Latar belakang Tujuan penelitian Lingkungan sosial ekonomi

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Dalam kurun waktu 50 tahun terakhir kondisi ekosistem terumbu karang kita yang rusak meningkat dari 10 menjadi 50 P2O LIPI, 2006. Kondisi ini memaksa kita segera bertindak menjaga ekosistem di sekitar kita. Penentuan kawasan konservasi laut KKL adalah salah satu cara untuk menjaga kelesatarian suatu ekosistem agar tidak musnah. Perencanaan kawasan konservasi yang memerlukan banyak parameter akan memerlukan analisis yang kompleks dan tidak mudah dilakukan. Namun demikian dengan perkembangan Sistem Informasi Geografis SIG dan metode analisis spasial seperti sekarang permasalahan tersebut mendapat jalan keluarnya. Misalnya dengan diperkenalkannya perangkat analisis Cell Based Modelling yang secara khusus dapat membantu dalam perencanaan kawasan konservasi laut secara cepat. Analisis Cell Based Modelling di dalam SIG ini akan sangat membantu para perencana, tenaga teknis, para pengambil kebijakan dalam mendesain, mengelola kawasan konservasi laut seperti yang mereka harapkan. Gugusan pulau Karang Lebar dan Karang Congkak merupakan salah wilayah yang berada Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Kawasan ini merupakan ekosistem terumbu karang yang perlu dilindungi. Sumberdaya terumbu karang dengan berbagai jenisnya perlu mendapatkan perhatian dari seluruh stakeholder. Penelitian ini akan mencoba menetapkan lokasi mana yang layak dijadikan kawasan konservasi laut dengan menggunakan aplikasi SIG dan memperhatikan parameter-parameter lingkungan lainnya. 1

1.2. Tujuan penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji perairan mana dari wilayah gugusan pulau Karang Lebar dan Karang Congkak yang layak menjadi kawasan konservasi laut melalui analisis citra, survei lapangan dengan metode Cell Based Modelling , dan sebagai masukkan kepada stakeholder dalam pengelolaan kawasan konservasi laut. II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kondisi umum lokasi penelitian

Secara geografis, Kepulauan Seribu merupakan gugusan pulau-pulau kecil di perairan laut DKI Jakarta yang terbentang dari Teluk Jakarta di selatan hingga Pulau Sebira di utara yang merupakan pulau terjauh dengan jarak kurang lebih 150 km dari pantai Jakarta Utara. Kepulauan Seribu terletak pada 106 20’00’’ BT hingga 106 57’00’’ BT dan 5 10’00’’ LS hingga 5 57’00’’ LS. Secara administratif, berdasarkan UU Nomor 34 Tahun 1999 dan PP Nomor 55 Tahun 2001 Kepulauan Seribu merupakan Kabupaten Adiministratif yang terdiri dari 110 pulau, dimana hanya 11 pulau di antaranya yang berpenghuni BPS, 2005. 2.1.1 Topografi dan geologi Hampir seluruh pulau pada Kepulauan Seribu mempunyai topografi yang landai kemiringan = 0-5 dengan ketinggian rata-rata 0-2 m di atas permukaan laut. Sebagian besar lahan tertutup oleh terumbu karang yang sedang tumbuh ataupun sudah mati. Terumbu karang yang sudah mati rata-rata berada pada 100 m dari garis pantai. Sebagian besar pulau di Kepulauan Seribu jarang terjadi banjir, tanah bersifat anaerobik, dan ketebalan tanah dibawah top soil adalah 0-4 m. Kawasan Pulau Seribu, mencakup lautan, pulau karang, gugusan karang dan gosong. Secara geologis pulau-pulau di kawasan ini terdiri dari batu-batu kapur karang, pasir dan sedimen yang berasal dari daratan Pulau Jawa dan dari Laut Jawa. Penyebaran ketiga jenis batuan menurut kedalaman laut adalah sebagai berikut Dinas Peternakan, Perikanan, dan Kelautan DKI, 2005 : 3  Batuan kapur karang : 0 - 10 m  Batuan pasir dan karang : 10 - 20 m  Batuan pasir dan sedimen : lebih dari 20 m

