gabungan dari pengertian atau makna kata „media, dan makna kata „pendidikan‟. Ji
ka makna kata media adalah „sarana‟, maka, makna kata pandidikan adalah suaru proses pendewasaan atau perubahan mental manusia ke arah konstruktif.
Maka media pendidikan adalah sarana atau saluran yang dipakai dalam menunjang suatu pesan berupa proses pendewasaan, perubahan mental, psikis,
jiwa, rohaniah, kognitif, intelektual manusia secara positif yang berlandaskan prinsip kemanusiaan dan hubungan manusia dengan alam, Tuhan, dan
masyarakat.
4. Tradisi Lisan dan Cerita Rakyat
Tradisi Lisan dalam KBBI adalah Folklor lisan.
11
Namun tradisi lisan lebih luas cakupannya dari folklor lisan, folklor, erat kaitannya dengan sebuah
cerita lisan yang menyangkut legenda, mite atau dongeng. Pada mulanya informasi atau pesan ada dan berkembang melalui sebuah tradisi lisan, yakni yang
dikatakan oleh James Danadjaja hal itu disebut dengan ilmu menggosip, seni bercerita dan mendongeng.
12
Pada cara ini, maka mungkinlah suatu masyarakat dapat menyampaikan sejarah lisan, sastra lisan, hukum lisan dan pengetahuan
lainnya ke generasi seterusnya tanpa melibatkan bahasa tulisan. Biasanya isi informasinya agak bias dan terdapat lebih dari ribuan versi, tergantung dari
redaksi orang yang berceritanya. karena dongeng diceritakan dari mulut ke mulut, selain itu seseorang yang memiliki kepentingan yang berlainan, bisa saja merubah
ceritanya, menjadi cerita yang lain, namun bertema atau bertokoh yang mungkin sama. adapun James Danadjaya mengatakan bahwa Folklor tisan terbagi menjadi
legenda, mite dan dongeng. kemudian James Danadjaya dalam bukunya yang berjudul Folklor Indonesia, mengatakan bahwa suatu foklor tidak berhenti
menjadi foklor jika ia berubah menjadi cetakan. Suatu folklor memiliki identitas, selama ia berasal dari peredaran lisan.
13
Transkripsi cerita rakyat yang diambil dari tradisi lisan misalnya. Jadi cerita rakyat pada mulanya diawali dari tradisi
11
Ibid., h. 1208.
12
James Danadjaya, Folklor Indonesia: Ilmu Gosip Dongeng dan Lain-Lain, Jakarta: Grafitypers, 1986, h.5.
13
Ibid., h. 23.
lisan, diceritakan dari generasi ke generasi, hingga ditulis atau dicetak oleh penulis. Agar cerita bisa dibaca oleh generasi berikutnya. Dongeng bersifat bias.
Bisa jadi pendongeng yang bercerita hari ini jika disuruh untuk mengulangi lagi dongengnya pada saat ini juga. Maka ceritanya ada yang sedikit berbeda. Karena
batasan dari sebuah dongeng ataupun tradisi lisan adalah lisan. Liaw Yock Fang dalam Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik mengatakan
bahwa kesusastraan rakyat adalah sastra yang hidup di tengah-tengah rakyat. Dituturkan oleh ibu kepada anaknya yang dalam buaian.
14
Tukang cerita juga menuturkannya kepada penduduk kampung yang tidak bisa membaca tukang
cerita sendiri belum tentu bisa membaca. Cerita yang semacam ini diturunkan secara lisan dari satu generasi kepada generasi yang lebih muda. Cerita yang
tersebar di kalangan rakyat awalnya dilisankan, namun kemudian cerita tersebut dikumpulkan oleh bangsawan atau raja yang memerintah, ditulis disesuaikan
dengan kehendak istana.
15
Cerita rakyat merupakan cerita yang berkembang pada masyarakat di daerah tertentu. Cerita rakyat kental dengan mitos, kepercayaan
masyarakat, kebiasaan-kebiasaan dan tokoh nama yang ditulis nyata dan banyak. Cerita rakyat terlahir tanpa sebuah pengarang, atau anonim, karna itu cerita rakyat
merupakan cerita berkaitan dengan sejarah.
16
Kuntowijoyo mengatakan bahwa sastra rakyat dikenal dengan nama tradisi lisan mencakup suatu bidang yang cukup luas. Sastra rakyat terdiri dari
cerita-cerita, ungkapan, pribahasa, nyanyian, tarian, adat resmi, undang-undang, teka-teki, permainan, kepercayaan dan perayaan, semuanya termasuk kedalam
sastra rakyat. Dalam masyarakat yang menekankan pentingnya pikiran kolektif seperti masyarakat Indonesia adanya etika otoritarian.Pikiran-pikiran kolektif
lebih penting daripada pikiran individual dan kesadaran kolektif lebih diutamakan
14
Liaw Yock Fang, Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011, h.1.
15
Ibid,. h.5.
16
Rane Wallek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, Jakarta :Gramedia, 1993, h. 280.
ketimbang kesadaran perorangan.
17
Liaw Yock Fang mengatakan bahwa cerita rakyat dapat dibagi atas empat jenis yaitu seperti berikut ini.
1. Cerita Asal-usul
Cerita asal-usul atau dongeng aetiologis adalah cerita rakyat yang tertua.Cerita-cerita ini sebenarnya sudah bisa dimasukkan ke dalam bidang
mitos, cerita yang dianggap benar oleh penceritanya.
18
Cerita asal usul dapat pula berupa cerita babad asal usul sebuah masyarakat yang penuh
dengan keajaiban dan tokoh mitos yang digambarkan memiliki kekuatan suppranatural.
2. Cerita Binatang
Cerita binatang adalah salah satu bentuk sastra rakyat yang sangat popular.Tiap-tiap bangsa di dunia ini mempuyai cerita binatang. C.
