IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi stasiun di bagian hulu daerah aliran sungai DAS Ciliwung Stasiun 1 Lampiran 15
Lokasi stasiun 1 adalah Taman R. E. Martadinata Cikamasan , merupakan daerah perairan yang dekat mata air, sungainya jernih dengan kedalaman yang
dangkal, lebar sungai ± 1 m, ukuran bebatuan relatif kecil, banyak sampah anorganik, terdapat tebing bekas longsoran, dan berada di area perkebunan teh.
Stasiun 2 Lampiran 15
Lokasi stasiun 2 adalah Desa Neglasari, merupakan daerah pencampuran masa air yang berasal dari dua sungai yaitu Sungai Cikamasan dengan Sungai
Ciliwung, lebar sungai ± 5 m, sungai cukup dalam dengan arus deras , ukuran bebatuan relatif besar, di bagian kiri dan kanan sungai terdapat pemukiman
penduduk, banyak sampah dan masukan limbah organik lainnya.
Stasiun 3 Lampiran 15
Lokasi stasiun 3 adalah di bawah Jembatan Hankam Desa Jogjogan, merupakan daerah perairan yang dekat dengan persawahan dan pemukiman
penduduk villa -villa , sehingga buangan nutrien dari sawah dan limbah penduduk masuk ke perairan, lebar sungai ± 20 m, sungai cukup dalam dengan arus deras,
berbatu-batu dengan ukuran sedang.
Stasiun 4 Lampiran 15
Lokasi stasiun 4 adalah di bawah Jembatan Nusa Dua, Kampung Muara, Kecamatan Cisarua, merupakan daerah perairan yang dekat dengan daerah
pemukiman penduduk sehingga limbah domestik di lokasi perairan ini tinggi, lebar sungai ± 20 m, sungai cukup dalam dengan arus deras, berbatu-batu dengan
ukuran sedang hingga besar.
Stasiun 5 Lampiran 15
Lokasi stasiu n 5 adalah Bendungan Cibalok, merupakan daerah bendungan perairan, terdapat keramba, ada kegiatan rumah tangga mandi, mencuci, berbatu-
batu dengan ukuran sedang hingga besar, sungainya dalam, lebar sungai ± 40-50 m, di sekitar sungai terdapat hutan bambu dan pemukiman penduduk.
4.2 Ikan beunteur Puntius binotatus C. V. 1842, Famili Cyprinidae
4.2.1 Deskripsi ikan beunteur Puntius binotatus C. V. 1842
Ikan beunteur Gambar 1 memiliki ciri-ciri antara lain kepala simetris, bentuk tubuh pipih dan memanjang dengan perut membundar, tubuh bersisik
sikloid, bentuk ekor cagak, garis rusuk atau Linea lateralis L.1 lengkap dan tidak terputus dari belakang operculum paling luar hingga pertengahan pangkal ekor.
Posisi mulut terminal dan dapat disembulkan, mempunyai dua pasang sungut, dan tidak bergigi. Tubuh berwarna abu-abu keperakan, pada anak ikan terdapat bintik
hitam pada pangkal dasar sirip punggung, dan pada pertengahan batang ekornya. Pada ikan dewasa bintik hitam hanya terdapat pada pertengahan batang ekornya.
Posisi sirip dada terhadap sirip perut adalah abdominal.
Gambar 1. Ikan beunteur Puntius binotatus C. V. 1842.
Sumber www.fishbase.org
Panjang baku ikan beunteur 0,76 panjang total, tinggi badan 0,30 kali panjang baku, panjang kepala 0,30 panjang totalnya dan tinggi batang ekornya
0,15 kali panjang baku. Rumus jari-jari sirip ikan beunteur adalah D IV. 8; P I. 15-17; V I. 8-9;
A III. 5; C 18. Jumlah sisik L.1 berkisar antara 23-27 Lampiran 3.
4.2.2 Distribusi frekuensi ikan beunteur Puntius binotatus
Ikan beunteur yang diamati selama pe nelitian berjumlah 187 ekor , terdiri atas 100 ekor ikan jantan dan 87 ekor ikan betina dengan panjang total berkisar
antara 33 mm sampai 117 mm dan berat total berkisar antara 0,9-27,7 gr. Dari
kisaran panjang total itu didapatkan sembilan kelas ukuran panjang. Ukuran minimum panjang total ikan beunteur terdapat pada ikan jantan seda ngkan untuk
ukuran maksimum panjang total terdapat pada ikan betina . Ikan jantan memiliki kisaran panjang total antara 33–104 mm dan berat total berkisar antara 0,9– 18,43
gr, sedangkan ikan betina panjang totalnya berkisar antara 46–117 mm dengan berat total berkisar antara 1,55–27,7 gr.
Berdasarkan distribusi frekuensi per stasiun, ikan beunteur yang terdapat di Sungai Ciliwung ba gian hulu bervariasi. Ikan beunteur jantan banyak terdapat
pada stasiun 3 sebesar 43 sedangkan ikan betina pada stasiun 4 sebesar 47,13. Frekuensi terendah terdapat pada stasiun 2 untuk ikan jantan sebesar 7 dan ikan
betina pada stasiun 1 sebesar 5,75 Gambar 2; Lampiran 4A.
