Tanggung Jawab Bank Penerbit Letter Of Credits (Issuing Bank) Yang Diputuskan Pailit Terhadap Eksportir Dan Importir Berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

(1)

Latumeirissa, Julius R. Esensi-Esensi Perbankan Internasional. Bumi aksara. 1995

Ginting, Ramlan. Letter of Credit: Tinjauan Aspek Hukum dan Bisnis. Universitas Trisakti. Jakarta. 2007

Ginting, Ramlan. Transaksi Bisnis dan Perbankan Internasiona. Salemba Empat. Jakarta. 2007

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. UI press. Jakarta. 1986 Peter Mahmud Marzuki, op.cit

Ginting, Ramlan. Metode Pembayaran Perdagangan Internasional. Universitas Trisakti. Jakarta. 2009

Gabriel, Henry D. Standby Letters Of Credit: Does The Risk Out Weigh The Benefits?. Columbia Bussiness Law Review. vol. 1988. Num3

Connnan, David J. The Uniform Custom And Practise For Documentary Credits. The 1983 Revision,”Uniform Commercial Code Law Journa, vol.17 Num.1. Musim Panas 1984

Simanjuntak, Emmy Pangaribuan. Pembukaan Kredit Berdokumen ( Documentary Credit Opening). seksi hukum dagang fakultas hukum Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. 1979

Moerjono, Agoes. Melangkah Menuju Ekspor: Suatu Petunjuk Praktis. 1993

Hadisoeprapto, Hartono. Kredit Berdokumen ( Letter Of Credit ) Cara Pembayaran Dalam Jual Beli Perniagaan. Liberty. Yogyakarta. 1980 M.S, Amir. Seluk-Beluk dan Teknik Perdagangan Luar Negeri: Suatu Penuntun

Ekspor dan Impor. Jakarta. 1991

Hartono, John. Kredit Berdokumen dan Terjemahan UCPDC 600 TAHUN 2007. Indah. Surabaya. 1993


(2)

Andhibroto, Soepriyo. Letter Of Credit Dalam Teori Dan Praktek. Jakarta Prize. Semarang. 1997\

Burton vs. McCullough, Esq., Letters Of Credit, 1966 Bass, R.M.V. Credit Management. 1979

Davis, A.G. The Law Relating to Commercial Letters Of Credit. 1960

Badrulzaman, Mariam Darus. Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung. PT. Citra Aditya Bakti. 2001

Tengker, F. Hukum Suatu Pendekatan Elementer. Bandung. 1993

Bietzke, Paul H. Securation and Bankruptcy in Indonesia: Theme and Variation. Indonesia. 2000

Sunarmi, Hukum Kepailitan. Usu Press. Medan. 2009

MR. J.B. Huizink, Insoventie, alih bahasa LInus Dolujawa. Jakarta. 2004

Asikin, Zainal. Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Di Indonesia. Jakarta. 1991

Subhan, Hadi. Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma, dan Praktek dan Peradilan. Jakarta. 2008

N.E, Algra. Inleiding To Het Nederlands Privaatrecht. Tjeenk Willink. Groningen. 1974

Yani, Ahmad, Gunawan Wijaya, Seri Hukum Bisnis: Kepailitan. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 1999

Waluyo, Bernardette. Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,CV. Mandar Maju. Bandung. 1995

Anderson, Ronald A, Walter A. Kumf, Business Law: Princinpal and Cases Fourth Edition. South Western Publishing Co. Cincimati. Ohio, 1967 Kartono. Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran. Pradnya Paramita. Jakarta.

1982

Suryatin, R. Hukum Dagang I dan II. Pradnya Paramita. Jakarta. 1983


(3)

Hartono, Siti Soemarni. Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran, Liberty. Yogyakarta. 1981

Usman, Rachmadi. Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2004

Sjahdeni, Sutan. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Indonesia (Seri Hukum Perbankan). Institut Bankir Indonesia, Jakarta. 1993

Annisah, Siti. Kreditor dan Debitor dalam Hukum Kepailitan di Indonesia, Total Media. Jakarta. 2008

Jono. Hukum Kepailita. Jakarta. Sinar Grafika. 2008 P, Sumadji. Kamus Ekonomi Lengkap. Wipress. 2006

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Kedua. balai Pustaka. Jakarta. 1996

Djumaha, Muhammad. Hukum Perbankan di Indoneia. Bandung. Citra Adithya Bakti. 2003

Sitompul, Zulkarnain. Perlindungan Dana Nasabah Bank, Suatu Gagasan Tentang Pendirian Lembaga Jaminan Simpanan Indonesia

Sutedi, Adrian. Hukum Perbankan (Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi, dan Kepailitan. Sinar Grafika. Jakarta. 2007

J.Satrio, Hukum Perjanjian (Perjanjian Pada Umumnya). Bandung. PT Citra Adithya Bakti. 1992

UNDANG-UNDANG

Indonesia. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 131. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4443

_______. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182. Tambahan Berita Lembaran Negara Nomor 3790

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetbock Indonesie) Uniform Custom and Practice for Documentary Credits 600 Tahun 2007


(4)

ARTIKEL

Sri Hasningsih, Perbandingan Pengaturan Masalah Kepailitan PERPU 1/1998 jo. UU No. 4/1998dengan RUU tentang Kepailitan,Jurnal Hukum Bisnis, 2002,

Enid Campbell et.al., sebagaimana yang dikutip oleh oleh Peter Mahmud Marzuki dalam Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2007

Kartono, SH, Komentar tentang letter of Credit, Bill of Exchange dan Dokumen lainnya, pradnya Jakarta, 1980, hlm. 9

Pradjoto, RUU Kepailitan Ditinjau Dari Aspek Perbankan, Makalah disampaikan dalam Seminar Sosialisasi RUU tentang Kepailitan oleh BPHN dan ELLIPS PROJECT, 27 Juli 1999

Tim Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Kewenangan dan Tanggung Jawab Bank Indonesia dalam Likuidasi dan Kepailitan Bank”, disampaikan pada Seminar Nasional “Kepailitan dan Likuidasi Bank” diselenggarakan olehBI dan Fakultas Hukum Ubaya, 4 Oktober 2004 di Surabaya, 2004 Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum,

disampaikan pada dialog interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, tanggal 28 Februari 2003

WEBSITE

SURAT EDARAN


(5)

A. Tinjauan Umum Mengenai Kepailitan

1. Filosofis Lahirnya Hukum Kepailitan

Di dalam ilmu penegtahuan hukum perdata, di samping hak menagih (vonderingsrecht), apabila debitur tidak memenuhi kewajiban membayar utangnya, maka kreditur memiliki hak menagih kekayaan debitur, sebesar piutangnya kepada debitur tersebut (verhaalstrecht).48

a. Pemenuhan prestasi;

Apabila seorang debitur, mengabaikan atau mengalpakan kewajiban dan karean itu melakukam ncacat prestasi, maka krediturnya dapat menuntut:

b. Ganti rugi pengganti dua-duanya ditambahkan dengan kemungkinan penggantian kerugian selanjutnya. Jika menghadapi suatu persetujuan timbal-balik, maka sebagai gantinya kreditur dapat menuntut;

c. Pembatalan persetujuan plus ganti rugi.49

Mariam Darus juga menyebutkan bahwa seorang kreditur memiliki hak-hak bila debiturnya ingkar janji:

a. Hak menuntut pemenuhan perikatan (nakomen);

b. Hak menuntut pemutusan perikatan tau apabilaperikatan itu bersifat timbal balik, menuntut pembatalan perikatan (ontbinding);

c. Hak menuntut ganti rugi (schade vergoeding);

48

Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2001, hlm. 9

49


(6)

d. Hak menuntut pemenuhan perikatan dengan ganti rugi;

e. Hak menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan dengna ganti rugi.50 Paul H. Brietzke menyebutkan, “Creditors who provide capital through debt finance are searching for the lowest risk return ratio they can find anywhere in the world, so as to maximise the value of funds thy have available to

lend.”51

a. Debitur bertangggung jawab dengan seluruh harta kekayaannya baik yang berupa barang bergerak maupun barang yang tudak bergerak, baik yang ada pada saat ini maupun yang akan ada di kemudian hari yang menjadi jaminanatas semua utangnya (Pasal 1131, Pasal 1133).

Tuntutan terhadap kewajiban debitur untuk melaksanakan prestasinya itu menurut hukum adalah sebagai berikut:

b. Berbeda dengan ketentuan yang terdapat dalam hak-hak kebendaan, maka hak-hak pribadi yang timbul pada saat-saat yang berbeda akan memiliki peringkat yang sama (paritas creditorium ) (Pasal 1132)

c. Dalam hlm seorang debitur mempunyai bebrapa kreditur yang pada saat bersama –sama secara berturut-turut mengajukan tuntutan atas harta kekayaan debitur, maka mereka akan dipenuhi tuntutannya menurut tertib pengajuan tagihan itu dilakukan. Hlm ini berarti, kreditur yang akan mengajukan tagihan terlebih dahulu akan memperoleh pembayarannya lebi dahulu dibandingkan dengan kreditur yang lain.

