan sel yang diharapkan untuk kultur awal, yaitu 1.000.000 sel/mL. Metode pemindahan bibit sel mikroalga ke dalam media limbah pada penelitian ini disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8. Pemindahan bibit sel mikroalga ke dalam media limbah

2000 ml Chlorella sp.

29.325.000 sel/mL

1450 ml air limbah.

1465 ml air limbah.

Bibit sel mikroalga dalam media kultur non-limbah

2000 ml Nannochloropsis sp.

40.375.000 sel/mL

50 ml 35 ml

Media limbah logam berat yang digunakan untuk kultur 1500 ml

air limbah + sel

Chlorella sp.

1500 ml air limbah + sel

Nannochloropsis sp.


(42)

Dengan demikian, kepadatan sel awal yang diperoleh dalam media air laut limbah 1500 mL dan 750 mL adalah 1.000.000 sel/mL. Selanjutnya akan

dilakukan perhitungan harian, dimana jumlah sel diduga akan terus bertambah hingga mencapai masa puncak populasi sel dan dilakukan pemanenan serta perhitungan kapasitas ion logam berat yang diserap oleh mikroalga.

3.3.9. Perhitungan Laju Serapan Sel Mikroalga terhadap Logam Berat Perhitungan laju serapan (kapasitas bioabsorpsi) ini dilakukan setelah populasi dari Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp. mencapai masa puncaknya. Sehingga ion logam berat yang terserap dapat dihitung menggunakan AAS (Spektrofotometer Serapan Atom) yang diperoleh dari biomassa sampel air (mikroalga) yang sebelumnya telah dilakukan penyaringan dan pengasaman sampai proses pelarutan bahan organik, sehingga yang tersisa adalah bahan-bahan anorganik termasuk logam berat.

Langkah awal yang dilakukan adalah menyiapkan sampel mikroalga

Chlorella sp. dan Nannchloropsis sp. Selanjutnya sampel tersebut disaring

menggunakan alat penyaring sampel air dan kertas saring Whatman bebas abu. Setelah disaring, hitung berat biomassa yang telah dikeringkan dengan

menggunakan oven pada suhu 60 - 80 oC. Setelah kering biomassa ditimbang menggunakan neraca analitik (sebelumnya, kertas saring ditimbang terlebih dahulu untuk mengetahui berat kering dari kertas saring).

Proses pelarutan (melepaskan) logam yang menempel pada mikroalga memerlukan asam kuat, yakni asam sulfat (H2SO4) 98% dan asam nitrat pekat

(HNO3) masing-masing sebanyak 5 ml. Proses berikutnya dilanjutkan di ruang


(43)

lainnya. Proses pemanasan dilakukan selama kurang-lebih 3 jam hingga yang tersisa dari sampel hanya berupa bahan-bahan anorganik, termasuk logam-logam berat. Setelah dipanaskan, sampel diencerkan dengan menambahkan HCl ke dalam labu ukur ukuran 50 ml. Tahap akhir dari proses ini adalah analisis logam berat menggunakan AAS. Ion-ion logam berat yang diukur adalah logam Pb, Cu, Cd, dan Cr. Proses pelarutan biomassa mikroalga dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Diagram alir proses pelarutan biomassa mikroalga hingga analisis logam berat

100 mL air sampel sel

Nannochloropsis sp. dan Chlorella sp.

Penyaringan biomassa

Dikeringkan menggunakan oven pada

suhu 60 s.d. 800 C

Hitung bobot kering biomassa

Kertas saring bebas abu (Wheatman)

Melarutkan biomassa dengan pelarut

asam kuat

Gelas beker 100 mL ditambahkan masing-masing

5 ml H2SO4 dan HNO3

Dipanaskan (digest)

Sehingga bahan-bahan organik dalam media larut

(+ 2-3 jam)

Pengenceran Menggunakan HCl

dalam labu ukur 50 mL

Analisis logam berat yang terserap Menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom (tipe AA 7000) Lab. Produktifitas dan Lingkungan Perairan, MSP, FPIK. IPB. Lab. Kimia, FMIPA IPB.


(44)

3.4. Analisis Data

Analisis dilakukan dengan cara membandingkan laju pertumbuhan spesifik (µ), serta serapan logam berat dari spesies Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp. Perbandingan tersebut digambarkan dengan menggunakan grafik, laju

pertumbuhan spesifik (µ), dan kapasitas bioabsorpsi (mg logam berat/g biomassa

Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp.). Kualitas air dianalisis menggunakan uji

validitas Pearson untuk melihat korelasi yang terjadi dan uji lanjut regresi untuk melihat pengaruh parameter kualitas air terhadap kelimpahan dengan nilai p=0,05.