Hooykaas dalam Liaw Yock Fang, mengatakan bahwa sebagian dari cerita-cerita binatang ini berasal dari India, kemudian tersebar ke benua
asia dan eropa. Ada pula yang berpendapat bahwa cerita binatang itu timbul dalam masyarakat yang primitif, di mana saja. Jadi tidak mesti di
India. Dalam masyarakat primitif, manusia masih tinggal dalam gua, dan tiap hari bergaul dengan binatang. Mereka juga bergantung kepada
binatang untuk hidup. Oleh karena itu mereka tahu betul sifat-sifat binatang.Binatang juga diberi sifat-sifat manusia. Mereka dapat merasa
dan berpikir seperti manusia.Perbedaan bentuk fisik tidak penting. Dalam masyarakat primitif, tidak terdapat perbedaan antara dewa, binatang dan
manusia. Dalam cerita binatang, biasanya ada seekor binatang yang memegang peranan penting. Binatang itu biasanya binatang kecil dan
lemah. Tetepi dengan kecerdasannya ia dapat memperdaya binatang- binatang lain, sehingga seluruh hukum rimba takluk kepadanya.
19
Dalam masyarakat suku Jawa, cerita Si Kancil contohnya, sedangkan cerita
17
Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1987, h.138.
18
Liaw Yock Fang, op. cit., h.2.
19
Ibid., h. 4.
Sunda, Cerita Si Kera, contohnya. Cerita hewan ini disebut juga dengan fabel.
3. Cerita Jenaka
Cerita jenaka adalah cerita yang jenaka. Jenaka diterangkan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan Nasional, 2008:577
sebagai “mambangkitkan tawa, kocak, lucu: menggelikan.” Tetapi R. J. Wilkinson yang dikutip dalam Liaw Yock Fang menerangkan bahwa
jenaka juga berarti “willy, full of stratagem” cerdik, berakal, dan tahu ilmu siasat. Ringkasnya cerita jenaka adalah cerita tentang tokoh yang
lucu, menggelikan, atau licik dan licin.
20
Contoh cerita jenaka yang terkenal adalah, cerita Abu Nawas, dalam kesusastraan Timur Tengah,
Cerita Kabayan, dalam kesusastraan Sunda, cerita Semar, dalam kesusastraan Jawa, dan cerita jenaka lainnya.
4. Cerita Pelipur Lara
Cerita pelipur lara adalah cerita yang dipakai untuk melipur hati yang lara, yang duka nestapa. Pada zaman dahulu kala, sebelum adanya radio,
televisi, dan wayang gambar film, mendengar cerita pelipur lara merupakan satu-satunya hiburan bagi orang kampung. Bila matahari sudah
tenggelam, dan orang kampung sudah makan malam dan mulai beristirahat, mulailah si tukang cerita bercerita. Ia bercerita dengan nada
yang merata, seolah-olah membaca dari sebuah kitab. Cerita itu berlanjut sampai jauh malam, dan bila tidak selesai, akan dilanjutkan pada esok
malamnya. Biarpun tukang cerita itu tidak bisa membaca dan menulis, ia tidak pernah membuat kesalahan dalam certanya. Sebab, ia sudah biasa
mendengar cerita-cerita itu sejak kecill dari ayahnya, dan datuknya yang juga adalah tukang cerita. Mereka inilah yang dinamai sahibul hikayat.
Dan dengan berceritalah mereka mencari nafkah dari satu kampung ke kampung lain. Kedatangan mereka selalu disambut oleh orang kampung.
Mereka juga selalu diberi upah.
20
Ibid., h.13.
Ceritanya selalu tentang istana yang indah-indah buatannya, raja yang memerintah juga sangat besar kerajaannya, tetapi sayang sekali permaisuri
mandul. Karena itu baginda hidup dalam kesedihan.
21
Cerita pelipur lara ini biasanya berisi tentang kesedihan.
Cerita rakyat, sangat erat kaitannya dengan budaya sosial yang berkambang pada saat karya itu lahir.karenasastra mempunyai fungsi sosial atau
manfaat yang tidak sepenuhnya bersifat pribadi. Hal ini senada dikatakan oleh Rane wellek dan Austin Werren yang menyatakan bahwa “menyamakan sastra
dengan sejarah kebudayaan berarti menolak sastra sebagai bidang ilmu dengan metodenya sendiri.
”
22
menurut pendapat tersebut, maka dapat dikatakan bahwa wilayah sastra itu menyangkut legenda atau cerita sejarah yang telah dicampur
dengan rekaan atau fiksi. Cerita rakyat disebut juga cerita mitos, dan mitos merupakan suatu usaha
yang timbul untuk mengakrabi alam. Hal ini senada yang diungkapkan oleh Prih Suharto, dkk.,
“dalam batas-batas tertentu dapat kita katakan bahwa unsur mitos yang bersifat fantastis itu merupakan cerminan usaha nenek moyang kita untuk
mengakrabi alam, yang dengan demikian juga berarti mengakrabi diri sendiri, sekaligus sebagai menifestasi pengakuan mereka terhadap kebesaran Sang Maha
Pencipta .”
23
Hal-hal semacam itu misalnya kita jumpai pada cerita-cerita rakyat. Berdasarkan pendapat di atas dapat dikatakan bahwa cerita rakyat merupakan
cerita rekaan atau dongeng-dongeng berisi nilai-nilai moral, yang berfungsi sebagai usaha nenek moyang untuk menasehati keluarga maupun kerabatnya.
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa cerita rakyat sama halnya seperti dongeng yang mengandung nilai dan pesan moral yang tersirat, dan
kaya akan nasihat. Tradisi lisan merupakan tradisi menyampaikan informasi, pesan dan nasihat, dari mulut ke mulut. Cerita rakyat, merupakan tradisi lisan atau
21
Ibid., h.33.
22
Rane Wallek dan Austin Warren, op. cit., h. 12.
23
Prih Suharto dkk., Beberapa Cerita Bermotif Penjelmaan dalam Sastra Nusantara, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1994, h.3.
dongeng yang tertulis. Cerita tersebut, mengandung ajaran tradisional yang memiliki nilai budaya yang luhur.