10 20
30 40
50
1 2
3 4
5 Stasiun
Frekuensi
Jantan Betina
Gambar 2. Distribusi frekuensi ikan beunteur Puntius binotatus jantan dan
betina setiap stasiun. Frekuensi yang berbeda pada setiap stasiun diduga dipengaruhi oleh
kondisi perairan di bagian hulu sungai Ciliwung. Lowe-McConnel 1987 menyatakan bahwa terjadinya fluktuasi kondisi perairan dan adanya migrasi,
mortalitas atau pemijahan menyebabkan fluktuasi pada populasi ikan. Hal lain yang diduga mempenga ruhi perbedaan frekuensi adalah tersedianya makanan
yang cukup. Stasiun 3 dan 4 berada disekitar pemukiman penduduk dan daerah persawahan sehingga diduga adanya limpasan dari sawah dan limbah rumah
tangga dapat menyuburkan perairan sehingga mendorong pertumbuhan plankton
yang diduga menjadi makanan utama ikan beunteur, seperti menurut Roberts 1989 bahwa ikan beunteur memakan zooplankton, larva serangga, dan akar
beberapa jenis tanaman. Distribusi frekuensi berdasarkan kelas ukuran panjang menunjukkan
bahwa ikan beunteur jantan lebih banyak terdapat pada kisaran panjang total 53– 62 mm yaitu sebesar 34 dari seluruh ikan jantan yang diamati, sedangkan
ikan betina banyak terdapat pada kisaran panjang total 63– 72 mm yaitu sebesar 24,14 dari seluruh ikan betina yang diamati Gambar 3; Lampiran 4B.
10 20
30 40
33-42 43-52
53-62 63-72
73-82 83-92 93-102
103-112 113-122 Panjang Total mm
Frekuensi
Jantan Betina
Gambar 3. Distribusi frekuensi ikan beunteur Puntius binotatus jantan dan betina setiap selang panjang.
4.2.3 Hubungan panjang-berat ikan beunteur Puntius binotatus
Hubungan panjang dan berat, ikan beunteur jantan dan betina mempunya i persamaan masing-masing :
W = 0,0002L
2,3941
W = 2 x 10
-5
L
2,9573
Hubungan panjang berat menunjukkan nilai korelasi yang kuat yaitu untuk ikan beunteur jantan sebesar r = 0,9184 dan ikan beunteur betina sebesar
r = 0,9623 Gambar 4. Nilai korelasi yang tinggi tersebut memperlihatkan bahwa panjang total tubuh sangat mempengaruhi berat total tubuh ikan beunteur jantan
dan betina, artinya semakin panjang total tubuh ikan maka akan semakin bertambah berat total tubuhnya.
Panjang total mm Gambar 4. Hubungan panjang-berat ikan beunteur Puntius binotatus.
Analisis uji t untuk b ikan jantan = 2,3941 dan b ikan betina = 2,957 pada taraf 0,05 95 , menunjukkan pola pertumbuhan ikan beunteur jantan bersifat
allometrik negatif b 3 , sedangkan untuk ikan beunteur betina bersifat isometrik b = 3 Lampiran 5.
Menurut Saepudin 1999, ikan beunteur Puntius binotatus di Situ Cigudeg Kabupaten Bogor, Jawa Barat pola pertumbuhannya bersifat isometrik
baik untuk ikan jantan maupun ikan betina. Perbedaan pola pertumbuhan dari satu spesies ikan yang hidup di habitat berbeda menurut Nikolsky 1963
bervariasi tergantung pada kondisi lingkungan organisme tersebut hidup, serta tersedianya makanan yang dapat dimanfaatkan untuk menunjang kelangsungan
hidup dan pertumbuhannya.
4.2.4 Aspek biologi reproduksi 4.2.4.1 Nisbah kelamin
Nisbah kelamin yang dihitung pada lima stasiun menunjukkan nilai yang berfluktuasi Gambar 5. Nisbah kelamin pada stasiun satu, tiga, dan lima lebih
dari satu, berarti jumlah ikan jantan lebih banyak daripada ikan betina. Pada stasiun dua dan stasiun empat nisbah kelamin kurang dari satu yang menunjukkan
terjadinya pergeseran jumlah populasi ikan jantan dan betina yang tertangkap. Berat
total g ram
Jantan n = 100 ekor y = 0.0002x
2.3941
r = 0.9184
3 6
9 12
15 18
21
35 45
55 65
75 85
95 105
Betina n = 87 ekor
5 10
15 20
25 30
45 55
65 75
85 95 105 115
y = 2.10
-5
x
2.9573
r = 0.9623
Hasil uji Chi-square pada taraf nyata 0,05 diperoleh bahwa nisbah kelamin ikan jantan dan betina tiap stasiun adalah tidak seimbang Lampiran 6A.