Laju pertumbuhan spesifik (µ) mikroalga dihitung dengan formula menurut Krichnavaruk et al. (2004), pada persamaan (2). Contoh penghitungan dapat dilihat pada lampiran 2.

µ =

……….

(2)

keterangan :

Nt = Kepadatan populasi pada waktu ke-t,

No = Kepadatan populasi sel pada waktu ke-0;

To = Waktu awal;

Tt = Waktu pengamatan.

Kapasitas bioabsorpsi mikroalga (qe) dihitung menurut model adsorpsi

isothermal dengan rumus menurut Vijayaraghavan, et al. (2004) pada persamaan (3). Contoh penghitungan dapat dilihat pada Lampiran 3.

W V C C

q i e

e

)

( −

= ... (3)

Keterangan :

qe = Kapasitas bioabsorpsi (mg Pb, Cd, Cr, Cu) /g biomassa

mikroalga (mg/g);

V = Volume larutan dalam wadah gelas atau erlenmeyer dengan kontak batch (ml);

Ci = Konsentrasi ion (Pb, Cd, Cr, Cu) dalam larutan (mg/l);

Ce = Konsentrasi akhir atau keseimbangan ion (Pb, Cd, Cr, Cu) dalam


(45)

4.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kepadatan dan Laju Pertumbuhan Spesifik Chlorella sp.

Penelitian ini mendapati bahwa mikroalga Chlorella sp. memiliki laju pertumbuhan spesifik dan kepadatan yang cukup baik untuk setiap perlakuan. Laju pertumbuhan spesifik dan kepadatan sel Chlorella sp. dapat dilihat pada Lampiran 5 dan grafik kepadatan sel Chlorella sp. dapat dilihat pada Gambar 10. Jumlah kepadatan sel Chlorella sp. dengan perlakuan limbah logam berat pada awal kultivasi adalah 1,00×106 sel/mL. Pertumbuhan masa puncak populasi

Chlorella sp. terjadi pada hari ke-10 dengan jumlah sel mencapai 16,72×106

sel/mL.

Gambar 10. Grafik kepadatan sel Chlorella sp.

Sel Chlorella sp. memiliki jumlah kepadatan sel dan laju pertumbuhan spesifik yang berbeda tiap perlakuan. Kepadatan Chlorella sp. tertinggi terdapat pada perlakuan kontrol, sedangkan kepadatan sel terendah terdapat pada

perlakuan tanpa pupuk. Puncak kepadatan populasi sel Chlorella sp. dengan

0 5 10 15 20 25 30 35

1 3 5 7 9 11 13 15

K ep a d a ta n s el ( 1 0 6se l/ m l) Hari


(46)

perlakuan kontrol terjadi pada hari ke-10, sedangkan untuk perlakuan pupuk dan tanpa pupuk pada hari ke-13 dan hari ke-9. Sel mengalami penurunan jumlah secara signifikan pada hari ke-15 untuk perlakuan kontrol. Perlakuan

menggunakan pupuk dan tanpa pupuk tidak mengalami penurunan jumlah kepadatan sel secara signifikan hingga akhir pengamatan.

Jumlah sel media perlakuan kontrol dan perlakuan menggunakan pupuk menunjukkan adanya peningkatan setiap harinya. Hal ini berbeda dengan

perlakuan tanpa pupuk dengan jumlah kepadatan sel cenderung stagnan atau tetap. Hal tersebut dapat diduga karena pengaruh nutrisi, serta kualitas air pada media kultur, sehingga mempengaruhi pertumbuhan Chlorella sp. pada media tumbuh.

4.1.1. Kepadatan dan Laju Pertumbuhan Spesifik Chlorella sp. dengan Perlakuan Kontrol

Kepadatan puncak mikroalga Chlorella sp. untuk perlakuan kontrol tercatat mencapai 30×106 sel/mL, yang merupakan nilai tertinggi dibandingkan dengan kultivasi pada perlakuan lain. Hal tersebut diduga karena keadaan lingkungan yang terkontrol meliputi suhu, salinitas, dan pH yang optimum untuk

pertumbuhan mikroalga. Sesuai dengan penelititan yang dilakukan Sylvester et

al. (2002) bahwa keadaan mikroalga laut yang dapat hidup normal pada salinitas

optimum 25-35 ‰, suhu optimum 25-32 oC, dan pH optimum berkisar 7-8. Chlorella sp. dengan perlakuan kontrol memiliki adaptasi yang sangat baik terhadap media kultur, dapat dilihat dari nilai laju pertumbuhan spesifik pada hari ke-1 sebesar 2,751. Hal tersebut menggambarkan bahwa dalam waktu yang kurang dari satu hari, Chlorella sp. memiliki adaptasi yang sangat baik terhadap lingkungan kultur. Fase lag pada pertumbuhan Chlorella sp. ini berlangsung