5. Hakikat Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural
Andre Ata Ujan, dkk., mengatakan bahwa “multikulturalisme memiliki
dua arti di satu pihak merupakan suatu paham dan di lain pihak merupakan suatu pendekatan yang menawarkan paradigma kebudayaan untuk mengerti perbedaan-
perbedaan yang selama ini ada di tengah-tengah masyarakat kita dan dunia. ”
24
Jadi multikulturalisme terdapat dua arti, arti pertama merupakan suatu faham,
sedangkan arti kedua adalah suatu pendekatan seorang manusia untuk memahami bagaimana adanya keberagaman dan perbedaan-perbedaan yang selama ini hidup
ditengah-tengah masyarakat yang modern dan ditengah kondisi masyarakat yang mengglobal.
Alfons Taryadi yang dikutip oleh Andre, mengatakan bahwa multikulturalisme itu terdiri dari lima jenis
25
yaitu, 1.
multikulturalisme isolasionis, mengacu pada visi masyarakat sebagai tempat kelompok-kelompok budaya yang berbeda, menjalani hidup
mandiri dan terlibat dalam saling interaksi, minimal sebagai syarat yang niscaya untuk hidup saling bersama;
2. multikulturalisme akomodatif, mengacu pada visi masyarakat yang
bertumpu pada satu budaya dominan, dengan penyesuaian-penyesuaian dan pengaturan yang pas untuk kebutuhan budaya minoritas;
3. multikulturalisme mandiri, mengacu pada visi masyarakat yang mencari
kesetaraan antara kelompok-kelompok besar dengan budaya yang dominan, dan bertujuan untuk menempuh hidup mandiri dalam politik
kolektif yang dapat diterima; 4.
multikulturalisme kritis atau interaktif, merujuk pada visi masyarakat sebagai tempat kelompok-kelompok kultural yang kurang peduli terhadap
24
Andre Ata Ujan, dkk., Multikulturalisme: Belajar Hidup Bersama dalam Perbedaan, Jakarta: PT Indeks, 2009,h.15.
25
Ibid.,
hidup mandiri dan lebih peduli dalam menciptakan suatu budaya kolektif yang mencerminkan dan mengakui perspektif mereka yang berbeda-beda;
5. multikulturalisme kosmopolitan, mengacu pada visi masyarakat yang
berusaha menerobos ikatan-ikatan kultural yang membuka peluang bagi individu yang tidak terikat pada budaya khusus, secara bebas bergiat
dalam eksperimen-eksperimen antarkultur dan mengembangkan satu budaya milik mereka sendiri.
Andre mengatakan bahwa Masyarakat multikultural sebaiknya memiliki sikap rendah hati, mau menerima kenyataan, dan mengembangkan sikap hormat
akan keunikan masing-masing pribadikelompok dengan cara-cara berada mereka masing-masing.
26
Jadi apabila masyarakat tidak mau bersikap rendah hati dan tidak menjung-jung tinggi rasa hormat terhadap keunikan dari perbedaan masing-
masing individu. Maka yang terjadi setelah itu adalah pertentangan dan konflik berkepanjangan terhadap suatu masyarakat dan bangsa.
Indonesia merupakan masyarakat majemuk karena bukan hanya memiliki beraneka ragam corak kesukubangsaan dan kebudayaan secara horizontal, tetapi
juga secara vertikal, baik dari sisi kemajuan ekonomi, teknologi, dan organisasi sosial politiknya. Rusmin mengatakan bahwa,
“para ahli menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia mewujudkan diri sebagai suatu masyarakat yang majemuk, dan sudah
menjadi pokok perhatian dari para ahli untuk waktu yang lama. Dengan kalimat mewujudkan diri sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia
atau NKRI pada hakikatnya setiap kelompok, golongan, suku, agama dan yang berbeda satu dengan yang lainnya melebur dan bersepakat
membentuk kesukubangsaan yang satu, yaitu bangsa Indonesia
”.
27
Untuk itu
pendidikan multikultural
untuk mewujudkan
dan mempraktikkan NKRI terhadap Negara Indonesia sangat urgen dilakukan oleh
para pendidik di Indonesia saat ini.
26
Ibid.,h.15.
27
Rusmin Tumanggor, dkk., Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta: Kencana, 2010,h.96.
Hal tersebut dikatakan pula oleh Robert W Hefner, dalam penelitiannya yang mengungkap deskripsi sejarah masyarakat multikultural di wilayah Asia
Tenggara. Robert W. Hefner, mengatakan bahwa, “Di Asia Tenggara memiliki sejarah mereka sendiri yang kaya dengan
kebhinnekaan dan partisipasi. Sama halnya dengan Barat, di zaman pramodern tak satu pun dari masyarakat Asia Tenggara itu menetapkan
rumusan rumusan, yang oleh orang-orang yang berpikiran demokratis sekarang ini akan diterima untuk mengoordinasikan kewarganegaraannya
dan menjembatani jurang yang dalam dari kotak-kotak kebudayaan. Namun, elemen-elemen dari warisan yang lebih tua itu masih juga
melekat, dan setidak tidaknya, elemen-elemen terbaiknya harus dilibatkan jika usaha-usaha untuk mempromosikan suatu pluralisme yang lebih
partisipatoris diharapkan akan disambut baik oleh aktor-aktor dan organisasi-organisasi lok
al”.
28
Berdasarkan kutipan di atas dapat dikatakan bahwa masyarakat Indonesia telah lebih dahulu berinteraksi dengan multikulturalisme, melalui kebiasaan
ataupun profesi sabagian penduduknya yang bermatapencaharian sebagai pedagang atau pelayar. Selain itu jauh sebelum masa kolonialisme datang
membawa faham demokrasi, dalam masyarakat Indonesia sudah terdapat berbagai ras yang ada, ras tersebut adalah ras Indonesia pribumi, ras cina, ras india dan
ras arab, yang kemudian membawa budaya Islam. Hal ini senada dikatakan oleh Robert yang berpandangan tentang wilayah Asia Tenggara dengan kalimatnya
yaitu “di kawasan Asia Tenggara terdapat budaya yang lebih diterima dan menghargai budaya lainnya yang masuk.