50

Mariam Darus Badrulzaman, Opcit, hlm.21

51

Paul H. Bietzke, Securation and Bankruptcy in Indonesia: Theme and Variations, Indonesia,


(7)

Lembaga hukum kepailitan merupakan perangkat yang disediakan olwh hukum untuk menyelesaikan utang piutang diantara kreditur dengan debitur. Filosofi hukum kepailitan adalah untuk mengatasi permasalahan apabila seluruh harta debitur tidak cukup untu membayar seluruh hutang-utangnya kepada para krediturnya. Hakikat tujuan adanya kepailitan adalah adanya proses yang berhubungan dengan pembagian harta kekayaan dari debitur kepada para krediturnya. Kepailitan merupakan jalan keluar untuk proses pendistribusian harta kekayaan debitur yang nantinya merupakan boedel pailit secara pasti dan adil. Kepailitan merupakan exit from financial distress yaitu salah 1 jalan keluar dari persoalan yang membeli secara financial yang sudah tidak bisa diselesaikan.52 Undang-undang kepailitan khususnya tidak membicarakan persoalan mengenai apakah debitur dapat dimintai pertanggungjawaban atas kekayaan finansialnya.53

Undang-undang Kepailitan bervicara secara netral tentang kepailitan menyangkut debitur yang berada dalam keadaan berhenti membayar.54 Undnag-undang kepailitan tidak berbicara mengapa seorang jatuh bangkrut. Undan-Undnag-undang kepailitan tidak membedakan antara seorang yang pailit karena melakukan penipuan atau yang jatuh pailit di luar kesalahannya. Undang-undang ini hanya mengatur bahwa pada saat ditagih orang tersebut tidak membayar utangnya55

Zainal Asikin menyebutkan bahwa, “hukum kepailitan mempunyai fungsi yang sangat penting yaitu melalui hukum kepailitan akan diadakan suatu penyitaanumum (eksekusi massal) terhadap seluruh harta kekayaan debitor, yang

52

Sunarmi, Hukum Kepailitan, Medan, Usu Press, 2009, hlm. 16

53

MR. J.B. Huizink, Insoventie, alih bahasa LInus Dolujawa, Jakarta, 2004, hlm.1

54

ibid

55


(8)

selanjutnya akan dibagikan kepada kreditor secara seimbang dan adil dibawah pengawasanpetugas yang berwenang.”56

Instrumen hukum kepailitan sangat penting di dalam hukum kita, karena jika instrumen hukum itu tidak ada, kesemrawutan setidak-tidaknya yang menyangkut pelaksanaan hak-hak ganti kerugian akan timbul.57

Dari ketentuan dua pasal di atas jelas ditegaskan bahwa seorang debitor diwajibkan untuk membayar seluruh utang-utangnya dengan seluruh harta kekayaannya baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada saat ini maupun yang akan ada dikemudian hari. Ketentuan Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata merupakan jaminan adanya kepastian hukum yang memberikan perlindungan kepada para kreditor. Debitor dipaksa untuk memenuhi prestasinya kepada kreditor. Apabila debitor lalai yang berarti telah terjadi wan prestasi, maka Kepailitan merupakan suatu lembaga hukum perdata sebagai realisasi dari dua asas pokok yang terdapat dalam Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata. Pasal 1131 KUH Perdata menentukan bahwa semua benda bergerak dan tidak bergerak dari seorang debitor, baik yang sekarang ada, maupun yang akan diperolehnya (yang masih akan ada), menjadi tanggungan atas perikatan-perikatan pribadinya. Pasal 1132 KUH Perdata menentukan bahwa benda-benda itu dimaksudkan sebagai jaminan bagi para kreditornya bersama-sama dan hasil penjualan atas benda-benda itu akan dibagi diantara mereka secara seimbang, menurut imbangan /perbandingan tagihan-tagihan mereka, kecuali bilamana diantara mereka atau para kreditor terdapat alasan-alasan pendahuluan yang sah.

56

Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Di Indonesia, Jakarta, 1991, hlm.24

57


(9)

seluruh harta kekayaannya akan menjadi jaminan seluruh hutangnya. Hasil penjualan harta kekayaan debitor akan dibagi secara seimbang kepada kreditor berdasarkan perimbangan jenis piutang dan besar kecilnya piutang masing-masing.58

a. Kekecualian atas Pasal 1131 adalah bahwa sementara barang walaupun dimiliki debitur, namun tidak dapat digunakan untuk memenuhi taguhan kreditur seperti barang yang tidak dapat disita, barang-barang yang termasuk rincian Pasal 22 UU Kepailitan.

Debitur dipaksa untuk memenuhi prestasinya kepada kreditur. Apabila debitur lalai yang berarti telah menjadi wanprestasi, maka seluruh harta kekayaannya akan menjadi jaminan seluruh hutangnya. Hasil penjualan harta kekayaan debitur akan dibagi secara seimbang kepada kreditur berdasarkan perimbangan jenis piutang dan besar-kecilnya piutang masing-masing.

Pada prinsip yang terdapat dalam Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata terdapat 3 (tiga) pengecualian, yaitu:

b. Sebaliknya ada barang-barang yang tidak dimiliki debitur, namun dapat menjadi obyek eksekusi para kreditur dan hasil penjualannya dapat dipakai guna menyelesaikan tagihan kreditur, yakni barang milik pihak ketiga yang diagunkan sebagai jaminan atas pembayaran kembali uang debitur.

c. Hak kreditur tertentu untuk didahulukan berdasarkan Pasal 1133 KUHPerdata

Menurut Pradjoto, secara eksplisit dua pasal tersebut mrngisyaratkan

58


(10)

beberapa hlm, yaitu:

1. Bahwa debitr akan dipaksa untuk menjalankan prestasinya (membayar sejumlah utangnya) terhadap kreditur dengan jaminan seluruh harta kekayaannya. Inilah yang disebut dengan jaminan kepastian hukum bagi para kreditur untuk memperoleh pelunasan dari debitur.

2. Semua kreditur pada prinsipnya memiliki hak yang sama, kecuali juka terdapat alasan-alasan yang sah untuk didahulukan pelunasannya. Alasan ini semata-mata didasarkan kepada hak yang diberikan oleh Undang-undang, yaitu mereka yang memiliki hak-hak istimewa seperti: hak atas tanggungan maupun hak gadai.

3. Dalam hlm harta kekayaan debitur memiliki nilai yang lebih dari cukup untuk memenuhi pelunasan terhadap seluruh utangnya, maka persoalan yang berkaitan dengan istilah kreditur utama dan kreditur konkuren menjadi tidak relevan.

4. Ada sita eksekusi atas seluruh kekayaan debitur. Sita dilakukan sepenuhnya terhadap harta kekayaan. Sita eksekusi dilakukan semata-mata untuk kepentingan debitur.59

Selanjutnya disebutkan oleh beliau, bahwa generic dari ketentuan tersebut di atas mengisyaratkan bahwa hukum menghendaki adanya perlindungan bagi kreditur dan paksaan bagi debitur untuk melunasi kewajiban keuangannya. Olreh karena sifat pakaan kepada debitur ini jugta harus memperhatikan asas keadilan, maka perumusan yang terperinci mengenai hukum kepailitan menjadi

59

Pradjoto, RUU Kepailitan Ditinjau Dari Aspek Perbankan, Makalah disampaikan dalam Seminar Sosialisasi RUU tentang Kepailitan oleh BPHN dan ELLIPS PROJECT, 27 Juli 1999, Jakarta


(11)

persoalaan yang imperative sifatnya. Itulah sebabnya ketentuan tentang kepailitan dirumuskan secara tersendiri, guna mencegah lahirnya proses penyitaan maupun proses eksekusi yang dilakukan oleh kreditur secara individual. Hlm ini disebabkan hakikat dari ketentuan tentang kepailitan adalh identik dengan adanya usaha bersama dari para kreditur untuk melakukan penyitaan umum terhadap harta debitur.

Di dalam kepailitan dihindari terjadinya berbagai kemungkinan factual dan yuridis yang mungkin timbul di dalam kegiatan khusus untuk mendapatkan barang-barang milik debitur. Kepailitan adalah sita umum atas barang-barang milik debitur untuk kepentingan kreditur secara bersama. Semua barang dieksekusi dan hasilnya dikurangi biaya eksekusi.60

2. Pengertian Kepailitan

Dalam hlm ini UU Kepailitan kelihatannya kebih berpihak kepada kepentingan kreditur. Ketentuan dalam UU No.4 Tahun 1998 belum sepenuhnya berdasarkan asas pemberian perlindungan yang seimbang bagi para pihak yang terkait dan berkepentingan dalam kepailitan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 UU No. 4 Tahun 1998. Oleh karena itu UU No.37 Tahun 2004 dilahirkan untuk menyempurnakan kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam UU No.4 Tahun 1998.

Istilah pailit dijumpai dalam perbendaharaan bahasa Belanda, Perancis, Latin dan Inggris. Dalam bahasa Perancis, istilah faillite artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan pembayaran. Orang yang mogok atau macet atau

60


(12)

berhenti membayar utangnya disebut dengan Le faille. Di dalam bahasa Belanda dipergunakan istilah faillit yang mempunyai arti ganda yaitu sebagai kata benda dan kata sifat. Sedangkan dalam bahasa Inggris digunakan istilah to fail, dan di dalam bahasa Latin digunakan istilah failire.61

Di Negara-negara yang berbahasa Inggris, untuk pengertian pailit dan kepailitan dipergunakan istilah “bankrupt” dan “bankruptcy”. Terhadap perusahaan- perusahaan debitor yang berada dalam keadaan tidak membayar utang-utangnya disebut dengan “insolvensi”. Sedangkan pengertian kepailitan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang peristiwa kepailitan.62

Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitor tidak mampu untuk melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para kreditornya. Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi keuangan (financial distress) dari usaha debitor yang telah mengalami kemunduran. Sedangkan kepailitan merupakan putusan pengadilanyang mengakibatkan sita umum atas seluruh kekayaan debitor pailit, baik yang telah ada maupun yang akan ada dikemudian hari. Pengurusan dan pemberesan kepailitan dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas dengan tujuan utama menggunakan hasil penjualan harta kekayaan tersebut untuk membayar seluruh utang debitor pailit tersebut secara proporsional (prorate parte) dan sesuai dengan struktur kreditor.63

61

Zainal Asikin, Opcit, hlm. 16

62

Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, disampaikan pada dialog interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, tanggal 28 Februari 2003, hlm. 16

63

Hadi Subhan, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma, dan Praktek dan Peradilan, Jakarta, 2008,


(13)

Dalam kepustakaan, kepailitan adalah suatu sitaan umum terhadap semua harta kekayaan dari seorang debitor untuk melunasi utang-utangnya kepada kreditor.64

Dalam Black’s Law Dictionary pailit atau Bankrupt adalah “the state or conditional of a person (individual, partnership, corporation, municipality who is unable to pay its debt as they are, or became due. The teerm includes a person against whom am involuntary petition has been filed, or who has filed a voluntary

petition, or who has been adjudged a bankrupt”65

Dari pengertian bankrupt yang diberikan oleh Black’s Law Dictionary di atas diketahui bahwa pengertian pailit dihubungkan dengan “ketidakmampuan untuk membayar” dari seorang debitor atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Ketidakmampuan untuk membayar tersebut diwujudkan dalam bentuk tidak dibayarnya utang meskipun telah ditagih dan ketidakmampuan tersebut harus disertai dengan proses pengajuan ke Pengadilan, baik atas permintaan debitor itu sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditornya. Selanjutnya pengadilan akan memeriksa dan memutuskan tentang ketidakmampuan seorang debitor. Keputusan tentang pailitnya debitor haruslah berdasarkan keputusan Pengadilan, dalam hlm ini adalah Pengadilan Niaga yang diberikan kewenangan untuk menolak atau menerima permohonan tentang ketidakmampuan debitor. Keputusan Pengadilan ini diperlukan untuk memenuhi asas publisitas, sehingga perihlm ketidakmampuan seorang debitor itu akan dapat diketahui oleh umum. Seorang debitor tidak dapat dinyatakan pailit

