29
BAB II PERKEMBANGAN SANKSI PIDANA DENDA DALAM SISTEM
PEMIDANAAN DI INDONESIA
A. Sejarah Lahirnya dan Perkembangan Pidana Denda di Indonesia
Sekalipun telah diadakan usaha-usaha pembaruan dan perbaikan untuk mengurangi berlakunya pidana perampasan kemerdekaan, namun merupakan
suatu kenyataan bahwa pada pidana perampasan kemerdekaan akan melekat kerugian-kerugian yang kadang kala sulit untuk dihindari dan diatasi, bilamana
ditinjau dari segi tujuan yang hendak dicapai.
Ditinjau dari segi filosofis, maka terdapat hal-hal yang saling bertentangan, yang antara lain adalah sebagai berikut:
40
1. Bahwa tujuan penjara yang pertama adalah menjamin pengamanan
narapidana, dan tujuan yang kedua adalah memberikan kesempatan kepada narapidana untuk direhabilitasi;
2. Bahwa fungsi penjara tersebut seringkali mengakibatkan dehumanisasi
pelaku tindak pidana dan pada akhirnya menimbulkan kerugian bagi narapidana yang terlalu lama di dalam lembaga, yaitu berupa
ketidakmampuan narapidana tersebut untuk melanjutkan kehidupannya secara produktif di dalam pergaulan masyarakat.
Oleh sebab itu, sekalipun penjara diusahakan untuk tumbuh sebagai instrumen reformasi dengan pendekatan manusiawi, namun sifat aslinya sebagai
40
Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hlm. 43.
Universitas Sumatera Utara
lembaga yang harus melakukan tindakan pengamanan, pengendalian narapidana tidak dapat ditinggalkan dengan begitu saja.
Di samping kerugian yang bersumber pada hakikat pengertian tersebut, maka kerugian yang cukup memprihatinankan terlihat dari apa yang dikemukakan
oleh seorang sosiolog bernama Clemer sebagaimana telah dikutip oleh Muladi : berdasarkan pengamatannya di penjara-penjara dengan sistem keamanan
maksimum di Amerika Serikat, maka dapat disimpulkan bahwa kita harus melihat kehidupan penjara lebih daripada sekedar hanya merupakan dinding-dinding dan
ruji-ruji, sel-sel dan kunci-kunci.
41
Penjara harus berlaku di suatu masyarakat, di mana penjara sebagai suatu sistem sosial informal yang disebut sebagai subkultur narapidana. Subkultur
narapidana ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan individual dari masing-masing narapidana, khususnya proses sosialisasi narapidana tersebut
ke dalam masyarakat narapidana yang oleh Clemmer disebut sebagai “Prisonisasi”. Dikatakan bahwa di dalam proses prisonisasi ini narapidana baru
harus membiasakan diri terhadap aturan-aturan yang berlaku baru harus membiasakan diri terhadap aturan-aturan yang berlaku di dalam masyarakat
narapidana. Ia juga harus mempelajari kepercayaan, perilaku-perilaku dan nilai dari masyarakat narapidana tersebut.
42
Di samping faktor-faktor universal, terdapat pula faktor-faktor lain yang menentukan, sehingga orang menjadi terpenjara. Hal ini meliputi lamanya pidana
yang harus dijalani, stabilitas kepribadian terpidana, hubungan yang terus-
41
Muladi dan Barda Nawawi Arif, Teori-Teori dan Kebijakan dalam Pidana, Bandung: Alumni, 1984, hlm. 142.
42
Niniek Suparni, op.cit., hlm 44.
Universitas Sumatera Utara
menerus dengan orang-orang di luar penjara, penempatannya di dalam kelompok- kelompok kerja, sel dan lain sebagainya.
Makin lama pidana penjara tersebut dijalani, maka kecenderungan untuk terpenjara menjadi semakin besar pula. Yang kemudian seseorang yang menjadi
terpenjara secara sempurna, memiliki kecenderungan untuk melakukan tindak pidana lebih lanjut setelah ia keluar dari penjara.
43
Pidana penjara telah tumbuh menjadi tempat pencemaran yang justru oleh penyokong-penyokong penjara dicoba untuk dihindari sebab di tempat inilah
penjahat-penjahat kebetulan, pendatang baru di dunia kejahatan dirusak melalui pergaulannya dengan penjahat-penjahat kronis. Bahkan personel yang paling baik
pun telah gagal untuk menghilangkan keburukan yang sangat besar dari penjara tersebut.