”
29
Pendapat senada diujarkan oleh George F. Mc Lean, yang dalam teorinya mengatakan bahwa nilai agama yang berpayung penyebaran agama secara
damai, akan memudahkan interaksi masyarakat terhadap lingkungan baru, budaya dan etnik yang baru. Seperti kutipan George F. Mc Lean
”in contrast, an attitude of authe
ntic religious openness appreciates the nature of one’s own finiteness. On this basis it both respects the past and is open to discerning the
future. In other words, it is an acknowledgement that our religious and cultural
28
Robert W. Hefner ed., Politik Multikulturalisme, Jogjakarta: Penerbit Kanisius, 2007, h.77.
29
Ibid.
heritage has something new to say us ”.
30
Isi kutipan tersebut mengandung arti sebaliknya, sikap keterbukaan agama otentik menghargai sifat keterbatasan sendiri
seseorang. Atas dasar ini keduanya menghormati masa lalu dan terbuka untuk membedakan masa depan. Dengan kata lain, itu adalah pengakuan bahwa warisan
agama dan budaya kita memiliki sesuatu yang baru untuk dikatakan. Terdapat penelitian yang menarik dari Ronald Inglehart yang mengatakan
bahwa masyarakat yang berpenduduk berfaham multikultural lebih sejahtera dan berpendapatan besar kaya dibandingkan masyarakat yang memiliki tingkat anti
toleran yang rendah, seperti kutipan di bawah ini “Wilayah-wilayah budaya yang berbeda memang ada dan mereka
mempunyai konsekuensi sosial dan politik yang besar, serta membantu membentuk fenomena penting mulai tingkat kesuburan hingga perilaku
ekonomi dan institusi-institusi demokrasi. Satu dimensi utama dari variasi lintas budaya secara khusus penting bagi demokrasi. Masyarakat sangat
bervariasi dalam tingkatan penekanan masyarakat itu pada “nilai-nilai peninggalan” atau “nilai-nilai ekspresi diri”. Masyarakat yang
menekankan pada nilai yang terakhir sepertinya akan lebih demokratis dari pada masyarakat yang menekankan pada nilai-nilai peninggalan.
Pembangunan ekonomi tampaknya membawa perubahan berangsur-angsur dari nilai-nilai peninggalan menuju nilai-nilai ekspresi diri, yang
membantu menjelaskan mengapa masyarakat yang lebih kaya lebih mungkin untuk demokratis. Korelasi antara nilai peninggalan ekspresi diri
dan demokrasi sangat kuat . apakah keduanya berjalan seiring karena nilai- nilai ekspresi diri yang menyertakan kepercayaan antarpribadi, toleransi
dan partisipasi dalam pembuatan keputusan. Fakta menunjukkan bahwa hal ini lebih merupakan masalah budaya yang membentuk demokrasi
daripada sebaliknya
.”
31
Pernyataan tersebut beranggapan bahwa di dalam suatu masyarakat terdapat nilai ekspresi, nilai ekspresi merupakan suatu nilai yang menyertakan
suatu kepercayaan anatar pribadi, toleransi dan partisipasi dalam pembuatan keputusan. nilai ekspresi meliputi nilai saling menghargai, nilai toleransi dan
saling berpartisipasi akan membentuk demokrasi dan prilaku ekonomi yang
30
John P. Hogan ed., Cultural Identity, Pluralism and Globalization Volume 1: Culturall Pluralism and Demoratic Freedom, Washington, DC: The Council for Research in
Values and Philosophy, 2005,h.58.
31
Lawrance E. Harrison dan Samuel P. Huntington ed., Kebangkitan Peran Budaya: Bagaimana Nilai-Nilai Membentuk Kemajuan Manusia, Jakarta: Penerbit LP3ES, 2011,h.131.
meningkat. Masyarakat multikultural akan lebih memiliki nilai ekspresi, dibandingkan masyarakat yang manganut faham anti toleransi dan menggunakan
kediktatoran untuk mensejahterakan penduduknya. Pendidikan multikultural merupakan sebuah istilah yang sudah lama
muncul di dunia pendidikan. Dalam pendidikan multikultural selalu muncul dua kata kunci yaiu pluralitas dan kultural. Sebab, pemahaman terhadap pemahaman
terhadap pluralitas mencakup segala perbedaan dan keragaman. Sedangkan kultur itu sendiri tidak bisa terlepas dari empat tema penting, yaitu aliran agama, ras
etnis, suku, dan budaya. Istilah pendidikan multikultural secara etimologis terdiri atas dua terma,
yaitu pendidikan dan multikultural. Pendidikan dapat diartikan sebagai proses pengembangan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran, pelatihan proses, perbuatan dan cara-cara yang mendidik. Sedangkan istilah multikultural sebenarnya
merupakan kata dasar yang mendapat awalan. Kata dasar itu adalah “kultur” yang
berarti kebudayaan, kesopanan, atau pemeliharaan sedang awalan dari kata ter sebut, yakni
kata “multi” yang berarti banyak, ragam, atau aneka. Dengan demikian multikultural berarti keragama kebudayaan, aneka kesopanan, atau
banyak pemeliharaan. Namun dalam tulisan ini lebih diartikan sebagai keragaman budaya sebagai ejawantah dari keragaman budaya sebagai keragaman latar
belakang seseorang.
32
Secara termologis Ainurrofiq Dawam mengatakan bahwa, “pendidikan
multikultural berarti proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekuensinya keragaman
budaya, etnis, suku, dan aliran agama .”
33
Pengertian pendidikan multikultural yang demikian tentu mempunyai implikasi yang sangat luas dalam pendidikan.