64

Algra, N.E., Inleiding To Het Nederlands Privaatrecht, Tjeenk Willink, Groningen, 1974, hlm. 425

65

Ahmad Yani, Gunawan Wijaya, Seri Hukum Bisnis: Kepailitan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999, hlm. 11


(14)

sebelum ada putusan pailit dari pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Jadi kepailitan merupakan eksekusi massal yang ditetapkan dengan keputusan hakim, yang berlaku serta merta, dengan melakukan penyitaan umum atas semua harta orang yang dinyatakan pailit, baik yang ada pada waktu pernyataan pailit maupun yang diperoleh selama kepailitan berlangsung untuk kepentingan semua kreditor, yang dilakukan dengan pengawasan pihak yang berwenang, sehingga sesungguhnya kepailitan bertujuan untuk:

a. Mencegah penyitaan dan eksekusi yang dimintakan oleh kreditor secara perorangan.

b. Ditujukan hanya mengenai harta benda debitor, bukan pribadinya. Jadi debitor, tetap cakap untuk melakukan perbuatan hukum.66

Hakikat dari sitaan umum terhadap harta kekayaan debitor adalah bahwa maksud adanya kepailitan adalah untuk menghentikan aksi terhadap perebutan harta pailit oleh para kreditornya serta untuk menghentikan lalu lintas transaksi terhadap harta pailit oleh debitor yang kemungkinan akan merugikan para kreditornya. Dengan adanya sitaan umum tersebut, maka harta pailit dalam status dihentikan dari segala macam transaksi dan perbuatan hukum lainnya sampai harta pailit tersebut diurus oleh kurator.

Ronald A. Anderson dan Walter A. Kumf berpendapat bahwa: “Bankruptcy and insolvency laws provide a means by which the debtor may yield or be compelled to yield to a court the property has so that he will be relieved of all

66

Bernardette Waluyo, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,CV. Mandar Maju, Bandung, hlm.1


(15)

unpaid debts andcan start economic life a new.”67

Kepailitan memang tidak merendahkan martabatnya sebagai manusia, tetapi apabila ia berusaha untuk memperoleh kredit, disanalah baru terasa baginya dosa artinya sudah pernah dinyatakan pailit. Dengan perkataan lain, kepailitan memengaruhi “credietwaardigheid”-nya dalam arti yang merugikannya, ia tidak akan mudah mendapatkan kredit.

Terminologi kepailitan sering dipahami secara tidak tepat oleh kalangan umum. Sebagian mereka menganggap kepailitan sebagai vonis yang berbau tindakan kriminal serta merupakan suatu cacat hukum atas subyek hukum, karena itu kepailitan harus dijauhkan serta dihindari sebisa mungkin. Kepailitan secara apriori dianggap sebagai kegagalan yang disebabkan karena kesalahan dari debitor dalam menjalankan usahanya sehingga menyebabkan utang tidak mampu dibayar. Oleh karena itu, kepailitan sering diidentikkan sebagai pengemplangan utang atau penggelapan terhadap hak-hak yang seharusnya dibayarkan kepada kreditor.

68

a. R. Soekardono menyebutkan kepailitan adalah penyitaan umum atas harta kekayaan si pailit bagi kepentingan semua penagihnya, sehingga Balai

Mengenai defenisi kepailitan itu sendiri tidak ditemuka n dalam Faillissement Verordening maupun dalam Undang-undang No. 4 tahun 1998 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Namun dalam rangka untuk memperoleh pengetahuan yang lebih luas ada baiknya diketahui pendapat dari beberapa sarjana tentang pengertian pailit tersebut.

67

Ronald A. Anderson, Walter A. Kumf, Business Law: Princinpal and Cases Fourth Edition, South Western Publishing Co. Cincimati, Ohio, 1967, hlm. 82

68


(16)

Harta Peninggalanlah yang ditugaskan dengan pemeliharaan dan pemberesan boedel dari orang yang pailit.

b. Menurut Memori van Toelichting (Penjelasan Umum). Kepailitan adalah suatu pensitaan berdasarkan hukum atas seluruh harta kekayaan siberutang guna kepentingannya bersama para yang mengutangkan.69

c. Siti Soemarti Hartono mengatakan kepailitan adalah suatu lembaga hukum dalam hukum perdata Eropa sebagai realisasi dari dua asas pokok dalam hukum perdata Eropa yang tercantum dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

d. Mohammmad Chidir Ali berpendapat bahwa kepailitan adalah

pembeslahan massal dan pembayaran yang merata serta pembagian yang seadil-adilnya diantara para kreditor dengan di bawah pengawasan pemerintah.

Selanjutnya menjelaskan:

1. Pembeslahan massal, mempunyai pengertian bahwa dengan adanya vonis kepailitan, maka semua harta pailit kecuali yang tercantum dalam Pasal 20 Faillissement Verordening, dibeslag untuk menjamin semua hak-hak kreditor si pailit.

2. Pembayaran yang merata serta pembagian yang seadil-adilnya menurut posisipiutang dari para kreditor yaitu:

a.

Golongan kreditor separatis.

b.

Golongan kreditor preferen.

69


(17)

c.

Golongan kreditor konkuren.

3. Dengan di bawah pengawasan pemerintah. Artinya, bahwa Pemerintah ikut campur dalam pengertian mengawasi dan mengatur penyelenggaraan penyelesaian boedel si pailit, dengan mengerahkan alat-alat perlengkapannya yaitu:

a.

Hakim Pengadilan Niaga

d.

Hakim Komisaris

e.

Kurator

Dalam khasanah ilmu pengetahuan hukum, pailit diartikan sebagai debitor (yang berutang) yang berarti membayar utang-utangnya. Hlm ini tercermin dalam Pasal 1 Faillissement Verordening (Peraturan Kepailitan) yang menentukan: “Setiap pihak yang berutang (debitor) yang berada dalam keadaan berhenti membayar utang-utangnya, dengan putusan hakim, baik atas permintaan sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih pihak berutangnya (kreditornya), dinyatakan dalam keadaan pailit”.

Dari rumusan Pasal 1 Faillissement Verordening di atas dapat diketahui bahwa agar debitor dapat dinyatakan pailit, maka harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Terdapat keadaan berhenti membayar, yakni bila seorang debitor sudah tidak mampu atau tidak mau lagi membayar utang-utangnya.

2. Harus terdapat lebih dari seorang kreditor, dan salah seorang dari mereka itu piutangnya sudah dapat ditagih.


(18)

Istilah berhenti membayar tidak mutlak harus diartikan debitor sama sekali berhenti membayar utang-utangnya. Tetapi debitor dapat dikatakan dalam keadaan berhenti membayar, apabila ketika diajukan permohonan pailit ke Pengadilan, debitor berada dalam keadaan tidak dapat membayar utangnya.70

dapat atau tidak mau membayar.

Perihlm “keadaan berhenti membayar” tidak dijumpai perumusannya baik di dalam Undang-undang, Yurisprudensi, maupun pendapat para sarjana. Hanya ada pedoman umum yang disetujui, yaitu untuk pernyataan kepailitan tidak perlu ditujukan bahwa debitor tidak mampu untuk membayar utangnya, dan tidak diperdulikan, apakah berhenti membayar itu sebagai akibat dari tidak

71

“Kepailitan adalah sita umum atas semua harta kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan

Dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, pengertian pailit tercermin dalam pasal 1 ayat (1) yang menentukan : “Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, baik atas permohonan sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditornya.”

Setelah keluarnya Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, pengertian pailit dijumpai dalam Pasal 1 angka (1) yang menyebutkan:

70

Mohammad Chaidir Ali, Yurisprudensi Hukum Dagang, Alumni, Bandung, 1982, hlm.475

71

Siti Soemarni Hartono, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran,


(19)

Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.”

Pasal 1 angka (1) ini secara tegas menyebutkan bahwa kepailitan adalah sita umum, bukan sita individual. Karena itu disyaratkan dalam Undang-undang Kepailitan bahwa untuk mengajukan permohonan pailit harus memiliki 2 (dua) atau lebih kreditor.

Seorang debitor yang hanya memiliki 1 (satu) kreditor tidak dapat dinyatakan pailit. Hlm ini bertentangan dengan prinsip sita umum. Bila hanya satu kreditor maka yang berlaku adalah sita individual. Sita individual bukanlah sita dalam kepailitan. Dalam sita umum maka seluruh harta kekayaan debitor akan berada di bawah penguasaan dan pengurusan Kurator. Debitor tidak memiliki hak untuk mengurus dan menguasai harta kekayaannya.

Pernyataan pailit ini tidak boleh diputuskan begitu saja, melainkan harus didahului dengan pernyataan pailit oleh Pengadilan, baik atas permohonan sendiri secara sukarela maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditornya. Selama debitor belum dinyatakan pailit oleh Pengadilan, selama itu pula yang bersangkutan masih dianggap mampu membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Pernyataan pailit ini dimaksudkan untuk menghindari penyitaan dan eksekusi perseorangan atas harta kekayaan debitor yang tidak mampu melunasi utang- utangnya lagi. Dengan adanya pernyataan pailit di sini, penyitaan dan eksekusi harta kekayaan debitor dilakukan secara umum untuk kepentingan kreditor-kreditornya.

Semua kreditor mempunyai hak yang sama terhadap pelunasan utang-utang debitor, harta kekayaan yang telah disita dan dieksekusi tersebut harus dibagi-bagi


(20)

secara seimbang, sesuai dengan besar-kecilnya piutang masing-masing. Dengan demikian, pernyataan pailit hanya menyangkut harta kekayaan milik debitor saja, tidak termasuk status dirinya.72

3. Syarat mengajukan kepailitan

Syarat-syarat untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap debitor dapat dilihat pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang berbunyi bahwa debitor yang mempunyai dua atau lebh kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan baik atas permohonannya sendiri atau maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.73

a. Syarat adanya 2(dua) kreditur atau lebih

Syarat-syarat permohonan pailit sebagaimana telah ditentukan Pasal 2 ayat (1) dapat dijelaskan sebagai berikut:

Adanya persyaratan concursus creditorium adalah sebagai bentuk konsekuensi berlakunya ketentuan Pasal 1131 Burgerlijk Wetboek dimana rasio kepailitan adalah jatuhnya sita umum atas semua harta benda debitor untuk kemudian setelah dilakukan rapat verifikasi utang-piutang tidak tercapai perdamaian atau accoord, dilakukan proses likuidasi atas seluruh harta benda

72

Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004, hlm.12

73

Ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan penundaan Kewajiban Pembayaran Utang


(21)

debitor untuk kemudian dibagi-bagikan hasil perolehannya kepada semua kreditor sesuai urutan tingkat kreditor yang telah diatur oleh undang-undang.74

Jika debitor hanya memiliki satu kreditor, maka eksistensi Undang-Undang Kepailitan kehilangan raison d’etre-nya. Bila debitor hanya memiliki satu kreditor, maka seluruh harta kekayaan debitor otomatis menjadi jaminan atas pelunasan utang debitor tersebut dan tidak diperlukan pembagian secara pari passu pro rata parte, dan terhadap debitor tidak dapat dituntut pailit karena hanya mempunyai satu kreditor.