Pada masa sekarang ini maksud dijatuhkannya pidana perampasan kemerdekaan adalah, bahwa dengan pidana itu dapat dilakukan pembinaan
sedemikian rupa sehingga setelah terpidana selesai menjalani pidananya diharapkan terpidana akan menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya. Untuk
pelaksanaan pembinaan tersebut diperlukan waktu yang cukup. Selain itu program pembinaan dan metode pembinaan akan tergantung pada waktu yang tersedia,
yang pada akhirnya akan mempengaruhi hasil akhir dari pembinaan.
44
Waktu yang singkat dalam hal pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek akan menghambat usaha pencapaian tujuan tersebut. Pidana perampasan
kemerdekaan jangka pendek tidak mendukung kemungkinan untuk diadakannya
43
Ibid.
44
Ibid., hlm. 45.
Universitas Sumatera Utara
rehabilitasi narapidana di satu pihak, dan lain pihak bahkan dapat menimbulkan apa yang disebut “Stigma” atau “Cap Jahat”
45
. Stigmatisasi ini pada dasarnya menghasilkan segala bentuk sanksi negatif
yang berturut-turut menimbulkan stigma lagi. Karena suatu kejahatan maka seseorang secara resmi dipidana, sehingga ia kehilangan pekerjaannya dan
selanjutnya akan menempatkannya di luar lingkungan teman-temannya, dan kemudian stigmasisasi menyingkirkannya dari lingkungan orang-orang yang
benarbaik-baik. Stigmasasi ini mungkin merupakan hasil daripada pembinaan atas
kejahatan, sehingga stigma tersebut juga merupakan hasil daripada reaksi-reaksi. Stigma tersebut juga merupakan hasil dari pada reaksi-reaksi. Stigma ini terjadi
melalui pihak ketiga dan dalam hal ini media massa berperananan besar di dalam stigmatitasi dengan menyebutkan nama seseorang atau bahkan hanya dengan
menyebutkan nama depan inisialnya saja di dalam surat kabar. Secara psikologis, stigmatisasi ini menimbulkan kerugian yang terbesar bagi pelaku tindak pidana,
karena dengan demikian publik akan mengetahui bahwa yang bersangkutan adalah seorang penjahat, dengan segala akibatnya.
Hal lainnya yang dapat lebih memperburuk keadaan pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek adalah panjang dan lamanya waktu dari mulai tahap
penyidikan untuk sampai kepada putusan hakim. Seringkali antara masa tahanan yang telah dijalani terpidana dengan lamanya pidana yang dijatuhkan oleh Hakim
45
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
tidak terpaut lama, bahkan tidak jarang pula begitu putusan dijatuhkan terpidana sudah harus dikeluarkan dari lembaga atau tempat yang bersangkutan di tahan.
Masalah terkait pembinaan dapat diatasi dengan memulai pembinaan sejak awal masa penahanan, akan tetapi hambatan di dalam masa pembinaan tersebut
ialah belum adanya kepastian tentang kesalahan terdakwa, sehingga program pembinaan tidak dapat dijalankan sebagaimana mestinya.
Satu-satunya keuntungan dari penjatuhan pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek ialah, bahwa dengan jangka waktu yang pendek berarti penderitaan
agak berkurang, baik terhadap terpidana sendiri maupun terhadap keluarganya. Akan tetapi apabila ditinjau dari segi masyarakat akan terasa menguntungkan,
karena biaya yang diperlukan lebih sedikit apabila dibandingkan dengan pidana perampasan kemerdekaan yang berjangka waktu panjang.
46
Dengan demikian sampai saat ini keberadaan pidana perampasan kemerdekaan akan tetap ada atau sulit dihindari, meskipun kerugian-kerugian
yang melekat padanya pada masa mendatang keberadaan pidana perampasan kemerdekan tetap merupakan pendukung sistem peradilan pidana. Yang penting
adalah seberapa jauh penggunaan pidana perampasan kemerdekaan dapat dibatasi, sehingga terdapat keserasian, keselarasan dan keseimbangan penggunaannya
dengan pidana non kemerdekaan. Penjatuhan pidana denda sebagai alternative dari pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek yang merupakan jenis pidana
46
Ibid., hlm. 46
Universitas Sumatera Utara
pokok yang paling jarang dijatuhkan oleh para hakim, khususnya dalam praktek peradilan di Indonesia.