Karena pendidikan itu sendiri secara umum difahami sebagai proses tanpa akhir atau proses sepanjang hayat. Dengan demikian, pedidikan multikultural
32
Ainurrofiq Dawam, Pendidikan Multikultural, Penerbit Inspeal : Jogjakarta, 2006, h.39.
33
Ibid.
menghendaki penghormatan dan penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia darimanapun dia dan dari budaya apapun dia.
Nurani Soyomukti mengutip pada buku yang berjudul Preparing Teacher to Teach Global Perspectives, Merryfield 1997 mengatakan bahwa
“ada tiga syarat yang harus dimiliki guru dalam mengembangkan pendidikan yang bersifat
global, yakni kemampuan konseptual, pengalaman lintas budaya, dan keterampilan pedagogis.
”
34
Kemampuan konseptual berkenaan dengan peningkatan pengetahuan guru dalam konteks isu-isu global. Guru harus memiliki pengetahuan tentang isu,
dinamika, sejarah, dan nilai-nilai global agar mereka memiliki keterampilan mengapresiasi persamaan dan perbedaan budaya dalam masyarakat dunia, di
dalam kelas. Syarat berikutnya adalah pengalaman lintas budaya inter-culturalism.
Guru harus memiliki pengetahuan langsung tentang kesadaran multi budaya. Ketidaktahuan seorang guru akan menimbulkan prasangka. Dalam proses
globalisasi terjadi trans nasionalisasi atau globalisasi ini tidak terkait dengan “tempat”. Trans nasionalisasi atau globalisasi memungkinkan manusia membuat
tindakan simultan dalam berbagai tempat yang berbeda sekaligus. “global” di sini
berart i “trans-lokal”. Globalisasi bukanlah sesuatu yang mengembangkan apa saja
dengan dalih keuniversalan, melainkan diberi makna yang baru. Inilah yang kemudian muncul istilah dari Roland Roberston: globalisasi. Apa yang lokal
bukannya tidak penting, justru mendapat arti yang baru dalam hubungan masyarakat.
Sementara Merry M Merry Field dalam Nurani Soyomukti mengatakan bahwa keterampilan pedagogis dalam perspektif global adalah
“the practice of teaching and learning globally oriented contens in ways that support diversity
and social juctice in interconnected world ”. Keterampilan pedagogis tentunya
menyangkut metode mengajar yang tepat oleh guru agar peserta didik dapat
34
Nurani Soyomukti, op. cit., h. 146.
memahami suatu masalah dalam konteks yang luas dan komprehensif global. Selain menguasai materi dan konsepsi permasalahan, guru harus memiliki
kemampuan agar apa yang disampaikan mudah diterima. Serta muncul motivasi bagi peserta didik untuk mempelajari dan mendalami tema-tema yang ada di luar
kelas.
35
Berdasarkan pendapat tersebut, maka dapat dikatakan setiap pendidik perlu untuk menanamkan pendidikan multikulturalisme kepada siswanya. Hal ini
didasari oleh kepentingan sosial kultur masyarakat Indonesia yang beragam selain itu. Budaya kekerasan dalam pelajar dewasa ini perlu ditekan bahkan dihilangkan.
Berdasarkan artikel bcerita satu.com. Mukhlis Paeni, menegaskan tentang pendidikan Multikultural, beliau mengatakan bahwa pendidikan multikultural
tidak hanya mengangkat budaya toleransi dan saling menghargai saja, tetapi pendidikan multikultural perlu menjungjung tinggi juga keadilan sesama manusia,
seperti kutipan berikut. “Engkau dan aku berbeda itu sudah selesai dan tak perlu
dipersoalkan, yang belum selesai itu bagaimana yang tak serupa itu mempunyai hak dan ruang yang sama dan harkat yang sama, itu m
ultikultural”
36
Namun setiap periode atau abad. Pendidikan multikultural selalu mengalami pasang surut. Kadang tidak ditanamkan, atau bahkan tidak di-didik-
kan kepada siswa sehingga masalah konflik, tauran ancaman sosial, kekerasan. Mungkin merupakan masalah yang tidak pernah selesai yang terjadi pada
masyarakat heterogen yang majemuk. Hal ini senada dengan yang diutarakan oleh Will Kymlica
“tantangan multikulturalisme akan tetap ada, saat kepentingan minoritas belum bisa terjawab dan secara alamiah akan terus tetap ada. Minoritas,
perlu diperhatikan dan dipikirkan pendekatan yang matang untuk membuat kebijakan apa demi saling “penerimaan” dan saling menghargai sesuatu yang
berbeda. ”
37
35
Ibid.
36
Bcerita Satu, Tradisi Lisan di Indonesia Menuju Kepunahan, 2013, http:m.bceritasatu.com.nasional9506-tradisi-lisan-di-Indonesia-menuju-kepunahan.html
.
37
Will Kymlika, Kewargaan Multikultural, Jakarta: Penerbit LP3ES Anggota IKAPI, 2011, h.295.
Dari berbagai teori dan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa multikultural memiliki dua pengertian yakni suatu faham, dan suatu pendekatan,
terdapat 5 jenis multikultural yaitu isalasionis, akomodatif, mandiri, kritis atau interaktif, dan kosmopolitan. Indonesia sebagai masyarakat yang berlatar
majemuk merupakan penduduk yang sudah mengenal multikultural secara implisit sejak zaman dahulu, sekitar abad ke 17. Ketika masyarakat Indonesia sudah
mengenal budaya agrarian dan budaya berlayar. Pendidikan multikultural merupakan pendidikan yang perlu diajarkan kepada siswa siswi di Indonesia.
untuk menanamkan budaya toleran dan meredam kekerasan serta konflik yang rentan terjadi.