0.5 1
1.5 2
2.5 3
3.5 4
4.5
1 2
3 4
5 Stasiun
Nisbah Kelamin
Gambar 5. Nisbah kelamin ikan beunteur Puntius binotatus setiap stasiun. Jumlah ikan jantan yang tertangkap selama periode pengamatan adalah
100 ekor dan ikan betina 87 ekor. Nisbah kelamin secara keseluruhan adalah 1,15:1 atau 53,48 ikan jantan dan 46,52 ikan betina. Hasil uji Chi-square
ter hadap nisbah kelamin secara keseluruhan pada taraf nyata 0,05 adalah seimbang Lampiran 6B. Seimbangnya jumlah ikan jantan dan ikan betina yang
tertangkap diduga karena ikan jantan maupun ikan betina berada pada satu area saat memijah sehingga menyebabka n peluang tertangkapnya sama.
Hubungan nisbah kelamin dengan tingkat kematangan gonad TKG berkisar antara 0,50-11,67 Gambar 6. Pada TKG I dan II, nisbah kelaminnya
lebih dari satu yang berarti jumlah ikan jantan lebih banyak daripada ikan betina. Menjelang pemijahan nisbah kelamin TKG III dan IV yang didapat kurang dari
satu dengan jumlah ikan betina lebih banyak daripada ikan jantan. Hasil uji Chi- square pada taraf nyata 0,05 diperoleh bahwa nisbah kelamin ikan jantan dan
betina tiap TKG adalah tidak seimbang Lampiran 6C.
2 4
6 8
10 12
14
I II
III IV
TKG Nisbah Kelamin
Gambar 6. Nisbah kelamin ikan beunteur Puntius binotatus setiap TKG. Nisbah kelamin setiap stasiun berdasarkan TKG III menunjukkan hanya
pada stasiun tiga saja nilai nisbah kelamin yang dihasilkan lebih dari satu, artinya jumlah ikan jantan pada stasiun tiga lebih banyak daripada jumlah ikan betina.
Sedangkan untuk stasiun lainnya nilai nisbah kelamin yang dihasilkan kurang dari satu, dengan jumlah ikan betina lebih banyak daripada ikan jantan Gambar 7.
Hasil uji Chi-square pada taraf nyata 0,05 diperoleh bahwa nisbah kelamin setiap stasiun berdasarkan TKG III adalah seimbang Lampiran 6D.
0.2 0.4
0.6 0.8
1 1.2
1.4
1 2
3 4
5 Stasiun
Nisbah kelamin
TKG III TKG IV
Gambar 7. Nisbah kelamin ikan beunteur Puntius binotatus setiap stasiun berdasarkan TKG III dan IV.
Nisbah kelamin setiap stasiun berdasarkan TKG IV menunjukkan pada stasiun satu dan tiga nilai nisbah kelamin yang dihasilkan lebih dari satu,
sedangkan untuk stasiun dua, empat dan lima nisbah kelamin yang dihasilkan kurang dari satu dengan jumlah ikan betina lebih banyak daripada ikan jantan
Gambar 7. Hasil uji Chi-square pada taraf nyata 0,05 diperoleh bahwa nisbah kelamin setiap stasiun berdasarkan TKG IV adalah seimbang Lampiran 6E.
Seimbangnya jumlah ikan jantan dan betina setiap stasiun berdasarkan TKG III dan IV dapat disimpulkan bahwa satu ekor ikan jantan diduga membuahi
satu ekor ikan betina.
4.2.4.2 Faktor kondisi
Nilai rata-rata faktor kondisi ikan beunteur jantan berkisar 0,87– 1,05 sedangkan untuk ikan betina berkisar 1,40–1,54 Gambar 8; Lampiran 7A. Baik
pada ikan jantan maupun ikan betina, faktor kondisi rata-rata tertinggi terdapat pada stasiun dua. Diduga pada stasiun tersebut ikan beunteur mencapai tingkat
kematangan gonad yang tinggi dan siap memijah. Tingginya persentase ikan mengalami matang gonad menyebabkan nilai faktor kondisi meningkat pula.
Nilai faktor kondisi ikan betina lebih besar dari ikan jantan, diduga karena pengaruh pertumbuhan ovarium terhadap faktor kondisi lebih besar daripada
testes, yang menunjukkan bahwa ikan betina memiliki kondisi yang lebih baik untuk bertahan hidup dan melakukan proses reproduksinya. Pada saat pengamatan
didapatkan ukuran gonad TKG IV ikan betina lebih be sar daripada gonad ikan jantan pada berat tubuh yang sama. Hal ini sesuai dengan pernyataan Lagler
1972 bahwa jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi faktor kondisi selain umur dan musim.
Stasiun Gambar 8. Faktor kondisi rata-rata ikan beunteur Puntius binotatus jantan dan
betina setiap stasiun.
