Latar Belakang PERKEMBANGAN SANKSI PIDANA DENDA DALAM SISTEM

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seiring dengan kemajuan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan tekonologi, perilaku manusia di dalam hidup bermasyarakat dan bernegara justru semakin kompleks dan bahkan multikompleks. Perilaku demikian apabila ditinjau dari segi hukum tentunya ada perilaku yang dapat dikategorikan sesuai dengan norma dan ada perilaku yang tidak sesuai dengan norma. Terhadap perilaku yang sesuai dengan norma yang berlaku, tidak menjadi masalah. Terhadap perilaku yang tidak sesuai dengan norma, biasanya dapat menimbulkan permasalahan di bidang hukum dan merugikan masyarakat. Hukum tidak dapat dilepaskan dari manusia, oleh karena itu sangatlah sulit untuk membayangkan adanya suatu masyarakat tanpa hukum. 1 Perilaku yang tidak sesuai norma atau dapat disebut sebagai penyelewengan terhadap norma yang telah disepakati ternyata menyebabkan terganggunya ketertiban dan ketenteraman kehidupan manusia. Penyelewengan yang demikian, biasanya oleh masyarakat dicap sebagai suatu pelanggaran dan bahkan sebagai suatu kejahatan. Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkan Negara. Kenyataan telah membuktikan, bahwa kejahatan hanya dapat dicegah dan dikurangi, tetapi sulit diberantas secara tuntas. 2 1 Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hlm. 1. 2 Ibid. Universitas Sumatera Utara Dewasa ini masalah hukum pidana banyak dibicarakan dan menjadi sorotan, baik dalam teori maupun dalam praktek dan bahkan ada usaha untuk menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional. Usaha tersebut adalah bertujuan untuk mengatasi berbagai kelemahan dan kekurangan yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku sekarang, yang merupakan peninggalan zaman penjajahan yang dalam kenyataannya masih dipakai pada masa orde baru di zaman kemerdekaan ini, yang ternyata banyak pengaturan di dalamnya yang sudah tidak sesuai lagi dengan jiwa dan semangat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 maupun dengan situasi dan kondisi masyarakat saat ini. 3 Bagian yang tidak terpisahkan dari hukum pidana adalah masalah pemidanaan. Bukan merupakan hukum pidana apabila suatu peraturan hanya mengatur norma tanpa diikuti dengan suatu ancaman pidana. Meskipun bukan yang terutama akan tetapi sifat dari pidana merupakan suatu penderitaan. Pidana yang dijatuhkan bagi mereka yang dianggap bersalah merupakan sifat derita yang harus dijalaninya. 4 Penjatuhan pidana bukan semata-mata sebagai pembalasan dendam. Yang paling penting adalah pemberian bimbingan dan pengayoman sekaligus kepada masyarakat dan kepada terpidana sendiri agar menjadi insaf dan dapat menjadi anggota masyarakat yang baik. 3 Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika, 1996, hlm. 1. 4 Ibid. Universitas Sumatera Utara Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ada menyatakan tujuan dari pemidanaan. Adapun tujuan dari pemidanaan adalah: 5 1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat. 2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna. 3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat, dan 4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Apabila tujuan pemidanaan ingin ditinjau secara tepat, maka aspek peninjauannya perlu dibedakan ke dalam tiga taraf aspek yakni dari aspek legislatif pemberi ancaman pidana, yudikatif penegak ancaman pidana dan eksekutif pelaksana ancaman pidana. 6 Dengan konsep Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, baik tentang tujuan serta jenis-jenis pidana, dapat disimpulkan bahwa pemidanaan mempunyai pengertian bukan saja melakukan pembinaan terhadap narapidana, akan tetapi lebih dari itu adalah untuk ikut mencegah serta memberantas kejahatan yang terjadi dimasyarakat. Tujuan pemidanaan itu juga menjadi pedoman bagi hakim dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana yang dijatuhkan. Hal ini akan memudahkan bagi hakim dalam menetapkan takaran pemidanaan. Hakim juga 5 Pasal 54 Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2012. 6 Bambang Waluyo, op.cit., hlm. 5. Universitas Sumatera Utara dituntut menjadi lebih mengerti terhadap suatu perbuatan itu dan tujuan pemidanaan itu. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, jenis-jenis pidana yang dicantumkan terhadap pelaku tindak pidana diatur dalam Pasal 10 KUHP yaitu terbagi atas pidana pokok dan pidana tambahan. Salah satu bagian dari pidana pokok adalah pidana denda. Suatu tindak pidana hanya akan diancamkan dengan pidana denda apabila dinilai tidak perlu diancam dengan pidana penjara, atau bobotnya dinilai kurang dari satu tahun. Menurut ketentuan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Baru, dalam hal tindak pidana yang tidak diancaman dengan minimal khusus maka Hakim masih memiliki kebebasan untuk menjatuhkan pidana penjara atau pidana kurungan jangka pendek, demikian juga untuk denda yang tidak dibayar harus diganti dengan pidana penjara. 7 Pidana denda yang apabila dihubungkan dengan tujuan pemidanaan lebih diutamakan dalam delik-delik terhadap harta benda, sehingga harus dicari keserasian antara kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindak pidana dengan besar pidana denda yang harus dibayar oleh terpidana. Oleh karena itu harus dipertimbangkan dengan seksama, minimum maupun maksimum pidana denda yang diancamkan terhadap suatu tindak pidana. 8 Disadari pula dengan berkembangnya jenis-jenis delik baru dalam masyarakat khususnya di bidang perekonomian yang diakibatkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat, maka di samping ganti 7 Niniek Suparni, op.cit., hlm 8. 8 Ibid. Universitas Sumatera Utara kerugian, pidana denda akan menempati kedudukan yang penting. Terlebih lagi apabila dihubungkan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi. Meskipun telah diberikan patokan ancaman minimum maupun maksimum pidana denda, namun masih diperlukan pembahasan tentang penerapan pidana denda tersebut. Sebab akan sangat berpengaruh besarnya perbedaan antara ancaman sanksi pidana yang telah ditentukan dengan besarnya sanksi yang dijatuhkan oleh Pengadilan. Dalam hal yang demikian bukanlah berarti bahwa pidana berat akan menjamin efektivitas pidana, akan tetapi diharapkan penjatuhan pidana juga mempertimbangkan pokok-pokok pikiran yang melatarbelakangi ancaman pidana yang telah ditentukan. Sikap Hakim terhadap penilaian pada ancaman pidana denda cenderung digunakan hanya untuk tindak pidana yang ringan-ringan saja, sehingga pidana penjara tetap merupakan yang utama. Keseluruhan masalah di atas adalah mengenai pemidanaan, khususnya mengenai jenis pidana denda yang dihubungkan dengan ketentuan umum yang terdapat dalam KUHP. Pidana denda lebih terlihat di dalam peraturan-peraturan daerah, karena memang sifat dari Peraturan Daerah untuk memberikan perlindungan terhadap terjadinya pelanggaran yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana yang sifatnya ringan. Namun demikian efektivitasnya pun masih tetap diragukan, sehingga diperlukan suatu pengkajian terhadap penerapan pidana denda. 9 9 Ibid. hlm. 9. Universitas Sumatera Utara Suatu fenomena sosial yang dinamakan korupsi merupakan realitas perilaku manusia dalam interaksi sosial yang dianggap menyimpang, serta membahayakan masyarakat dan Negara. Oleh karena itu, perilaku tersebut dalam segala bentuk dicela oleh masyarakat, bahkan termasuk oleh para koruptor itu sendiri sesuai dengan ungkapan “koruptor teriak koruptor”. Salah satu pengertian korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan uang Negara atau perusahaan, dan sebagainya untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Korupsi pun sering dikaitkan dengan perilaku yang dilakukan oleh aparat pemerintah. Menurut Huntington 1968, korupsi adalah perilaku pejabat publik yang menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi. Sedangkan Transparency International 2010 sebagai salah satu organisasi masyarakat yang memerangi korupsi, mendefenisikan korupsi sebagai tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak. 10 Kasus korupsi yang marak di Indonesia saat ini bukan hanya kasus korupsi yang ditimbulkan oleh pejabat dan petinggi-petinggi negara namun pengusaha- pengusaha kelas atas pun sudah mulai meramaikan kasus tersebut. Bahkan lembaga hokum tertinggi di Indonesia pun sudah menunjukkan perannya dalam 10 http:www.scribd.comdoc252884949Paper-Korupsiscribd diakses pada hari rabu tanggal 22 April 2015 pukul 23.00 WIB. Universitas Sumatera Utara kasus tersebut seperti kasus korupsi yang menjerat ketua Mahkamah Konstitusi di yang baru saja terjadi. Korupsi seakan sudah menjadi hal yang biasa bagi Indonesia namun hal tersebut sangat merugikan bangsa Indonesia itu sendiri. Korupsi menimbulkan banyak kerugian baik untuk negara maupun untuk masyarakatnya. Korupsi merupakan tindakan yang melanggar hukum. Korupsi pada umumnya dilakukan oleh orang yang memiliki kekuasaan dalam suatu jabatan tertentu sehingga karakteristik kejahatan korupsi itu selalu berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasaan. menurut Ibnu Khaldun penyebab- penyebab terjadinya korupsi adalah nafsu untuk hidup mewah dan berlebih dalam kelompok yang memerintah atau kelompok penguasa yang menyebabkan kesulitan-kesulitan ekonomi dalam menopang pembangunan nasional. 