6. Kurikulum 2013 di Indonesia
Orientasi pengembangan kurikulum 2013, yaitu tercapainya kompetensi yang berimbang antara sikap, keterampilan, dan pengetahuan, dan menggunakan
pembelajaran yang holistik dan menyenangkan
38
. Kurikulum 2013 disiapkan untuk mencetak generasi yang siap di dalam mengahadapi masa depan. Karena itu
kurikulum disusun untuk mengantisipasi perkembangan masa depan. Kurikulum ini bertujuan untuk mendorong peserta didik atau siswa mampu lebih baik dalam
melakukan observasi,
bertanya, bernalar
dan mengkomunikasikan
mempresentasikan, apa yang mereka peroleh atau mereka ketahui setelah menerima materi pembelajaran. Adapun objek yang menjadi pembelajaran dalam
kurikulum 2013 menekankan pada fenomena alam, sosial, seni, dan budaya. Melalui pendekatan itu diharapkan siswa memiliki kompetensi sikap keterampilan
dan pengetahuan yang jauh lebih baik. Pelaksanaan penyusunan kurikulum 2013 yaitu melanjutkan pengembangan kurikulum berbasis kompetensi dengan
mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara terpadu,
38
Anas Salahudin, dan Irwanto Alkrienciehie, Pendidikan Karakter: Pendidikan Berbasis Agama dan Budaya Bangsa, Bandung:Pustaka Setia, 2013, h.171.
sebagaimana amanat UU 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pada penjelasan pasal 35.
39
7. Pendidikan Multikultural dalam Kurikulum 2013
Menteri Pendidikan M. Nuh, mengatakan bahwa “kurikulum 2013
diupayakan untuk menonjolkan pendidikan kurikulum melalui sumber buku-buku ajar buku teks
”.
40
Penanaman pendidikan multikultural melalui kurikulum 2013 merupakan langkah yang diambil pemerintah untuk mentransformasi pendidikan
nasional. Langkah tersebut diambil dengan harapan dapat membentuk generasi Indonesia yang kreatif, inovatif dan berkarakter. Penanaman pendidikan
multikultural akan tercermin dalam berbagai buku teks yang digunakan untuk mendukung proses pembelajaran. Buku teks tersebut mengunakan nama-nama
tokoh dengan latar belakang budaya yang berbeda-beda. Hadirnya berbagai tokoh dengan latar belakang yang bervariasi diharapkan
dapat mencerminkan keragaman agama dan etnis yang ada di Indonesia. Selain itu, diharapkan pula nantinya generasi muda Indonesia akan terbiasa hidup dalam
keragaman, yang dibangun sejak dini di bangku sekolah. Selain memperkuat aspek kesadaran terkait pengetahuan multikultural melalui sisipan tokoh-tokoh
tersebut, budi pekerti juga akan di sisipkan pada pelajaran pendidikan agama. Hal ini ditujukan untuk membentuk siswa yang tidak hanya terbiasa hidup dengan
keragaman tetapi juga memegang prinsip toleransi dalam kehidupan
39
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional, Kurikulum 2013, 2013 httpkurikulum2013.kemendikbud.go.id..
40
Heru Sri Kumoro, Kurikulum 2013 Memperkuat Pendidikan Multikultural, 2014, http:edukasi.kompas.comread2013031011184141kurikulum.2013.memperkuat.pensisikan.m
ultikultural ..
bersama.
41
Berikut adalah gambar silabus kurikulum 2013 yang menggunakan prinsip budaya saling toleransi atau pendidikan mutikultural.
KelasSemester :XI SMAGanjil
KI 1: Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya. KI 2: Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab,
peduli gotong royong, kerjasama, toleran, damai, santun, responsif dan pro-aktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai
permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam
pergaulan dunia.
42
8. Media Cerita Rakyat sebagai Perwujudan dari Pendidikan Multikultural
Cerita Rakyat yang dipilih dalam penelitian ini adalah cerita rakyat yang mengandung budaya pendidikan multikulturalisme dan toleransi, cerita rakyat
yang dipilih adalah cerita rakyat dari daerah Riau yaitu cerita Burung Puyuh dan Burung Tempua. Cerita tersebut berisi persahabatan kedua burung yang berasal
dari habitat yang berbeda. Burung puyuh tinggal di tepi sungai, sedangkan burung tempua tinggal di sarangnya yang mengantung.Suatu hari mereka ingin mencoba
masing-masing habitat. Namun ternyata sesuatu yang berbeda itu tidak bisa dipaksakan cara hidupnya juga habitatnya. Meskipun meraka berbeda, tapi mereka
tetap bersahabat dan terbang secara beriringan di angkasa. Dalam penelitian ini cerita rakyat difokuskan hanya pada persahabatan burung puyuh dan burung
tempua yang isinya menekankan nilai nilai luhur saling toleransi dan saling menghargai atau saling bersahabat. Cerita tersebut dalam penelitian berfungsi
sebagai media pendidikan, atau sebagai perlakuan dalam penelitian. Media cerita rakyat Burung Puyuh dan Burung Tempua tersebut digunakan sebagai sarana
pendidikan multikultural pada siswa. Media cerita rakyat tersebut berfungsi untuk
41
Guraru, Multikultural di Kurikulum 2013 Keragaman dan Toleransi, 2014, http:guraru.orginfomultikultural-di-kurikulum-2013
..
42
Kemendikbud, Silabus Kalas XI, Mata Pelajaran Bahasa Indonesia, 2014, httpkurikulum2013.kemendikbud.go.id..
menambah pemahaman siswa tentang arti pentingnya sebuah persahabatan, dan saling menghargai sesuatu yang berbeda atau keragaman.