(47)

selama kurang dari 24 jam. Hal tersebut dibuktikan pada hari ke-2, jumlah populasi mikroalga terus meningkat hingga memasuki fase pertumbuhan eksponensial. Salah satu faktor yang menentukan lamanya fase adaptasi adalah umur kultur yang digunakan sebagai inokulum. Fase adaptasi akan menjadi lebih singkat atau bahkan tidak terlihat apabila sel-sel yang diinokulasikan berasal dari kultur yang berada dalam fase eksponensial (Fogg dan Thake, 1987 dalam Prihantini et al., 2005).

Fase adaptasi tidak terlihat secara jelas pada media perlakuan kontrol yang mungkin disebabkan oleh cepatnya kemampuan sel mikroalga menyesuaikan dirinya terhadap media kultur yang baru, sehingga mampu tumbuh dan

berkembang dengan cepat. Pertumbuhan sel terus bertambah hingga hari ke-10, dan diikuti Chlorella sp. fase stasioner pada hari ke-11 dan ke-12, karena jumlah sel yang bertambah seimbang dengan jumlah sel yang mati. Chlorella sp. mulai memasuki fase kematian pada hari ke-13, ditandai dengan jumlah sel yang menurun secara drastis, karena ketersediaan nutrien yang telah jauh berkurang di dalam media kultur. Turunnya laju pertumbuhan Chlorella sp. juga dapat disebabkan oleh beberapa hal, seperti adanya toksik yang dihasilkan oleh

mikroalga sebagai hasil dari metabolisme yang meracuni mikroalga itu sendiri dan berkurangnya proses fotosintesis akibat bertambahnya jumlah sel sehingga hanya bagian tertentu saja yang memperoleh cahaya.

4.1.2. Kepadatan dan Laju Pertumbuhan Spesifik Chlorella sp. dengan Perlakuan Pupuk dalam Media Logam Berat

Jumlah kepadatan sel mikroalga Chlorella sp. pada perlakuan logam berat yang ditambahkan pupuk pada media nya mencapai 16,72×106 sel/mL. Laju


(48)

pertumbuhan ini berlangsung relatif lambat, dengan jumlah kepadatan awal sel 1,00×106 sel/mL dari hari pertama kultur. Laju pertumbuhan yang lambat ini diduga karena faktor lingkungan pada media kultur. Media kultur Chlorella sp. menggunakan air sampel limbah pada lokasi penelitian dengan salinitas sebesar 37 ‰, dan pH 6. Hal tersebut dapat menghambat laju pertumbuhan mikroalga dan didukung kontaminasi logam berat dari hasil penambangan yang cenderung dapat mempengaruhi jumlah kepadatan sel. Menurut Connel (1990) dalam Haryoto (2004), pada konsentrasi logam yang tinggi, akumulasi dapat menganggu pertumbuhan sel, karena sistem perlindungan organisme tidak mampu

mengimbangi efek toksisitas logam.

Selanjutnya laju pertumbuhan meningkat relatif lambat di hari ke-2 sampai hari ke-5. Hal tersebut menunjukkan sel mengalami fase adaptasi terhadap lingkungan kultur, sehingga pertambahan jumlah kepadatan sel relatif lebih lambat. Hari ke-6, sel memasuki fase eksponensial, dengan laju pertumbuhan spesifik mencapai 0,468 dan terus meningkat hingga hari ke-10 dengan jumlah sel mencapai 15,16×106 sel/mL. Pada hari ke-11, jumlah sel mengalami penurunan. Penurunan jumlah sel ini diduga karena adanya pemanfaatan nutrien yang

berlebih dari hari-hari sebelumnya, sehingga ketersediaan nutrien berkurang dari kebutuhan sel mikroalga untuk hari berikutnnya.

Pada hari ke-12 hingga ke-15, jumlah sel relatif bertambah tidak signifikan dari sebelumnnya dan selanjutnya berkurang memasuki fase stasioner, yang diduga karena sel memasuki periode kriptik dimana sel-sel Chlorella sp. yang masih hidup memanfaatkan tambahan nutrisi dari sel Chlorella sp. yang lisis untuk pertumbuhannya sehingga dapat meningkatkan populasinya kembali


(49)

(Annisa, 2005). Fase deklinasi (penurunan kecepatan petumbuhan) dapat terjadi karena nutrisi pada media kultur berkurang dan telah terbentuk senyawa NH4+

dalam konsentrasi tinggi dan adanya produk esktraseluler dari mikroalga yang meracuni diri sendiri sehingga dapat meningkatkan mortalitas Chlorella sp. (Fogg, 1965 dalam Panggabean, 2000 dan Suantika, 2009), sehingga dalam waktu kurang dari tiga hari sel mengalami penurunan jumlah manjadi 15,26×106 sel/mL.

