Evaluasi perumahan sehat dan berwawasan lingkungan di Hulu Daerah Aliran Sungai Ciliwung Jawa Barat

(1)

DI H

HULU DA

SE

INS

AERAH A

JAW

DW

EKOLAH

STITUT P

ALIRAN S

WA BARA

WI ARYAN

H PASCAS

ERTANIA

BOGOR

2009

SUNGAI C

AT

NTI

SARJANA

AN BOGO

CILIWUN

A

OR


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Evaluasi Perumahan Sehat dan Berwawasan Lingkungan di Hulu Daerah Aliran Sungai Ciliwung, Jawa Barat adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip baik dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

 

Bogor, Agustus 2009 Dwi Aryanti A352050031  

                         


(3)

the upper stream of Ciliwung river basin, West Java. Under supervision of HADI SUSILOARIFIN, NURHAYATI H.S. ARIFIN and ARIS MUNANDAR.

This research was held in the upper-stream of Ciliwung Watershed on March to September 2007. The research site was divided into 3 zones, i.e. the upper-part, the middle-part and the lower-part with village samples in Tugu Utara, Cilember, and Katulampa respectively. The objectives of this research were (1) to evaluate land suitability for housing, (2) to analyze housing condition, (3) to analyze community behavior in environmental management, and (4) to draft recommendation for the development of environmental friendly housing. Land evaluation for housing was performed using the spatial analysis method by Geographical Information System (GIS). Some land characteristics of slope steepness, erosion hazard and existing land utilization were used as evaluation attributes. As a results, it’s indicated very suitable class (S-1) 51 ha (3.8%) in the upper-part, 28 ha (9.4%) in the middle-part, and 183.3 ha (61.2%) in the lower-part. Those S-1 areas are lower than the existing housing area (2003), except in the lower-part. Housing characteristic in he upper-part and the middle-part are almost similar, i.e. informal (kampong type), small to medium size, dense, and linear. On the other side, in the lower-part was indicated there are two types (formal and informal), large size, dense, and linear. Regarding waste management behavior of community in the recommendation upper-part and the middle-part are similar. They used public toilet without septic tank; domestic garbage was through out into river directly; drinking water source from spring. Most the lower-part community used private toilet; garbage is managed by public work agency; and water source from local drinking water company (PDAM). The land suitability for housing is very limited, therefore the development of housing should be strictly controlled. Approach to the community to increase their environmental awareness and the provision of public facilities are necessary to create better and sustainable environment.

 

Key words: watershed, land suitability, settlement, housing, environmental awareness.


(4)

DWI ARYANTI. Evaluasi Perumahan Sehat dan Berwawasan Lingkungan di Hulu Daerah Aliran Sungai Ciliwung, Jawa Barat. Dibimbing oleh HADI SUSILO ARIFIN, NURHAYATI HS. ARIFIN dan ARIS MUNANDAR.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret hingga September 2007 di Hulu Daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung, berada di wilayah Kabupaten Bogor dan sebagian Kota Bogor di ketinggian 300 m sampai >1000 m dpl. DAS Ciliwung Hulu merupakan daerah konservasi dan hutan lindung yang harus tetap dijaga kelestariannya. Pertumbuhan jumlah penduduk di DAS Ciliwung Hulu di ikuti dengan kebutuhan akan lahan perumahan. Hal ini menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan dari lahan pertanian ke lahan perumahan. Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau hunian yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana lingkungan untuk menunjang kehidupan. Perumahan sehat merupakan konsep dari perumahan sebagai faktor yang dapat meningkatkan standar kesehatan penghuninya yang pendekatannya berorientasi pada kualitas lahan, lokasi bangunan, dan kualitas lingkungan. Oleh karena itu, pengembangan lahan perumahan harus memperhatikan kesesuaian lahan agar fungsi DAS bagian hulu sebagai kawasan konservasi tanah dan air tetap terjaga.

Tujuan penelitian ini adalah (1) mengevaluasi kesesuaian lahan perumahan, (2) menganalisis kondisi perumahan di DAS Ciliwung Hulu, (3) menganalisis perilaku masyarakat dalam mengelola lingkungan perumahan, dan (4) menyusun rekomendasi pengembangan perumahan sehat dan berwawasan lingkungan di Hulu DAS Ciliwung.

Penelitian dilakukan di tiga desa, yaitu Desa Tugu Utara (Hulu bagian atas) berada pada ketinggian 1000-1050 m dpl, Desa Cilember (Hulu bagian tengah) berada pada ketingian 650-850 m dpl, dan Kelurahan Katulampa (Hulu bagian bawah) berada pada ketinggian 300-370 m dpl.

Evaluasi Kesesuaian lahan perumahan menggunakan metode analisis spasial dengan teknik tumpang tindih (overlay) terhadap tiga karakteristik lahan, yaitu kemiringan lereng, bahaya longsor, dan penggunaan lahan (Hardjowigeno, dan Zee, 1990). Ketiga karakteristik tersebut digunakan untuk mengklasifikasikan lahan perumahan dan mendapatkan faktor pembatas untuk pengembangan lahan perumahan. Hasil evaluasi lahan di Desa Tugu Utara, yaitu S1 seluas 51 ha (3,8%), S2 seluas 44,7 ha (3,3%), S3 seluas 695,2 ha (51,9%), dan N seluas 548.5 ha (41%). Desa Cilember memiliki kelas S1 seluas 28 ha (9,4%), S2 seluas 35,2 ha (11,9%), S3 seluas 216,8 ha (73,1%), dan N seluas 16,7 ha (41%). Kelurahan Katulampa memiliki kelas S1 seluas 183,3 ha (61,2%), S2 seluas 25,1 ha (8,4%), dan S3 seluas 91,3 ha (30,5%).

Analisis kondisi perumahan dilakukan dengan survei lapangan, wawancara, dan studi pustaka.   Data yang dikumpulkan berupa data kependudukan (jumlah penduduk dalam kampung dan jumlah penghuni/KK), konstruksi bangunan rumah (jenis konstruksi bangunan, elemen ruang, luas bangunan, dan bahan bangunan), ukuran perumahan berdasarkan jumlah rumah dan penduduk, kepadatan bangunan rumah berdasarkan jarak antar rumah, dan tipe perumahan dilihat dari susunan


(5)

penyediaan dan pemanfaatan prasarana seperti air bersih, sanitasi dan pengelolaan sampah.

Letak sampel di Hulu bagian atas terletak di Kampung Neglasari termasuk dalam kelas kesesuaian S1 untuk lahan perumahan, Kampung Pondok Caringin termasuk dalam kelas kesesuaian S2 dengan faktor pembatas kemiringan lereng dan longsor. Lokasi sampel di Hulu bagian tengah terletak di Kampung Cilember Abuya termasuk dalam kelas kesesuaian S2 dan S3 dengan faktor pembatas bahaya longsor dan penggunaan lahan, Kampung Cirangrang termasuk dalam kelas kesesuaian lahan S1, sedangkan letak sampel di Hulu bagian bawah terletak di Kelurahan Katulampa (RW VIII) termasuk dalam kelas kesesuaian S3 dengan faktor pembatas penggunaan lahan. Untuk pembatasan pertumbuhan perumahan di wilayah yang tidak sesuai dapat dilakukan dengan mensosialisasikan sistem disinsentif yaitu berupa sanksi seperti jika pada masyarakat berupa pembongkaran bangunan atau sanksi pada pejabat yang menerbitkan perizinan pemanfaatan ruang yang tidak sesuai. Perumahan di Hulu bagian atas dan Hulu bagian tengah memiliki karakter perumahan ukuran kecil-sedang (100%), sedangkan Hulu bagian bawah memiliki karakter perumahan besar (100%), karakteristik perumahan informal terdapat di Desa Tugu Utara dan Desa Cilember sedangkan karakteristik perumahan informal dan formal terdapat di Kelurahan Katulampa, kepadatan bangunan padat, dan termasuk tipe linier dan streetplan.

Perilaku sebagian besar masyarakat dalam pengelolaan lingkungan perumahan adalah (1) di Hulu bagian atas hingga Hulu bagian bawah dalam pengelolaan sampah masih bersifat individual dengan cara dibakar di pekarangan rumah dan dibuang ke selokan atau sungai; (2) sebagian besar masyarakat di Hulu bagian atas dan tengah menggunakan air bersih untuk keperluan minum dan MCK yang berasal dari mata air dan sungai, di Hulu bagian bawah menggunakan air bersih yang berasal dari sumur gali dan PDAM, dan (3) masyarakat di Hulu bagian atas, Hulu bagian tengah dan Hulu bagian bawah sebagian besar membuang limbah cair yang berasal dari kamar mandi ke saluran lingkungan dan sungai terdekat. Secara umum, perilaku masyarakat di DAS Ciliwung Hulu masih perlu diberikan penyuluhan untuk berperilaku menjaga lingkungan tetap sehat.

Rekomendasi disusun berdasarkan pada hasil evaluasi dan analisis yang telah dilakukan sebelumnya, yaitu kesesuaian lahan perumahan, kondisi perumahan, dan perilaku masyarakat dalam pengelolaan lingkungan perumahan. Rekomendasi yang di usulkan yaitu: (1) Pengembangan lahan perumahan dapat dilakukan pada lahan sangat sesuai untuk perumahan (S1); namun luas lahan ini sangat terbatas, sehingga pengembangan lahan perumahan perlu pengawasan yang ketat. (2) Pada lahan perumahan existing (khususnya pada lahan yang kurang dan tidak sesuai) perlu dilakukan upaya pencegahan bencana (seperti pembangunan penahan longsor dan diperlukannya sistim intensif dan disintensif. (3) kriteria perumahan sehat berwawasan lingkungan di DAS Ciliwung Hulu meliputi bangunan memiliki lubang sirkulasi udara 0,35% dan lubang cahaya sebesar 10% dari luas lantai; perumahan memiliki tipe linier dan streetplan; KDB sebesar 16-<40%; Konstruksi rumah permanen, berbentuk panggung; menggunakan bahan lokal; perumahan memiliki sarana air bersih, sistem pengelolaan sampah pada


(6)

Kata kunci: DAS, kesesuaian lahan permukiman, permukiman, perumahan, kepedulian lingkungan.


(7)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(8)

DI HULU DAERAH ALIRAN SUNGAI CILIWUNG

JAWA BARAT

DWI ARYANTI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Arsitektur Lanskap

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(9)

Nama : Dwi Aryanti

NRP : A352050031

Program Studi : Arsitektur Lanskap

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, M.S. Ketua

Diketahui Ketua Program Studi

Arsitektur Lanskap

Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, M.S.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

Tanggal Ujian:

Dr. Ir. Nurhayati HS.Arifin, M.Sc. Anggota

Dr. Ir. Aris Munandar, M.S. Anggota


(10)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tesis yang berjudul ”Evaluasi Perumahan Sehat dan Berwawasan Lingkungan di Hulu Daerah Aliran Sungai Ciliwung, Jawa Barat” ini merupakan salah satu syarat menyelesaikan pendidikan Program Pascasarjana yang ditempuh atas Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) dari DIKTI. Penelitian ini didukung oleh Hibah Penelitian Tim Pascasarjana (HPTP) LPPM IPB-DIKTI dengan topik ”Harmonisasi Pembangunan Pertanian Berbasis DAS pada Lanskap Desa-Kota Kawasan Bogor – Puncak – Cianjur (Bopunjur)”.Departemen Arsitektur Lanskap, tahun 2006-2008.

Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, M.S., Dr. Ir. Nurhayati HS.Arifin, M.Sc., dan Dr. Ir. Aris Munandar, M.S., selaku komisi pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan, dan nasehat dalam menyelesaikan tesis ini. Kepada Dr.Ir.Bambang Sulistyantara, M.Agr., selaku penguji luar, juga kepada teman-teman sepembimbingan Rachmat Mulyana, Kaswanto, Nurfaida, Penny Pujowati, dan Hadi Pranoto yang telah memberikan dukungan penuh dan informasi data penelitian, dan sahabat-sahabat di ARL Budiarjono, Inggerid L. Moniaga, Dini Rosmalia atas kesabaran, kebersamaan dan pengertiannya selama kuliah hingga penyelesaian tugas akhir. Terimakasih yang tak terhingga kepada keluarga tercinta, ibu, suami, dan anak-anak atas pengertian, kasih sayang, motivasi serta doa yang diberikan selama ini, serta semua pihak yang tidak sempat disebutkan satu persatu.