9. Cerita Rakyat yang Dipilih dan Sinopsis Cerita
Cerita rakyat yang dipilih penulis adalah cerita rakyat yang di dalamnya mengandung nilai-nilai multikulturalisme, cerita rakyat tersebut adalah cerita
rakyat yang berjudul Burung Puyuh dan Burung Tempua, cerita tersebut diperoleh dari website resmi daerah Riau,
43
peneliti menceritakan kembali dongeng tersebut. Adapun sinopsis cerita adalah sebagai berikut:
Pada suatu hari di suatu hutan yang sejuk, hiduplah sepasang burung yang selalu bersahabat. Ada yang menarik dari kedua burung yang bersahabat
tersebut.Ternyata kedua burung tersebut, berbedajenis dan rupa. Satu burung berbentuk gemuk dan selalu senang tinggal di pinggir sungai, burung tersebut
biasa dipanggil dengan burung puyuh. Kemudian burung yang satu lagi burung yang agak kurus senang tinggal di atas pohon, burung tersebut bernama burung
tempua. Mereka berdua bersahabat dan terbang beriringan pada siang hari. Namun
ketika sudah malam, mereka berpisah pada habitat masing-masing. Walaupun mereka berbeda spesies dan berbeda habitat. Mereka selalu terbang beriringan,
saling menolong, saling bersahabat dan saling membantu satu sama lain. Mungkin hanya malam yang memisahkan persahabatan kedua burung tersebut.
Namun pada suatu hari mereka ingin mencoba masing masing sarang habitat kawannya. Maka ketika mereka mencoba sarang burung kawannya, tak
menyangka bahwa mereka merasa tidak nyaman dan berada di habitat yang sangat berbeda dari habitat kebiasannya.
Awalnya mereka enggan mengakui karena takut melukai perasaan sahabatnya, namun pada akhirnya ketika malam tiba, mereka semua berkata jujur,
43
Driau, Burung Puyuh dan Burung Tempua, 2014, http:www.driau.com201308cerita-rakyat-melayu-burung-tempua.html
..
bahwa burung puyuh tidak nyaman tinggal di tempat burung tempua dan burung tempua tidak nyaman tinggal di tempat burung puyuh. Akhirnya mereka sadar
bahwa jenis dan tempat tinggal mereka berasal dari hal yang berbeda. Namun mereka bingung, apakah mereka masih bisa berteman sama seperti kemarin. Dan
akhirnya merekapun memutuskan untuk tetap berteman dan memahami bahwa perbedaan itu adalah hanya sebagai waktu dimalam hari saja.
Mereka akhirnya memahami bahwa setiap makhluk mempunyai kesukaan dan kebiasaan yang tidak bisa dipaksakan. Walaupun berbeda begitu, mereka
saling menghargai perbedaan dan pendapat itu sebagai hal yang wajar. Keduanya juga tetap bersahabat.
Cerita rakyat tersebut telah dibukukan dan ditulis kembali oleh Irwan Effendi dalam buku cerita yang berjudul Burung Puyuh dan Burung Tempua,
Penerbit AdiCita Karya Nusa, Jogjakarta tahun 2006. Cerita rakyat tersebut juga ada dalam website resmi daerah Riau, dan website resmi cerita rakyat nusantara di
Indonesia.
B. Hasil Penelitian yang Relevan
Skripsi Pendidikan Multikultural pernah ditulis oleh Indriyani Ma‟rifah jurusan Pendidikan Agama Islam, UIN Sunan Kalijaga tahun 2009 dengan judul
skripsi Signifikansi Pendidikan Multikultural dalam Novel Dan Damai di Bumi Karya Karl May Terhadap Pendidikan Agama Islam, penelitian tersebut berisi
tentang tanda-tanda pendidikan multikultural yang tercermin di dalam novel Dan Damai di Bumi. Kemudian penelitian pendidikan multikultural pernah ditulis
oleh kelompok peneliti yang diketuai oleh Akhmad Taufik, S.S., M.Pd. PBSI FKIP Universitas Jember tahun 2012 dengan judul penelitian Model
Pembelajaran Sastra Multikultural: Studi Terhadap Fenomena Pembelajaran Sastra Multikultural Berbasis Nilai-nilai Kebangsaan di SD RSBI Jember Lor 03.
Penelitian ini berisi tentang pengembangan model pembelajaran sastra berbasis pendidikan multikultural. Dan penelitian terakhir, yakni skripsi yang ditulis oleh
Imam Mahrus, Jurusan Kependidikan Islam Fakultas Tarbiyah UIN Sunan
Kalijaga Jogjakarta tahun 2009, skripsi tersebut berjudul Peran Guru Pendidikan Agama Islam dalam Menerapkan Pendidikan Multikultural. Skripsi tersebut berisi
tentang peran serta guru di sekola dalam mendidik siswa untuk menerima pendidikan multikultural. Melalui serangkaian penelitian tersebut. Belum ada
yang menulis penelitian mengenai keefektifan media cerita rakyat terhadap pendidikan multikultural: studi eksperimen terhadap siswa kelas XI IPS SMA
Negeri 7 Kota Tangerang. Untuk itu penulis melanjutkan proses selanjutnya untuk menulis skripsi ini.
C. Kerangka Berpikir
Secara sederhana peneliti memiliki kerangka berpikir bahwa jika terdapat media cerita rakyat, maka siswa akan mudah memahami pendidikan multikultural,
atau jika media cerita rakyat semakin sering digunakan dalam proses pembelajaran, maka siswa akan semakin mendapat pemahaman tentang
pendidikan multikultural. Berdasarkan teori bahwa pendidikan multikultural adalah suatu pendidikan yang berorientasikan pada keragaman budaya, sehingga
konsep pendidikan multikultural ada dan tersirat di dalam silabus Bahasa Indonesia Kurikulum 2013, dengan kompetensi inti dua yang berisi
“menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli gotong royong, kerjasama, toleran, damai,santun, responsif dan
pro-aktifdan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial
dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia.
”
44
Dari Kompetensi inti nomer dua tersebut dapat diuraikan hal yang menjadi indikator penelitian adalah menghayati prilaku peduli, mengamalkan prilaku
peduli, menghayati prilaku gotong royong, mengamalkan prilaku gotong royong, menghayati prilaku kerja sama, mengamalkan prilaku toleran, menghayati prilaku
damai, mengamalkan prilaku damai, responsif, santun, berinteraksi dengan lingkungan sosial, menempatkan diri sebagai cerminan bangsa bhinneka tunggal
ika.