75

Undang-undang Kepailitan tidak mengatur secara tegas mengenai pembuktian bahwa debitor mempunyai dua kreditor atau lebih, namun oleh karena di dalam hukum kepailitan berlaku pula hukum acara perdata, maka Pasal 116 HIR berlaku dalam hlm ini. Pasal 116 HIR atau Pasal 1865 Burgerlijk Wetboek menegaskan bahwa beban wajib bukti (burden of proof) dipakai oleh pemohon atau penggugat untuk membuktikan diri (posita) gugatannya,76

maka pemohon pernyataan pailit harus dapat membuktikan bahwa debitor mempunyai dua atau lebih kreditor sebagaimana telah dipersyaratkan oleh undang-undang kepailitan.

maka sesuai dengan prinsip pembebanan wajib bukti di atas,

77

74

75

Jono, , , , hlm.5

76

Lihat ketentuan Pasal 116 HIR dan Pasal 1865 KUHPerdata

77

Sutan Remi Sjaydeni, , , hlm.64-65

Ketentuan mengenai adanya syarat dua atau lebih kreditor di dalam permohonan pernyataan pailit, maka terhadap definisi mengenai kreditor harus


(22)

diketahui terlebih dahulu. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan tidak memberikan definisi yang jelas mengenai “kreditor”. Menurut Sutan Remy Sjahdeini, harus dibedakan pengertian kreditor dalam kalimat “...mempunyai dua atau lebih kreditor…”, dan “...atas permohonan seorang atau lebih kreditornya...”.78

Dalam kalimat pertama, yang dimaksud kreditor adalah sembarang kreditor, baik kreditor separatis, kreditor preferen, maupun kreditor konkuren. Sedangkan dalam kalimat kedua, kata “kreditor” disini dimaksudkan untuk kreditor konkuren. Kreditor konkuren berlaku dalam definisi kreditor pada kalimat kedua dikarenakan seorang kreditor separatis tidak mempunyai kepentingan untuk diberi hak mengajukan permohonan pernyataan pailit mengingat kreditor separatis telah terjamin sumber pelunasan tagihannya, yaitu dari barang agunan yang dibebani dengan hak jaminan.79

Pendapat Sutan Remy Sjahdeini ini diperkuat pula oleh Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 07 K/N/1999 tanggal 4 Februari 1999 yang mengemukakan dalam pertimbangan hukumnya bahwa kreditor separatis yang tidak melepaskan haknya terlebih dahulu sebagai kreditor separatis, bukanlah kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan.80

Disahkannya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, maka telah didapat pengertian “kreditor” sebagaimana terdapat di dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1)

78

Jono, Opcit, hlm. 8

79

Ibid, hlm.9

80


(23)

Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.81 Berkaitan dengan ada tidaknya pelepasan hak agunan kreditor separatis terhadap pengajuan permohonan pailit, terhadap kreditor telah diatur secara jelas di dalam Pasal 138 undang-undang yang sama.82

b. Syarat harus adanya utang

Berdasarkan Undang-Undang Kepailitan yang baru ini, maka kreditor separatis dan kreditor preferen dapat tampil sebagai kreditor konkuren tanpa harus melepaskan hak-hak untuk didahulukan atas benda yang menjadi agunan atas piutangnya, tetapi dengan catatan bahwa kreditor separatis dan kreditor preferen dapat membuktikan bahwa benda yang menjadi agunan tidak cukup untuk melunasi utangnya debitor pailit.

Pengertian mengenai utang di dalam hukum kepailitan Indonesi mengikuti setiap perubahan aturan kepailitan yang ada. Di dalam Faillissementsverordening tidak diatur tentang pengertian utang. Faillissementsverordening menentukan bahwa putusan pernyataan pailit dikenakan terhadap “de schuldenaar, die in en toestand verkeert daj hij heft apgehouden te betalen”. Dari ketentuan ini, dapat diterjemahkan dalam beberapa versi, yaitu :

1. pertama : “setiap debitor (orang yang berutang) yang tidak mampu membayar utangnya yang berada dalam keadaan berhenti membayar kembali utang tersebut

2. kedua : setiap berutang yang berada dalam keadaan telah berhenti membayar utang-utangnya

3. ketiga : setiap debitor yang berada dalam keadaan berhenti membayar utang-utangnya.83

81

Ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan

82

Ketentuan Pasal 138 UU Kepailitan

83


(24)

Sama hlmnya dengan Faillissementsverordening, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan juga tidak mengatur pengertian utang. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 menentukan debitor dapat dinyatakan pailit apabila “tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih kepada kreditor”. Undang-undang ini hanya menentukan utang yang tidak dibayar oleh debitor adalah utang pokok atau bunga. Hlm ini berarti permohonan pernyataan pailit terhadap debitor dapat dilakukan apabila ia dalam keadaan berhenti membayar utang atau ketika ia tidak membayar bunganya saja.84

Menurut Jerry Hoff, istilah hukum “utang” dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan menunjuk kepada hukum kewajiban dalam hukum perdata. Kewajiban atau utang dapat timbul baik dari perjanjian maupun undang-undang dimana hlm tersebut terdapat kewajiban untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.85

Dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, terdapat perubahan pengertian tentang utang. Utang diartikan sebagai kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul karena perjanjian atau undang-undang, dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor.86

Berdasarkan pengertian utang di atas, permohonan pernyataan pailit dikabulkan apabila “debitor mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak

84

Siti Anisah, OP.cit, hlm. 53

85

Lihat ketentuan Pasal 1233 dan 1234 KUHPerdata

86


(25)

membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permintaan satu atau lebih kreditornya”.87 Namun telah diaturnya pengertian mengenai utang dan syarat dikabulkannya permohonan pernyataan pailit di dalam undang-undang ini ternyata dianggap belum mampu mengakomodasi ketentuan tentang persyaratan permohonan pernyataan pailit yang banyak diterapkan oleh Negara lain, seperti misalnya mengenai batasan minimal nominal utang yang dapat diajukan pailit. Batasan minimal nominal utang yang dimiliki oleh debitor sebagai syarat permohonan pernyataan pailit dianggap penting untuk membatasi jumlah permohonan pernyataan pailit. Pembatasan ini sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap kreditor mayoritas dari kesewenangwenangan kreditor minoritas, dan untuk mencegah kreditor dengan piutang sangat kecil dibandingkan dengan aset yang dimiliki debitor, mengabulkan permohonan pernyataan pailit, dan dikabulkan oleh hakim.88

c. Syarat adanya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyebutkan syarat untuk dinyatakan pailit melalui putusan pengadilan, yaitu :

1. terdapat minimal 2 (dua) orang kreditor

2. debitor tidak membayar lunas sedikitnya satu utang, dan 3. Utang tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih.89

87

Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan

88

Siti Anisah, Op.cit, hlm.71

89


(26)

Syarat yang ada pada poin ketiga di atas, menunjukkan bahwa adanya utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih menunjukkan bahwa kreditor sudah mempunyai hak untuk menuntut debitor untuk memenuhi prestasinya. Menurut Jono, hak ini menunjukkan adanya utang yang harus lahir dari perikatan sempurna yaitu adanya schuld dan haftung.90 Schuld yang dimaksud disini adalah kewajiban setiap debitor untuk menyerahkan prestasi kepada kreditor, dan karena itu debitor mempunyai kewajiban untuk membayar utang. Sedangkan haftung adalah bentuk kewajiban debitor yang lain yaitu debitor berkewajiban untuk membiarkan harta kekayaannya diambil oleh kreditor sebanyak utang debitor guna pelunasan utang tadi, apabila debitor tidak memenuhi kewajibannya membayar utang tersebut.91

Di sisi lain, suatu utang dikatakan jatuh tempo dan dapat ditagih yaitu apabila utang itu sudah waktunya untuk dibayar. Penggunaan istilah jatuh tempo merupakan terjemahan dari istilah “date of maturity”. Date of maturity atau tanggal jatuh tempo adalah tanggal yang ditetapkan sebagai batas waktu maksimal terhadap utang atau kewajiban.92

Pengertian jatuh tempo itu sendiri ditemukan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jatuh tempo mempunyai pengertian batas waktu pembayaran atau penerimaan sesuatu dengan yang ditetapkan; sudah lewat waktunya; kadaluarsa.

Tidak dipergunakannya istilah jatuh waktu disini karena istilah ini tidak ditemukan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.

93

90

Jono, Op.cit, hlm 21

91

Menurut pakar hukum dan yurisprudensi, schuld dan hafting dapat dibedakan, tetapi pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan. Asas pokok haftung terdapat dalam Pasal 1131 KUHPerdata.

92

Sumadji P., Kamus Ekonomi Lengkap, Wipress, 2006, hlm.231

93

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, balai Pustaka, Jakarta, 1996, hlm. 404


(27)

Pengertian tempo mempunyai arti waktu, batas waktu, janji (waktu yang dijanjikan).94

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, menentukan pengertian utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase.

Pengaturan suatu utang jatuh tempo dan dapat ditagih, dan juga wanprestasi dari salah satu pihak dapat mempercepat jatuh tempo utang, yang diatur di dalam perjanjian. Ketika terjadi default, jatuh tempo utang telah diatur, maka pembayaran utang dapat dipercepat dan menjadi jatuh tempo dan dapat ditagih seketika itu juga sesuai dengan syarat dan ketentuan perjanjian.