Segala kritik, saran dan tanggapan akan penulis terima dengan terbuka. Akhirnya, semoga tesis ini dapat berguna bagi Pemerintah Daerah, pengembang perumahan, dan pihak-pihak yang memerlukan.

Bogor, Agustus 2009 Penulis


(11)

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 28 September 1960 dari Bapak Soeparno (alm.) dan Ibu Soelastri. Penulis merupakan anak kedua dari tujuh bersaudara.

Tahun 1979 penulis lulus dari SMA Negeri 8 Jakarta dan pada tahun 1980 lulus seleksi masuk Universitas Sebelas Maret (UNS). Penulis memilih Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur dan lulus pada tahun 1986. Kesempatan untuk melanjutkan ke Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Departemen Arsitektur Lanskap baru diperoleh pada tahun 2005 dengan beasiswa BPPS dari DIKTI.

Sebelum diangkat sebagai staf pengajar pada Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Borobudur tahun 1994, penulis menjadi staf pengajar honorer di Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Jurusan Arsitektur Universitas Kristen Indonesia dan Universitas Persada Indonesia, dan Penulis menjadi anggota pendukung penelitian dalam Hibah Penelitian Tim Pascasarjana (HPTP) Departemen Arsitektur Lanskap IPB dengan topik “Harmonisasi Pembangunan Pertanian Berbasis DAS pada Lanskap Desa-Kota Kawasan Bogor – Puncak – Cianjur (Bopunjur)” periode 2006-2008.

Pada tahun 1989, penulis menikah dengan Irawan Suharto, anak ke 10 dari Bapak Suharto Prodjohartono (alm) dan ibu Suhartini (alm). Penulis dikaruniai tiga anak, yaitu Oki Arinanda Wicaksono (19 tahun), Rahardian Wirananda (17 tahun) dan Karina Dinaryanti (13 tahun).


(12)

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 4

1.4. Manfaat Penelitian ... 4

1.5. Kerangka Pikir ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1. Perumahan ... 6

2.2. Perumahan Sehat ... 7

2.3. Persyaratan Kesehatan Perumahan dan Lingkungan Perumahan ... 9

2.4. Daerah Aliran Sungai ... 13

2.5. Evaluasi Kesesuaian Lahan ... 15

2.5.1. Klasifikasi Kesesuaian Lahan ... 16

2.5.2. Karakteristik Lahan ... 17

2.6. Prilaku Manusia ... 19

2.7. Sistem Informasi Geografis ... 21

III.METODOLOGI ... 23

3.1. Waktu dan Lokasi ... 23

3.2. Alat dan Bahan ... 24

3.3. Metode Penelitian ... 24

3.3.1. Evaluasi Kesesuaian Lahan Perumahan di Hulu DAS Ciliwung ... 25

3.3.2. Kondisi Perumahan ... 27

3.3.3. Prilaku Masyarakat... 28

3.3.4. Rekomendasi Perumahan Sehat dan Berwawasan Lingkungan di DAS Ciliwung Bagian Hulu ... 30

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN ... 32

4.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian ... 32

4.1.1. Letak Desa Penelitian ... 32

4.1.2. Jenis Tanah ... 33

4.1.3. Iklim ... 33

4.1.4. Penggunaan Lahan ... 34

4.2. Kondisi Lahan ... 34

4.2.1. Karakteristik Lahan ... 34

4.2.1.1. Kemiringan Lereng ... 34

4.2.1.2. Bahaya Longsor ... 37


(13)

4.2.2. Kesesuaian Lahan Perumahan ... 42

4.2.3. Penyebaran Permukiman Existing di Lokasi Penelitian ... 45

4.3. Kondisi Fisik Perumahan ... 51

4.3.1. Karakteristik Perumahan ... 52

4.3.2. Ukuran Perumahan ... 62

4.3.3. Kepadatan Bangunan ... 63

4.3.4. Tipe Perumahan ... 65

4.4. Kondisi Sosial Ekonomi ... 67

4.4.1. Jumlah dan Kepadatan Penduduk ... 67

4.4.2. Umur Responden ... 68

4.4.3. Tingkat Pendidikan Responden ... 68

4.4.4. Pendapatan dan Kebutuhan Hidup Layak ... 69

4.5. Prilaku Masyarakat dalam Mengelola Perumahan ... 70

4.5.1. Pengelolaan Lingkungan ... 71

4.5.1.1.Pengelolaan Limbah ... 71

4.5.1.2.Pengelolaan Sampah ... 73

4.5.1.3.Pengelolaan Sumber Air ... 75

4.5.2. Aspek Budaya ... 78

4.5.2.1.Kearifan Lokal ... 78

4.5.2.2.Penggunaan Bahan Lokal ... 79

4.5.2.3.Arsitektur Lokal ... 80

4.6. Rekomendasi Perumahan Sehat dan Berwawasan Lingkungan di DAS Ciliwung Hulu ... 82

4.6.1. Rekomendasi Pengembangan Lahan Perumahan di DAS Ciliwung Hulu ... 82

4.6.2. Kriteria Perumahan Sehat Berwawasan Lingkungan di DAS Ciliwung Hulu ... 82

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 86

5.1. Simpulan ... 86

5.2. Saran ... 86

DAFTAR PUSTAKA ... 88

LAMPIRAN ... 92


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Klasifikasi kesesuaian lahan perumahan ... 27

2. Kriteria pada masing-masing sub-variabel bentuk perumahan ... 28

3. Parameter prilaku masyarakat ... 29

4. Standar rumah dan perumahan sehat... 30

5. Luas dan persentase penggunaan lahan di lokasi penelitian ... 34

6. Luas dan persentase kesesuaian lahan berdasarkan kemiringan lereng di lokasi penelitian ... 35

7. Luas dan persentase kesesuaian lahan berdasarkan bahaya longsor di lokasi penelitian ... 38

8. Luas dan persentase kesesuaian lahan berdasarkan penggunaan lahan di Lokasi penelitian ... 41

9. Luas dan persentase kesesuaian lahan perumahan di lokasi penelitian ... 43

10.Sebaran permukiman existing di lokasi penelitian ... 46

11.Kejadian bencana tanah longsor di wilayah bagian hulu DAS Ciliwung .. 50

12.Kondisi umum kelima kampung di lokasi penelitian ... 51

13.Luas rata-rata rumah responden ... 56

14.Persentase kelengkapan ruang dalam rumah... 56

15.Persentase luasan lantai rumah ... 58

16.Persentase luasan lubang udara dan penerangan ... 59

17.Persentase kepemilikan pekarangan ... 60

18.Persentase ukuran perumahan ... 63

19.Tipe perumahan ... 66

20.Persentase umur responden ... 68

21.Persentase penghasilan kepala rumah tangga ... 70

22.Persentase tempat pembuangan limbah padat dan cair ... 73

23.Pengelolaan sampah ... 74


(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka pikir penelitian ... 5

2. Peta lokasi penelitian di DAS Ciliwung bagian hulu ... 23

3. Tahapan penelitian ... 25

4. Bagan alir proses evaluasi lahan perumahan ... 26

5. Peta kesesuaian lahan perumahan Hulu bagian atas (Desa Tugu Utara) berdasarkan kemiringan lereng ... 36

6. Peta kesesuaian lahan perumahan Hulu bagian tengah (Desa Cilember) berdasarkan kemiringan lereng ... 36

7. Peta kesesuaian lahan perumahan di Hulu bagian bawah (Kelurahan Katulampa) berdasarkan kemiringan lereng ... 37

8. Peta kesesuaian lahan perumahan di Hulu bagian atas (Desa Tugu Utara) berdasarkan bahaya longsor ... 38

9. Peta kesesuaian lahan perumahan di Hulu bagian tengah (Desa Cilember) berdasarkan bahaya longsor ... 39

10.Peta kesesuaian lahan perumahan di Hulu bagian bawah (Kelurahan Katulampa) berdasarkan bahaya longsor ... 39

11. Peta kesesuaian lahan perumahan di Hulu bagian atas (Desa Tugu Utara) berdasarkan penggunaan lahan ... 41

12. Peta kesesuaian lahan perumahan di Hulu bagian tengah (Desa Cilember) berdasarkan penggunaan lahan ... 42

13. Peta kesesuaian lahan perumahan di Hulu bagian bawah (Kelurahan Katulampa) berdasarkan penggunaan lahan ... 42

14. Peta kesesuaian lahan di Hulu bagian atas (Desa Tugu Utara) ... 44

15. Peta kesesuaian lahan di Hulu bagian tengah (Desa Cilember) ... 44

16. Peta kesesuaian lahan di Hulu bagian bawah (Kelurahan Katulampa) ... 45

17. Peta sebaran pemukiman exsisting di Hulu bagian atas (Desa Tugu Utara) ... 47

18. Peta sebaran pemukiman exsisting di Hulu bagian tengah (Desa Cilember) ... 47

19. Peta sebaran pemukiman existing di Hulu bagian bawah (Kelurahan Katulampa) ... 48

20. Kejadian longsor di lokasi penelitian, (a) lokasi longsor, dan (b) pasca longsor ... 50


(16)

22. Persentase konstruksi rumah responden pada perumahan informal ... 54

23. Kondisi fisik perumahan formal yang dijumpai di lokasi penelitian, (a) tegangan tinggi yang terletak di Perumahan MBR, (b) fasilitas ruang terbuka, (c) bangunan berderet > 6 rumah, (d) saluran drainase lingkungan perumahan ... 62

24. Kepadatan bangunan ;perumahan (a) di Hulu bagian atas, dan (b) di Hulu bagian tengah, (c) di Hulu bagian bawah ... 64

25. Jalan lingkungan, (a) perumahan informal, dan (b) perumahan formal ... 65

26. Gang sebagai fungsi sosial ... 67

27. Komposisi penduduk desa berdasarkan tingkat pendidikan (Sumber: Monografi Desa Tugu Utara, 2007; Monografi Desa Cilember, 2007; dan Monografi Kelurahan Katulampa, 2007) ... 69

28. Pengelolaan limbah padat dan cair dilokasi penelitian (a) Cubluk, (b) MCK dengan septic tank, (b) limbah cair langsung kebadan sungai, (d) Limbah cair kesaluran lingkungan ... 72

29. Pengelolaan sampah di lokasi penelitian, (a) kondisi sampah di Hulu bagian atas, (b) kondisi sampah di Hulu bagian tengah, (c) kondisi sampah di Hulu bagian bawah ... 75

30. Mata air sebagai sumber air bersih dilokasi penelitian ... 78

31. Pemanfaatan mata air dilokasi penelitian ... 78

32. Persentase penggunaan bahan bangunan pada lima lokasi penelitian ... 79

33. Arsitektur lokal (rumah panggung), (a) di Hulu bagian atas dan (b) Hulu bagian tengah ... 80

34. Konstruksi penahan longsor ... 83

35. (a) Lubang cahaya sebagai penerangan alami, (b) Lubang cahaya yang berfungsi juga untuk ventilasi. ... 84

36. Bentuk rumah (a) rumah panggung modern, (b) rumah panggung tradisional ... 84


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Peta jenis tanah di lokasi penelitian ... 92 2. Peta curah hujan di lokasi penelitian ... 93 3. Peta penggunaan lahan di lokasi penelitian ... 94 4. Peta kesesuaian lahan berdasarkan penmggunaan lahan di DAS Ciliwung Hulu

... 95 5. Peta kesesuaian lahan berdasarkan kemiringan lereng di DAS Ciliwung

Hulu ... 96 6. Peta kesesuaian lahan berdasarkan bahaya longsor di DAS Ciliwung Hulu 97


(18)

1.1. Latar Belakang

Fenomena alam berupa hujan lebat di kawasan sekitar Puncak yang terjadi pada bulan Februari tahun 2007 mencapai 245,3 mm/hari dengan durasi yang cukup lama. Fenomena alam yang terjadi diluar kebiasaan tersebut menyebabkan meningkatnya debit sungai yang sangat drastis. Akibatnya, tanah tidak mampu menyerap air (tanah menjadi jenuh) yang menyebabkan aliran permukaan (run off) yang cukup besar dan terakumulasi dengan cepat (Bappeda Provinsi Jawa Barat, 2004). Kejadian alam ini menyebabkan timbulnya dampak banjir besar di wilayah Jakarta dan bencana tanah longsor di beberapa titik pada kecamatan-kecamatan sekitarnya, seperti Kecamatan Megamendung, Kecamatan Ciawi, dan Kecamatan Cisarua. Bencana tanah longsor yang terjadi mengakibatkan kerusakan baik pada bangunan rumah tinggal maupun bangunan lainnya, bahkan menyebabkan timbulnya korban jiwa karena tertimbun tanah dan bangunan. Kecamatan Megamendung, Kecamatan Ciawi, dan Kecamatan Cisarua terletak di DAS Ciliwung bagian hulu.

Daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung bagian hulu adalah daerah pegunungan yang terletak pada ketinggian 300 m sampai 3.000 m di atas permukaan laut (dpl). Kawasan ini merupakan kawasan konservasi dan hutan lindung yang harus tetap dijaga kelestariannya baik secara biofisik maupun ekologis (Direktorat Penataan Ruang Wilayah Tengah, 2003; Syartinilia, Arifin, Prasetyo, Tsuyuki, 2004). Selain itu, berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 58 Tahun 2008 Tentang Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur menyebutkan bahwa peran kawasan Bogor-Puncak-Bogor-Puncak-Cianjur adalah sebagai kawasan konservasi air dan tanah yang juga harus dijaga kelestariannya. Secara biofisik dan ekologi, lanskap pada unit DAS memiliki hubungan yang terkait khususnya dalam aliran bahan dan energi dari hulu ke hilir, ataupun sebaliknya yang saling mempengaruhi satu sama lainnya (Arifin Arifin, Suryadarma, 2002).

Kawasan DAS Ciliwung bagian hulu telah mengalami perubahan penggunaan lahan dari kawasan hutan lindung dan lahan pertanian menjadi lahan


(19)

permukiman. Perubahan tata guna lahan tersebut secara nyata berdampak pada penurunan kualitas lingkungan. Berdasarkan hasil kaji ulang penataan ruang Kabupaten Bogor yang dilakukan oleh Bappeda Kabupaten Bogor pada tahun 2003 menunjukkan bahwa terjadi penurunan luas hutan di DAS Ciliwung Hulu dari tahun 1991 – 1999. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan luas kawasan terbangun dari 255 ha menjadi 506 ha atau meningkat sebesar 98%.

Perubahan penggunaan lahan di DAS Ciliwung bagian hulu yang didominasi oleh peningkatan luas permukiman memberi dampak pada berkurangnya kawasan yang berfungsi sebagai resapan air hujan. Hal ini mengakibatkan terjadinya peningkatan laju limpasan permukaan yang menyebabkan banjir di DAS Ciliwung bagian hilir. DAS Ciliwung bagian hulu dianggap gagal dalam pemeliharaan lingkungan dan menyebabkan terjadinya ”banjir kiriman” di Jakarta akibat ”pencaplokan” lahan-lahan subur oleh pelaku bisnis (Wilonoyudho, 2006).

Kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan mengakibatkan muncul rumah-rumah secara tidak teratur membentuk perumahan dengan tingkat kepadatan tinggi, yang menyebabkan menurunnya kualitas peumahan seperti peningkatan jumlah rumah tidak layak huni. Rumah-rumah tumbuh dan berkembang dimana-mana dengan tanpa memperthatikan tingkat kesesuaian lahan baik secara biofisik, sosial maupun ekonomi.

Pertumbuhan perumahan baru di wilayah DAS Ciliwung hulu disebabkan oleh kecenderungan tingkat urbanisasi yang tinggi (Syartinilia et al., 2004). Sedangkan tingkat urbanisasi mengakibatkan penurunan ukuran luas pekarangan, penurunan spesies tanaman non ornamental dan penurunan stratifikasi struktur tanaman (Arifin, 1998). Akibatnya semakin sensitifnya lingkungan terhadap komponen yang ada dalam sistim lingkungan. Ketika turun hujan akan mudah banjir, sebaliknya terjadi kekeringan ketika kemarau. Berbagai kajian wilayah menyebutkan bahwa penyelamatan DAS dari bahaya erosi, banjir dan kekeringan menjadi amat penting bagi kesejahteraan penduduk di sekitarnya (Haeruman, 2002). Salah satu bentuk usaha yang dikembangkan untuk penyelamatan DAS kearah pencegahan erosi yaitu melalui penataan permukiman (Basso, 2000).

Pertumbuhan penduduk Kabupaten Bogor selama tahun 1980-2003 adalah 2.04%/tahun, yang mengakibatkan permintaan terhadap lahan untuk bermukim


(20)

(perumahan) semakin besar. Luasan permukiman di DAS Ciliwung hulu tahun 1981 adalah 255,25 ha (Irianto,2000) meningkat menjadi 1.336 ha pada tahun 2002 (Maryanto dan Ubaidah,2004). Perkembangan permukiman yang terjadi di DAS Ciliwung bagian hulu menjadi penting untuk dicermati mengingat secara biofisik terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kesesuaian penggunaan lahan sebagai perumahan, antara lain, kemiringan lereng, bahaya longsor, dan penggunaan lahan. Secara sosial-ekonomi, peningkatan jumlah penduduk dan prilaku masyarakat dalam mengelola lingkungan turut mempengaruhi perkembangan perumahan yang sehat dan berwawasan lingkungan. Selain itu, terdapatnya sistem pewarisan lahan menyebabkan lahan perumahan semakin sempit dan padat.

Memahami kerusakan yang terjadi di DAS Ciliwung bagian hulu dan pertumbuhan permukiman yang pesat maka diperlukan pencegahan kerusakan lingkungan melalui penataan arahan lokasi peruntukan perumahan sesuai dengan tingkat kesesuaian lahan, meninjau dan menganalisis kondisi perumahan serta menganalisis prilaku masyarakat dalam mengelola lingkungan perumahan.

1.2. Perumusan Masalah

Pengembangan lahan perumahan di DAS Ciliwung bagian hulu harus memperhatikan kondisi lahan berdasarkan kesesuaian lahannya, dengan mempertimbangkan terjadinya bencana tanah longsor yang diakibatkan oleh curah hujan yang tinggi, kondisi geografis yang ada, peningkatan jumlah penduduk, dan kebutuhan akan perumahan. Permukiman sehat dan berwawasan lingkungan dapat tercermin dalam prilaku yang selalu mengupayakan hubungan yang serasi antara manusia dengan alam dan berbagai unsur buatannya sehingga pengembangannya dapat berlangsung berkelanjutan (Kuswartojo, 2005).

Peningkatan jumlah penduduk yang diiringi dengan peningkatan lahan perumahan di DAS Ciliwung bagian hulu, apabila tidak memperhatikan kesesuaian lahan untuk perumahan, daya dukung lahan, dan prilaku masyarakat dalam mengelola dapat menimbulkan dampak kerusakan lingkungan baik di daerah hulu maupun di daerah hilir. Dengan demikian, dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut.


(21)

1) Apakah pengembangan lahan untuk perumahan pada lahan yang sesuai masih dapat dilakukan di DAS Ciliwung bagian hulu, sehubungan dengan kebutuhan akan lahan perumahan yang terus meningkat.

2) Apakah kondisi perumahan yang ada sudah sesuai dengan persyaratan perumahan sehat, dan apakah masyarakat memiliki wawasan untuk menjaga dan menghargai lingkungan sehingga tercipta lingkungan perumahan yang sehat, berwawasan lingkungan, dan berkelanjutan.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah

1. mengevaluasi kesesuaian lahan perumahan;

2. menganalisis kondisi perumahan di DAS Ciliwung bagian hulu;

3. menganalisis perilaku masyarakat dalam mengelola lingkungan perumahan; 4. menyusun rekomendasi pengembangan permukiman sehat dan berwawasan

lingkungan di DAS Ciliwung bagian hulu.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat untuk:

1. masyarakat, pengembangan perumahan, dan pemerintah daerah dalam merencanakan/ mengembangkan lahan untuk perumahan;

2. menjadi bahan masukan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor dan Kota Bogor Timur dalam menyusun kebijakan dalam perijinan pendirian rumah di DAS Ciliwung bagian hulu; dan

3. pengembangan akademis bagi peneliti khususnya dan ilmuwan yang konsen terhadap pengembangan perumahan

1.5. Kerangka Pikir

Meningkatnya jumlah penduduk di DAS Ciliwung bagian Hulu menyebabkan timbulnya berbagai permasalahan, antara lain meningkatnya kebutuhan perumahan yang menyebabkan terjadi alih fungsi lahan dari kawasan hutan lindung dan lahan pertanian menjadi lahan perumahan, dan mengakibatkan kerusakan pada lingkungan. Permasalahan lingkungan yang terjadi dalam proses


(22)

alih fungsi lahan memerlukan upaya pengelolaan yang tepat, agar tercipta keserasian antara alam dan unsur buatan sehingga pengembangannya dapat berlangsung berkelanjutan (sehat dan berwawasan lingkungan). Adapun kerangka pemikiran untuk penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka pikir penelitian

Meningkatnya jumlah penduduk di DAS Ciliwung bagian hulu

Pertumbuhan perumahan di DAS Ciliwung bagian hulu

DAS Ciliwung bagian hulu

Alih fungsi lahan

Faktor biofisik, perubahan penggunaan

lahan, dan karakteristik lahan

Prilaku dalam mengelola lingkungan, aspek budaya,

dan prilaku masyarakat Kondisi perumahan,

kondisi fisik, karakteristik perumahan, ukuran perumahan, kepadatan, dan tipe

perumahan

Rekomendasi pengembangan perumahan sehat dan berwawasan lingkungan

di DAS Ciliwung bagian hulu Bencana banjir

di Jakarta dan bencana

longsor

Kondisi sosial-ekonomi, jumlah penduduk,

umur, tingkat pendidikan, jumlah

tanggungan keluarga, pendapatan

Pepres No.58 tahun 2008

Peraturan Pemerintah No.26 tahun 2007 UU RI No.4 tahun 1992

Kepmenkes No.829/Menkes/ SK/VII/1999


(23)

2.1.Perumahan

Berdasarkan Undang-undang Nomor 4 tahun 1992 tentang perumahan dan permukiman, membedakan antara perumahan dan permukiman. Perumahan memiliki fungsi sebagai tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana lingkungan, sedangkan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup, di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal yang mendukung perikehidupan dan penghidupan (PP No 4/1992).

Menurut Kuswartojo (1997), permukiman dapat diartikan sebagai perumahan atau kumpulan tempat tinggal. Perumahan merupakan wadah fisik, sedangkan permukiman merupakan paduan antara wadah dengan isinya, yaitu manusia yang hidup bermasyarakat dan berbudaya di dalamnya. Bagian dari permukiman yang disebut dengan wadah merupakan paduan antara tiga unsur, yaitu alam (udara, air, dan tanah), lindungan (shells), dan jaringan (networks), sedangkan yang disebut dengan isinya adalah manusia dan masyarakat.

Menurut Kuswartojo (2005), karakteristik perumahan ada dua macam yaitu perumahan tidak tertata (informal) dan perumahan formal (tertata). Perumahan informal terbentuk secara berangsur-angsur, dan sebagai konsekuensinya permukiman tumbuh tanpa pola yang jelas, tidak ada pengkavlingan (pemetakan) dan jaringan jalan yang mengikuti penataan, rumah tidak teratur, bangunan beraneka ragam, mempunyai jaringan dan pola yang tidak teratur, perizinan pembangunan tidak jelas secara konseptual (sulit untuk diterapkan karena registrasi yang dapat memastikan suatu tanah menjadi hak seseorang sangat tidak lengkap dan perizinan pembangunan sangat lemah), memiliki perbedaan karakter sosial, memerlukan waktu puluhan tahun untuk tumbuh dengan sendirinya tanpa pengendalian. Perumahan informal inilah yang berkembang menjadi wilayah permukiman yang disebut perdesaan, sedangkan perumahan formal dibangun atas dasar aturan yang jelas karena itulah terbentuk suatu pola yang teratur lengkap dengan sarana dan prasarana, dibangun secara serempak dengan waktu yang


(24)

sudah direncanakan, seperti pembangunan oleh Perumnas berupa rumah susun, atau pembangunan yang dikembangkan oleh instansi swasta.