44
Kemendikbud, loc. cit.
Maka penyusunan instrumen penilaian berpatokan langsung pada poin di atas. Adapun bentuk instrumen dilakukan berupa soal pilihan ganda kuesioner 16
soal yang telah melalui tahap uji validitas. butir jawaban berbobot satu sampai lima. Adapun langkah-langkah penelitian di lapangan adalah sebagai berikut,
1. mengobservasi sekolah, peneliti memohon izin penelitian kapada pihak
sekolah, lalu peneliti meminta kelas XI IIS Ilmu Ilmu Sosial untuk dijadikan penelitian eksperimen di lapangan;
2. membuat rancangan penelitian, langkah awal yang dilakukan peneliti
adalah melakukan uji validasi terhadap soal pretes dan postes, peneliti mengetes instrumen dengan menggunakan kelas XI IIS 2, setelah
instrument reliable, maka peneliti melakukan kegiatan penelitian pada kelas XI IIS 3, siswa mengisi soal pretes, peneliti mendongeng di kelas,
dan memberi pemahaman pendidikan multikultural, setelah itu peneliti melakukan postes kepasa siswa;
3. adapun untuk melakukan penelitian ini peneliti menggunakan alat-alat
untuk penelitian, alat alat penelitian peneliti adalah sebagai berikut, pertama, instrumen pretes berjumlah 16 soal dengan bobot soal 1-5,
instrumen postes berjumlah 16 soal dengan bobot soal 1-5, cerita Rakyat Burung Puyuh dan Burung Tempua, materi pemahaman pendidikan
multikultural, laptop, dan LCD.
D. Hipotesis Penelitian
Hipotesis dari penelitian ini adalah terdapat hubungan yang signifikan ke arah positif antarapenggunaan media cerita rakyat dengan pendidikan
multikultural atau semakin tinggi penggunaan media cerita rakyat, maka semakin tinggi pula pemahaman siswa terhadap pendidikan multikultural, pada siswa kelas
XI IIS Ilmu-Ilmu Sosial, SMA Negeri 7 Kota Tangerang.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Pada pembahasan bab tiga, penulis membahas rancangan metode dan teknik dalam melakukan penelitian. Adapun dalam bab ini berisi subbab waktu
dan tempat penelitian, metode penelitian, teknik penelitian, desain penelitian, sampel dan populasi, dan rumusan hipotesis. Tiap subbab merupakan uraian
proses berdasarkan pengamatan, pengklasifikasian, dan mengidentifikasi obyek penelitian.
1. Tempat
Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 7 Kota Tangerang yang beralamat di jalan Perintis Kemerdekaan I no. 2, Babakan, Kota Tangerang,
Banten. Adapun peneliti memilih kelas sebelas IIS Ilmu-Ilmu Sosial secara acak dari 4 kelas, kaelas yang terpilih adalah kelas XI IIS 3.
2. Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan dimulai dari hari Senin, 4 Agustus 2014 observasi, hingga Kamis, 12 Agustus 2014, waktu penelitian kelas adalah pukul 13.00 WIB,
hingga pukul 14.30 WIB.
B. Metode dan Desain Penelitian
Metode penelitian ini berisi langkah dan cara penulis melakukan penelitian.Penentuan metodologi penelitian ini sering pula disebut dengan strategi
pemecahan masalah karena pada tahap ini mempersoalkan bagaimana masalah- masalah penelitian tersebut hendak dipecahkan atau ditemukan jawabannya.
45
Pertama, penulis membutuhkan segala bentuk teori dan informasi berdasarkan media cetak dan media elektronik, selain itu peneliti membutuhkan data-data lain
seperti jumlah siswa, data-data lain yang mendukung seperti, latar belakang
45
Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1989, h.31.
budaya siswa, data sekolah, meliputi visi dan misi sekolah, dan profil sekolah. Penelitian ini dilakukan dengan mengisi kuesioner dengan bobot jawaban skor 1
hingga 5. Instrument atau isi kuesioner yang diisi siswa menyangkut silabus semester ganjil dan genap dan memiliki syarat kompetensi dasar siswa yakni sikap
multikulturalisme, meliputi, toleransi, peduli terhadap sesama, gotong royong, dan respek. Bentuk soal kuesioner pretes sebagai data kontrol, atau data awal siswa
sebelum diberi media cerita rakyat, namun data postes kuesioner siswa sebagai data eksperimen, karena data tersebut sebagai hasil akhir dari proses penghayatan
siswa terhadap cerita rakyat. Baik instrument kuesioner pretes maupun instrument postes, tes tersebut berisi tentang silabus yang mengandung pendidikan
multikultural. Penelitian ini menuntut uji statistik dengan observasi dan pengujian rumus. Oleh karena itu, penulis menentukan karya tulis ini menggunakan metode
kuantitatif.
1. Metode Kuantitatif
Penelitian kuantitatif adalah penelitian ilmiah yang sistematisterhadap bagian-bagian dan fenomena serta hubungan-hubungannya. Tujuan penelitian
kuantitatif adalah mengembangkan dan menggunakan model-model matematis, teori-teori dan hipotesis. Proses pengukuran adalah bagian yang sentraldalam
penelitian ini karena hal ini memberikan hubungan yang fundamentalantara pengamatan empiris dan ekspresi matematis dan hubungan hubungan kuantitatif,
dan penelitian ini membutuhkan upaya statistik.
2. Desain Eksperimen
Mohammad Ali mengatakan bah wa “desain eksperimen adalah riset yang
dilaksanakan melalui eksperimentasi atau percobaan. ”
46
Yatim dalam Muhadi mengatakan bahwa “penelitian eksperimen merupakan penelitian yang sistematis,
46
Mohammad Ali, Metodologi dan Aplikasi Riset Pendidikan, Bandung: Pustaka Cendikia Utama, 2010, h.93.