95

Implementasi Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang lebih banyak terjadi ketika debitor tidak memenuhi kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu sebagaimana yang telah diperjanjikan.96

Kata “keadaan berhenti membayar” dalam Pasal 1 ayat (1) Faillissementsverordening berubah menjadi “tidak membayar” dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan. Debitor tidak membayar utang-utangnya kepada para kreditornya tidak memerlukan klasifikasi apakah debitor benar-benar tidak mampu melakukan pembayaran utang atau karena tidak mau

94

Ibid, hlm. 1033

95

Ketentuan Pasal 1238 KUHPerdata

96


(28)

membayar kendati debitor memiliki kemampuan.97

1. Ketika debitor tidak membayar utang karena berhenti membayar utangnya,

Dalam praktik pengadilan niaga muncul beberapa criteria debitor tidak membayar utangnya, antara lain:

2. Debitor tidak membayar utang ketika debitor tidak membayar dengan seketika dan sekaligus lunas kepada para kreditornya,

3. Debitor tidak membayar utang ketika debitor berhenti melakukan pembayaran terhadap angsuran yang telah disepakati sehingga debitor dapat dikatakan tidak memenuhi kewajiban sebagaimana telah diperjanjikan,

4. Debitor tidak melakukan pembayaran atas utangnya meskipun terhadap perjanjian awal telah dilakukan amandemen. Tindakan ini menunjukkan bahwa debitor bersikap ingkar janji kepada kreditornya. 5. Debitor tidak pernah membayar utangnya yang terakhir meskipun

tersebut di dalamnya98 d. Pihak dalam permohonan pailit

Berdasarkan Pasal 2 ayat (1), (2), (3), (4), (5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menunjukkan bahwa pihak yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit bagi seorang debitor adalah :

1. Debitor yang bersangkutan 2. Kreditor atau para kreditor

97

Siti Anisah, Op.cit, hlm. 78

98


(29)

3. Kejaksaan untuk kepentingan umum

4. Bank Indonesia apabila debitornya adalah bank

5. Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM) apabila debitornya adalah 6. perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga

penyimpanan dan penyelesaian

1. Menteri Keuangan apabila debitornya adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, atau badan usaha milik negara yang bergerak di bidang kepentingan publik.99

4. Prosedur permohonan Pailit

Prosedur kepailitan dimulai dengan adanya permohonan pailit terhadap debitur yang memenuhi syarat, sesuai dengan ketentuan Paasal 2 Ayat 1 Undang-undang Kepailitan, yang menyatakan bahwa: “Debitur yang memiliki 2 atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas setidaknya satu hutang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri ataupun permohonan satu atau lebih krediturnya.”

Dengan memenuhi syarat yang telah ditentukan di atas, maka pemrohonan pailit terhadap debitur tersebut, dapat diajukan oleh satu atau lebih krediturnya ke pemgadilan niaga, yang merupakan badan pengadilan yang berhak memproses, memeriksa dan mengadili perkara kepailitan. Apabila permohonan pailit tersebut dikabulkan, maka pengadilan niaga akan mengeluarkan putusan yang menyatakan debitur tersebut dalam keadaan pailit.

99


(30)

Berdasarkan ketentuan dalam UU Kepailitan, ditentukan bahwa kreditur yang mengajukan permohonan kepailitan, merupakan pihak yang bertindak selaku pemohon pailit dan merupakan pihak yang mempunyai tagihan kepada debitur yang dimohonkan pailit. Debitur dan kepailitan dapat berupa badan hukum maupun institusi. Selain dapat diajukan oleh kreditur, berdasarkan Pasal 2 ayat (2) UU Kepailitan, untuk kepentingan umum permohonan kepailitan atas nama debitur dapat juga diajukan oleh kejaksaan.

Prosedur dan proses kepailitan di pengadilan niaga, dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Permohonan pernyataan pailit diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga (Pasal 6 ayat (1) UU Kepailitan).

b. Panitea pengganti mendaftarkan permohonan pernyataan pailit (Pasal 6 ayat (2) UU Kepailitan).

c. Paling lambat 2 (dua) hari setelah tanggal pendaftaran panitera menyampaikan permohonan kepada Ketua Pengadilan Niaga (Pasal 6 ayat (4) UU Kepailitan).

d. Paling lambat 3 (tiga) hari sejak tanggal permohonan pailit, pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan tanggal sidang (Pasal 6 ayat (5) UU Kepailitan).

e. Sidang pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit diselenggarakan paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah tanggal permohonan pailit didaftarkan (Pasal 6 ayat (5) UU Kepailitan).


(31)

f. Putusan Pengadilan Niaga atas permohonan pernyataan pailit, harus diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan (Pasal 8 ayat (5) UU Kepailitan).

g. Dalam putusan pernyataan pailit tersebut, harus diangkat kurator dan hakim pengawas (Pasal 15 ayat (1) UU Kepailitan).

Dalam mengajukan permohonan pailit, disyaratkan bahwa debitur haruslah memiliki dua atau lebih kreditur. Syarat mengenai keharusan adanya dua atau lebih kreditur dikenal dengan concursus creditorium. Kreditur yang mengajukan permohonan pailit bisa saja hanya satu atau beberapa kreditur yang mempunyai tagihan kepada debitur pailit. Seringkali kreditur dan sebitur yang dimohonkan pailit jumlahnya sangat banyak, sehingga Pengadilan Niaga dapat membentuk panitia kreditur dan kemudian menyelenggarakan rapat kreditur yang dipimpin hakim pengawas, untuk memudahkan kurator berhubungan dengan kreditur atas permintaan para kreditur. Setelah pernyataan pailit diucapkan, dalam putusan pailit atau dengan ketetapan kemudian dibentuk panitia kreditur yang terdiri dari 3 (tiga) orang yang dipilih oleh kreditur yang telah mendaftarkan diri untuk diverifikasi.

Berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan dinyatakan bahwa: “Permohonan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbuka secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi”.

Dalam penjelasan Pasal 8ayat (4) UU Kepailian, bahwa yang dimaksud dengan fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana adalah adanya fakta dua


(32)

atau lebih kreditur dan fata adanya hutang yang telah jatuh tempo dan tidak dibayar. Sedangkan perbedaan jumlah utang, antara yang didalihkan atau diajukan oleh pemohon pailit dari termohon pailit, tidak menghlmangi dijatuhkannya putusan pernyataan pailit.

Dengan dikabulkannya permohonan pernyataan pailit atas debitur oleh Pengadilan Niaga, sejak saat itu debitur dinyatakan pailit. Debitur telah atau berada dalam keadaan tidak mampu membayar atau insolven dan dilakukan likuidasi harta kekayaan debitur yang kemudian dibagikan kepada para krediturnya. Dengan diputuskan pailit terhadap debitur, debitur berada dalam keadaan insolven dan dilakukan pembagian harta kekayaan debitur, maka kepailitan kemudian berakhir.

B. Kepailitan dalam bank

1. Pihak-pihak dalam kepailitan bank

Kepailitan adalah keadaan hukum yang ditetapkan oleh pengadilan niaga dimana seorang debitor tidak (tidak mampu ataupun tidak mau) membayar paling sedikit satu utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih dan sebagai konsekuensi hukum dari kepailitan tersebut semua harta kekayaan debitor maupun yang ada pada saat pailit dan termasuk juga harta kekayaan yang akan datang berada dalam status sita umum yang dilakukan pengurusan dan pemberesannya oleh seorang atau lebih Kurator yang berada di bawah pengawasan Hakim Pengawas yang diangkat bersama dengan Kurator oleh pengadilan niaga.Dengan demikian, status pailit belum secara otomatis menyatakan bahwa Debitur Pailit


(33)

tersebut telah berada dalam keadaan tidak mampu untuk membayar utang-utangnya. Artinya, ketika debitur tersebut sebenarnya mampu untuk melunasi utangutangnya kepada krediturnya, maka Debitur Pailit tersebut dapat mengajukan usulan perdamaian berdasarkan

Pasal 144 Undang-Undang Kepailitan Tahun 2004. Apabila usulan perdamaian yang diajukan oleh Debitur Pailit tersebut ditolak oleh para krediturnya, atau Debitur Pailit tersebut ternyata tidak mengajukan usulan perdamaian, maka berdasarkan Pasal 178 Undang-Undang Kepailitan Tahun 2004 barulah debitur tersebut dinyatakan insolvensi, atau dalam keadaan yang tidak mampu untuk melunasi utang-utangnya kepada para krediturnya.

Dalam hlm bank sebagai debitur, tidak dapat diajukan permohonan pernyataan pailit disebabkan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak (Pasal 1 angka 2 UU Perbankan Tahun 1998). Sehubungan dengan karakteristik lembaga perbankan yang mengelola dana masyarakat, apabila bank sebagai debitur berhubungan dengan soal kepailitan, maka:

1. pengajuan permohonan kepailitan tidak dapat diajukan sendiri oleh bank yang bersangkutan, karena didasarkan alasan untuk mencegah agar kondisiseperti itu digunakan oleh pemegang saham atau pemilik bank guna berupaya untuk menghindarkandiri dari tanggungjawab terhadap para kreditur, termasuknasabah penyimpan dana;

2. apabila terjadi pencabutan izin usaha bank dan dilikuidasi, makapembayaran atau pengembalian dana diutamakan kepada nasabah penyimpan dana daripada dengankreditur konkuren lainnya, namun tetap dengan tidak mengabaikan pembayaran kewajiban kepada


(34)

kreditur-kreditur yang harus diistimewakan berdasarkanperaturan perundang-undangan yang berlaku;

3. bank yang telah dilikuidasi tetap tunduk pada ketentuan rahasia bank.100

Kegiatan usaha bank adalah menyangkut kepentingan orang banyak dan Bank Indonesia adalah bank sentral (Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia menyatakan: “Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia”. Yang dimaksud dengan Bank Sentral adalah lembaga negara yang mempunyai wewenang untuk mengeluarkan alat pembayaran yang sah dari suatu Negara, merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran system pembayaran, mengatur dan mengawasi perbankan, serta menjalankan fungsi sebagai lender of the last resort (Penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia) yang mengadakan pengawasan terhadap bank-bank yang bermasalah maupun yang tidak bermasalah, jelasnya bank tersebut tidak berhak diajukan pailit dengan sendirinya.

Ketentuan yang berkaitan dengan kepailitan pada bank adalah Pasal 2 ayat (3) UU Kepailitan Tahun 2004 serta Pasal 9 ayat (3) UU Perbankan Tahun 1992, yang landasan hukum yang cukup kuat bagi Bank Indonesia untuk mengajukan kepailitan bagi bank bermasalah. Apakah mungkin pihak selain Bank Indonesia untuk mengajukan kepailitan pada bank bermasalah. Secara teori bank dapat dimohonkan pailit dengan melihat otoritas yang telah diberikan oleh UU Kepailitan, tetapi dalam praktek bank kebal pailit. Dengan demikian, dapat

100

Muhammad Djumaha, Hukum Perbankan di Indonesia, Bandung, Citra Adithya Bakti, 2003, hlm. 215


(35)

diartikan tidak memberikan kepastian hukum atas suatu peraturan perundang-undangan.