Menurut Daldjoeni (2003), definisi dari permukiman atau perumahan desa yaitu suatu tempat atau daerah tempat penduduk berkumpul dan hidup bersama dan mereka dapat menggunakan lingkungan setempat untuk kehidupan mereka. Terdapat tiga unsur, yaitu penduduk, tanah, dan bangunan yang masing-masing unsur lambat atau cepat mengalami perubahan sehingga desa sebagai pola permukiman bersifat dinamis. Secara geografis, definisi tadi dapat dipertanggungjawabkan, karena manusia sebagai penghuni desa selalu melakukan adaptasi spasial dan ekologis sejalan dengan kegiatannya berpangupa jiwa agraris.

2.2.Perumahan Sehat

Perumahan sehat disebut juga sebagai salah satu kriteria layak huni, dalam pengertian secara luas bukan hanya sebatas fisik saja, tetapi juga secara sosial, baik secara internal maupun eksternal. Perumahan sehat adalah perumahan yang harus memiliki tiga syarat, yaitu (a) syarat fisik tersedianya sarana air bersih, sarana sanitasi, pengelolaan sampah dan air limbah, (b) syarat biologis bebas dari serangga/binatang pengerat, dan (c) syarat sosial dengan berprilaku hidup sehat (Kuswartojo et al., 2005)

Menurut Komisi WHO (2001), permukiman atau perumahan yang sehat adalah konsep dari perumahan sebagai faktor yang dapat meningkatkan standar kesehatan penghuninya. Konsep tersebut melibatkan pendekatan sosiologis dan teknis pengelolaan faktor resiko dan berorientasi pada lokasi bangunan, kualifikasi, adaptasi, manajemen, penggunaan, pemeliharaan rumah dan lingkungan di sekitarnya, serta mencakup unsur-unsur penyediaan air minum dan sarana yang memadai untuk memasak, mencuci, menyimpan makanan, serta pembuangan kotoran manusia ataupun limbah lainnya.

Silas (2001) mengemukakan kaidah perencanaan kawasan perumahan dan permukiman yang layak perlu memperhatikan dan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut (a) penggunaan lahan yang efektif dan efisien dan terkait dengan kegiatan ekonomi dalam arti luas; (b) orientasi bangunan/gedung perlu


(25)

memperhatikan arah angin di samping posisi dan pergerakan matahari. Jalan dan lorong terutama diserahkan dengan aliran angin sebagai koridor angin yang menjaga kesejukan lingkungan; (c) jalan mobil disediakan sesuai dengan kebutuhan nyata untuk keamanan dan keadaan darurat. Parkir mobil sebaiknya terpusat sehingga jalan/lorong dapat dijadikan taman komunal; (d) tersedia fasilitas perumahan yang diadakan dan diselenggarakan secara komunal, termasuk ruang terbuka hijau serta rekreasi memakai akses utama melalui berjalan kaki dari perumahan yang ada. Sistem sarana dan prasarana harus terkait dengan sistem kota yang lebih besar.

Prasarana lingkungan permukiman adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan, yang memungkinkan lingkungan permukiman dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Prasarana utama meliputi jaringan jalan, jaringan air hujan, jaringan pengadaan air bersih, jaringan listrik, telepon, gas, dan sebagainya. Sarana lingkungan permukiman adalah fasilitas penunjang yang berfungsi untuk menyelenggarakan dan mengembangkan kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya, seperti pusat perbelanjaan, pelayanan umum, pendidikan dan kesehatan, tempat peribadatan, rekreasi dan olah raga, pertamanan, dan permakaman.

Kesatuan antara manusia sebagai penghuni (isi) dengan lingkungan hunian membentuk suatu komunitas yang secara bersamaan membentuk permukiman. Menurut Sastra (2005), elemen permukiman terdiri atas beberapa unsur, yaitu alam, manusia, masyarakat, bangunan, dan jaringan/networks.

- Alam, meliputi kondisi geologi, topografi, tanah, air, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan iklim.

- Manusia, merupakan pelaku utama kehidupan selain makhluk hidup lain seperti hewan, tumbuhan, dan lainnya. Sebagai makhluk yang paling sempurna dalam kehidupannya, manusia membutuhkan berbagai hal untuk menunjang kehidupannya, seperti kebutuhan biologis (ruang, udara, suhu, dan lain-lain), perasaan dan persepsi, kebutuhan emosional serta kebutuhan akan nilai-nilai moral.

- Masyarakat, merupakan kesatuan kelompok orang (keluarga) dalam suatu permukiman yang membentuk suatu komunitas tertentu. Hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat yang


(26)

mendiami suatu wilayah permukiman adalah (1) kepadatan dan komposisi penduduk, (2) kelompok sosial, (3) adat dan kebudayaan, (4) pengembangan ekonomi, (5) pendidikan, (6) kesehatan, dan (7) hukum dan administrasi. - Bangunan/rumah, merupakan wadah bagi manusia (keluarga). Oleh karena itu,

dalam perencanaan dan pengembangannya perlu mendapatkan perhatian khusus agar sesuai dengan rencana kegiatan yang berlangsung di tempat tersebut. Pada prinsipnya bangunan yang digunakan sesuai dengan fungsinya seperti sebagai pelayanan masyarakat (misalnya sekolah, rumah sakit, dan lainnya), sebagai tempat rekreasi (fasilitas hiburan), dan sebagainya.

- Jejaring/networks, merupakan sistem buatan atau alam berupa fasilitas untuk operasional suatu wilayah permukiman, seperti jaringan air bersih di daerah pegunungan dapat dengan mudah diperoleh karena adanya sumber mata air. Sistem buatan yang diperlukan di dalam wilayah perumahan, antara lain, sistem jaringan air bersih, sistem jaringan listrik, sistem jaringan transportasi, sistem komunikasi, drainase, dan tata letak fisik.

Permukiman perdesaan di Indonesia umumnya merupakan perumahan yang mengelompok. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh keadaan sosial bangsa Indonesia yang bersifat gotong royong sehingga cenderung berkeinginan tinggal berdekatan dengan tetangga. Kelompok-kelompok tersebut dihubungkan oleh jalan kecil (jalan desa) atau jalan setapak. Permukiman perdesaan biasanya dicirikan oleh dominasi lanskap pertanian dan penyelenggaraannya diatur oleh adat istiadat dan pola-pola tradisional yang berlaku pada suatu daerah. Undang-undang yang masih sangat kuat dipengaruhi oleh pola-pola tradisional.

2.3.Persyaratan Kesehatan Perumahan dan Lingkungan Perumahan

Menurut Kuswartojo (2005), indikator rumah sehat adalah menyangkut prilaku hidup sehat penduduk, yaitu dengan tidak membuang sampah di sungai, tidak buang hajat di sungai, tidak membiarkan selokan kotor dan air tergenang, dan kondisi rumah terhadap faktor kesehatan dengan memperhatikan lingkungan fisik, kualitas udara permukiman dan ventilasi, dan terpenuhinya sarana kesehatan lingkungan.


(27)

Persyaratan kesehatan perumahan dan lingkungan permukiman adalah ketentuan teknis kesehatan yang wajib dipenuhi dalam rangka melindungi penghuni dan masyarakat yang bermukim di perumahan dan/atau masyarakat sekitar dari bahaya atau gangguan kesehatan. Persyaratan kesehatan perumahan yang meliputi persyaratan lingkungan perumahan dan permukiman serta persyaratan rumah itu sendiri, sangat diperlukan karena pembangunan perumahan berpengaruh sangat besar terhadap peningkatan derajat kesehatan individu, keluarga, dan masyarakat (Sanropie, 1992).

Persyaratan kesehatan perumahan dan lingkungan permukiman menurut Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 meliputi parameter sebagai berikut.

1. Lokasi, yaitu (a) tidak terletak pada daerah rawan bencana alam seperti bantaran sungai, aliran lahar, tanah longsor, gelombang tsunami, daerah gempa, dan sebagainya, (b) tidak terletak pada daerah bekas tempat pembuangan akhir (TPA) sampah atau bekas tambang, dan (c) tidak terletak pada daerah rawan kecelakaan dan daerah kebakaran seperti jalur pendaratan penerbangan.

2. Kualitas udara di lingkungan perumahan harus bebas dari gangguan gas beracun dan memenuhi syarat baku mutu lingkungan.

3. Kebisingan dan getaran, yaitu (a) kebisingan dianjurkan 45 dB.A, maksimum 55 dB.A dan (b) tingkat getaran maksimum 10 mm/detik.

4. Kualitas tanah di daerah perumahan dan pemukiman, yaitu (a) kandungan Timah hitam (Pb) maksimum 300 mg/kg, (b) kandungan Arsenik (As) total maksimum 100 mg/kg, (c) kandungan Cadmium (Cd) maksimum 20 mg/kg, dan (d) kandungan Benzo(a) pyrene maksimum 1 mg/kg.

5. Prasarana dan sarana lingkungan, yaitu (a) memiliki taman bermain untuk anak, sarana rekreasi keluarga dengan konstruksi yang aman dari kecelakaan, (b) memiliki sarana drainase yang baik, (c) memiliki sarana jalan lingkungan dengan ketentuan konstruksi jalan tidak mengganggu kesehatan, konstruksi trotoar tidak membahayakan pejalan kaki dan penyandang cacat, jembatan harus memiliki pagar pengaman, lampu penerangan jalan tidak menyilaukan mata, (d) tersedia cukup air bersih sepanjang waktu dengan kualitas air yang


(28)

memenuhi persyaratan kesehatan, (e) pengelolaan pembuangan tinja dan limbah rumah tangga harus memenuhi persyaratan kesehatan, (f) pengelolaan pembuangan sampah rumah tangga harus memenuhi syarat kesehatan, (g) memiliki akses terhadap sarana pelayanan kesehatan, komunikasi, tempat kerja, tempat hiburan, tempat pendidikan, kesenian, dan lain sebagainya, (h) pengaturan instalasi listrik harus menjamin keamanan penghuninya, dan (i) tempat pengelolaan makanan (TPM) harus menjamin tidak terjadi kontaminasi makanan yang dapat menimbulkan keracunan.

6. Pepohonan untuk penghijauan lingkungan permukiman merupakan pelindung dan juga berfungsi untuk kesejukan, keindahan, dan kelestarian alam.

Adapun ketentuan persyaratan kesehatan rumah tinggal menurut Kepmenkes Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 sebagai berikut.

1. Bahan bangunan tidak terbuat dari bahan yang dapat melepaskan bahan yang dapat membahayakan kesehatan.

2. Komponen dan penataan ruangan meliputi (a) lantai kedap air dan mudah dibersihkan, (b) dinding rumah memiliki ventilasi, di kamar mandi dan kamar cuci kedap air dan mudah dibersihkan, (c) langit-langit rumah mudah dibersihkan dan tidak rawan kecelakaan, (d) bumbungan rumah 10 m dan ada penangkal petir, (e) ruang ditata sesuai dengan fungsi dan peruntukannya, dan (f) dapur harus memiliki sarana pembuangan asap.

3. Pencahayaan alam dan/atau buatan baik langsung maupun tidak langsung dapat menerangi seluruh ruangan dengan intensitas penerangan minimal 60 lux dan tidak menyilaukan mata.

4. Kualitas udara, yaitu (a) suhu udara nyaman antara 18-30ºC dan (b) kelembaban udara 40-70%.

5. Luas lubang ventilasi alamiah yang permanen minimal 10% luas lantai.

6. Vektor penyakit, tidak ada lalat, nyamuk ataupun tikus yang bersarang di dalam rumah.

7. Penyediaan air, yaitu (a) tersedia sarana penyediaan air bersih dengan kapasitas minimal 60 liter/orang/hari dan (b) kualitas air harus memenuhi persyaratan kesehatan air bersih dan/atau air minum menurut Permenkes 416 tahun 1990 dan Kepmenkes 907 tahun 2002.


(29)

8. Tersedia sarana penyimpanan makanan yang aman.

9. Pembuangan limbah, yaitu (a) limbah cair yang berasal rumah tangga tidak mencemari sumber air, tidak menimbulkan bau, dan tidak mencemari permukaan tanah dan (b) limbah padat harus dikelola dengan baik agar tidak menimbulkan bau, tidak mencemari permukaan tanah dan air tanah.