2.1.2. Iklim

Iklim di Kawasan Kepulauan Seribu adalah Iklim tropis yang didominasi dua musim, yaitu musim barat dan musim timur. Musim barat berlangsung mulai akhir November sampai akhir bulan Febuari. Pada musim ini angin bertiup kencang disertai arus laut yang kuat bergerak dari barat ke timur disertai hujan yang cukup deras. Akibat arus yang kuat, kejernihan air laut menjadi berkurang. Kecepatan arus dapat mencapai 4-5 knot sedangkan tinggi gelombang mencapai 2 meter. Musim timur berlangsung mulai akhir bulan Mei sampai akhir Agustus. Angin bertiup kencang ke arah barat, demikian juga arus laut yang ada. Hujan jarang turun dan kejernihan laut bertambah. Di antara kedua musim tersebut terdapat musim peralihan. Kondisi laut pada saat itu biasanya berubah-ubah, tetapi relatif tenang LAPI-ITB, 2001. 2.1.3. Kondisi hidro-oseanografi Secara umum kondisi perairan di gugusan pulau-pulau di Kepulauan Seribu memiliki fenomena yang hampir sama, karena terletak pada satu kawasan yang berdekatan. Perairan Kepulauan seribu mempunyai karakteristik pasang surut jenis campuran dominan ganda dengan range pasut sampai 80 cm. Jenis pasut tersebut merupakan tipe umum jenis pasut di Perairan Laut Jawa. Tinggi dan arah panjalaran gelombang laut di Perairan Kepulauan Seribu dipengaruhi oleh angin. Tinggi gelombang sangat bervariasi antara 0,5 -1,5 m. Kecepatan arus di Kepulauan Seribu tergolong lemah, kecuali di daerah antar pulau, akibat masa air melewati bagian yang relatif sempit. Arah arus secara umum dominan dari arah timur laut sampai tenggara. Hal ini menunjukan bahwa pola arus permukaan di perairan tersebut diakibatkan oleh pola angin yang terjadi, sebagaimana sifat fisik arus permukaan di perairan Laut Jawa pada umumnya. Variasi salinitas horizontal maupun vertikal pada perairan Kepulauan Seribu relatif kecil. Salinitas rata-rata berkisar 30 00 - 34 00 . Variasi rata-rata suhu di perairan Kepulauan Seribu berkisar antara 28,5 C – 31 C. Adanya variasi tersebut disebabkan oleh adanya gugusan pulau-pulau yang tentunya mempunyai kedalaman yang bervariasi LAPI-ITB, 2001. Secara umum apabila kedalaman laut semakin kecil maka temperatur air laut pada siang hari akan semakin besar, karena adanya pengaruh penetrasi cahaya matahari. Meskipun demikian mekanisme naik turunnya air pasang surut membuat suhu perairan akan berkisar pada temperatur normal 28 C pada umumnya Wyrtki,1961. 2.2. Konservasi