11 Menyadari kompleksnya permasalahan korupsi di tengah-tengah krisis multidimensional serta ancaman nyata yang pasti akan terjadi, yaitu dampak dari kejahatan ini. Maka tindak pidana korupsi dapat dikategorikan sebagai permasalahan nasional yang harus dihadapi secara sungguh-sungguh melalui keseimbangan langkah-langkah yang tegas dengan melibatkan semua potensi yang ada dalam masyarakat khususnya pemerintah dan aparat penegak hukum. 12 Pemberantasan dan pembuktian terjadinya suatu tindak pidana korupsi tidaklah mudah seperti membalikkan tangan. Tindak pidana korupsi dapat terungkap setelah berlangsung dalam waktu yang lama. Umumnya tindak pidana korupsi melibatkan sekelompok orang yang saling menikmati keuntungan dari tindak pidana korupsi tersebut. Kekhawatiran akan keterlibatannya sebagai 11 .Rohim, Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi, Pena Multi Media, Jakarta, 2008, halaman. 7 12 Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hlm. 2. Universitas Sumatera Utara tersangka, maka diantara sekelompok orang tersebut akan saling menutupi sehingga secara sadar atau tidak sadar, tindak pidana korupsi itu dilakukan secara terorganisir dalam lingkungan kerjanya. 13 Berbagai strategi pemberantasan korupsi telah dilakukan dalam rangka pertanggungjawaban pidana dan menciptakan efek jera kepada para pelaku korupsi juga kepada masyarakat. Hukuman yang diberikan berupa pidana penjara dan pidana denda. Keefektifan penerapan pidana denda ini dalam juga masih menjadi hal yang dipertanyakan oleh kalangan masyarakat, karena penjatuhan pidana oleh Hakim, yang dimana terdapat subsidair pidana kurungan membuat masyarakat kebingungan akan kegunaan pidana denda yang bersifat tidak mutlak tersebut. Dalam kasus korupsi, hakim lebih cenderung memberikan pidana penjara yang tinggi dan hanya mengenakan pidana denda yang relatif rendah. 14 Terkait dengan kasus pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kebijakan pemberian pidana denda harus dilakukan secara efisien, pasti dan rasional dan juga pidana denda harus dikenakan semaksimal mungkin. Landasan kecenderungan Hakim dalam menjatuhkan tindak pidana penjara bagi pelaku adalah agar pelaku bisa jera dan bertobat atas tindak pidana yang telah dilakukan. Hal ini mengingat bahwa hukuman denda tidak akan bisa membuat pelaku tindak pidana bisa sadar atas kesalahan yang telah dilakukannya. Sehingga hukuman penjara yang dijatuhkan oleh hakim sangat efektif untuk menjadikan pembuat tindak pidana bertobat dan jera atas tindak pidana yang telah 13 Ibid. 14 http:alsaindonesia.orgsiteailrc-alsalcunud diakses tanggal 26 April 2015. Universitas Sumatera Utara dilakukannya. Dalam pertimbangan sosiologis, pertimbangan hakim juga didasarkan atas efek dari hukuman penjara yang akan menjadikan pelaku tindak pidana bisa memperoleh perbaikan moral agar bisa kembali ke masyarakat dengan baik masih memerlukan rehbailitasi, baik rehabilitasi nama baik dan rehabilitasi perilaku bagi si terdakwa yang dijatuhkan pidana penjara. 15 Pidana denda untuk Tindak Pidana Korupsi diatur di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. Undang- Undang ini telah mengalami perubahan sebanyak lima kali, yaitu pada tahun 1957, 1960, 1971, 1999, dan yang terakhir 2001. Perubahan terdapat dalam delik dan ancaman pidananya.

B. Perumusan Masalah

Dokumen yang terkait

GRATIFIKASI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

0 3 18

PENEGAKAN...HUKUM....PIDANA…TERHADAP ..TINDAK.. .PIDANA GRATIFIKASI. MENURUT. UNDANG.UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 JO UNDANG .UNDANG .NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

0 5 21

PENDAHULUAN PENEGAKAN HUKUM UNDANG-UNDANG No. 31 TAHUN 1999 Jo. UNDANG-UNDANG No. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DAN KONVENSI PBB MENGENAI KORUPSI, 2003 TERHADAP PENGEMBALIAN ASET NEGARA.

1 4 16

PENUTUP PENEGAKAN HUKUM UNDANG-UNDANG No. 31 TAHUN 1999 Jo. UNDANG-UNDANG No. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DAN KONVENSI PBB MENGENAI KORUPSI, 2003 TERHADAP PENGEMBALIAN ASET NEGARA.

0 2 9

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 0 8

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 0 1

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 1 28

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 0 36

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 0 3

Pembuktian Terbalik Oleh Jaksa Penuntut Umum Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

0 0 14