47
Pidana denda adalah termasuk jenis pidana yang tertua di dunia, di samping pidana mati. Dalam hukum Adat dikenal pidana berupa pembayaran baik kepada
penguasa Kerajaan maupun sebagai pengganti kerugian kepada korban. Bentuk pembayaran ini mulai dari bentuk uang sampai bentuk “in natura”, seperti ternak,
hasil kebun, dan lain sebagainya. Perkembangan pidana denda dipandang lebih ringan daripada pidana
penjara, apalagi jika dibandingkan dengan pidana mati. Pasal 13 KUHP sendiri telah mengatakan demikian. Ada kecenderungan bahwa di banyak negara
sekarang ini dan untuk masa yang akan datang, terjadi perkembangan daripada pidana denda. Pidana denda sudah tidak lagi merupakan pidana kelas dua setelah
pidana kebebasan atau pidana hilang kemerdekaan. Y.E. Lokollo dengan mengacu pada beberapa kepustakaan mengatakan
bahwa perkembangan pidana denda tidak saja mengenai banyaknya penggunaan pidana dalam penjatuhan pidana, akan tetapi juga mengenai besarnya minimum
dan maksimum denda. Dikemukakannya pula lebih lanjut bahwa penyebab perkembangan pidana denda antara lain disebabkan oleh membaiknya secara
tajam tingkat kesejahteraan masyarakat di bidang materiil, kemampuan fnansial pada semua golongan masyarakat. Sebagai akibat membaiknya tingkat
47
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
kesejahteraan masyarakat membawa akibat terhadap perubahan watak karakter dari kriminalitas.
48
Penggeseran di dalam pemidanaan yang menampilkan pidana denda mengganti
posisi pidana
kebebasan, berorientasi
pada pertimbangan
meningkatnya kesejahteraan dan kemampuan financial pada semua golongan masyarakat tersebut.
49
Kebenaran alasan ini memang dapat diterima, namun bagaimanakah gambaran di negara kira, negara Indonesia? Apakah keadaan di Indonesia sejauh
ini dapat digambarkan dalam pendapat di atas? Bukankah pencurian atau perampokan maupun penipuan yang terjadi lebih disebabkan oleh keadaan dan
kebutuhan ekonomi yang mendesk bagi sementara masyarakat dalam arti tingkat kesejahteraan dan kemampuan financial masyarakat yang masih rendah. Bahkan
banyak terjadi akhir-akhir dasawarsa ini tindak pidana pencurian, perampokan didahului dengan pembunuhan. Bukankah keadaan seperti ini karena desakan
kebutuhan finansial untuk menghidupi keluarga atau dirinya sendiri. Kurangnya lapangan kerja yang berdampak kurangnya pendapat seseorang
cenderung meningkatkan kriminalitas. Bahkan tidak mungkin bagi seorang pekerja karena kurangnya pemenuhan hidupnya yang paling minim sekalipun,
akan berbuat hal-hal yang dianggap terecela dalam masyarakat. Hal ini berkaitan dengan menghangatnya permasalahaan di kalangan pegawai negeri yang korupsi
kecil-kecilan atau menerima suap yang tak lain adalah untuk mencukupi biaya
48
Ibid., hlm. 47.
49
Ibid, hal. 48
Universitas Sumatera Utara
hidup yang tidak tercukupkan dari gaji yang diterimanya. Begitulah gambaran yang terjadi atau mungkin terjadi di sekitar kita.
Tentunya di samping gambaran di atas, ada pula tindak pidana yang dilakukan oleh orang-orang
yang tingkat kemampuan finansial dan kesejahteraannya sudah melebihi dari cukup yang melakukannya hanya karena
nafsu keserakahan seperti yang terjadi dalam kasus Bank Duta, kasus- kasus lain yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintah ataupun kasus-kasus manipulasi lainnya.
Pidana mati adalah suatu pidana yang ditujukan kepada jiwa orang, pidana penjara penjara dan kurungan kepada kebebasan orang, sedangkan pidana denda
tertuju kepada harta benda orang berupa kewajiban membayar sejumlah uang tertentu. Diantara jenis-jenis pidana yang terdapat di dalam KUHP WvS jenis
pidana denda merupakan pidana tertua, lebih tua dari pidana penjara, mungkin setua pidana mati.
50
Sebelum menjadi sanksi yang mendukung semua pemidanaan KUHP, pidana denda telah dikenal secara luas hampir setiap masyarakat, termasuk
masyarakat primitif, walaupun dengan bentuknya yang primitif, dan tradisional Indonesia. Pada zaman kerajaan Majapahit, sanksi pidana denda biasanya
dikenakan pada kasus-kasus penghinaan atau pencurian dan pembunuhan binatang pemeliharaan yang menjadi kesenangan raja.
Apabila denda tidak dibayar, maka orang yang bersalah harus menjadi hamba atau budak dengan menjalankan apa yang diperintahkan tuannya. Bila
utang benda dapat dilunasi maka setiap saat ia dapat berhenti menjadi hamba. Dan
50
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
tidak berhak menetapkan berapa lama orang yang bersalah itu menghamba untuk melunasi utang bendanya adalah raja yang berkuasa.
B. Faktor-Faktor yang Mendorong Perluasan Pidana Denda