2.2.1. Sejarah konsevasi

Pada awalnya konservasi dianggap sebagai suatu upaya perlindungan dan pelesatarian yang menutup kemungkinan dilakukannya pemanfaatan sumberdaya alam. Namun demikan bila suatu kawasan itu dilindungi, dirancang dan dikelola secara tepat, dapat memberikan keuntungan yang lestari bagi masyarakat dan sebagai sumber devisa negara. Oleh karena itu konservasi memegang peranan penting dalam pembangunan sosial dan ekonomi di lingkungan pedesaan dan turut menyumbangkan ekonomi pusat perkotaan serta meningkatkan kualitas hidup penghuninya. Strategi konservasi dunia yang disiapkan empat badan konseravsi dunia terkemuka, yaitu Serikat Pelestari Alam IUCN, Dana Marga Satwa Dunia WWF, Organisasi Pangan dan Pertanian PBB FAO serta program lingkungan hidup PBB UNEP yang ditetapkan pada tahun 1981 menyatakan bahwa konservasi sumberdaya alam penting artinya bagi pembangunan berkelanjutan dan dapat dicapai melalui : 1. Menjaga proses penting serta sistem kehidupan yang penting bagi kelangsungan hidup dan pembangunan 2. Melestarikan keanakaragaman plasma nutfah yan penting bagi program budidaya, agar dapat melindungi dan memperbaiki sifat-sifat tanaman dan hewan budidaya. 3. Menjamin kesinambungan pendayagunaan spesies dan ekosistem oleh manusia, yang mendukung kehidupan jutaan penduduk serta dapat menopang sejumlah industri. IUCN Murni, 2000 menyusun strategi konservasi yang disesuaikan dengan alam di Indonesia meliputi : 1. Perlindungan terhadap sistem penyangga kehidupan dengan menjamin terpeliharanya proses ekologi bagi kelangsungan hidup biota dan ekosistemnya. 2. Pengawetan keanekaragaman sumber plasma nutfah, yaitu menjamin terpeliharanya sumber genetik dan ekosistemnya bagi kepentingan umat manusia. 3. Pelestarian didalam cara-cara pemanfaatan baik jenis maupun ekosistemnya yaitu dengan mengatur dan mengendalikan cara pemanfaatan, sehingga diharapkan dapat diperoleh manfaat yang optimum dan berkesinambungan. Menurut UU No. 23 Tahun 1997, konservasi sumberdaya alam adalah pengelolaan sumberdaya alam tak terbaharui untuk menjamin pemanfaatan secara bijaksana dan sumber daya alam yang terbaharui untuk menjamin kesinambungan ketersediaanya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya. Mempertimbangkan bahwa sumberdaya alam harus dikelola dengan sebaik-baiknya dalam upaya memajukan kesejahteraan umum, diterbitkan UU No.4 Tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pembagian kawasan perlindungan perairan di Indonesia ditegaskan pada UU no. 5 Tahun 1990, yang menbagi kawasan konservasi ke dalam : Kawasan Suaka Alam KSA, terdiri dari Cagar Alam dan Suaka Margasatwa Laut ; Kawasan Pelesarian alam KPA yang terdiri dari Taman Nasional Laut dan Taman Wisata Laut. Dalam rencana pengalokasian kawasan konservasi, diperlukan minimal 4 tahapan dalam proses pemilihan lokasi Agardy dalam Bengen, 2002 : 1. Identifikasi habitat atau lingkungan kritis, distribusi ikan ekologis dan ekonomis penting dan dilanjutkan dengan memetakan informasi tersebut dalam menggunakan Sistem Informasi Geografis. 2. Penelitian tingkat pemanfaatan sumberdaya dan identifikasi sumber- sumber degradasi di kawasan. 3. Penentuan lokasi dimana perlu dilakukan konservasi. 4. Pengkajian kelayakan kawasan konservasi prioritas yang dapat dijadikan kawasan konservasi, berdasarkan proses perencanaan lokasi. 2.2.2. Kawasan konservasi laut KKL Kawasan konservasi laut Marine Protected Area, MPA merupakan kawasan laut yang dilindungi yang bertujuan agar ekosistem beserta sumber daya kelautan di kawasan tersebut tidak punah. KKL memiliki dua fungsi utama, yaitu : 1 Melindungi seluruh ekosistem dengan cara mengkonservasi berbagai spesies dan habitat-habitat utama critical habitat seperti daerah pemijahan spawning grounds dan daerah asuhanpembesaran nursery grounds, dan 2 Stok ikan biota laut lainnya dalam KKL dapat berfungsi seperti “tabungan“ bank account atau jaminan yang dapat menyangga fluktuasi dan penurunan populasi yang terjadi di luar KKL akibat kesalahan manajemen maupun fluktuasi alamiah. Penetapan kawasan konservasi laut haruslah diartikan sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan suatu pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan. Salm et al . 2000 mengatakan bahwa pemanfaatan yang berkelanjutan terhadap sumberdaya pesisir mesyaratkan bahwa sebagian wilayah tersebut dipertahankan kondisinya sealamiah mungkin. Penetapan kawasan lindung dimaksudkan untuk mengamankan habitat kritis untuk produksi ikan, melestararikan sumberdaya genetis, menjaga keindahan alam dan warisan alam. Hal ini berarti bahwa pemanfaatan berkelanjutan mengharuskan adanya pemanfaatan yang bijaksana wise use dan pengelolaan yang berhati-hati causiusness terhadap sumber daya dan ekosistemnya sehingga memberikan peluang pemanfaatan oleh masyarakat generasi mendatang. Salm dan Clark 1984 dalam Dinas DKI Jakarta 2005 mengatakan bahwa walaupun saat ini terdapat tuntutan yang makin kuat untuk menunjukkan manfaat sosial ekonomis kawasan lindung laut lebih besar dari pada biaya untuk pembuatan dan pemeliharaannya. Namun hal ini memang tidak mudah. Mereka menyebutkan bahwa adalah sangat sulit untuk menampilkan dalam bentik uang moneter keuntungan kawasan lindung laut dalam hal-hal variable seperti inspirasi, pusaka heritage alam dan budaya, atau masalah kebanggaan lokal, nasional dan bahkan internasional. Hal ini kelihatannya menjadi penyebab masih sedikitnya suatu kajian tentang manfaat kawasan lindung terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat setempat. Walaupun terdapat kendala-kendala didalam menilai keberadaan KKL, tetapi penelitian sumberdaya lingkungan KKL sangat diperlukan dengan semakin meningkatnya pembangunan di berbagai bidang yang dapat mengancam kelestarian sumberdaya alam kealutan. Sumberdaya alam kelautan tidak semuanya dapat dinilai secara moneter. Sumberdaya alam kelautan ini selain mengahasilkan barang dan jasa yang dapat dinilai secara moneter, juga mempunyai atribut yang tidak dapat dinilai secara moneter. Saat ini telah berkembang metoda untuk menilai atribut-atribut sumberdaya alam dan lingkungan yang tidak bisa dinilai secara moneter yang disebut sebagai “non- market valuation” .