Apalagi hlm ini memungkinkan adanya factor tertentu yang memanfaatkan otoritas tersebut. Realitas Bank Indonesia tidak pernah menjadi pihak dalam perjanjian kredit antara kreditor dan debitor, kecuali Bank Indonesia memberikan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) maupun Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).101

2. Upaya Penyelesaian Bank Bermasalah

Adapun alasan yang bisa diberikan terhadap pengajuan kepailitan kepada bank adalah berkaitan dengan kepentingan umum dan masyarakat. Pengertian kepentingan umum disini adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas, sehingga termasuk diantaranya adalah debitor mempunyai utang kepada BUMN atau badan usaha lain yang menghimpun dana dari masyarakat luas, atau debitor mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan dana masyarakat yang luas. Memang, untuk menentukan apakah kepentingan umum dan masyarakat yang sudah dilanggar perlu adanya parameter yang jelas. Perlu adanya pertimbangan apakah tingkat kesehatan bank dan pelanggaran atas prinsip kehati-hatian dapat dijadikan acuan seperti hlmnya dalam melakukan tindakan pencabutan izin usaha, pembubaran badan hukum, dan likuidasi bank.

Sebuah bank bermasalah, kalau mengacu pada ketentuan yang ada dalam UU Kepailitan Tahun 2004 adalah “Debitor yang mempunyai dua atau

101

Sri Hasningsih, Perbandingan Pengaturan Masalah Kepailitan PERPU 1/1998 jo. UU No. 4/1998dengan RUU tentang Kepailitan,Jurnal Hukum Bisnis, 2002, hlm.34


(36)

lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih Kreditornya”. Unsur debitor bermasalah cukup sederhana, yaitu Debitor mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Namun, bilamana bank sebagai Debitornya, memang perlu pertimbangan antara lain fungsi bank sebagai pihak yang menghimpun dana dari masyarakat yang memiliki kelebihan dana, serta menyalurkan dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkannya, namun sebagai debitor yang mungkin bermasalah tentunya harus dapat dimintai pertanggungjawaban agar tidak menjadi preseden bagi para pengurus bank untuk ikut tidak bertanggungjawab. Dengan mempertimbangkan fungsi bank untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional, maka Bank Indonesia menjaga prinsip kehati-hatian janganlah terlalu hati-hati padahlm dari sudut tingkat kesehatan bank memang sudah krisis, lalu kemudian melakukan tindakan yang terkesan melindungi bank sebagai debitor.102

a. Dalam hlm suatu bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, Bank Indonesia dapat melakukan tindakan agar:

Undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 10 tahun 1998 Pasal 37 menjelaskan:

102

Tim Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Kewenangan dan Tanggung Jawab Bank Indonesia dalam Likuidasi dan Kepailitan Bank”, disampaikan pada Seminar Nasional “Kepailitan dan Likuidasi Bank” diselenggarakan olehBI dan Fakultas Hukum Ubaya, 4 Oktober 2004 di Surabaya, 2004, hlm. 23


(37)

1. pemegang saham menambah modal;

2. pemegang saham mengganti Dewan Komisaris dan atau Direksi bank;

3. bank menghapus bukukan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang macet dan memperhitungkan kerugian bank dengan modalnya;

4. bank melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain;

5. bank dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban;

6. bank menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan bank kepada pihak lain

7. bank menjual sebagian atau seluruh harta dan atau kewajiban bank kepada bank atau pihak lain.

b. Apabila:

1. tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum cukup untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi bank; dan atau

2. menurut penilaian Bank Indonesia keadaan suatu bank dapat membahayakan sistem Perbankan, Pimpinan Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha bank dan memerintahkan Direksi bank untuk segera menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham guna membubarkan badan hukum bank dan membentuk tim likuidasi c. Dalam hlm Direksi bank tidak menyelenggarakan Rapat Umum


(38)

Bank Indonesia meminta kepada pengadilan untuk mengeluarkan penetapan yang berisi pembubaran badan hukum bank, penunjukan tim likuidasi, dan perintah pelaksanaan likuidasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 37 a UU No. 10 Tahun 1998

1. Apabila menurut penilaian Bank Indonesia terjadi kesulitan Perbankan yang membahayakan perekonomian nasional, atas permintaan Bank Indonesia, Pemerintah setelah berkonsultasi kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dapat membentuk badan khusus yang bersifat sementara dalam rangka penyehatan Perbankan.

2. Badan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

melakukan program penyehatan terhadap bank-bank yang ditetapkan dan diserahkan oleh Bank Indonesia kepada badan dimaksud.

3. Dalam melaksanakan program penyehatan terhadap bank-bank, badan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) serta wewenang lain yaitu :

1) mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham termasuk hak dan wewenang Rapat Umum Pemegang Saham;

2) mengambil alih dan melaksanakan segala hak dan wewenang Direksi dan Komisaris bank;


(39)

3) menguasai, mengelola dan melakukan tindakan kepemilikan atas kekayaan milik atau yang menjadi hak bank, termasuk kekayaan bank yang berada pada pihak manapun, baik di dalam maupun di luar negeri;

4) meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan atau mengubah kontrak yang mengikat bank dengan pihak ketiga, yang menurut pertimbangan badan khusus merugikan bank ;

5) menjual atau mengalihkan kekayaan bank, Direksi, Komisaris, dan pemegang saham tertentu di dalam negeri ataupun di luar negeri, baik secara langsung maupun melalui penawaran umum; menjual atau mengalihkan tagihan bank dan atau menyerahkan pengelolaannya kepada pihak lain, tanpa memerlukan persetujuan Nasabah Debitur;

6) mengalihkan pengelolaan kekayaan dan atau manajemen bank kepada pihak lain;

7) melakukan penyertaan modal sementara pada bank, secara langsung atau melalui pengonversian tagihan badan khusus menjadi penyertaan modal pada bank;

8) melakukan penagihan piutang bank yang sudah pasti dengan penerbitan Surat Paksa;

9) melakukan pengosongan atas tanah dan atau bangunan milik atau yang menjadi hak bank yang dikuasai oleh pihak lain, baik sendiri maupun dengan bantuan alat negara penegak hukum yang berwenang;

10) melakukan penelitian dan pemeriksaan untuk memperoleh segala keterangan yang diperlukan dari dan mengenai bank dalam program penyehatan, dan


(40)

pihak manapun yang terlibat atau patut diduga terlibat, atau mengetahui kegiatan yang merugikan bank dalam program penyehatan tersebut;

11) menghitung dan menetapkan kerugian yang dialami bank dalam program penyehatan dan membebankan kerugian tersebut kepada modal bank yang bersangkutan, dan bilamana kerugian tersebut terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi, Komisaris, dan atau pemegang saham, maka kerugian tersebut akan dibebankan kepada yang bersangkutan; m. menetapkan jumlah tambahan modal yang wajib disetor oleh pemegang saham bank dalam program penyehatan;

12) melakukan tindakan lain yang diperlukan untuk menunjang pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud dalam angka 1 sampai dengan angka 12

1. Tindakan penyehatan Perbankan oleh badan khusus

sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) adalah sah berdasarkan undang-undang ini.

2. Atas permintaan badan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), bank dalam program penyehatan wajib memberikan segala keterangan dan penjelasan mengenai usahanya termasuk memberikan kesempatan bagi pemeriksaan buku buku dan berkas yang ada padanya, dan wajib memberikan bantuan yang diperlukan dalam rangka memperoleh keterangan, dokumen, dan penjelasan yang diperoleh bank dimaksud. Pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf k wajib


(41)

memberikan keterangan dan penjelasan yang diminta oleh badan khusus.

3. Badan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib menyampaikan laporan kegiatan kepada Menteri Keuangan. 4. Apabila menurut penilaian Pemerintah, badan khusus telah

menyelesaikan tugasnya, Pemerintah menyatakan berakhirnya badan khusus tersebut.

5. Ketentuan yang diperlukan bagi pelaksanaan Pasal ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

3. hanya BI yang menjadi pemohon dalam kepailitan bank

Di berbagai negara, tugas menjaga stabilitas keuangan diemban oleh bank sentral, dengan dasar bahwa stabilitas moneter hanya dapat dicapai dengan sistem keuangan yang stabil. Dari sini dapat dilihat sudah seharusnya pemeliharaan stabilitas moneter dan stabilitas keuangan dilaksanakan secara simultan. Di Indonesia, memang tidak ada kerangka hukum yang secara formal dan definitif menyatakan bahwa Bank Indonesia memiliki fungsi dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Namun perlu diingat, bahwa baik fungsi kestabilan moneter maupun fungsi kestabilan keuangan bermuara pada hlm yang sama, yaitu stabilitas harga.103

Bank Indonesia dalam menjalankan fungsi menjaga stabilitas moneter yang diatur secara eksplisit daam Undang-undang No.3 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undnag-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia,

103

zulkarnain Sitompul, Perlindungan Dana Nasabah Bank, Suatu Gagasan Tentang Pendirian Lembaga Jaminan Simpanan Indonesia, hlm.349


(42)

secara simultan juga turut menjaga keuangan Indonesia. Atau dapat pula dikatakan bahwa tugas menjaga stabilitas keuangan menjadi satu dengan menjaga stabilitas system moneter.104 Sejalan dengan berlakunya peraturan Bank Indonesia, Bank Indonesia juga telah memasukan aspek stabilitas system keuangan dalam misinya, yaitu memelihara stabilitas nilai rupiah dengan memelihara stabilitas moneter dan mendorong stabilitas system keuangan untuk pembangunan Indonesia yang berkelanjutan.105

Sehingga peranan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas keuangan bukanlah suatu hlm yang untuk diperbedatkan lagi. Pelaksanaan tugas dan fungsi Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas keuangan antara lain menjaga stabilitas moneter, menciptakan kinerja lembaga keuangan yang sehat, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, melakukan macroprudential surveillance dan mengembangkan riset untuk pengembangan instrumen dan indikator macroprudential serta mendeteksi kerentanan sektor keuangan, serta yang tidak kalah pentingnya adalah melakukan fungsi lender of the last resort.106

104

Ibid

105

Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan Bank Indonesia: Kerangka Acuan Tugas Penelitian dan Publikasi: Peran Bank Sentral dalam Stabilitas Sistem Keuangan dan Jaring Pengaman Sekto Keuangan

106

Ibid

Sebagai lender of the last resort, bank sentral memiliki peranan yang sangat besar dalam menjaga stabilitas system keuangan. Lender of las resort merupakan instrument pengawasan pada saat krisis dimana bank sentral dapat memberikan bantuan kepada bank yang mengalami krisis likuiditas apabila ada potensi terjadi resiko


(43)

sistemik.107

a. Pasal l ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 (sekarang Pasal 2 ayat (3) UU Kepailitan Tahun 2004) menunjukkan bank selaku debitur dapat dimohonkan pernyataan pailit, namun permohonan pernyataan pailit dimaksudharus diajukan oleh Bank Indonesia;

Hlm ini bertujuan untuk memulihkan kepercayaan sehingga menciptakan kredibilitas bank, sehingga stabilitas keuangan juga turut terjaga.