Pertumbuhan sel kultur di dalam media logam berat sangat dipengaruhi oleh nilai pH. Hal tersebut dapat dilihat melalui perbandingan antara grafik media kontrol dengan perlakuan limbah logam berat pada Gambar 10. Grafik perlakuan kontrol menunjukkan jumlah kepadatan sel jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan logam berat. Rendahnya kepadatan sel dapat disebabkan adanya nilai pH yang rendah (asam), sehingga laju pertumbuhan sel semakin lambat.

Penelitian Wong dan Lay (1980) dalam Prihantini et al. (2005) menunjukkan bahwa Chlorella pyrenoidosa yang ditumbuhkan dalam media Bristol dengan pH 7 memiliki kerapatan sel yang lebih tinggi dibandingkan dengan media dengan pH 6,4.

Hal demikian disebabkan pada lingkungan netral (pH internal sel netral adalah 7,15), CO2 berada dalam bentuk bebas sehingga dapat berdifusi dengan

mudah ke dalam sel mikroalga (Reynolds, 1984 dalam Prihantini et al., 2005). Hal tersebut menyebabkan CO2 sebagai sumber karbon utama bagi proses

fotosintesis mikroalga cukup tersedia sehingga proses metabolisme dapat berlangsung cepat dan kerapatan sel meningkat. Selain itu, jenis karbon anorganik yang paling banyak terdapat pada media asam (pH 4-6) adalah asam karbonat (H2CO3) (Goldman et al., 1983 dalam Prihantini et al., 2005). Asam


(50)

karbonat pada kisaran pH tersebut umumnya berada dalam bentuk senyawa yang sangat mudah masuk ke dalam sel sehingga membuat pH internal sel menjadi asam. Kondisi pH asam mengakibatkan proses biokimia sel terganggu sehingga mempengaruhi pertumbuhan sel (Lane, 1981 dalam Prihantini et al., 2005). Hal tersebut diduga merupakan penyebab rendahnya kerapatan sel pada media perlakuan limbah logam berat dengan pH awal 6.

Secara umum sejak pengamatan hari ke-7 hingga hari ke-15 seluruh media logam berat dengan perlakuan pupuk mengalami peningkatan pH. Meningkatnya pH kemungkinan disebabkan adanya aktivitas fotosintesis Chlorella sp. Pada saat fotosintesis, CO2 bebas merupakan jenis karbon anorganik utama yang digunakan

mikroalga. Mikroalga juga dapat menggunakan ion karbonat (CO32-) dan ion

bikarbonat (HCO3-). Penyerapan CO2 bebas dan bikarbonat oleh mikroalga

menyebabkan penurunan konsentrasi CO2 terlarut dan mengakibatkan

peningkatan nilai pH (Sze, 1993 dalam Prihantini et al., 2005).

4.1.3. Kepadatan dan Laju Pertumbuhan Spesifik Chlorella sp. dengan Perlakuan Tanpa Pupuk dalam Media Logam Berat

Jumlah sel Chlorella sp. dengan perlakuan tanpa pupuk relatif lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Media perlakuan tanpa pupuk memiliki batasan ketersedian nutrien yang bermanfaat untuk memacu pertumbuhan

mikroalga. Air laut yang tercemar logam berat juga turut mempengaruhi

kepadatan sel dari media kultur. Media limbah logam berat pada perlakuan tanpa pupuk ini memiliki salinitas 37 ‰ dan pH 6-7. Dengan demikian, hal tersebut membuktikan bahwa selain kurangnya ketersediaan nutrien, faktor lingkungan juga mempengaruhi proses pertambahan kepadatan sel dari mikroalga. Faktor


(51)

lingkungan yang optimum untuk pertumbuhan mikroalga adalah salinitas berkisar 25-35 ‰, suhu optimum 25-32 oC, dan pH optimum berkisar 7-8 (Sylvester et al., 2002).

Laju pertumbuhan mikroalga relatif konstan dan bahkan menurun setiap hari waktu pengamatan, yang dapat ditunjukkan dari laju pertumbuhan spesifik mikroalga (negatif) dari setiap pertambahan sel nya. Kepadatan sel maksimum terjadi pada hari ke-9 dengan jumlah sel 1,72×106 sel/mL dan kepadatan sel menurun hingga hari ke-15 dengan jumlah 1,12×106 sel/mL.