2.3. Ekosistem utama wilayah pesisir

Wilayah pesisir adalah suatu daerah pertemuan antara darat dan laut, dimana ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin, sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran Soegiarto, 1976. Ekosistem yang terdapat di wilayah pesisir merupakan suatu himpunan integral dari berbagai komponen hayati atau kumpulan dari organisme hidup dan kondisi fisik dimana ia hidup yang saling berinteraksi . Hubungan saling ketergantungan tersebut terangkai diantara rantai makanan, dimana organisme akan hidup saling tergantung satu dengan yang lain, sehingga bila salah satu komponen organisme terganggu maka akan mempengaruhi keseluruhan sistem yang ada. Jenis-jenis ekosistem yang dapat ditemukan di wilayah pesisir antara lain : ekosistem hutan mangrove, padang lamun, terumbu karang, dune bukit pasir, estuari, laguna, delta, pulau-pilau kecil dan lain-lain DKP, 2002. Kepulauan Seribu memilik ekosistem yang lengkap yaitu ekosistem mangrove, ekositem lamun, dan ekosistem terumbu karang. Sebagaian besar ekosistem pesisir ini di lindungi oleh negara sebagai kawasan lindung, cagar alam, suaka margasatwa, dan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu. Keseluruhan ekosistem yang ada sangat menunjang perekonomian masyarakat lokal, terutama di sektor perikanan, industri, transportasi, pariwisata, perdagangan, dan jasa. 2.3.1. Ekosistem hutan mangrove Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komonitas ini umumnya tumbuh pada daerah intertidal dan supratidal yang cukup mendapat aliran air, terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang keras Bengen, 2002. Mangrove tumbuh pada laguna, rawa, delta dan muara sungai. Mangrove juga tumbuh pada pantai berpasir, pantai yang terdapat terumbu karang dan di sekitar pulau-pulau. Mangrove tidak mampu tumbuh di pantai yang terjal dan berombak besar dengan arus pasang surut yang kuat karena hal ini tidak memungkinkan terjadinya pengendapan lumpur dan pasir, substrat yang diperlukan untuk pertumbuhannya Nontji, 1993. Vegetasi hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi, dengan jumlah jenis sebanyak 202 jenis yang terdiri atas 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 10 jenis liana, 44 jenis epifit dan 1 jenis sikas. Hutan mangrove sering juga disebut hutan bakau walau sebenarnya istilah ini kurang tepat. Hutan bakau di Indonesia pada umumnya didominasi oleh empat famili, yaitu Rhizpphoraceae, Avicenniaceae, Meliaceae dan Sonneratia Bengen, 2002. Sebagai suatu ekosistem yang khas wilayah pesisir, hutan mangrove memiliki fungsi ekologis penting. Pengaruh yang menguntungkan dari hutan mangrove terhadap ekologi laut adalah sebagai dasar dari rantai makanan yang kompleks, tempat memijah, tempat asuh bagi larva berbagai biota, menyaring polusi, menjaga kestabilan dari substrat mangrove dan menjaga pantai dari erosi Riley, 2001. Selain berfungsi sebagai penyaring bahan nutrien dan penghasil bahan organik, mangrove juga berfungsi sebagai daerah penyangga antara daratan dan lautan dan penstabil bagi habitat satwa liar serta sebagai sumber produk perikanan dan sumber fotosintesis yang besar. Mangrove di Kepulauan Seribu tumbuh di daerah pasang surut dengan tanah lumpur berpasir. Walaupun demikian, tidak semua jenis mangrove bisa tumbuh di pulau. Kalaupun ada, tidak tumbuh dominan di Kepulauan Seribu. Penyebabnya adalah kondisi pulau-pulau di Kepulauan Seribu. Walaupun memiliki pantai, pulau-pulau di Kepualuan Seribu tidak memiliki karakteristik sebagai pantai daratan. Tidak semua mangrove bisa tumbuh pada kondisi yang berbeda dengan habitat sesungguhnya dari mangrove tersebut. Kondisi pantai pulau yang miskin hara dan minim lumpur adalah penyebabnya. Mangrove yang mendominasi adalah Rhizophora stylosa. Sedangkan yang lainnya adalah Rhizophora mucronata, Sonneratia alba pedada, Bruguiera exirtata tancang, Avicennia marina api-api, Pemphis acidula dan Ceriop tagal Kepulauan seribu, 2007