10.Kepadatan hunian dengan luas kamar tidur minimal 8 m² dan dianjurkan tidak untuk lebih dari 2 orang tidur.

Persyaratan tersebut di atas berlaku juga terhadap kondominium, rumah susun (rusun), rumah toko (ruko), rumah kantor (rukan) pada zona permukiman. Pelaksanaan ketentuan mengenai persyaratan kesehatan perumahan dan lingkungan permukiman menjadi tanggung jawab pengembang atau penyelenggara pembangunan perumahan, dan pemilik atau penghuni rumah tinggal untuk rumah.

Setiap manusia di manapun berada membutuhkan tempat untuk tinggal yang disebut rumah. Rumah berfungsi sebagai tempat untuk melepaskan lelah, tempat bergaul dan membina rasa kekeluargaan di antara anggota keluarga, tempat berlindung dari segala macam ganguan baik dari kondisi alam maupun binatang buas. Berdasarkan Undang-undang RI Nomor 4 Tahun 1992, rumah adalah struktur fisik terdiri atas ruangan, halaman, dan area sekitarnya yang dipakai sebagai tempat tinggal dan sarana pembinaan keluarga.

Departemen Pekerjaan Umum Ditjen Cipta Karya (2002) menentukan syarat rumah menjadi sehat sebagai berikut.

1. Aspek kesehatan (ruangan dan peranginan, penyediaan air bersih, pembuangan air bersih, limbah, dan sampah yang menimbulkan pencemaran, bagian-bagian ruang seperti lantai dan dinding tidak lembab, tidak tercemar bau, rembesan air kotor, dan udara kotor).

2. Aspek kekuatan bangunan (rumah memiliki konstruksi dan bahan bangunan yang menjamin keamanan, seperti konstruksi bangunan yang cukup kuat, baik untuk menahan berat sendiri maupun pengaruh lain, seperti angin, hujan, gempa, dan lainnya).


(30)

4. Keterjangkauan (pemakaian bahan bangunan dapat menjamin keawetan dan kemudahan dalam pemeliharaan, tahan api dan air).

5. Rumah yang baik adalah minimal memiliki ruang tamu, ruang makan, ruang tidur, dapur, dan kamar mandi yang terpisah satu dengan yang lain.

Dengan demikian keterkaitan kondisi rumah dengan permukiman sangatlah erat karena dari rumah yang merupakan unit terkecil dengan prilaku penghuninya, akan terbentuk lingkungan permukiman yang sehat berwawasan lingkungan. Pengertian dari wawasan lingkungan adalah pandangan, yang tercermin dalam prilaku yang selalu mengupayakan hubungan yang serasi, antara manusia dan masyarakatnya dengan alam dan berbagai unsur buatannya. Dengan adanya hubungan yang serasi, pengembangan yang berkelanjutan dapat terus berlangsung (Kuswartojo, 1997).

Silas (2001) mengemukakan rumah yang berkelanjutan harus memenuhi lima syarat dasar yang dapat dinikmati oleh penghuni saat ini dan yang akan datang sebagai berikut.

1. Mendukung peningkatan produktifitas kehidupan penghuni baik secara sosial, ekonomi, dan politik. Artinya setiap anggota penghuni terinspirasi untuk melakukan tugas lebih baik.

2. Tidak menimbulkan gangguan lingkungan dalam bentuk apapun sejak pembangunan, pemanfaatan dan kelak bila harus dimusnahkan. Ukuran yang dapat digunakan terhadap lingkungan adalah efektifitas konsumsi energi. 3. Meningkatkan mobilitas kesejahteraan penghuninya secara fisik dan spiritual.

artinya penghuni mengalami terus peningkatan mutu kehidupan fisik dan spiritual.

4. Menjaga keseimbangan antara perkembangan fisik rumah dengan mobilitas sosial ekonomi penghuninya.

5. Membuka peran penghuni atau pemilik yang besar dalam mengambilan keputusan terhadap proses pengembangan rumah dan rukun warga tempat ia berinteraksi.

2.4.Daerah Aliran Sungai

Daerah aliran sungai (DAS) menggambarkan suatu wilayah yang mengalirkan air yang jatuh di atasnya beserta sedimen dan bahan larut melalui


(31)

titik yang sama sepanjang suatu alur atau sungai. Menurut Suripin (2002), secara umum DAS didefinisikan sebagai suatu wilayah, yang dibatasi batas alam, seperti punggung bukit atau gunung, dan dibatasi batas buatan, seperti jalan atau tanggul, tempat air hujan yang turun di wilayah tersebut memberi kontribusi aliran ke titik kontrol (outlet). Asdak (2004) mendefinisikan DAS sebagai suatu wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama. Wilayah daratan dinamakan daerah tangkapan air (DTA atau catchment area) yang merupakan ekosistem sebagai unsur utamanya yang terdiri atas sumber daya alam (tanah, air, dan vegetasi) dan sumber daya manusia sebagai pemanfaat sumber daya alam.

Daerah aliran sungai terdiri atas unsur biofisik yang bersifat alami dan unsur-unsur non-biofisik. Unsur biofisik terdiri atas vegetasi, hewan, satwa liar, jasad renik, tanah, iklim, dan air, sedangkan unsur non-biofisik adalah manusia dengan berbagai ragam persoalannya, latar belakang budaya, sosial-ekonomi, sikap politik, kelembagaan, serta tatanan masyarakat itu sendiri.

Fungsi Daerah Aliran Sungai

Fungsi suatu DAS merupakan fungsi gabungan yang dilakukan oleh seluruh faktor yang ada pada DAS, seperti vegetasi, bentuk wilayah (topografi), tanah, dan manusia. Faktor-faktor tersebut jika mengalami perubahan, akan mempengaruhi ekosistem DAS. Menurut Asdak (2004), ekositem hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap seluruh bagian DAS. Perubahan tata guna lahan dan/atau pembuatan bangunan konservasi yang dilaksanakan di daerah hulu DAS tidak saja memberikan dampak di daerah tempat kegiatan tersebut berlangsung (hulu DAS), tetapi juga akan menimbulkan dampak di daerah hilir dalam bentuk penurunan kapasitas tampung waduk dan/atau pendangkalan sungai dan saluran-saluran irigasi yang pada gilirannya akan meningkatkan resiko banjir.

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Menurut Asdak (2004), pengelolaan DAS adalah suatu proses formulasi dan implementasi kegiatan atau program yang bersifat manipulasi sumber daya alam


(32)

dan manusia yang terdapat di DAS untuk memperoleh manfaat produksi dan jasa tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan sumberdaya air dan tanah, diantaranya pencegahan banjir dan erosi, serta perlindungan nilai keindahan yang berkaitan dengan sumberdaya alam. Hal yang termasuk dalam pengelolaan DAS adalah identifikasi keterkaitan antara tata guna lahan, tanah, dan air serta keterkaitan antara hulu dan hilir suatu DAS.

Dalam pengelolaan DAS, tidak dapat dibatasi oleh batas-batas yang bersifat administrasi, karena kekuatan alam seperti banjir (aliran air), tanah longsor, dan erosi yang tidak mengenal batas. DAS merupakan suatu ekosistem yang di dalamnya terjadi suatu proses interaksi antara faktor-faktor biotik, non-biotik, dan manusia. Oleh karena itu, ekosistem DAS merupakan bagian yang penting karena memiliki fungsi perlindungan terhadap DAS. Aktivitas dalam DAS dapat menyebabkan perubahan seperti perubahan tata guna lahan, khususnya di daerah hulu, yang dapat memberikan dampak berupa fluktuasi debit air dan kandungan sedimen serta material yang terlarut di dalamnya.

Menurut Ilyas (1985), pengolahan DAS merupakan pengolahan tanah dan air, yang pengolahan tersebut dikatakan baik apabila penggunaan tanah dan air dilakukan secara rasional untuk mendapatkan manfaat yang optimum dan lestari dengan bahaya kerusakan sekecil-kecilnya. Pengaruh pengolahan ini akan tercermin pada ancaman banjir, keadaan aliran sungai pada musim kemarau dan kandungan sedimen sungai. Keseluruhan pengaruh tersebut akan mempengaruhi bagian kegiatan dan sektor kehidupan di hilir sungai.

2.5. Evaluasi Kesesuaian Lahan

Permukiman dapat diartikan sebagai perumahan atau kumpulan tempat tinggal. Untuk keperluan tersebut, diperlukan tanah untuk mendirikan bangunan baik sebagai tempat tinggal maupun bangunan lain seperti septik-tank, jalan, tempat pembuangan sampah, dan lainnya. Tanah merupakan sumber daya fisik wilayah utama yang sangat penting sehingga sifat tanah sangat menentukan potensi untuk berbagai jenis penggunaan. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk mengetahui potensi suatu lahan untuk penggunaan-penggunaan tertentu adalah evaluasi kesesuaian lahan. Tujuan evaluasi kesesuaian lahan secara


(33)

umum adalah menentukan nilai (kelas) suatu lahan untuk tujuan tertentu. Inti dari evaluasi lahan adalah membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan dengan sifat-sifat atau kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan yang akan digunakan. Dengan cara ini akan diketahui potensi lahan atau kelas kesesuaian lahan untuk tipe penggunaan lahan tersebut (Hardjowigeno & Widiatmaka, 2004).

Teknik analisis kesesuaian lahan merupakan perpaduan dari tiga faktor yang ada dalam suatu area, yaitu lokasi, aktivitas pembangunan, dan biofisik/lingkungan. Teknik ini memungkinkan bagi seorang perencana dan pengambil keputusan untuk menganalisis interaksi yang terjadi dengan berbagai cara dan analisis tersebut dapat membantu dalam mengambil keputusan dan membuat kebijakan yang terkait dengan penggunaan lahan. (Miller et al., 1998). Hasil evaluasi lahan digambarkan dalam bentuk peta sebagai dasar perencanaan tata guna tanah yang rasional, sehingga lahan dapat digunakan secara optimal dan lestari.

2.5.1. Klasifikasi Kesesuaian Lahan

Hasil pembandingan persyaratan dari tipe penggunaan lahan tertentu dengan kualitas lahan suatu satuan peta lahan menghasilkan suatu kelas kesesuaian lahan yang menunjukkan kesesuaian masing-masing satuan peta lahan untuk tipe penggunaan lahan tertentu. Kesesuaian lahan dapat dibagi menjadi empat kelas, yaitu S1 (sangat sesuai), S2 (cukup sesuai), S3 (sesuai marginal), dan N (tidak sesuai). Dalam mengambil keputusan untuk klasifikasi kesesuaian lahan menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2004), dapat digunakan berbagai cara seperti metode penghambat maksimum, metode parametrik dengan pemberian angka nilai untuk masing-masing faktor, kemudian dijumlahkan atau dikalikan dan sebagainya. Dengan metode yang berbeda tersebut sudah pasti akan menghasilkan kelas yang berbeda-beda pula. Pembagian kelas kesesuaian lahan sebagai berikut. (1). Kelas S1 (sangat sesuai), yaitu lahan tidak mempunyai faktor pembatas yang

berarti atau nyata terhadap penggunaan secara berkelanjutan, atau faktor pembatas bersifat minor dan tidak akan berpengaruh terhadap produktivitas lahan secara nyata.


(34)

pembatas ini akan berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan (input). Pembatas tersebut biasanya dapat diatasi oleh petani sendiri.

(3). Kelas S3 (sesuai marginal), yaitu lahan mempunyai faktor pembatas yang berat, dan faktor pembatas ini akan sangat berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan yang lebih banyak daripada lahan yang tergolong S2. Untuk mengatasi faktor pembatas pada S3 memerlukan modal tinggi sehingga perlu adanya bantuan atau intervensi pemerintah atau pihak swasta.

(4). Kelas N (tidak sesuai), yaitu lahan yang mempunyai faktor pembatas yang sangat berat dan atau sulit diatasi.

Penentuan kelas suatu lahan untuk perumahan (tempat tinggal) didasarkan pada kemampuan lahan sebagai penopang pondasi. Sifat lahan yang berpengaruh adalah daya dukung tanah dan sifat-sifat tanah yang berpengaruh terhadap biaya penggalian dan konstruksi. Hasil evaluasi lahan disajikan dalam bentuk peta dan laporan. Peta kesesuaian lahan dengan penjelasan penting dalam legenda merupakan penyajian yang paling efektif dari hasil evaluasi, sedangkan keterangan yang lebih detil disajikan dalam laporan.

