Respirasi R = DO awal - DO akhir botol gelap
Produktivitas kotor P
G
= DO akhir botol terang – DO akhir botol gelap Produktivitas bersih P
N
= Produktivitas kotor P
G
– Respirasi R Konversi
= P
N
×375,36 × 12lama fotosintesis mg Cm3hari
3.6.6 Kandungan Nitrat dan Fosfat
Pengukuran kandungan nitrat dan fosfat dilakukan dengan menggunakan metode spektrofotometer di Balai Teknik Kesehatan Lingkungan Sumatera Utara
BTKL.
Tabel 3.1 Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan Beserta Satuan dan AlatMetode yang digunakan
No Parameter
Satuan AlatMetode
Tempat Pengukuran
1 Suhu
ºC Termometer
In-situ 2
Ph air -
pHmeter In-situ
3 Penetrasi Cahaya
Meter Keping seechi
In-situ 4
Salinitas ‰
Refraktometer In-situ
5 DO
mgL Winkler
In-situ 6
Nitrat air mgL
Spektrofotometer Laboratorium 7
Posfat air mgL
Spektrofotometer Laboratorium
3.7 Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menghitung menghitung kepadatan K, kepadatan relatif KR, frekuensi kehadiran FK,
indeks diversitas Shannon Wiener H’, indeks keseragaman E, indeks similaritas dan korelasi antara faktor fisik kimia perairan dengan keragaman dan
distribusi makroalga.
a. Kerapatan K
Data kerapatan makroalga diperoleh dengan menggunakan rumus Brower dkk 1998, yaitu:
Dimana : K : Kerapatan jenis makroalga kolonim
2
n : Jumlah koloni setiap species Makroalga koloni A : Luas transek m
2
b. Kerapatan Relatif
KR
=
× 100
Apabila KR 10 maka suatu habitat dikatakan cocok dan sesuai bagi perkembangan suatu organisme Barus, 2004.
c. Frekuensi Kehadiran
FK = × 100
Apabila nilai FK : 0 - 25
= kehadiran sangat jarang 25 - 50
= kehadiran jarang 50 - 75
= kehadiran sering 75 - 100
= kehadiran absolut sangat sering Michael, 1994
d. Indeks Diversitas Shannon – Wiener
Indeks keanekaragaman dihitung dengan menggunakan rumus Shannon-Wiener Krebs, 1985.
H’ = - ∑niNlnniN
Dimana : H ′ : Indeks keanekaragaman
ni : Jumlah koloni setiap spesies N : Jumlah koloni seluruh spesies
0 H’ 2,302 = keanekaragaman tinggi
2,302 H’ 6,907 = keanekaragaman sedang
H’ 6,907 = keanekaragaman rendah
e. Indeks Keseragaman
Dimana : E : indeks pemerataan
H’ : indeks keseragaman S : jumlah semua jenis Odum, 1994
f. Indeks Similaritas
IS = × 100
Dimana : IS : indeks similaritas a : jumlah spesies pada lokasi a
b : jumlah spesies pada lokasi b c : jumlah spesies yang sama pada lokasi a dan b
Michael, 1995
g. Analisis Korelasi
Untuk mengetahui hubungan antara faktor-fisik kimia perairan dengan persen tutupan terumbu karang dilakukan uji korelasi dengan metode
komputerisasi SPSS ver. 17.
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Klasifikasi Makroalga
Hasil penelitian yang telah dilakukan pada 3 stasiun di Perairan Pulau Ungge, Kabupaten Tapanuli Tengah didapat 7 spesies makroalga yang tergolong ke
dalam 3 kelas, 4 ordo, dan 5 famili, seperti terlihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1. Klasifikasi Makroalga yang Didapatkan pada Setiap Stasiun Penelitian
Kelas Ordo
Famili Spesies
I. Chlorophyceae Caulerpales
Caulerpaceae 1. Caulerpa racemosa
Udoteaceae 2. Halimeda opuntia
3. Tydemania expeditionis II. Phaeophyceae
Fucales Sargassaceae
4. Sargassum crassifolium Dictyotales
Dictyotaceae 5. Padina minor
6. Turbinaria ornata III. Rhodophyceae
Hypnales Hypneaceae
7. Hypnea choroides
Kelas Chlorophyceae dan Phaeophyceae merupakan makroalga yang paling banyak ditemukan, yaitu masing-masing 3 spesies. Berdasarkan penelitian
yang telah dilakukan, faktor fisik kimia perarairan dari ketiga stasiun tersebut sangat mendukung untuk kehidupan makroalga kelas Chlorophyceae dan
Phaeophyceae. Hal ini dapat dilihat dari kondisi lingkungan seperti kedalaman yaitu 1-3 m sehingga cahaya matahari masih dapat menembus ke dasar perairan,
kondisi perairan yang masih jernih karena tidak ada aktivitas masyarakat, dan juga kondisi terumbu karang yang masih tergolong baik sehingga memungkinkan
makroalga tersebut dapat hidup dan bersimbiosis dengan terumbu karang tersebut. Menurut Ratri 2013 Kelas Chlorophyceae dan Phaeophyceae mudah
dijumpai karena jenis makroalga dari kedua kelas ini umumnya tumbuh di area yang lebih dekat dengan daratan dengan kedalaman 1-3 m sehingga mudah untuk
berfotosintesis. Akan tetapi ada juga makroalga jenis Phaeophyceae yang hidup sampai di kedalaman 50 m.
Kelas yang paling sedikit didapat adalah kelas Rhodophyceae yaitu 1 genus. Rhodophyceae umumnya ditemukan di daerah yang memiliki cahaya yang