2.3.2. Ekosistem padang lamun

Lamun sea grass adalah tumbuhan berbunga yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri untuk hidup terbenam dalam laut. Tumbuhan ini terdiri dari rhizoma , daun dan akar Nontji, 1993. Perairan yang dangkal 2-12 meter dan jenih dengan sirkulasi air yang baik serta iklim yang hangat merupakan salah satu syarat agar lamun berkembang dengan baik. Lamun pada umumnya berupa padang yang luas di dasar laut yang masih bisa dijangkau oleh cahaya matahari yang memadai. Padang lamun dapat membentuk komunitas tunggal terdiri dari satu jenis lamun atau campuran disusun dari dua atau lebih jenis lamun. Lamun hidup di perairan laut dangkal, mulai daerah pasang surut yang dapat terbuka ketika surut terendah sanpai dengan kedalaman 30 meter. Lamun dapat dijumpai baik di perairan pantai pulau-pulau utama maupun rataan terumbu dan gobah pulau-pulau karang. Dasar jenis substrat tempat hidup lamun adalah lumpur, pasir halus, pasir kasar, kerikil, puing karang mati atau campuran dari substrat tersebut Kiswara, 1999. Padang lamun dapat memperlambat gerakan air yang disebabkan oleh arus dan gelombang sehingga menyebabkan perairan sekitarnya menjadi lebih tenang, dengan demikian padang lamun bertindak sebagai perangkap sedimen dan pelindung pantai, pencegah erosi Nontji, 1993. Padang lamun juga berfungsi sebagai produsen detritus dan zat hara, serta sebagai tudung pelindung yang melindungi penghuni padang lamun dari sengatan sinar matahari. Hal ini menarik perhatian beberapa jenis biota laut seperti ikan, penyu, dugong dan berbagai jenis biota lainnya untuk mencari makan, tumbuh besar dan memijah di tempat ini. Padang lamun di Indonesia menyebar di seluruh perairan terutama di perairan yang dangkal dan jernih, yang terdiri dari tujuh marga lamun. Tiga genus dari suku Hydrocaritaceae yaitu Enhalus, Thalassia dan Halophila, sedang empat genus lainnya dari suku Pomagetonaceae yaitu Halodule, Cymodocea, Syringodium dan Thalassodendron Nontji, 1993. Berdasarkan temuan pihak Taman Nasional Kepulauan Seribu, jenis lamun yang ditemukan di kawasan Kepulauan Seribu terdiri dari enam jenis yaitu Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Halodule uninervis, Cymodocea rotundata, Halophila ovalis dan Syringodium isoetifolium Kepulauan seribu, 2007. Padang lamun biasa terdapat pada daerah teratas pasang surut, dibatasi oleh kondisi yang terbuka terhadap kekeringan. Sewaktu surut, biasanya padang lamun tidak sampai mengalami kekeringan karena masih digenangi oleh air laut walaupun terlihat dangkal. Pada waktu pasang, air menutup padang lamun, membentuk daerah yang terendam air pasang.