2.5.2. Karakteristik Lahan

Karakteristik lahan mencakup faktor-faktor lahan yang dapat diukur atau ditaksir seperti kemiringan lereng, curah hujan, tekstur tanah, ketersediaan air, dan sebagainya (Hardjowigeno & Widiatmaka., 2001). Satu jenis karakteristik lahan dapat berpengaruh terhadap lebih dari satu jenis kualitas lahan, misalnya tekstur tanah dapat berpengaruh terhadap ketersediaan air, mudah tidaknya tanah diolah,dan kepekaan erosi.

Selanjutnya beberapa parameter yang menjadi kriteria kesesuaian lahan tempat tinggal dengan maksimum tiga lantai tanpa ruang bawah sebagai berikut. (1). Kemiringan lereng

Kemiringan lereng sangat berpengaruh terhadap longsor. Daerah dengan kemiringan lereng yang curam akan cenderung menjadi kritis jika tidak dilakukan penanganan yang mengikuti kaidah konservasi sehingga akan mengancam kestabilan lahan perumahan. Pembangunan perumahan pada tanah dengan lereng


(35)

yang curam membutuhkan konstruksi bangunan yang lebih kuat dan akibatnya biaya akan lebih besar. Hubungan antara kemiringan lereng dengan fungsi hidro-biologis adalah bahwa semakin kecil kemiringan lereng akan memperbesar kemungkinan air hujan untuk meresap ke dalam tanah. Selain itu, aliran air pada daerah datar cenderung lebih lambat dibandingkan dengan daerah curam sehingga kemungkinan timbulnya erosi kecil. Dengan demikian pengaruh daerah dengan lereng datar terhadap kemungkinan timbulnya gangguan kestabilan lahan permukiman semakin kecil. Menurut Zee (1990), parameter yang menjadi pembatas, yaitu sangat sesuai <10%, cukup sesuai 10-15%, sesuai marginal 15-20%, dan tidak sesuai >15-20%, sedangkan menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) kemiringan lereng yang baik < 8%, sedang 8-15%, dan buruk >15%. Selanjutnya Masykur (2005) mengemukakan kemiringan lereng akan berpengaruh pada faktor penambahan biaya pembangunan. Untuk lahan dengan kemiringan lereng 0-4% tidak perlu penambahan biaya, kemiringan lereng 5-10% perlu penambahan biaya sebesar 20%, kemiringan lereng 11-15% perlu penambahan 30%, dan kemiringan lereng >15% akan memerlukan penambahan biaya sebesar >40%. Dalam mengevaluasi kemiringan lereng yang digunakan sebagai faktor pembatas merupakan kombinasi menurut para ahli di atas, yaitu sangat sesuai memiliki kemiringan lereng <10%, cukup sesuai dengan kemiringan lereng 10-15%, sesuai marginal memiliki kemiringan lereng 15-20%, dan tidak sesuai dengan kemiringan lereng >20%.

(2). Bahaya Longsor

Bahaya longsor merupakan parameter yang penting dalam menentukan kesesuaian lahan untuk perumahan karena bahaya longsor dapat mempenaruhi tingkat kenyamanan, dan keamanan penghuni. Oleh karena itu lokasi lahan perumahan seharusnya terbebas dari ancaman longsor. Wilayah DAS Ciliwung secara umum memiliki katagori bahaya longsor, sehingga parameter bahaya longsor digunakan dalam evaluasi kesesuaian lahan perumahan. Menurut Bappeda Kabupaten Bogor (2007) bahaya longsor diklasifikasikan menjadi empat kelas yaitu: daerah bebas bahaya longsor (normal), potensi, bahaya, dan sangat bahaya


(36)

(3). Penggunaan Lahan

Fungsi utama kawasan Bopunjur sebagai konservasi air dan tanah kurang berfungsi sebagaimana mestinya akibat perkembangan pembangunan yang pesat dan kurang kendali. Penggunaan lahan, merupakan indikator penting dalam mengenali kondisi keseluruhan wilayah penelitian. Hal ini berkaitan dengan terpeliharanya daerah resapan air, pengurangan aliran permukaan, pengendalian erosi saat musim penghujan, dan mencegah kekeringan saat musim kemarau. Oleh karena itu, penggunaan lahan digunakan sebagai skala proporsi dengan mengelompokkan penggunaan lahan yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi lahan perumahan.

Penggunaan lahan terdiri atas 4 kelas, yaitu kelas sangat sesuai atau S1 berupa lahan permukiman, kelas sesuai atau S2 berupa lahan semak belukar dan rumput, kelas sesuai marjinal atau S3 berupa penggunaan lahan sebagai ladang, sawah, dan perkebunan teh, dan kelas tidak sesuai atau N berupa penggunaan lahan sebagai air dan hutan

2.6.Prilaku Manusia

Dahama dan Batnagar (1980) dalam Hidayati (1993), prilaku terbentuk melalui proses tertentu, yang pembentukannya senantiasa berlangsung dalam interaksi manusia dengan lingkungannya. Faktor-faktor yang berperan dalam pembentukannya adalah faktor internal dan eksternal. Faktor internal berupa kecerdasan, dorongan atau minat perhatiannya untuk mengolah pengaruh-pengaruh dari luar, sedangkan yang tergolong faktor eksternal adalah obyek, orang, kelompok dari hasil kebudayaan yang dijadikan sasaran dalam mewujudkan bentuk prilaku.

Batasan hubungan antara manusia dengan lingkungan hidup dapat dipahami dari pengertian lingkungan hidup yang tertera pada Undang-undang RI Nomor 4 tahun 1997, tentang ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup, yaitu lingkungan adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan prilakunya yang mempengaruhi kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya.


(37)

Berkaitan dengan tingkah laku, Bakker (1984) menyatakan, bahwa tingkah laku tidak hanya ditentukan oleh lingkungannya, tetapi juga sebaliknya, yaitu lingkungan ditentukan oleh tingkah laku. Kedua hal tesebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Hubungan ini merupakan hubungan dua arah atau sebagai ketergantungan ekologi.

Analisis prilaku masyarakat dilakukan dengan mengidentifikasi prilaku masyarakat dalam merespon lingkungan atau penilaian keberlanjutan masyarakat dalam mengelola lingkungan. Dengan kata lain, bagaimana seseorang dapat mengelola lingkungan agar dapat memberdayakan dirinya sendiri dan masyarakat sekitarnya sehingga kualitas lingkungan terjaga dan lingkungan perumahan menjadi sehat.

Parameter prilaku masyarakat yang digunakan ditinjau dari beberapa aspek, antara lain.

1. Kondisi Sosial Ekonomi

Parameter yang digunakan untuk menilai keberlanjutan dari kondisi sosial-ekonomi pada perumahan adalah.

a. Jumlah anggota keluarga

Jumlah anggota keluarga merupakan anggota yang tinggal dalam pengelolaan sumber daya keluarga, yang terdiri atas bapak, ibu, anak, dan anggota keluarga lainnya. Berdasarkan kriteria norma keluarga kecil bahagia dan sejahtera yang dikemukakan oleh BKKBN (2002) besar keluarga dibagi dalam tiga kelompok, yaitu keluarga kecil ≤ 4 orang (bapak, ibu, dan dua anak), keluarga sedang terdiri atas 5-6 orang, dan keluarga besar terdiri atas ≥ 7 orang. Jumlah anggota keluarga terkait dengan jumlah kebutuhan ruang yang diperlukan pada rumah sehingga berpengaruh pada tingkat kenyamanan penghuni.

b. Tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan dapat menggambarkan kemampuan kognitif. Pendidikan mempunyai pengaruh yang besar baik untuk rumah tangga maupun untuk masyarakat sekitarnya. Semakin tinggi pendidikan kepala rumah tangga (KRT) semakin baik pengetahuannya mengenai perumahan atau tempat tinggalnya, khususnya kesehatan pribadi dan lingkungan sehingga berpengaruh langsung dalam menentukan kualitas rumah yang ditempati


(38)

(BPS, 2006). Hal ini sejalan dengan pendapat Susanto (1997), semakin tinggi tingkat pendidikan formal akan semakin luas tingkat pengetahuan seseorang untuk melakukan pengelolaan permukiman lebih baik.

c. Umur responden

Umur merupakan salah satu identitas yang dapat mempengaruhi pola fikir dan kemampuan kerja (Purwanti, 2007).

d. Jenis pekerjaan dan jumlah pendapatan

e. Kondisi kesehatan, meliputi luas bangunan, pencahayaan dan penghawaan, fasilitas air bersih dan air kotor, pembuangan limbah padat dan cair, serta pembuangan sampah.

2. Aspek Budaya dan Prilaku

Parameter yang digunakan dalam menilai keberlanjutan dari aspek budaya dan prilaku adalah.

a. Kearifan lokal (tipe bangunan, pemakaian bahan bangunan, konstruksi bangunan).

b. Prilaku masyarakat dalam menjaga dan melestarikan lingkungan.

2.7. Sistem Informasi Geografis

Sistem informasi geografi (SIG) merupakan teknologi untuk penanganan data spasial. SIG terdiri atas perangkat keras dan perangkat lunak komputer yang mampu menangkap, menyimpan dan memproses informasi spasial berupa data kualitatif dan kuantitatif, menyatukan, dan menginterpretasi peta (Farina, 1998). Menurut Star dan Estes (1990), SIG merupakan suatu sistem informasi yang menggunakan data referensi berupa spasial (koordinat geografi) dan non spasial. SIG umumnya dipergunakan untuk bidang pekerjaan perencanaan kota dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan bidang lainnya. SIG merupakan penggantian peta-peta yang terbuat dari kertas ke file-file yang ditampilkan di layar komputer. Proses penyusunan SIG meliputi pengumpulan data dalam berbagai bentuk, pemasukan data, pengelolaan data, pengolahan dan analisis, dan terakhir berupa hasil produk.

Aplikasi SIG selain untuk menyimpan data, mengorganisir dan menganalisis, mengkombinasi dan menampilkan informasi geografinya, juga


(39)

dapat membuat berbagai model (seperti rupa bumi, DAS, dan sistem pertanian), bahkan simulasi yang sesuai dengan kebutuhan. Menurut Foote and Lynch (1996), tiga hal penting yang dimiliki oleh SIG, yaitu (1) SIG berhubungan dengan berbagai aplikasi database lainnya dengan menggunakan geo-reference sebagai dasar utama dalam proses penyimpanan dan akses informasi, (2) SIG merupakan sebuah teknologi yang terintegrasi karena dapat menyatukan berbagai teknologi geografi yang ada seperti penginderaan jauh, Global Positioning System (GPS), dan Computer-Aided Design (CAD), dan (3) SIG dapat membantu dalam proses pengambilan keputusan, bukan hanya dilihat sebagai sistem perangkat keras/lunak. Selanjutnya Cabuk (1995) menyatakan penggunaan SIG dalam studi perencanaan lanskap dua dimensi berdasarkan data dan analisis lingkungan alami, budaya, sosial-ekonomi, dan data demografi merupakan jalan terbaik. Dengan SIG dapat ditentukan penggunaan lahan yang sesuai dengan daya dukung dan kondisi kehidupan masyarakatnya.


(40)

3.1. Waktu dan Lokasi

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Maret hingga September 2007 di hulu DAS Ciliwung, Provinsi Jawa Barat. Secara geografis, hulu DAS Ciliwung terletak pada 106º55’00”-107º00’00” Bujur Timur dan 06º35’00”-06º45’00” Lintang Selatan. Lokasi penelitian terletak di Kampung Neglasari dan Kampung Pondok Caringin (Desa Tugu Utara) di daerah hulu atas yang berada di ketinggian 1.000-1.050 m dpl, Kampung Cilember Abaya dan Kampung Cirangrang (Desa Cilember) di daerah hulu tengah yang berada di ketinggian 700-750 m dpl, dan Kelurahan Katulampa di daerah hulu bawah yang berada di ketinggian 300-350 m dpl (Gambar 2). Kelima kampung ini dipilih sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan bahwa wilayah tersebut masing-masing memiliki karakteristik topografi, iklim, hidrologi, dan keadaan sosial-ekonomi kependudukan yang relatif berbeda sehingga diharapkan memberikan masukan dalam menyusun rekomendasi menuju perumahan sehat dan berwawasan Lingkungan di bagian hulu DAS Ciliwung.