4.2. Kepadatan dan Laju Pertumbuhan Spesifik Nannochloropsis sp. Penelitian ini mendapati bahwa mikroalga Nannochloropsis sp. memiliki laju pertumbuhan spesifik dan kepadatan yang cukup baik untuk setiap perlakuan. Laju pertumbuhan spesifik dan kepadatan sel Nannochloropsis sp. dapat dilihat pada Lampiran 5. Grafik kepadatan sel Nannochloropsis sp. dapat dilihat pada Gambar 11. 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

1 6 11

K ep a d a ta n s el ( 1 0 6se l/ m l) Hari

Kontrol Pupuk Tanpa Pupuk


(52)

Sel Nannochloropsis sp. juga memiliki jumlah kepadatan dan laju pertumbuhan spesifik yang berbeda tiap perlakuan. Jumlah kepadatan sel

Nannochloropsis sp. dengan perlakuan limbah logam berat pada awal kultivasi

adalah 1,00×106 sel/mL. Masa puncak populasi sel Nannochloropsis sp. terjadi pada hari ke-8 dengan jumlah sel mencapai 9,28×106 sel/mL. Jumlah kepadatan sel tertinggi terdapat pada perlakuan kontrol, sedangkan jumlah kepadatan sel terendah pada perlakuan tanpa pupuk. Puncak kepadatan populasi

Nannochloropsis sp. untuk perlakuan kontrol teramati pada hari ke-10 dan hari

ke-14, sedangkan untuk perlakuan pupuk pada hari ke-13 dan perlakuan tanpa pupuk pada hari ke-10.

4.2.1. Kepadatan dan Laju Pertumbuhan Spesifik Nannochloropsis sp. dengan Perlakuan Kontrol

Jenis mikroalga ini memiliki laju pertumbuhan yang sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat dari jumlah kepadatan sel yang sangat dominan pada hari ke-10 dan hari ke-14. Jumlah kepadatan sel maksimum pada puncak pertama sebesar 42,50×106 sel/mL, dan diikuti puncak populasi kedua sebesar 41,15×106 sel/mL. Kepadatan optimum kultur Nannochloropsis sp. yang dapat dicapai untuk skala laboratrium adalah 50 - 60×106 sel/mL, skala semi massal 20 - 25×106 sel/mL dan massal 15 - 20×106 sel/mL dengan masa kultur 4-7 hari (Anon et al., 2009).

Gambar 11 juga menggambarkan adanya adaptasi yang baik oleh

Nannochloropsis sp., yang dibuktikan dengan laju pertumbuhan spesifik pada hari

ke-2 yang meningkat signifikan sebesar 2,092. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam waktu kurang dari 24 jam, sel Nannochloropsis sp. mampu menambah jumlah kepadatan selnya sebanyak 2,13×106 sel/mL.


(53)

Dengan demikian, proses ini membuktikan bahwa fase lag berlangsung sangat cepat (kurang dari 24 jam), dan dilanjutkan dengan fase stasioner, yang ditandai pertambahan kepadatan sel kultur secara eksponensial sampai puncak populasi pada hari ke-10. Selanjutnya sel mengalami penurunan jumlah pada hari ke-11 dan dilanjutkan kembali adanya peningkatan jumlah sel pada hari ke-12 sampai hari ke-14. Hal tersebut dapat dikarenakan adanya tambahan nutrisi untuk pertumbuhan Nannochloropsis sp. yang diperoleh dari lisis sel-sel yang telah mati (Annisa, 2005).

Laju pertumbuhan spesifik menurun menjadi -1,160 setelah masa puncak populasi, dengan kepadatan sel kultur 12,90×106 sel/mL. Hal ini diduga nutrisi di dalam media kultur telah banyak dimanfaatkan oleh sel Nannochloropsis sp. sehingga terjadi akumulasi senyawa amonia dalam konsentrasi tinggi dan

menyebabkan kematian pada sel kultur (Fogg, 1965 dalam Panggabean, 2000 dan Suantika, 2009).

4.2.2. Kepadatan dan Laju Pertumbuhan Spesifik Nannochloropsis sp. dengan Perlakuan Pupuk dalam Media Logam Berat

Pertumbuhan Nannochloropsis sp. relatif rendah dan stabil dari hari ke-1 sampai hari ke-4. Hal tersebut diduga karena adanya faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan dari sel Nannochloropsis sp. Faktor-faktor lingkungan tersebut adalah perlakuan parameter media yang disesuaikan dengan keadaan lingkungan penambangan, dimana besarnya salinitas adalah 37 ‰ dan dengan pH relatif asam yaitu 6-7.