Apabila dicermati, dapat ditarik kesimpulan, yaitu:

b. Mekanisme kepailitan, tidak efektif untuk digunakan sebagai mekanisme untuk menyelesaikan persoalan utang piutang dimana debiturnya adalah bank;

c. Guna melindungi kepentingan kreditur, peran serta Bank Indonesia untuk turut serta dalam menyelesaikan permasalahanutang piutang sangat dibutuhkan; 4. Perludiciptakan mekanisme out of court settlement atau non-litigasi, baik dengan arbitrase perbankan atau mediasi perbankan

Hlm ini tentunya menimbulkan pertanyaan bagi pemberian hak khusus kepada Bank Indonesia untuk tidak dapat dimohonkan pailit secara langsung, dimana menurut UU Kepailitan Tahun 2004 hak khusus itu telah diperluas kepada Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, permohonan

107


(44)

pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM), serta Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan. Dalam Pasal 6 ayat (3) UU Kepailitan Tahun 2004, kewenangan untuk menolak permohonan pailit yang diajukan kepada pihak-pihak tersebut di atas, tidak lagi diletakkan kepada hakim, tetapi telah menjadi kewenangan dari Panitera Pengadilan Niaga (Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Kepailitan Tahun 2004: “Panitera wajib menolak pendaftaran permohonan pernyataan pailit bagi institusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) jika dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan dalam ayat-ayat tesebut”. 108

108

Dengan hadirnya Pasal 6 ayat (3) UU Kepailitan Tahun 2004, maka semakin tegas bahwa tidak bersedianya otoritas untuk mengajukan langkah mengajukan permohonan pailit terhadap bank sebagai kelanjutan permohonan yang diajukan oleh kreditur secara absolut akan menutup kesempatan dari kreditur tersebut untuk mempailitkan bank debiturnya meskipun telah terbukti adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.

Penyelesaian sengketa utang-piutang bank melalui upaya kepailitan tidak dilakukan oleh Bank Indonesia kareana adanya beberapa kelemahan. Adapun alasan mengapa terhadap bank yang bermasalah tidak perlu menempuh jalur kepailitan dengan menggunakan


(45)

UU Kepailitan Tahun 2004 adalah:

a. Proses likuidasi dan insolvensi yang diatur dalam Undang- Undang Kepailitan tidak dapat diterapkan terhadap lembaga perbankan yang sudah memiliki aturan tentang proses likuidasi dan insolvensi tersendiri secaralebih rinci dan lengkap sebagai lex specialis, oleh karena lembaga perbankan tidak dapat disamakan dengan perusahaan pada umumnya

b. Peranan kurator dalam kepailitan bank akan menghilangkan peranan dan intervensi Bank Indonesia terhadap bank-bank bermasalah yang dinyatakan pailit, yang untuk penyelesaiannya membutuhkan keahlian khusus;

c. Kepailitan lembaga perbankan dapat membahayakan posisi banknya sendiri dan bank-bank lain, bahkan membahayakan kedudukan Bank Indonesia; d. Perlindungan terhadap kepentingan masyarakat penyimpan dana sebagai

kreditor konkuren dalam kepailitan menjadi tidak diutamakan sehingga kepercayaan masyarakat luas terhadap lembaga perbankan menjadi berkurang dengan akibat lebih luas dapat mengganggu stabilitas keuangan negara;

e. Penerapan Undang-Undang Kepailitan dengan prosedur yang sangat sederhana terhadap bank bermasalah dapat menimbulkan kerancuan dan ketidakpastian hukum, yang berakibat lebih lanjut akan menimbulkan peluang terjadinya KKN dan dapat disalahgunakan untuk memperoleh keuntungan pribadi oleh pemilik bank yang beritikad tidak baik.109

Memang, dalam prakteknya, Bank Indonesia belum pernah mengajukan pemohonan pernyataan pailit atas suatu bank. Hlm ini disebabkan ketentuan

109

Adrian Sutedi, Hukum Perbankan (Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi, dan Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm.78


(46)

syarat kepailitan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan Tahun 2004, tidak tepat (kurang pas) untuk diterapkan pada bank, yaitu:

a. Syarat kepailitan tersebut didasarkan pada pemikiran terjadinya keadaan berhenti membayar karena tidak mampu atau tidak mau membayar utang. Apabila dikaitkandengan bank sebagai debitur, maka hlm ini erat kaitannya dengan pertaruhan kredibilitas bank. Secara logika awam, bagi bank yang pada dasarnya hanya dapat menjalankan usahanya atas dasar kepercayaan masyarakat, mempertaruhkan kredibilitas, misalnya“mengemplang” utang, tentu akan sangat merugikansehingga sewajarnya bank akan berusaha untuk tidakdipailitkan;

b. Tidak ada hubungan langsung (kausalitas) antara syarat pengajuan permohonan pernyataan pailit dengan tingkat kesehatan (performance) bank, artinya bank yang digolongkan masuk dalam criteria untuk dimohonkan pailit, belum tentu tergolongtidak viable.110

Likuidasi dalam kepailitan tidak berakibat langsung bubarnya suatu perusahaan, bahkan apabila kepailitan telah berakhir, perusahaan dapat hidup kembali dengan memenuhi persyaratan setelah direhabilitasi. Hlm yang demikian tidak mungkin dapat diterapkan terhadap lembaga perbankan, yang apabila izin usahanya dicabut dan banknya dibubarkan maka otomatis banknya tidak dapat beroperasi lagi. Menurut Rudhy Prasetya, konsekuensi likuidasi bagi bank adalah:

110


(47)

a. Bilamana menggunakan Undang-Undang Perbankan maka aset bank dicairkan semua dan dibagikan kepada para nasabah berdasarkan urutan prioritas;

b. Bilamana menggunakan Undang-Undang Kepailitan, maka aset bank yang di cairkan adalah sebagian saja yaitu sebatas dana simpanan nasabah dan tagihan dari para kreditornya. Bank masih dapat jalan terus (tidak bubar) dan yang mengendalikan adalah kurator diawasi oleh Hakim Pengawas. Oleh karena itu, bila menggunakan kepailitan maka maksud Bank Indonesia untuk membagikan seluruh aset bank tidak tercapai.


(48)

ATAU LIKUIDASI

A. Tanggung jawab bank penerbit L/C yang sudah dinyatakan pailit terhadap eksportir dan importir

Akibat hukum dari kepailitan adalah: 1. Boleh dilakukan kompensasi

Kompensasi piutang dapat dilakukan oleh kreditur dengan debitur asalkan:

a. Dilakukan dengan itikad baik

b. Dilakukan terhadap tranksaksi yang sudah ada sebelum debitur dinyatakan pailit

Rasio dibenarkannya kompensasi bagi kreditur jika debitur dinyatakan pailit adalah bahwa dirasakan tidak adil jika kreditur harus berusaha sekuat tenaga untuk membayar semua utangnya sementara piutang dari debitur pailit hanya menunggu pembagian yang kemungkinan besar tidak terbayarkan seluruhnya

2. Kontrak timbal balik boleh dilanjutkan

Terhadap perjanjian timbal balik antara debitur dengan kreditur yang dibuat sebelum debitur dipailitkan, maka kreditur dapat meminta kepastian dari kurator mengenai kelanjutan pelaksanaan kontrak tersebut dan waktu pelaksanaannya. Jika kontrak tersebut dilanjutkan, maka kreditur dapat meminta kepada kurator untuk memberikan jaminan atas pelaksanaan kontrak tersebut.


(49)

3. Berlaku penangguhan eksekusi jaminan utang

Sejak putusan pailit dijatuhkan, kreditur separatis memasuki masa menunggu dimana pada masa ini mereka tidak boleh mengeksekusi jaminan utang mereka. Masa tunggu ini maksimum 90 hari dan berlaku karena hukum tanpa harus dimintakan oleh kedua belah pihak

4. Berlaku actio pauliana

5. Berlaku sitaan umum terhadap seluruh harta debitur 6. Termasuk terhadap suami/istri

7. Debitur kehilangan hak mengurus

8. Perikatan setelah debitur pailit tidak dapat dibayarkan kecuali perikatan tersebut menghasilkan keuntungan bagi harta pailit

9. Gugatan hukum harus dilakukan oleh/terhadap kurator

10. Perkara pengadilan ditangguhkan atau diambil alih oleh kurator 11. Jika kurator dan kreditur berpekara, maka kurator dan kreditur

dapat meminta perbuatan hukum debitur dibatalkan 12. Pelaksaan putusan hakim dihentikan

13. Semua penyitaan dibatalkan 14. Debitur dikeluarkan dari penjara 15. Uang paksa tidak diperlukan

16. Pelelangan yang sedang berjalan dilanjutkan 17. Tranksaksi forward dibatalkan, dan lain-lain.


(50)

1. Tanggung jawab bank terhadap perikatan antara importir dan eksportir Semua perikatan debitur yang terbit sesudah putusan pernyataan pailit, tidak lagi dapat membayar dari harta pailit111

111

Sunarmi, Op.cit, hlm. 108

, kecuali perikatan tersebut menguntungkan harta pailit (Pasal 26 UUK). Tuntutan mengenai hak dan kewajiban yang menyangkut harta pailit harus diajukan oleh atau Kurator. Dalam hlm tuntutan tersebut diajukan atau diteruskan oleh atau terhadap debitur pailit maka apabila tuntutan tersebut mengakibatkan suatu penghukuman terhadap debitur pailit, penghukuman tersebut tidak mempunyai akibat hukum terhadap harta pailit (Pasal 26 UUK). Dengan demikian, putusan pernyataan pailit berakibat bahwa segala penetapan pelaksanaan pengadilan terhadap setiap bagian dari kekayaan debitor yang telah dimulai sebelum kepailitan harus dihentikan seketika dan sejak itu tidak ada putusan yang dapat dilaksanakan termasuk atau juga dengan menyandera debitor. Pihak-pihak yang terkait dalam pengurusan harta pailit dalam penguasaan dan pengurusan harta pailit yang terlibat tidak hanya Kurator, tetapi masih terdapat pihak-pihak lain yang terlibat adalah Hakim Pengawas, kurator dan panitia kreditor.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa, kontrak yang mendasari penerbitan L/C adalah kontrak antara importir dan eksportir. Bank penerbit bukanlah para pihak dalam kontrak walaupun nama bank tersebut tertulis dalam kontrak. L/C yang diterbitkan atas dasar konrak penjualan, menurut hukum L/C merupakan suatu kontrak yang terpisah dari penjualan.