Betina n = 87
0.5 1
1.5 2
1 2
3 4
5 Jantan n = 100
0.2 0.4
0.6 0.8
1 1.2
1.4 1.6
1 2
3 4
5 Faktor kondisi
Nilai faktor kondisi ikan beunteur untuk masing-masing selang panjang Gambar 9 secara umum cenderung berfluktuasi baik pada ikan jantan maupun
ikan betina . Ikan jantan memiliki nilai faktor kondisi antara 0,84–1,37 sedangkan untuk ikan betina berkisar antara 1,39–1,73 Lampiran 7B. Fluktuasi ini diduga
berkaitan dengan aktivitas pemijahan dan adanya perbedaan aktivitas makan pada setiap selang panjang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Lagler 1972 dan
Effendie 1997 bahwa jenis-jenis makanan yang dimakan suatu spesies ikan biasanya bergantung pada kesukaan terhadap jenis makanan tertentu, ukuran dan
umur ikan, musim, serta habitat hidupnya. Faktor kondisi relatif berfluktuasi terhadap ukuran ikan. Ikan yang
berukuran kecil juvenil mempunyai faktor kondisi relatif yang tinggi, kemudian menurun ketika ikan bertambah besar. Hal ini berhubungan dengan perubahan
jenis makanan ketika ikan mengalami pertumbuhan. Pada awal masa pertumbuhan terjadi pembentukan sel dan jaringan pada tubuh ikan yang
membutuhkan banyak energi. Keadaan ini yang mendorong ikan untuk makan sebanyak mungkin, sehingga faktor kondisi meningkat. Menurut Asyarah 2006
ikan beunteur yang berukuran kecil cenderung herbivora, kemudian ketika ikan berukuran sedang cenderung karnivora, dan ketika ikan beunteur dewasa
cenderung omnivora.
Panjang Total mm Gambar 9. Faktor kondisi rata-rata ikan beunteur Puntius binotatus jantan dan
betina setiap selang panjang.
Jantan n = 100
0.5 1
1.5 2
2.5
33-42 43-52 53-62 63-72 73-82 83-92 93-102 103-112113-122
Faktor Kondisi Betina n = 87
0.5 1
1.5 2
33-42 43-52 53-62 63-72 73-82 83-92 93-102 103-112113-122
Berdasarkan tingkat kematangan gonad, nilai faktor kondisi ikan beunteur jantan berkisar 0,92–0,99 dan ikan beunteur betina berkisar 1,41– 1,49 Gambar
10; Lampiran 7C. Nilai faktor kondisi ikan jantan dan betina cenderung meningkat menjela ng pemijahan TKG IV. Diduga dipengaruhi oleh proses
perkembangan gonad yang berjalan dengan baik. Hal ini berkaitan dengan dengan pernyataan Effendie 1997 bahwa tingginya faktor kondisi dapat pula
terjadi pada saat ikan mengisi gonadnya dengan sel kelamin dan akan mencapai puncak sebelum terjadi pemijahan.
TKG Gambar 10. Faktor kondisi rata -rata ikan beunteur Puntius binotatus jantan dan
betina setiap TKG. Berdasarkan waktu pengambilan sample Gambar 11 nilai faktor kondisi
pada ikan jantan berkisar antara 0,80-1,04 dan ikan betina berkisar antara 1,31- 1,61 Lampiran 7D. Nilai faktor kondisi tertinggi terjadi pada akhir bulan Juli
baik untuk ikan jantan 1,04 maupun ikan betina 1,61. Diduga waktu itu merupakan puncak pemijahan sehingga faktor kondisi meningkat.
Jantan n = 100
0.88 0.9
0.92 0.94
0.96 0.98
1
I II
III IV
Faktor Kondisi
Betina n = 87
1.36 1.38
1.4 1.42
1.44 1.46
1.48 1.5
I II
III IV
Waktu pengambilan sample Gambar 11. Faktor kondisi rata-rata ikan beunteur Puntius binotatus jantan dan
betina setiap waktu pengambilan sample Keterangan: 1=Akhir Juni, 2=Awal Juli, 3=Akhir Juli, 4=Awal Agustus.
4.2.4.3 Tingkat kematangan gonad TKG
Ikan beunteur jantan dan betina dengan TKG III dan TKG IV ditemukan hampir disetiap stasiun Gambar 12; Lampiran 8A. Persentase terbesar ikan
beunteur TKG IV terdapat pada stasiun dua baik untuk ikan jantan 100 maupun ikan betina 90. Diduga stasiun dua merupakan tempat memijah yang
ideal karena substrat dasar perairannya berupa pasir be rbatu serta adanya tanaman air dan sampah-sampah yang cocok untuk menempelkan telur. Menurut Axelrod
dan Schultz 1983 serta Effendie 1997 ketika ikan beunteur siap untuk memijah, pasangan tersebut akan menuju suatu tempat, kemudian telur yang
dikeluar kan akan menempel pada tanaman air, substrat, sampah dan lain-lain. Dilihat dari presentase TKG III dan IV pada setiap stasiun, diduga ikan beunteur
sedang melakukan pemijahan pada semua stasiun.
Jantan n = 100
0.2 0.4
0.6 0.8
1 1.2
1.4 1.6
1 2
3 4
Faktor Kondisi Betina n = 87
0.5 1
1.5 2
1 2
3 4
Stasiun Gambar 12. Tingkat kematangan gonad TKG ikan beunteur Puntius binotatus
jantan dan betina setiap stasiun. Persentase tertinggi TKG III ikan jantan terdapat pada selang panjang
103–112 mm 100, sedangkan untuk ikan betina terdapat pada selang panjang 63– 72 mm 66,67. Presentase tertinggi TKG IV ikan jantan terda pat pada
selang panjang 83-92 dan 93-102 mm 100, sedangkan untuk ikan betina terdapat pada selang panjang 113-122 mm 100 Gambar 13; Lampiran 8B.