Kualitas air tersebut dapat menghambat pertumbuhan sel Nannochloropsis sp., karena mikroalga dapat hidup normal pada salinitas optimum 25-35 ‰, suhu


(54)

optimum 25-32 oC, dan pH optimum berkisar 7-8 (Sylvester et al., 2002). Selain itu, hal ini didukung dengan kondisi media yang relatif asam, sehingga tingkat kelarutan ion-ion logam berat lebih tinggi di dalam media kultur. Dengan

demikian, terdapat banyak akumulasi logam berat di dalam tubuh mikroalga yang menyebabkan pertumbuhan sel terhambat.

Pertumbuhan Nannochloropsis sp. memasuki fase eksponensial pada hari ke-5 sampai hari ke-8, fase tersebut dapat dilihat dari laju pertumbuhan spesifik sel Nannochloropsis sp. dimana pada hari ke-9, nilai laju pertumbuhan spesifik sel menurun menjadi -0,044. Hari berikutnya kepadatan sel relatif konstan, yang diduga karena nutrisi di dalam media mulai berkurang. Selain itu faktor-faktor lingkungan masih sangat rentan terjadi di dalam media kultur, sehingga jumlah kepadatan sel cenderung meningkat walaupun hanya sedikit. Selanjutnya kepadatan sel Nannochloropsis sp. menurun dari hari ke-14 sampai hari ke-15, ditandai dengan jumlah kepadatan sel yang menurun menjadi 8,90×106 dan

8,00×106 sel/mL dan laju pertumbuhan spesifik (negatif), yaitu -0,094 dan -0,494.

4.2.3. Kepadatan dan Laju Pertumbuhan Spesifik Nannochloropsis sp. dengan Perlakuan Tanpa Pupuk dalam Media Logam Berat

Laju pertumbuhan dan kepadatan sel Nannochloropsis sp. cenderung lebih kecil dibandingkan perlakuan yang lain. Kepadatan sel maksimum sel

Nannochloropsis sp. hanya mencapai 1,26×106 sel/mL pada hari ke-10. Jumlah kepadatan sel dari hari pertama kultur relatif menurun. Penurunan jumlah sel dapat disebabkan oleh kurang tersedianya makro dan mikronutrien yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroalga. Laju pertumbuhan mulai menurun pada hari ke-11 dengan kepadatan sel 0,76×106 sel/mL dan laju pertumbuhan


(55)

spesifik -0,507. Selanjutnya kepadatan sel relatif menurun sampai hari ke-15, dengan kepadatan sel 0,43×106 sel/mL.

Keadaan ini juga dihambat oleh adanya faktor lingkungan di media kultur. Salinitas di media kultur mencapai 37 ‰, dan kisaran pH antara 6-7. Hal tersebut juga dapat digambarkan dengan warna media yang relatif tidak berubah dari hari pertama hingga hari terakhir kultur, sehingga jumlah kepadatan sel cenderung menurun.

4.3. Perbandingan Kepadatan sel Mikroalga (Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp.)

Perbandingan jumlah kepadatan sel Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp. memperlihatkan pola pertumbuhan yang berbeda tiap perlakuan. Gambar 12. menunjukkan jumlah kepadatan sel Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp.

Keterangan: PP = menggunakan pupuk; TP= tanpa menggunakan pupuk

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

1 3 5 7 9 11 13 15

K ep a d a ta n ( 1 0 6se l/ m l) Hari

ke-Chlor (Kontrol) Chlor (PP) Chlor (TP)

Nanno (Kontrol) Nanno (PP) Nanno (TP)

Gambar 12. Kepadatan sel Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp. dengan perlakuan kontrol, menggunakan pupuk, dan tanpa pupuk


(56)

Chlorella sp. memiliki jumlah kepadatan sel lebih tinggi dibandingkan Nannochloropsis sp. dengan perlakuan menggunakan pupuk dan tanpa pupuk.

Sebaliknnya, Kepadatan sel Nannochloropsis sp. jauh lebih tinggi dibandingkan

Chlorella sp. dengan perlakuan kontrol.