2.3.3. Ekosistem terumbu karang

Terumbu karang adalah suatu ekosistem di dasar laut tropis yang dibangun terutama oleh biota laut penghasil kapur CaCO 3 khusunya jenis-jenis karang batu dengan tambahan penting dari alga berkapur dan organisme lain penghasil kapur Romimohtarto dan Juwana, 2001 . Organisme penghasil kapur tersebut hewan maupun tumbuhan mengekstrak karbonat dari perairan sekitarnya untuk membangun tulang luar, cangkang, spikula dan elemen kapur lainnya di tubuh mereka Sorokin, 1995. Penampang melintang terumbu karang dapat dilihat pada Gambar 1. Sumber : Veron 2002 Gambar 1. Anatomi hewan karang sumber : Veron, 2002 Terumbu karang merupakan keunikan diantara komunitas lautan, yaitu seluruhnya dibentuk oleh kegiatan biologis Nybakken,1992. Struktur fisik dari terumbu karang diproduksi oleh pertumbuhan dari hewan karang dan alga Weber dan Thurman, 1991. Pertumbuhan yang kontinu mengahasilkan lingkungan tiga dimensi yang menjadi rumah bagi ratusan jenis organisme laut dan memiliki warna yang indah. Ekosistem terumbu karang berada di daerah perairan dangkal di sekitar daratan daerah tropis. Keberadaannya terbatas di perairan hangat dimana suhu rata-ratanya tidak kurang dari 18 o C pada musim dingin. Lamanya proses pembentukkan ekosistem ini dan keberadaanya menjadikan ekosistem terumbu karang dapat dikatakan sebagai salah satu ekosistem tertua di dunia dan komunitas hewan dan tumbuhan yang paling kompleks didunia setara dengan hutan hujan tropis. Setiap terumbu karang memiliki ciri khas tersendiri, tergantung dari bagaimana lokasi dipengaruhi oleh salinitas, suhu, arus, deposit sedimen, dan bentuk dasar bawah laut Wilson dan Wilson, 1985. Menurut bentuk dan letaknya, terumbu dibedakan menjadi empat tipe yaitu : fringing reef, barrier reef, pacth reef dan atol. Kepulauan Seribu berada di pusat kawasan segitiga karang coral trianglie, kawasan dengan kekayaan terumbu karang tertinggi di dunia, termasuk di antaranya Indonesia, Filipina, Papua Nugini , dan Australia Utara. Marga yang banyak ditemukan di kawasan ini antara lain Montipora, Fungia, Seriatopora, Acropora, Porites, Galaxea, Lobophyllia, Pachyseris, Echinopora, dan Hydnophora Estradivari, 2007. Meskipun memiliki kekayaan terumbu karang yang tinggi, kawasan ini mengalami berbagai ancaman setiap harinya.

