Klasifikasi Makroalga Nilai Kerapatan, Kerapatan Relatif, dan Frekuensi Kehadiran Makroalga

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Klasifikasi Makroalga

Hasil penelitian yang telah dilakukan pada 3 stasiun di Perairan Pulau Ungge, Kabupaten Tapanuli Tengah didapat 7 spesies makroalga yang tergolong ke dalam 3 kelas, 4 ordo, dan 5 famili, seperti terlihat pada Tabel 4.1. Tabel 4.1. Klasifikasi Makroalga yang Didapatkan pada Setiap Stasiun Penelitian Kelas Ordo Famili Spesies I. Chlorophyceae Caulerpales Caulerpaceae 1. Caulerpa racemosa Udoteaceae 2. Halimeda opuntia 3. Tydemania expeditionis II. Phaeophyceae Fucales Sargassaceae 4. Sargassum crassifolium Dictyotales Dictyotaceae 5. Padina minor 6. Turbinaria ornata III. Rhodophyceae Hypnales Hypneaceae 7. Hypnea choroides Kelas Chlorophyceae dan Phaeophyceae merupakan makroalga yang paling banyak ditemukan, yaitu masing-masing 3 spesies. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, faktor fisik kimia perarairan dari ketiga stasiun tersebut sangat mendukung untuk kehidupan makroalga kelas Chlorophyceae dan Phaeophyceae. Hal ini dapat dilihat dari kondisi lingkungan seperti kedalaman yaitu 1-3 m sehingga cahaya matahari masih dapat menembus ke dasar perairan, kondisi perairan yang masih jernih karena tidak ada aktivitas masyarakat, dan juga kondisi terumbu karang yang masih tergolong baik sehingga memungkinkan makroalga tersebut dapat hidup dan bersimbiosis dengan terumbu karang tersebut. Menurut Ratri 2013 Kelas Chlorophyceae dan Phaeophyceae mudah dijumpai karena jenis makroalga dari kedua kelas ini umumnya tumbuh di area yang lebih dekat dengan daratan dengan kedalaman 1-3 m sehingga mudah untuk berfotosintesis. Akan tetapi ada juga makroalga jenis Phaeophyceae yang hidup sampai di kedalaman 50 m. Kelas yang paling sedikit didapat adalah kelas Rhodophyceae yaitu 1 genus. Rhodophyceae umumnya ditemukan di daerah yang memiliki cahaya yang sedikit dan hidup menempel dan bersembunyi diantara karang yang satu dengan yang lainnya sehingga sulit dijumpai.

4.2 Nilai Kerapatan, Kerapatan Relatif, dan Frekuensi Kehadiran Makroalga

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada masing-masing stasiun penelitian nilai kerapatan ind.m 2 , kerapatan relatif dan fekuensi kehadiran pada setiap stasiun penelitian pada Tabel 4.2 berikut ini : Tabel 4.2 Nilai Kepadatan indm 2 , Kerapatan Relatif , dan Frekuensi Relatif Makroalga pada 3 Stasiun Penelitian No Genus Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 K KR FK K KR FK K KR FK 1. Caulerpa 6,6 37,08 60 3,4 20,99 60 - - - 2. Halimeda 3,4 19,10 40 3 18,52 60 2,2 35,48 40 3. Hypnea 1 5,62 20 - - - - - - 4. Padina 2,2 12,36 40 1,6 9,88 40 1,4 22,58 40 5. Sargassum - - - 6,8 41,98 60 - - - 6. Turbinaria 3,4 19,10 40 1,4 8,69 40 2,6 41,94 40 7. Tydemania 1,2 6,74 20 - - - - - - Jumlah 17,8 100 16,2 100 9,6 100 Dari Tabel 4.2 terlihat bahwa genus yang memiliki nilai K, KR dan FK tertinggi diantara seluruh genus adalah genus Sargassum, dimana genus ini hanya ditemukan pada stasiun 2 yang keberadaannya sebanyak 6,8 indm 2 K, 41,98 KR dan 60 FK. Sargassum hanya ditemukan pada stasiun 2 karena kondisi fisik dan kimia perairan di stasiun ini sangat cocok untuk pertumbuhan jenis makroalga tersebut dan genus Sargassum ini biasanya ditemukan pada kedalaman 1 - 3m dan hidup pada substrat karang dan batuan. Menurut Syafei 1990, adanya jenis makroalga yang mendominan dapat dipengaruhi oleh persaingan antara tumbuhan yang ada. Persaingan antara tumbuhan maksudnya berkaitan dengan mineral yang diperlukan, jika mineral yang dibutuhkan mendukung maka jenis tersebut akan lebih unggul dan lebih banyak ditemukan. Kerapatan, kerapatan relatif, dan frekuensi relatif terendah diantara seluruh genus adalah genus Hypnea yang hanya ditemukan pada stasiun 1 yang keberadaan sebanyak 1 indm 2 K, 5,62 KR, dan 20 KR. Genus Hypnea hanya ditemukan di stasiun 1 dan dengan jumlah yang sangat sedikit hal tersebut dikarenakan kondisi perairan di seluruh stasiun tidak mendukung pertumbuhan jenis makroalga tersebut. Rendahnya beberapa jenis makroalga disebabkan oleh kompleksitas habitat akibat kerusakan substrat yang disebabkan oleh proses sedimentasi di rataan terumbu karang yang berasal dari abrasi daratanhutan pada waktu hujan atau gelombang tinggi dan juga karena pemboman ekosistem laut yang dilakukan oleh manusia. Pada stasiun 1, ditemukan genus yang tidak ditemukan pada stasiun lain yaitu Hypnea, dan Tydemania. Stasiun ini memiliki ekosistem terumbu karang yang paling baik dibandingkan dengan stasiun lainnya. Adanya substrat batuan karang, karang hidup, karang mati dan pasir yang sesuai dengan keberadaan kedua genus makroalga tersebut. Pada stasiun 2, genus yang tidak terdapat pada stasiun yang lain yaitu Sargassum. Menurut Romimohtarto 2009, Sargassum terdapat melimpah mulai dari air surut pada pasut. Alga ini hidup melekat pada batu atau bongkahan karang dan dapat terlepas dari substratnya apabila terjadi ombak besar dan hanyut ke permukaan laut atau terdampar di bagian atas pantai.

4.3 Indeks Keanekaragaman H’ dan Keseragaman Makroalga pada Setiap Stasiun Penelitian