(41)

Wilayah penelitian ini juga terkait dengan penelitian sebelumnya, yaitu dalam ruang lingkup DAS dalam bentuk Hibah Penelitian Tim Pascasarjana angkatan IV dalam periode 2006-2008, yang merupakan kerjasama Ditjen DIKTI dan Departemen Arsitektur Lanskap IPB.

3.2. Alat dan Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Peta Rupa Bumi Indonesia tahun 1998 lembar 1209-141 dan 1209-142 skala 1 : 25.000 produksi Bakosutranal, peta digital landuse DAS Ciliwung, peta tanah DAS Ciliwung Hulu, peta kemiringan lereng, peta elevasi, dan peta curah hujan dalam bentuk digital (PPLH IPB), dan data curah hujan 2004.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini alat tulis, kamera digital, Global Positioning System (GPS), roll meter, scanner, kuisioner, komputer, printer, dan Software Arc View versi 3.2.

3.3. Metode Penelitian

Penelitian ini meliputi empat kajian, yaitu (1) evaluasi kesesuaian lahan perumahan, (2) kondisi perumahan, (3) prilaku masyarakat dalam pengelolaan lingkungan perumahan di hulu DAS Ciliwung, dan (4) rekomendasi kriteria menuju perumahan sehat dan berwawasan lingkungan. Kegiatan penelitian ini dilakukan dalam 4 tahap sebagai berikut.

(1). Prasurvei

Kegiatan prasurvei dipusatkan pada penelusuran pustaka, deliniasi peta, dan penentuan lokasi sampel penelitian. Penelusuran pustaka dilakukan untuk mengetahui hasil-hasil penelitian terdahulu yang terkait dengan topik penelitian. Delinasi lokasi penelitian dilakukan berdasarkan batas kawasan DAS Ciliwung Hulu dan peta rupa bumi Indonesia lembar 1209-142, 1209-144 dan 1209-231 produksi Bakosurtanal.

(2). Pengumpulan Data

Pengumpulan data spasial dan nonspasial dari survei lapang secara langsung, baik melalui wawancara, kuisioner maupun kunjungan lapang. Wawancara dilakukan kepada pemerintah daerah dan pihak-pihak yang terkait


(42)

dengan penentu kebijakan. Penyebararan kuisioner dilakukan terhadap 90 responden dalam lokasi sampel dengan mengikuti metode pengambilan contoh dengan tujuan (purposive sampling).

(3). Pengolahan Data

Pengolahan data dengan pendekatan membandingkan kondisi yang ada dengan parameter-parameter sebagai faktor pembatas, meliputi evaluasi kesesuaian lahan, kondisi perumahan, dan prilaku masyarakat (Gambar 3).

Gambar 3. Tahapan penelitian

3.3.1. Evaluasi Kesesuaian Lahan Perumahan di Hulu DAS Ciliwung

Evaluasi kesesuaian lahan bertujuan mengevaluasi dan menganalisis kesesuaian lahan perumahan pada tiga desa terpilih, yang ditinjau dari aspek

Menentukan sampel perumahan di lokasi penelitian

Pepres No.58 tahun 2008 UU No.26 tahun 2007 UU Nomor 4 Th 1992 Kepmenkes No. 829/ Menkes SK/VII/1999

Pemenkes No.416 tahun

1990

Kesesuaian lahan perumahan

Menyusun rekomendasi kriteria perumahan sehat berwawasan lingkungan di bagian hulu DAS Ciliwung

HULU DAS CILIWUNG

Data spasial kemiringan lereng, bahaya longsor, dan

penggunaan lahan

Data non spasial mengetahui karakteristik perumahan dan

penilaian masyarakat terhadap kualitas lingkungan Pra survei Analisis data Pengum pulan data Sintesis Kondisi perumahan Prilaku masyarakat dalam pengelolaan lingkungan perumahan

Kawasan perumahan di bagian hulu DAS Ciliwung


(43)

biofisik (kemiringan lereng, bahaya longsor, dan penggunaan lahan). Klasifikasi kesesuaian lahan dilakukan satu tahap secara kualitatif, berdasarkan kecocokan lahan untuk penggunaan perumahan, dengan cara membandingkan kualitas masing-masing satuan peta dengan persyaratan penggunaan lahan yang diterapkan (Hardjowigeno et al 2004). Bagan alir proses evaluasi lahan perumahan dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Bagan alir proses evaluasi lahan perumahan

(1). Pengumpulan data

Pengumpulan data dilakukan melalui lembaga atau instansi terkait, yaitu Bakosurtanal, PPLH IPB, BMG, Bappeda, Dinas Cipta Karya, kantor tingkat kecamatan dan desa, hasil penelitian terdahulu, dan survei lapangan.

(2). Jenis data

Data yang dikumpulkan meliputi data biofisik yang terdiri atas kemiringan lereng, bahaya longsor, dan penggunaan lahan.

(3). Pengolahan data

a. Penyiapan peta dasar dan peta tematik, dilakukan dengan digitasi peta hulu DAS Ciliwung untuk mengetahui batasan hulu DAS Ciliwung dan selanjutnya melakukan konversi untuk memperoleh peta tematik. Untuk mendapatkan peta penggunaan lahan, dilakukan dengan klasifikasi citra Landsat ETM 2006, sedangkan peta kemiringan lereng diperoleh dari peta kontur dengan tahapan diolah menjadi tin, convert to grid, derivy slope, dan

Persiapan kegiatan evaluasi kesesuaian lahan perumahan di bagian hulu DAS Ciliwung

Peta kemiringan lereng, peta bahaya longsor, dan peta penggunaan lahan

Parameter sebagai faktor pembatas


(44)

reclassify. Koreksi geografik dilakukan menggunakan Arcview Image Analysist.

b. Proses tumpang susun (overlay) menggunakan SIG dengan software ArcView versi 3.2 dilakukan untuk mengetahui kelas kesesuaian lahan. Proses ini dilakukan dengan menumpangsusunkan peta-peta tematik sehingga diperoleh peta kesesuaian lahan perumahan berwawasan lingkungan. Penentuan kelas kesesuaian lahan dilakukan dengan pembandingan persyaratan penggunaan lahan dengan kualitas lahan. Klasifikasi kesesuaian lahan perumahan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi kesesuaian lahan perumahan

Karakteristik Lahan Kualitas Lahan untuk Kelas Kesesuaian Lahan

S1 S2 S3 N

Kemiringan lereng <10% 10-15% 15-20% >20%

Bahaya longsor Normal Potensial Bahaya Sangat potensial

Penggunaan lahan Permukiman Semak

belukar, rumput

Ladang, sawah, perkebunan

Badan air, hutan

Sumber: Zee (1990); Harjowigeno et al (2001). 3.3.2. Kondisi Perumahan

Analisis kondisi perumahan di hulu DAS Ciliwung bertujuan mengevaluasi kondisi fisik perumahan dan kondisi sosial-ekonomi.

(1) Sampel perumahan

Pemilihan sampel kampung di wilayah DAS berdasarkan besarnya jumlah penduduk dari desa yang terpilih. Dari kampung yang terpilih, diambil 15 rumah yang dipilih secara acak sehingga jumlah total sampel sebanyak 90 rumah dan penghuni. Populasi adalah permukiman di hulu DAS Ciliwung Hulu mencakup tiga desa, yaitu Desa Tugu Utara, Desa Cilember, dan Kelurahan Katulampa. (2). Pengumpulan data

Data diperoleh dari hasil wawancara dengan masyarakat, pengamatan fisik perumahan, dan data demografi desa.

(3). Jenis data

Jenis data yang dikumpulkan berupa data kependudukan (jumlah penduduk dalam kampung dan jumlah penghuni/kepala keluarga) dan kondisi rumah. Kondisi rumah responden ditinjau dari konstruksi bangunan rumah (jenis konstruksi bangunan, elemen ruang, luas bangunan, dan bahan bangunan), ukuran


(45)

perumahan diukur berdasarkan jumlah rumah dan penduduk, kepadatan bangunan rumah diukur berdasarkan jumlah luasan rumah per luasan tapak, tipe permukiman dilihat dari susunan tata letak bangunan, dan jumlah rumah.

(3). Analisis Data

Data kependudukan, konstruksi bangunan, prasarana, dan sarana lingkungan perumahan dianalisis dengan SPSS versi 13. Data ukuran, tingkat kepadatan, dan tipe perumahan dianalisis berdasarkan kriteria dari masing-masing sub-variabel pada aspek bentuk perumahan (Tabel 2).

Tabel 2. Kriteria pada masing-masing sub-variabel bentuk permukiman

Sub-variabel dari aspek bentuk

perumahan Kriteria

Ukuran Permukiman

- Permukiman tunggal - Permukiman kecil - Permukiman kecil-sedang - Permukiman sedang - Permukiman besar - Permukiman sangat besar

Satu rumah

2-20 rumah (10-100 penduduk) 100 - 500 penduduk

500- 2000 penduduk 2.000-5.000 penduduk Lebih dari 5.000 penduduk

Kepadatan Bangunan

- Sangat jarang - Jarang - Padat - Sangat Padat

-Padat kompak

Pekarangan rumah berjauhan

Pekarangan rumah bersentuhan tetapi letak rumah tidak bersentuhan

Jarak antar rumah kecil

Rumah kurang lebih menutupi jalan, dinding rumah saling bersentuhan satu sama lain

Tidak ada ruang terbuka dalam sebuah blok bangunan

Tipe Permukiman - Tipe linier - Tipe plaza

-Tipe pemukiman/perumahan dengan pengaturan area atau streetplan

Posisi rumah berjajar linier

Posisi rumah diatur mengelilingi sebuah ruang bersama

Rumah-rumah diatur dalam posisi beraturan atau direncanakan streetplan dalam suatu wilayah

Sumber : Zee (1986)

3.3.3. Prilaku Masyarakat

Tujuan dari analisis prilaku masyarakat ini adalah mengidentifikasi prilaku masyarakat dalam merespon lingkungan atau penilaian keberlanjutan masyarakat dalam mengelola lingkungan. Dengan kata lain, bagaimana seseorang dapat mengelola lingkungan agar dapat memberdayakan dirinya sendiri dan masyarakat


(46)

sekitarnya sehingga kualitas lingkungan terjaga dan lingkungan perumahan menjadi sehat. Parameter prilaku masyarakat yang digunakan ditinjau dari beberapa aspek (Tabel 3).

Tabel 3. Parameter prilaku masyarakat

Aspek Parameter

Sosial Jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan, umur responden, Ekonomi Jenis pekerjaan, dan jumlah pendapatan

Kesehatan Luas bangunan, pencahayaan dan penghawaan, fasilitas air bersih dan kotor, pembuangan limbah padat dan cair, dan pembuangan sampah

Budaya dan prilaku

Tipe bangunan, pemakaian bahan bangunan, konstruksi bangunan, dan fasilitas lingkungan

- Aspek Sosial-Ekonomi

Parameter yang digunakan untuk menilai keberlanjutan dari kondisi sosial pada perumahan adalah (a) jumlah anggota keluarga, (b) tingkat pendidikan, (c) umur responden.

- Aspek ekonomi, meliputi (a) jenis pekerjaan, (b) jumlah pendapatan.

- Aspek kesehatan, meliputi (a) luas bangunan, (b) pencahayaan dan penghawaan, (c) fasilitas air bersih dan air kotor, (d) pembuangan limbah padat dan cair, dan (e) pembuangan sampah.

- Aspek Budaya dan Prilaku

Parameter yang digunakan dalam menilai keberlanjutan dari aspek budaya dan prilaku adalah (a) kearifan lokal (tipe bangunan, pemakaian bahan bangunan, konstruksi bangunan) dan (b) prilaku masyarakat dalam menjaga dan melestarikan lingkungan.