2.4. Lingkungan sosial ekonomi

Kepulauan Seribu termasuk kedalam Kabupaten Administratif Kepulauan seribu yang tebagi menjadi 2 kecamatan dan 6 kelurahan. Di Kabupaten Kepulauan Seribu kepadatan penduduk pada tahun 2003 tercatat sebesar 2213 jiwakm 2 untuk pulau berpenghuni BPS, 2005. Perhitungan persentasi mata pencaharian masyarakat Kepulauan Seribu di tahun 2002 menunjukkan 69,3 adalah nelayan, 10,4 pedagang, dan sisanya berbagai jenis pekerjaan PNS, pemandu wisata, wirausaha, dan polisi. Masyarakat sangat tergantung pada terumbu karang, terutama nelayan ikan konsumsi palele, pelaku budidaya ikan, nelayan ikan dan karang hias, dan penambang karang. Pemanfaatan sember daya terumbu karang di utara Kepulauan Seibu lebih intensif ketimbang di bagian Selatan. Kondisi perairan yang lebih baik membuat nelayan mendapat tangkapan yang lebih. Nelayan di bagian selatan Kepulauan Seribu lebih memilih menangkap ikan di luar Kepulauan Seribu karena kondisi perairan yang sangat buruk. Sayang karena rendahnya tingkat pendapatan memaksa mereka menangkapan dengan cara yang merusak lingkungan untuk mendapatkan hasil tangkapan lebih Napitupulu et all., 2005. Metode penangkapan ikan sepeti penggunaan sianida, muroami, dan bagan, serta penambangan karang dan pasir yang masih sering dijumpai di Kepulauan Seribu. 2.5. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh tanpa menyentuh objek, daerah, atau fenomena yang dikaji Lillesand dan Kiefer, 1990. Terdapat bebeapa komponen dalam system penginderaan jauh ; 1 Matahari sebagai sumber energi berupa radiasi elektromagnetik. 2 Atmosfer merupakan media lintasan dari energi elektromagnetik. 3 Sensor adalah alat yang mendeteksi radiasi gelombang elektromagnetik dari suatu objek dan mengubahnya kedalam bentuk sinyal yang bisa direkam. 4 Target yaitu objek atau fenomena yang dideteksi oleh sensor. Satelit Formosat-2 dilucurkan pada awal tahun 2005 yang merupakan kerjasama antara Taiwan dan Amerika. Setelit ini merupakan satelit multi spectral pertama kali mempunyai resolusi temporal 1 hari, orbit polar sun-synchronous pada ketinggian 700 km yang memotong garis khatulistiwa ke arah selatan pada waktu tetap yaitu pukul 09.30 waktu setempat serta mempunyai sudut inklinasi 72°. NSPO, 2005. Formosat merupakan satelit resolusi tinggi dimana reolusi spasialnya mencapai 2 m pakromatik dan 8 m multi spectral. Karakteristik panjang gelombang yang dimiliki oleh sensor Formosat-2 diuraikan dalam Tabel 1. Tabel 1 . Karakteristik panjang gelombang sensor satelit FORMOSAT-2 NSPO, 2005. KANAL SPEKTRUM PANJANG GELOMBANG µm RESOLUSI SPASIAL 1 Sinar tampak Merah 0,63 – 0,69 8 m 2 Sinar tampak Hijau 0,52 – 0,60 8 m 3 Sinar tampak Violet-Biru 0,45 – 0,52 8 m 4 Sinar inframerah dekat 0,79 - 0,90 8 m 5 Pankromatik 0.50 – 0.90 2 m Ketika cahaya melakukan penetrasi ke dalam kolom air, intensitasnya akan berkurang secara eksponensial dengan bertambahnya kedalaman. Proses yang dikenal sebagai atenuasi attenuation ini memberikan pengaruh yang besar pada penggunaan data penginderaan jauh dalam lingkungan air. Atenuasi dipengaruhi oleh panjang gelombang dari gelombang elektromagnetik yang digunakan. Pada cahaya tampak, bagian cahaya spektrum merah mempunyai atenuasi lebih besar dibandingkan dengan bagian cahaya spektrum biru yang mempunyai panjang gelombang lebih pendek. Dengan bertambahnya kedalaman, tingkat perbedaan spektral dari habitat akan berkurang Green et al., 2000. Parameter lain yang mempengaruhi kesesuaian kawasan konservasi laut antara lain material dasar perairan. Untuk dapat memetakan dasar perairan dangkal dan terumbu karang dapat digunakan kombinasi tiga kanal sinar tampak yaitu: band 1 0,63 – 0,73 µm, band 2 0,52 – 0,60 µm dan band 3 0,45 – 0,52 µm dari citra satelit FORMOSAT – 2. Perkembangan algoritma ini didasarkan pada Model Pengurangan Eksponensial Standard Exponential Attenuation Model yang merupakan teori dari Lyzenga 1978 dan teori ini merupakan salah satu cara untuk menonjolkan objek dasar perairan Siregar, 1995. Klorofil Chl merupakan parameter yang sering digunakan sebagai indikator penentu kualitas perairan. Hal ini dikarenakan parameter tersebut merupakan parameter yang aktif secara optis dan cukup dapat mewakili kondisi kualitas suatu perairan. Untuk melakukan pengukuran kualitas air, Robinson 1985 membagi perairan menjadi dua kelompok berdasarkan sifat optisnya, yaitu perairan kasus satu dan kasus dua. Perairan kasus satu adalah perairan yang sifat optisnya didominasi oleh fitoplankton. Perairan ini biasanya ditemukan di perairan lepas pantai yang tidak dipengaruhi zona perairan dangkal dan sungai Gaol, 1997. Untuk perairan kasus dua lebih banyak didominasi oleh sedimen teruspensi suspended sediment dan substansi kuning yellow substances. Dalam penginderaan jauh, nilai pantulan yang diterima oleh sensor satelit tidaklah murni berasal dari klorofil-a. Hal ini dikarenakan pantulan gelombang elektromagnetik yang membawa informasi tentang klorofil-a dipengaruhi pula oleh material-material di atmosfer dan konfigurasi permukaan air dimana klorofil- a berada Gaol, 1997.

2.6. Sistem informasi geografis SIG