4.3.1. Kultivasi Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp. pada media Kontrol Kepadatan sel Chlorella sp. relatif lebih stabil dibandingkan

Nannochloropsis sp. Keadaan tersebut dibuktikan dengan jumlah sel yang

cenderung meningkat dari hari ke-1 kultur sampai hari ke-10, dan dilanjutkan dengan penurunan sel yang tidak signifikan. Kapadatan sel Nannochloropsis sp. maksimum terjadi dua kali, yaitu pada hari ke-10 dan ke-14. Jumlah sel

maksimum pada hari ke-10 adalah 42,50×106 sel/mL dan 41,15×106 sel/mL pada hari ke-14. Sel Chlorella sp. mengalami satu kali puncak pertumbuhan populasi, yaitu pada hari ke-10, dan dilanjutkan penurunan jumlah sel sampai hari ke-15, dengan jumlah sel 9,30×106 sel/mL.

Gambar 13. Grafik kepadatan sel Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp. perlakuan kontrol

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

1 3 5 7 9 11 13 15


(57)

Masa fase lag dari Nannochloropsis sp. terjadi kurang dari empat hari, ditandai dengan jumlah sel yang meningkat relatif lebih lambat, dan menunjukkan sel masih mengalami adaptasi terhadap lingkungan kultur media. Sel Chlorella sp. memiliki sifat adaptasi yang sangat baik terhadap lingkungan media kultur. Hal tersebut ditandai dengan penambahan jumlah sel kultur yang meningkat drastis pada hari ke-2, dan ditunjukkan dengan laju pertumbuhan spesifik sebesar 2,751. Kepadatan sel Chlorella sp. meningkat hingga 15 kali lipat dari hari pertama kultur, dengan kepadatan sel mencapai 4,70×106 sel/ ml.

Periode eksponensial untuk sel Nannochloropsis sp. terjadi pada hari ke-4 sampai hari ke-10, ditandai dengan penambahan jumlah sel yang meningkat secara eksponensial dan warna media yang semakin pekat menjadi hijau cerah hingga hari ke-10. Sel Chlorella sp. memasuki tahap eksponensial dari hari ke-2 sampai hari ke-10, yang ditandai dengan pertambahan kepadatan sel dan warna media yang berubah menjadi hijau gelap.

Masa pertumbuhan eksponensial sel Nannochloropsis sp. lebih besar dibandingkan dengan Chlorella sp. Hal tersebut dibuktikan dengan jumlah kepadatan sel Nannochloropsis sp. cenderung lebih besar daripada Chlorella sp. Kepadatan maksimum Nannochloropsis sp. mencapai 42,50×106 sel/mL

sedangkan Chlorella sp. 31,00×106 sel/mL. Peningkatan jumlah sel dalam media diduga karena luas permukaan sel Chlorella sp. yang terlihat melalui mikroskop lebih besar dibandingkan dengan Nannochloropsis sp. Semakin besar luas permukaan sel, maka ruang untuk tumbuh dan berkembang akan semakin kecil, sehingga penambahan kepadatan maksimum sel Nannochloropsis sp. lebih besar dibandingkan Chlorella sp.


(58)

4.3.2. Kultivasi Chlorella sp. dengan Nannochloropsis sp. Menggunakan Pupuk dalam Media Limbah Logam Berat

Kepadatan sel Chlorella sp. cenderung lebih besar dibanding

Nannochloropsis sp. Hal tersebut ditunjukkan dengan kepadatan sel maksimum

sel Chlorella sp. mencapai 16,72×106 sel/mL, sedangkan sel Nannochloropsis sp. 9,30×106 sel/mL. Laju pertumbuhan spesifik Chlorella sp. juga lebih tinggi dibandingkan Nannochloropsis sp., yang dibuktikan dari hari ke-6 memasuki fase eksponensial, laju pertumbuhan Chlorella sp. masih menunjukkan peningkatan dibandingkan sel Nannochloropsis sp.

Fase lag Chlorella sp. dimulai dari hari ke-1 hingga hari ke-5. Kultivasi mulai memasuki fase eksponensial pada hari ke-6 yang ditandai dengan

perubahan laju pertumbuhan spesifik dari 0,189 menjadi 0,468.

Gambar 14. Grafik kepadatan sel Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp. dengan menggunakan pupuk

Berbeda dengan Nannochloropsis sp. yang memiliki adaptasi lebih cepat terhadap lingkungannya. Adaptasi yang baik ini ditandai pada hari ke-5 kultur, sel Nannochloropsis sp. mulai memasuki fase eksponensial, dengan perubahan

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18

1 3 5 7 9 11 13 15


(59)

laju pertumbuhan spesifik menjadi 0,531 dari hari ke-4 yaitu 0,431. Dengan demikian, proses tersebut menegaskan bahwa Nannochloropsis sp. memiliki sifat adaptasi terhadap lingkungan kultur lebih baik daripada Chlorella sp.