Ikan beunteur jantan mulai matang gonad pada ukuran 50 mm, sedangkan untuk ikan betina pada ukuran 56 mm. Dengan demikian ikan jantan cenderung
matang gonad pertama kali pada ukuran yang lebih pendek daripada ikan betina. Affandi dan Tang 2002 menyatakan bahwa tiap-tiap spesies ikan pada
waktu pertama kali ma tang gonad tidak sama ukurannya. Demikian juga dengan ikan yang spesiesnya sama. Faktor utama yang mempengaruhi kematangan gonad
ikan antara lain suhu dan makanan selain keberadaan hormon. TKG
Jantan n = 100
20 40
60 80
100
IV III
II I
Betina n = 87
20 40
60 80
100
1 2
3 4
5
IV III
II I
Panjang total mm Gambar 13. Tingkat kematangan gonad TKG ikan beunteur Puntius binotatus
jantan dan betina setiap selang panjang. Berdasarkan waktu pengambilan sample Gambar 14 baik pada ikan
jantan maupun ikan betina, TKG IV ditemukan pada setiap pengambilan sample. Persentase tertinggi TKG IV pada ikan jantan terdapat pada akhir bulan Juni
sebesar 26,7, sedangkan untuk ikan betina terdapat pada akhir bulan Juli sebesar 66,7 Lampiran 8C. Berdasarkan persentase ikan betina yang matang gonad
pada setiap waktu pengambilan sample maka dapat dinyatakan bahwa mulai dari akhir bulan Juni sampai dengan akhir bulan Agustus merupakan musim pemijahan
bagi ikan beunteur, dengan puncak pemijahan terjadi pada akhir bulan Juli. TKG
Jantan n = 100 ekor
20 40
60 80
100
IV III
II I
Betina n = 87 ekor
20 40
60 80
100
33-42 43-52 53-62 63-72 73-82 83-92 93-102 103-112113-122
IV III
II
I
Waktu pengambilan sample Gambar 14. Tingkat kema tangan gonad TKG ikan beunteur Puntius binotatus
jantan dan betina setiap waktu pengambilan sample Keterangan: 1=Akhir Juni, 2=Awal Juli, 3=Akhir Juli, 4=Awal Agustus.
4.2.4.4 Indeks kematangan gonad IKG
Indeks kematangan gonad IKG ikan jantan berkisar antara 1,37-2,54 dan ikan betina berkisar antara 3,60-9,99 Gambar 15; Lampiran 9A. Rata-rata
IKG pada ikan jantan tertinggi pada stasiun dua dan terendah pada stasiun tiga, sedangkan pada ikan betina rata-rata IKG tertinggi pada stasiun satu dan terendah
pada stasiun tiga. TKG
Jantan n = 100
20 40
60 80
100 120
IV III
II I
Betina n = 87
20 40
60 80
100 120
1 2
3 4
IV III
II I
Stasiun Gambar 15. Indeks kematangan gonad rata -rata pada ikan beunteur Puntius
binotatus jantan dan betina setiap stasiun. Dari nilai IKG tersebut diketahui bahwa IKG betina lebih besar dar ipada
IKG ikan jantan, diduga karena pertumbuhan ikan betina lebih tertuju pada pertumbuhan gonad, akibatnya berat ovarium menjadi lebih besar dib andingkan
berat testes, pada ukuran berat tubuh ikan yang sama. Sehingga dapat dikatakan bahwa pengaruh perkembangan gonad terhadap berat tubuh pada ikan betina lebih
signifikan dibandingkan pada ikan jantan. Berdasarkan TKG Gambar 16, rata-rata IKG ikan jantan dan betina
menunjukkan peningkatan seiring dengan perkembangan gonad. Pada ikan jantan maupun ikan betina nilai IKG mencapai puncak pada TKG IV, dengan nilai IKG
rata-rata pada ikan jantan 2,49 dan ikan betina 8,84 Lampiran 9B. Effendie 1997 mengungkapkan bahwa berat gonad akan mencapai
maksimum saat akan memijah. Nilai tersebut kemudian menurun dengan cepat selama pemijahan berlangsung sampai pemijahan selesai. TKG IV merupakan
puncak perkembangan gonad sehingga berat gonad mencapai maksimum dan ini mengakibatkan nilai IKG menjadi maksimum.
Betina n = 87
5 10
15 20
1 2
3 4
5 Jantan n = 100
0.5 1
1.5 2
2.5 3
3.5
1 2
3 4
5 IKG
TKG Gambar 16. Indeks kematangan gonad rata-rata pada ikan beunteur Puntius
binotatus jantan dan betina setiap TKG. Indeks kematangan gonad IKG berdasarkan waktu pengambilan sample,
memiliki nilai yang menurun untuk ikan jantan dan berfluktuasi untuk ikan betina Gambar 17; Lampiran 9C. Nilai IKG pada ikan jantan berkisar antara 1,49-
2,19 dan ikan betina berkisar 6,37-7,69. Rata -rata IKG pada ikan jantan tertinggi pada akhir bulan Juni dan terendah pada akhir bulan Agustus , sedangkan
untuk ikan betina rata-rata IKG tertinggi pada akhir bulan Juli dan terendah pa da akhir bulan Agustus .