(1). Pengumpulan data

Pengumpulan data dilakukan melalui instansi terkait, yaitu Dinas Cipta Karya, kantor tingkat kecamatan, kantor tingkat desa, kantor tingkat kampung, dan survei lapangan. Teknik pengumpulan data dengan melakukan wawancara pada masyarakat, terutama yang berkaitan dengan penyediaan dan pemanfaatan prasarana seperti air bersih, sanitasi, dan persampahan. Hal tersebut ditujukan untuk menjamin terciptanya kualitas lingkungan berdasarkan standar baku mutu lingkungan yang lebih bersifat objektif dan ditekankan pada aspek sosial-ekonomi, aspek kesehatan dan bagaimana prilaku masyarakat dalam mengelola


(47)

lingkungan agar kualitas lingkungan baik dan berkelanjutan, dalam arti perumahan akan sehat dan berwawasan lingkungan.

(2). Jenis data

Data yang dikumpulkan berupa prilaku masyarakat dalam pengelolaan perumahan seperti pengelolaan sampah, penggunaan dan pengelolaan air bersih dan air buangan, prasarana, dan sarana lingkungan permukiman.

(3). Analisis Data

Analisis data dilakukan menggunakan metode analisis deskriptif

3.3.4. Rekomendasi Perumahan Sehat dan Berwawasan Lingkungan di DAS Ciliwung Bagian Hulu

Berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian lahan, kondisi perumahan, dan prilaku masyarakat dalam pengelolaan lingkungan yang diteliti disusun suatu pengembangan dalam bentuk rekomendasi kriteria-kriteria menuju perumahan sehat dan berwawasan lingkungan, yang diberikan berdasarkan analisisis perbandingan dari hasil analisis biofisik, sosial, ekonomi, dan budaya dengan standar perumahan dari instansi terkait (Tabel 4).

Tabel 4. Standar rumah dan perumahan sehat

Komponen Kualitas Rumah dan Perumahan Sehat Elemen Pendukung Standar

Rumah

Koefisien Dasar Bangunan (KDB)

Hulu atas (Kec.Cisarua) 16,5% Hulu tengah (Kec.Cisarua) 16,5% Hulu bawah (Kota Bogor) 40%

Kelengkapan ruang Memiliki teras, ruang tidur, ruang makan, kamar mandi dan dapur

Ruang gerak minimal 9 m²/orang

Luas minimal Kamar tidur minimal 8 m² untuk 2 orang tidur

Pondasi Kuat untuk meneruskan beban demi kestabilan bangunan

Lantai Kedap air dan tidak lembab

Dinding Melindungi penghuni dari panas, debu, angin, hujan dan menjaga privasi penghuni

Langit-langit Tinggi minimum 2,4 m dari lantai

Teras Ketinggian teras minimal 10 cm dari muka

tanah, dan 25 cm dari jalan.

Jendela dan pintu Luas lubang bukaan permanen minimal

10% dari luas lantai berfungsi sebagai pertukaran udara dan pencahayaan.


(48)

Komponen Kualitas Rumah dan Perumahan Sehat

Elemen Pendukung Standar

Atap Mampu untuk melindungi rumah dari hujan

dan sengatan matahari dengan bahan bangunan yang aman digunakan

Kualitas udara Udara nyaman 18-30ºC, kelembaban

40-70%

Sarana dan prasarana

Air bersih Ketersediaan air berjarak maximal 5 m

Kapasitas 60 liter/orang/hari, tersedia setiap waktu

Memenuhi syarat kesehatan air bersih

Pembuangan air limbah Tidak mencemari air dan permukaan tanah

Tidak menimbulkan bau

Pembuangan limbah padat Tidak mencemari air dan permukaan tanah

Tidak menimbulkan bau

Pembuangan sampah Ketersediaan wadah

pembuangan/pengelolaan sampah Prilaku

Pembersihan halaman Halaman bebas dari sampah

Pembuangan Sampah Pada tempatnya atau ada pengolahan

sampah

Membuang Tinja Pada tempatnya

Sumber: Rencana Detail Tata Ruang Kecamatan Bogor Timur Tahun (1998/1999); Rencana Terperinci Tata Ruang Kawasan Bopunjur (2001); Dept. PU, Direktorat Jendral Cipta Karya (1994); Kepmenkes No.829/Menkes/SK/VII/1999


(49)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.Kondisi Umum Lokasi Penelitian 4.1.1. Letak Desa Penelitian

Desa Tugu Utara merupakan desa yang terletak di wilayah hulu DAS Ciliwung bagian atas, terletak di wilayah Kecamatan Cisarua. Secara geografis Tugu Utara terletak pada 106º57’30 Bujur Timur - 106º58’30” Bujur Timur dan 6º41’40’’ Lintang Selatan - 6º42’40’’ Lintang Selatan. Berdasarkan peta rupa bumi, Desa Tugu Utara merupakan perbukitan dengan ketinggian 1000-1050 m dpl dan memiliki luas wilayah 1.339,4 ha. Desa Tugu Utara terdiri atas 5 kampung, yaitu Kampung Neglasari, Kampung Cisuren, Kampung Pondokrawa, Kampung Pondok Caringin, dan Kampung Sukatani. Jumlah penduduk Desa Tugu Utara adalah 10.158 jiwa dengan 2.224 kepala keluarga (KK). Batas administrasi Desa Tugu Utara di sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Jonggol, di sebelah timur berbatasan langsung dengan Kabupaten Cianjur, yaitu Kecamatan Pacet, di sebelah selatan berbatasan langsung dengan area Perkebunan Teh Gunung Mas dan Jalan Raya Puncak, serta di sebelah barat berbatasan dengan Desa Batu Layang.

Desa Cilember merupakan desa yang terletak di wilayah hulu DAS Ciliwung bagian tengah. Secara geografis, Desa Cilember terletak pada 106º54’30” Bujur Timur - 106º56’30’’ Bujur Timur dan 6º38’30’’ Lintang Selatan - 6º40’30’’ Lintang Selatan. Berdasarkan peta rupa bumi, Desa Cilember merupakan perbukitan dengan ketinggian 650-850 m dpl dan memiliki luas wilayah 296,7 ha. Desa ini terdiri atas 12 kampung, yaitu Kampung Pasir Pogor, Kampung Cita Lingkup, Kampung Cirangrang, Kampung Baru, Kampung Lomayung, Kampung Kadugede, Kampung Babakan, Kampung Simpang Tilu, Kampung Kemanggede, Kampung Kotabatu, dan Kampung Cilember Abuya. Jumlah penduduk Desa Cilember adalah 13.826 jiwa dengan 3.142 kepala keluarga (KK). Batas administrasi Desa Cilember, di sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Megamendung, sebelah timur dengan Kecamatan Megamendung, sebelah selatan dibatasi oleh Desa Leuwimalang dan Desa Jojogan, dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Cipayung Girang.


(50)

Kelurahan Katulampa merupakan kelurahan yang terletak di wilayah hulu DAS Ciliwung bagian bawah. Secara geografis, Kelurahan Katulampa termasuk dalam Kecamatan Bogor Timur, terletak pada 106º49’11” Bujur Timur - 106º50’25” Bujur Timur dan 6º35’10” Lintang Selatan - 6º38’5” Lintang Selatan. Kelurahan Katulampa terletak pada ketingian 300 – 370 m dpl. Luas Kelurahan Katulampa adalah 299,7 ha. Jumlah penduduk Kelurahan Katulampa sebesar 2146 jiwa dengan 419 KK. Batas administrasi kelurahan Katulampa, di sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Cimahpar dan Kelurahan Tanah Baru, sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Cibanon dan Kelurahan Sukaraja, sebelah selatan berbatasan dengan Keluraha Tajur dan Kelurahan Sindangsari, sedangkan sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Baranang Siang dan Kelurahan Sukasari. 4.1.2. Jenis Tanah

Kondisi fisik tanah di lokasi penelitian sangat berperan dalam membentuk karakter lahan baik yang terkait dengan produksi, habitat maupun tempat berdirinya struktur bangunan. Pada lokasi penelitian, terdapat dua jenis tanah meliputi jenis Latosol Coklat dan Latosol Kemerahan. Berdasarkan sifat erodilibitas, tanah Latosol tergolong peka terhadap erosi. Potensi erosi di DAS Ciliwung bagian hulu ini relatif tinggi sehingga limpasan air hujan yang masuk ke dalam sungai akan mengakibatkan sedimentasi yang tinggi. Peta jenis tanah pada lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1.

4.1.3. Iklim

Berdasarkan klasifikasi iklim Koppen, iklim di lokasi penelitian termasuk dalam tipe iklim Af (tropis lembab), yaitu dicirikan oleh suhu yang relatif tinggi dan konstan. Jumlah curah hujan pada ketiga desa cukup tinggi. Masing-masing desa memiliki jumlah curah hujan yang berbeda. Di wilayah Desa Tugu Utara jumlah curah hujan sebesar 3.000-3.500 mm/th, di wilayah Desa Cilember jumlah curah hujan sebesar 3.500-4.500 mm/th, sedangkan Kelurahan Katulampa sebesar 3.000-4.500 mm/th. Tingkat kelembaban di lokasi penelitian berkisar antara 70-80% . Peta Curah Hujan di lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 2.


(51)

4.1.4. Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan pada lokasi penelitian diklasifikasikan menjadi 8 jenis penggunaan lahan, yaitu air, semak belukar, lahan terbangun, hutan, perkebunan teh, ladang, rumput, dan sawah. Penggunaan lahan pada Desa Tugu Utara, Desa Cilember, dan Kelurahan Katulampa dapat dilihat pada Tabel 5, sedangkan peta penggunaan lahan pada ketiga desa dapat dilihat pada Lampiran 3. Luas lahan terbangun di Desa Tugu Utara adalah seluas 109,1 ha (8,1%), di Desa Cilember seluas 65,8 ha (22,2%), dan di Kelurahan Katulampa seluas 183 ha (61%).

Tabel 5. Luas dan persentase penggunaan lahan di lokasi penelitian

No. Penggunaan

Lahan

DAS Ciliwung Hulu

Bagian atas Bagian tengah Bagian bawah

Desa Tugu Utara Desa Cilember Kelurahan katulampa

Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) %

1. Air 0,2 0,0 6,8 2,3 5,3 1,8

2. Semak belukar 223,4 16,7 106,9 36 96,9 32,3

3. Lahan terbangun 109,1 8,1 65,8 22,2 183 61

4. Hutan 628,8 46,1 50,2 16,9 4,2 1,4

5. Perkebunan teh 243,3 18,2 12,3 4,1 0,0 0,0

6. Ladang 76,1 5,7 23,9 8,1 0,0 0,0

7. Rumput 2,0 0,1 19,2 6,5 3,7 1,2

8. Sawah 56,5 4,2 11,6 3,9 6,6 2,2

Jumlah 1339,4 100,0 296,7 100,0 299,7 100,0

Sumber: PPLH IPB (2006) 4.2.Kondisi Lahan

4.2.1. Karakteristik Lahan

Daerah aliran sungai Ciliwung bagian Hulu secara umum memiliki variasi ketinggian dari 300 - >1000 m dpl. Berdasarkan variasi ketinggian, DAS Ciliwung bagian Hulu dibedakan menjadi Hulu bagian atas > 900 mdpl. Hulu bagian tengah 600 – 900 mdpl, dan Hulu bagian bawah 300-600 m dpl. Identifikasi karakteristik lahan meliputi kemiringan lereng, bahaya longsor, dan penggunaan lahan. Ketiga karakteristik tersebut digunakan sebagai skala proporsi dalam menilai kesesuaian lahan untuk pengembangan lahan perumahan di lokasi penelitian.

4.2.1.1. Kemiringan Lereng

Kemiringan lereng di wilayah DAS Ciliwung hulu terdiri atas empat kelas, yaitu kelas kemiringan lereng S1 atau datar (< 10%), S2 atau landai (10-15%), S3 atau agak curam (15-20%), dan N atau curam >20%. Data kemiringan lereng di


(1)

Lampiran 1. Peta jenis tanah DAS Ciliwung Hulu


(2)

Lampiran 2. Peta curah hujan DAS Ciliwung Hulu


(3)

Lampiran 3. Peta penggunaan lahan DAS Ciliwung Hulu


(4)

Lampiran 4. Peta Kesesuaian lahan berdasarkan penggunaan lahan di DAS Ciliwung Hulu


(5)

Lampiran 5. Peta Kesesuaian lahan berdasarkan kemiringan lereng di DAS Ciliwung Hulu


(6)

Lampiran 6. Peta Kesesuaian lahan berdasarkan bahaya longsor di DAS Ciliwung Hulu