Masa eksponensial dapat terjadi apabila ditandai dengan penambahan jumlah sel yang dimulai secara signifikan. Pertambahan jumlah kepadatan sel

Chlorella sp. memasuki periode eksponensial berlangsung dari hari ke-6 sampai

hari ke-10, dengan kepadatan sel meningkat hingga 15,17×106 sel/mL.

Pertumbuhan ini berbeda dengan sel Nannochloropsis sp. yang memasuki periode fase eksponensial dari hari ke-5 hingga hari ke-8, dengan kepadatan sel mencapai 9,28×106 sel/mL.

Fase deklinasi terjadi pada hari ke-11 dari sel Chlorella sp. dan hari ke-9 untuk sel Nannochloropsis sp. Perbedaan pada fase deklinasi dapat disebabkan oleh pemanfaatan nutrisi di dalam media kultur. Sel Nannochloropsis sp. telah memaksimalkan pemanfaatan nutrisi dari pertama kultur hingga hari ke-5, dengan kepadatan sel lebih besar daripada Chlorella sp., sehingga kepadatan sel

cenderung sedikit untuk meningkat pada hari-hari berikutnya.

Sel Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp. mulai mengalami pertumbuhan kembali pada hari ke-12, dengan pemanfaatan lisis sel-sel dari sisa metabolisme yang telah mati. Selanjutnya sel memasuki fase kematian yang ditandai dengan jumlah kepadatan sel menurun dari hari ke-14 sampai ke-15, dengan jumlah kepadatan sel Chlorella sp. turun hingga 15,27×106 sel/mL, dan 8,00×106 sel/mL untuk Nannochloropsis sp.

Pertumbuhan sel di dalam media kultur logam berat sangat dipengaruhi oleh nilai pH. Dapat dilihat perbandingan antara grafik media kontrol dengan


(1)

]

26. Kertas Saring Fiber Glass 25. Asam Sulfat dan Nitrat Pekat

29. Gelas Ukur 28. Oven 27. Tabung Durham


(2)

32. Sel Chlorella sp. (perbesaran 10×) 33. Sel Chlorella sp. (perbesaran 40×) 0,05 mm


(3)

2. Kultur Pendahuluan (4-9 Januari 2011)

1. Kultur Percobaan

(25 Januari - 8 Februari 2011)

4. Kultur Awal di lab. PT. TIMAH (8 - 14 Februari 2011)

3. Kultur Pra Penelitian (3 - 9 Maret 2011)


(4)

8. Bibit Awal Penelitian kiri: Nannochloropsis sp. kanan: Chlorella sp.

7. Media yang telah disterilisasi autoklaf

9. Kultur hari ke-1 media 1500 ml (menggunakan Pupuk 3× ulangan)

kiri: Nannochloropsis sp. tengah: Chlorella sp. kanan: Kontrol logam berat

10. Kultur hari ke-1 media 750 ml (Tanpa Pupuk 3× ulangan)

kiri: Nannochloropsis sp. tengah: Chlorella sp. kanan: Kontrol logam berat

12. Kultur hari ke-3 media 1500 ml 11. Kultur hari ke- 3 media 750 ml

14. Kultur hari ke- 6 media 1500 ml 13. Kultur hari ke- 6 media 750 ml

Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3


(5)

(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pangkalpinang, Bangka Belitung, 9 Juni 1989 dari Ayah Muhammad Amrullah dan Ibu Ulyati. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Tahun 2004 – 2007 Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Pangkalpinang, Bangka Belitung. Tahun 2007 Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru).

Selama mengikuti perkuliahan di Institut Pertanian Bogor, Penulis pernah aktif menjadi Asisten Luar Biasa mata kuliah Iktiologi tahun 2009, Asisten Luar Biasa mata kuliah Biologi Laut tahun 2010, Asisten Luar Biasa mata kuliah Oseanografi Kimia tahun 2010, dan Asisten Lapangan mata kuliah Ekologi Perairan. Selain itu, Penulis juga turut aktif mengikuti beberapa aktivitas dan kompetisi ilmiah, seperti organisasi internal dan eksternal kampus sebagai Wakil Ketua ISBA (Ikatan Mahasiswa Bangka) tahun 2008 - 2009, anggota Divisi Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa Himiteka (Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan) tahun 2008 - 2009, dan Ketua Umum Himiteka tahun 2010 – 2011.

Dalam menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Penulis melaksanakan penelitian dengan judul “Laju Pertumbuhan Mikroalga Penghasil Biofuel Jenis Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp. yang Dikultivasi Menggunakan Air Limbah Hasil Penambangan Timah di Pulau Bangka”.