Waktu pengambilan sample Gambar 17. Indeks kematangan gonad IK G rata-rata pada ikan beunteur
Puntius binotatus jantan dan betina setiap waktu pengambilan sample Keterangan: 1=Akhir Juni, 2=Awal Juli, 3=Akhir Juli,
4=Awal Agustus.
4.2.4.5 Fekunditas
Fekunditas ikan beunteur dihitung dari 80 ekor yang terdiri dari 40 ekor ikan TKG III dan 40 ekor ikan TKG IV. Fekunditas berkisar antara 168-10.858
Betina n = 87
2 4
6 8
10 12
1 2
3 4
Jantan n = 100
0.5 1
1.5 2
2.5 3
1 2
3 4
IKG Jantan n = 100
0.5 1
1.5 2
2.5 3
I II
III IV
IKG Betina n = 87
2 4
6 8
10
I II
III IV
butir. Fekunditas maksimum dijumpai pada ukuran panjang total 107 mm dengan berat tubuh 17,93 gr dan berat gonad 0,29 gr, sedangkan fekunditas terendah
ditemukan pada ukuran panjang total 52 mm dengan berat tubuh 2,41 gr dan berat gonad 0,03 Gambar 18; Lampiran 10. Rata-rata fekunditas ikan beunteur
sebesar 2588 butir. Nilai tersebut menyatakan bahwa ikan beunteur di bagian hulu DAS Ciliwung memiliki fekunditas yang lebih tinggi dibandingkan
fekunditas ikan beunteur di Situ Cigudeg. Menurut Saepudin 1999 ikan beunteur di Situ Cigudeg dengan ukuran panjang antara 47-97 mm da n berat
antara 1,5-10,7 gr memiliki fekunditas antara 901-7.957 butir. Perbedaan ini diduga berkaitan dengan kondisi lingkungan perairan dan ketersediaan makanan.
Dalam Effendie 1997 dijelas kan bahwa fekunditas suatu spesies ikan berkaitan erat dengan lingkungannya. Fekunditas dari suatu spesies ikan akan berubah bila
keadaan lingkungan berubah. Perubahan ini berkaitan dengan kelimpahan makanan dan kepadatan populasi ikan dalam lingkungan tersebut Wootton, 1979
dan Effendie, 1997. Hubungan fekunditas dengan panjang total mm mempunyai nilai korelasi
sebesar r = 0,75, yang menunjukkan bahwa hubungan antara fekunditas dengan panjang total adalah erat. Dari Gambar 18, terlihat bahwa dengan bertambahnya
panjang total maka fekunditasnya juga akan meningkat. Hubungan fekunditas dengan panjang total ikan beunteur menghasilkan persamaan : F = 6.10
-5
L
3.9158
.
Gambar 18. Hubungan fekunditas dengan panjang total ikan beunteur Puntius binotatus.
2000 4000
6000 8000
10000 12000
50 60
70 80
90 100
110 120
130 Panjang Total mm
Fekunditas
F = 6.10
-5
L
3.91 58
r = 0.75
4.2.4.6 Diameter telur
Ikan beunteur mempunyai sebaran diameter telur antara 300–900 µ m TKG III dan IV. Jumlah ikan yang diamati sebaran diameter telurnya pada TKG
III 40 ekor dan TKG IV 40 ekor. Sebaran diameter telur pada TKG III berkisar antara 300–850 µm, dan terbanyak pada selang 525-599 µ m 43,23. Pada TKG
IV, diameter telur berkisar antara 410–900 µ m dan terbanyak pada selang 600– 674 µm 51,03 Gambar 19; Lampiran 11.
Dari sebaran diameter telur TKG IV, diperoleh modus penyebaran dengan satu puncak. Ini menunjukkan bahwa ikan beunteur tergolong kelompok ikan
yang memijah dengan mengeluarkan telur sekaligus total spawner. Biasanya ikan yang tergolong dalam kelompok ini memiliki ukuran diameter telur yang
kecil, fekunditas yang besar dan musim pemijahan yang tetap Lowe-McConnell, 1987.
Selang diameter telur µm Gambar 19. Sebaran diameter telur ikan beunteur Puntius binotatus TKG III-IV
Frekuensi TKG III n = 40 ekor
10 20
30 40
50
TKG IV n = 40 ekor
10 20
30 40
50 60
300-374375-449450-524525-599600-674675-749750-824825-900
4.3 Kualitas perairan di bagian hulu DAS Ciliwung
Parameter fisikan dan kimia di bagian hulu DAS Ciliwung Tabel 3; Lampiran 12 menunjukkan bahwa suhu perairan pada saat pengamatan berkisar
antara 19-22,5°C. Pengukuran suhu pada setiap stasiun tidak menunjukkan fluktuasi yang besar. Kisaran suhu tersebut semakin ke hilir semakin tinggi, Hal
ini diduga karena adanya perbedaan ketinggian lokasi stasiun pengamatan. Stasiun 1 merupakan daerah yang banyak ditumbuhi pohon-pohon sehingga penetrasi
cahaya matahari terhalang. Semakin ke arah hilir, lebar sungai semakin membesar dan daerahnya terbuka, tidak ada yang menghalangi penetrasi cahaya
matahari ke dalam perairan. Lebar sungai tiap stasiun berturut-turut sebesar 1,65 m, 3,33 m, 20,61 m, 22,07 m dan 43,29 m. Sehingga semakin kearah hilir,
semakin besar pula daerah yang terkena cahaya matahari. Hal ini menyebabkan semakin kearah hilir suhu perairan semakin meningkat.
Tabel 3. Kualitas air sungai Ciliwung bagian hulu
Stasiun pengamatan Parameter
Satuan St. 1
St. 2 St. 3
St. 4 St. 5
Baku Mutu
Fisika Suhu
°C 19-20
20-22 20-21.5
21-22.5 21-22.5
- Kecerahan
100 100
100 96-100
56.7-83.3 -
Kekeruhan NTU
3,047-15,933 0,797-8,890
4,463-9,767 2,690-9,557
8,897-22,267 -
Arus mdtk
0,547-0,675 0,601-0,976
0,696-1,162 0,610-1,123
1,219-1,784 -
Kedalaman cm
5-11,67 16,67-38,33
35-40 40-56,67
63,33-68,33 -
TSS mgl
3-42 2-180
4-21 7-17
10-35 400
Kimia pH
- 7
6,5-7,5 7-7,5
7-8 7-8
6 - 9 DO
mgl 5,710-7,436
5,710-7,635 5,909-7,569
6,307-8,166 6,374-8,100
3 BOD
5
mgl 2,921-6,838
1,062-5,577 0,398-6,440
0,465-4,249 0,332-3,386
6 N-Nitrat
mgl 0,468-1,482
0,279-2,137 0.344-1,270
0,457-1,457 0,286-1,713
20 N-Nitrit
mgl 0,090-0,110
0,048-0,358 0,034-0,117
0,022-0,060 0,022-0,039
0.06 N-Amonia
mgl 0,112-1,838
0,069-1,929 0,063-1,878
0,120-1,819 0,080-1,749
- Orthofosfat
mgl 0,00-0,145
0,001-0,377 0,003-0,371
0,00-0,438 0,022-0,208
1
Nilai kecerahan yang diperoleh selama pengamatan berkisar antara 56,7-100. Semakin ke hilir semakin banyak masukan bahan organik dan limbah
rumah tangga, sehingga dengan bertambahnya kedalaman perairan maka penetrasi cahaya matahari kedalam perairan semakin terbatas.
Kekeruhan di daerah hulu sungai Ciliwung berkisar antara 0,797-22,267 NTU. Berdasarkan Tabel 3, terjadi penurunan nilai kekeruhan di stasiun 2. Hal
ini diduga oleh substrat yang berbatu dan dangkal. Seda ngkan tingginya nilai kekeruhan di Stasiun 1, di duga karena Stasiun 1 berada di sekitar perkebunan teh.
Limpasan tanah yang disebabkan oleh gerusan arus akan menambah kekeruhan perairan. Nilai kekeruhan tertinggi terdapat di Stasiun 5. Hal ini diduga karena
lokasi Stasiun 5 yang berada di daerah bendungan Bendungan Cibalok dan terdapat beberapa keramba ikan milik masyarakat yang memungkinkan adanya
masukan bahan-bahan tersuspensi yang terakumulasi dan adanya pengaruh arus yang mengakibatkan proses pengadukan sehingga kekeruhan menjadi tinggi.
Nilai kekeruhan yang tinggi mengakibatkan berkurangnya penetrasi cahaya kedalam perairan sehingga akan menghambat laju fotosintesis oleh fitoplankton.
Arus sungai di perairan hulu Sungai Ciliwung secara umum bersifat turbulen, yaitu bergerak ke segala arah sehingga air akan terdistribusi ke seluruh
bagian perairan tersebut. Pada alur sungai yang lurus arus air biasanya lebih deras pada bagian tengah daripada bagian tepi. Kecepatan arus yang berbeda-beda akan
berpengaruh terhadap tipe substrat perairan. Kecepatan arus sungai di bagian hulu Sungai Ciliwung selama pengamatan berkisar antara 0,547-1,784 mdtk. Semakin
menuju daerah hilir, nilai arus cenderung semakin meningkat. Hal ini diduga sema kin ke arah hilir, derajat kemiringan sungai cenderung semakin curam
sehingga mempengaruhi kecepatan arus. Nilai TSS perairan selama pengamatan di bagian hulu daerah aliran Sungai
Ciliwung berkisar antara 2-42 mgl. Berdasarkan Tabel 3, nilai TSS tertinggi terdapat di Stasiun 5. Hal ini diduga karena lokasi Stasiun 5 yang berada di
sekitar pemukiman yang akan menghasilkan limbah rumah tangga. Di Stasiun 5 juga terdapat keramba ikan milik masyarakat dan adanya bendungan yang akan
menyebabkan terakumulasinya bahan-bahan tersuspensi. Tingginya nilai TSS di Stasiun 1 diduga karena memiliki substrat pasir berlumpur dan adanya kikisan
tanah atau erosi tanah dari perkebunan teh yang terbawa ke badan air. Hasil pengukuran derajat keasaman pH di bagian hulu daerah aliran
Sungai Ciliwung selama pengamatan berkisar antara 6,5-8,0. Dari Tabel 3 dapat dilihat nilai rata -rata pH selama pengamatan tidak menunjukkan perbedaan yang
cukup besar. Kisaran nilai pH tersebut masih dapat ditolerir bagi pertumbuhan organisme perairan terutama plankton. Menurut Novotny dan Olem 1994,
sebagian besar biota akuatik lebih senang pada pH mendekati netral, tetapi masih dapat bertahan pada kisaran pH 6,0-8,5. Dengan demikian pH di perairan hulu
DAS Ciliwung masih mendukung kehidupan ikan. Kandungan oksigen terlarut DO di perairan bagian hulu DAS Ciliwung
berkisar antara 5,710-8,166 mgl. Nilai oksigen terlarut ini masih tergolong baik bagi kehidupan ikan dan organisme air lainnya, hal ini seperti yang diungkapkan
oleh Effendi 2003 bahwa kandungan oksigen terlarut minimum agar dapat mendukung kehidupan ikan pada semua stadia hidupnya adalah sebesar 5 mgl.
BOD
5
di daerah aliran Sungai Ciliwung selama pengamatan berkisar antara 0,332-6,838 mg. Pada Tabel 3 terlihat nilai BOD
5
dari hulu ke arah hilir mengalami penurunan. Nilai BOD
5
terbesar terdapat di Stasiun 1 dan BOD
5
terendah terdapat di Stasiun 5. Tingginya nilai BOD
5
di Stasiun 1, diduga karena adanya masukan bahan organik yang berasal dari perkebunan teh di sekitarnya.
Limpasan tanah yang mengandung bahan organik tersebut akan masuk ke perairan, sehingga bahan organik di perairan meningkat. Berdasarkan klasifikasi
kualitas perairan mengalir Lee et al. ,1978 in Rostalina, 1994, kisaran nilai BOD di perairan bagian hulu DAS Ciliwung menunjukkan perairan dalam kriteria tidak
tercemar sampai tercemar sedang. Hasil pengukuran kandungan NO
3
-N di daerah aliran Sungai Ciliwung selama pengamatan berkisar antara 0,279-2,137 mgl. Berdasarkan Tabel 3, nilai
NO
3
-N tertinggi terdapat di Stasiun 2. Hal ini diduga karena Stasiun 2 yang berada di sekitar pemukiman masyarakat, sehingga limbah buangan rumah tangga
yang dihasilkan akan masuk ke perairan. Nilai NO
3
-N di Stasiun 1 lebih tinggi dibandingkan nilai NO
3
-N di Stasiun 3, 4 dan 5, diduga letak Stasiun 1 yang berada di sekitar daerah perkebunan teh yang menghasilkan limpasan bahan-
bahan organik yang masuk ke dalam perairan. Kandungan NO
2
-N di daerah aliran Sungai Ciliwung selama pengamatan berkisar antara 0,022-0,358 mgl.
Berdasarkan Tabel 3, nilai kandungan NO
2
-N tertinggi terdapat pada Stasiun 2. NO
2
-N merupakan bentuk peralihan antara amonia dan nitrat, bersifat tidak stabil dengan keberadaan oksigen sehingga di perairan biasanya NO
2
-N lebih sedikit
daripada NO
3
-N Effendi, 2003. Kandungan NH
3
-N di daerah aliran Sungai Ciliwung selama pengamatan berkisar antara 0,063-1,929 mgl. Nilai kandungan
NH
3
-N di setiap stasiun dapat dilihat pada Tabel 3. Nilai rata -rata kandungan NH
3
-N di setiap stasiun selama pengamatan termasuk tinggi. Amonia di perairan berasal dekomposisi bahan organik melalui proses amonifikasi. Kadar amonia
yang tinggi dapat merupakan indikasi adanya pencemaran bahan organik yang berasal dari limbah domestik, industri dan limpasan pupuk pertanian Effendi,
2003. Hasil pengukuran kandungan ortofosfat di daerah aliran Sungai Ciliwung
selama pengamatan berkisar antara 0-0,438 mgl. Nilai kandungan ortofosfat tertinggi di Stasiun 4 dan nilai terendah di Stasiun 1. Tingginya nilai kandungan
ortofosfat di Stasiun 4 diduga karena lokasi 4 yang berada di sekitar pemukiman penduduk dan daerah persawahan. Sumber fosfor berasal dari dekomposisi
bahan organik. Sumber antropogenik fosfor adalah limbah industri dan rumah tangga, yakni fosfor yang berasal dari deterjen. Limpasan dari daerah pertanian
yang menggunakan pupuk juga memberikan masukan yang cukup besar bagi keberadaan fosfor Effendi, 2003.
4.4 Alternatif pengelolaan