(51)

Jadi pada hakikatnya, pernyataan pailit terhadap bank penerbit ataupun issuing bank tidak berpengaruh terhadap perikatan ataupun hubungan antara importir dan eksportir. Perjanjian antara importir dan importir berada di luar keadaan pailit dari bank penerbit.

2. Tanggung jawab bank terhadap perikatan antara bank penerbit dengan dengan penerus

Hubungan hukum antara Issuing Bank dan Advising Bank didasarkan pada instruksi Issuing Bank kepada Advising Bank yang disetujui Advising Bank. Hubungan hukum ini pada intinya merupakan hubungan keagenan dimana Advising Bank bertindak sebagai agen dari Issuing Bank untuk meneruskan L/C yang diterbitkan oleh Issuing Bank kepada Beneficiary.

Mengingat Advising Bank tidak memiliki kewajiban untuk selalu meneruskan L/C yang diterimanya, maka Advising Bank wajib segera memberitahukan Issuing Bank apabila ia tidak berkenan atau tidak setuju untuk meneruskan L/C kepada Beneficiary. Hlm demikian sebagaimana dinyatakan dalam pasal 7 a UCP yang berbunyi:

“A Credit may be advised to a Beneficiary through another bank (the “Advising Bank”) without engagement on the part of the Advising Bank, but that bank, if it elects to advise the Credit, shlml take reasonable care to check the apparent authenticity of the Credit which it advises. If the bank elects not to

advises, it must so inform the Issuing Bank without delay.”112

112


(52)

Apabila akibat satu dan lain hlm Issuing Bank tersebut dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga, pada saat kontrak perjanjian L/C dijalankan, maka ada beberapa hlm yang dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 42 UU Kepailitan:

a. Bahwa perbuatan hukum tersebut dilakukan dalam jangka waktu 1 Tahun sebelum putusan pernyataan pailit.

b. Bahwa perbuatan hukum tersebut tidak wajib dilakukan debitur, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.

c. Bahwa debitur dan pihak dengan siapa perbuatan tersebut dilakukan dianggap mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor. d. Bahwa perbuatan hukum itu dapat berupa :

1. Merupakan perjanjian dimana kewajiban debitur jauh melebihi kewajiban pihak dengan siapa perjanjian itu dibuat.

2. Merupakan pembayaran atas atau pemberian jaminan untuk utang yang belum jatuh tempo dan atau belum atau tidak dapat ditagih

Dalam hlm kesepakatan mengenai jangka waktu tersebut tidak tercapai, Hakim Pengawas menetapkan jangka waktu tersebut (Pasal 36 ayat (3) UU Kepailitan). Apabila dalam jangka waktu tersebut, Kurator tidak memberikan jawaban atau tidak bersedia melanjutkan pelaksanaan perjanjian tersebut maka perjanjian berakhir dan pihak dalam perjanjian tersebut dapat menuntut ganti rugi dan akan diperlakukan sebagai kreditor konkuren. Apabila Kurator menyatakan


(53)

kesanggupannya atas pelaksanaan perjanjian tersebut, Kurator wajib memberi jaminan atas kesanggupan untuk melaksanakan perjanjian tersebut. Pelaksanaan perjanjian tersebut tidak meliputi perjanjian yang prestasinya harus dilaksanakan sendiri oleh debitur misalnya debitur adalah seorang penyanyi atau seorang pelukis, dimana debitur diwajibkan untuk melukis wajah pihak tersebut, dalam hlm tersebut tidak mungkin bagi Kurator untuk melaksanakan perjanjian.

Kemudian Pasal 24 ayat (3) UU Kepailitan mengatakan: “Dalam hlm sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan telah dilaksanakan transfer dana melalui bank atau lembaga selain bank pada tanggal putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), transfer tersebut wajib diteruskan.”

Sedangkan menurut UU No. 10 Tahun 1998 beberapa cara untuk menyelesaikan permasalahan bank yang telah dinyatakan pailit dengan pihak ketiga, adalah:

a. meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan atau mengubah kontrak yang mengikat bank dengan pihak ketiga, yang menurut pertimbangan badan khusus merugikan bank ;

b. menjual atau mengalihkan kekayaan bank, Direksi, Komisaris, dan pemegang saham tertentu di dalam negeri ataupun di luar negeri, baik secara langsung maupun melalui penawaran umum; menjual atau mengalihkan tagihan bank dan atau menyerahkan pengelolaannya kepada pihak lain, tanpa memerlukan persetujuan Nasabah Debitur.

Jadi selama perjanjian L/C yang mengikat antara Issuing Bank dengan Advising Bank dapat dibuktikan dan selama perjanjian itu dianggap tidak


(54)

merugikan bagi bank, maka bank akan menyelesaikan isi kontrak tersebut sesuai dengan batas waktu yang telah diperjanjikan sebelumnya antara pihak-pihak terkait dalam L/C.

B. Ketentuan penyelesaian kewajiban oleh bank penerbit L/C yang sudah diputus pailit terhadap eksportir dan importir

1. Ketentuan eksekusi harta bank penerbit L/C yang dinyatakan pailit Kepailitan dalam bank sebenarnya tidak dikenal. Karena apabila dillihat dari penjelaan-penjelasan sebelumnya, banyak pertimbangan yang harus dipikirkan terlebih dahulu. Peranan bank sebagai penghimpun dana masyarakat dapat menjadi rancu dalam masyarakat apabila suatu bank dipailitkan. Maka dalam rangka restrukturisasi bank bermasalah yang tidak mampu lagi menyelesaikan segala utangnya, Bank Indonesia mengambil tndakan likuidasi.

Likuidasi dipilih oleh pembentuk Undang-Undang Perbankan sebagai proses keperdataan untuk mengakhiri badan hukum bank dan menyelesaikan hak dan kewajiban bank dengan tujuan agar nasabah penyimpan dana terlindung haknya.113

1. Setelah tim likuidasi terbentuk, tanggunh jawab dan kepengurusan bank dalam likuidasi dilakukan oleh tim likuidasi;

Akibat dari likuidasi adalah :

2. Tim likuidasi berwenang mewakili bank dalam segala hlm yang berkaitan dengan penyelesaian hak dan kewajiban barang tersebut;

113


(1)

2. Bapak Prof. Dr. Runtung S.H,M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting S.H.,M.Hum. selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Syafruddin Hasibuan S.H.,M.H., DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Muhammad Husni S.H.,M.H. selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Bapak Edy Yunara, S.H., M.Humselaku Dosen Pembimbing Akademik; 7. Ibu Windha S.H.,M.Hum. selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi; 8. Bapak Ramli Siregar S.H.,M.Hum. selaku Sekretaris Departemen Hukum

Internasional sekaligus Dosen Pembimbing II. Terima kasih atas waktu dan bimbingan yang telah Bapak berikan hingga skripsi ini dapat selesai sebagaimana mestinya;

9. Bapak Dr. Mahmul Siregar SH,M.Hum selaku Dosen Pembimbing I. Terima kasih atas waktu dan bimbingan yang Ibu berikan kepada saya dalam menyelesaikan penulisan skripsi;

10.Seluruh dosen dan pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

11.Keluarga Besar yang selalu memberikan perhatian dan semangat dalam mendukung tidak hanya dalam menyelesaikan skripsi tetapi juga untuk banyak hal dalam hidup saya, terutama untuk Papa dan Mama serta adik saya Uli Sinar Zefanya;


(2)

12.Ikatan Mahasiswa Hukum Ekonomi (IMAHMI) Fakultas Hukum USU; 13.Kawan-kawan yang selalu ada dari semester satu sampai dengan saat

ini,Theresia Adirosa, Ella Andira, Natasha Siregar, dan Nurul Atika semoga tetap untuk ke depannya kita bisa tetap menjalin persahabatan juga. Sukses untuk kita semua;

14.Untuk penyemangat dan motivator saya. Terimakasih kepada sdr. Jean Bernard Myson Sagala, untuk segala waktu dan dukungannya, sehinnga saya bisa menyelesaikan semua ini. Sukses buat kamu di masa mendatang; 15.Untuk teman-teman yang sangat saya sayangi, Inda Matondang, Robert,

dan Yosephine, terimakasih karena kalian telah menjadi teman yang baik untuk saya dan selalu membantu saya ketika saya membutuhkan pertolongan;

16.Untuk kakak saya yang berada nun jauh disana, terimakasih kepada Lili Soepodo, terimakasih karena selalu memberi semangat kepada saya dari jauh, terimakasih buat semua cerita senang dan sedih kita juga terimakasih kepada Selvynna Mamahit terimakasih semangatnya semoga kita bisa sekolah di Amerika bersama;

17.Untuk kakak saya juga Deborah Margareth dan Dea Hutabarat, terimakasih banyak karena kalian sangat baik kepada saya, sukses buat kakak;

18.Untuk teman-teman saya, Dwi susilawati, Wyldayanti, dan Mas Priawan, terimakasih karena kalian menjadi teman berbagi saya menghadapi perkuliahan;


(3)

19.Untuk semua senior-senior saya yang telah membimbing saya, kepada kak Debora Naiborhu, Finita Hutabarat, Risa Hutapea, dan Fibi Hutapea, terimakasih banyak kak;

20.Untuk semua abang-abang saya, Hotman Aruan, Sayyid Muhammad, Ilham Dunovan, Gabriel Sidabutar, Aubertus, Chrispo Simanjuntak, terimakasih atas lucu-lucuannya

21.Untuk teman-teman saya angkatan 2010, terimakasih banyak untuk semua kenangan yang kita lewati, terimakasih untuk semua pelajaran berharganya;

Penulis sadar bahwa hasil penulisan skripsi ini tidaklah sempurna. Penulis berharap pada semua pihak agar dapat memberikan kritik dan saran yang konstruktif guna menghasilkan karya ilmiah yang lebih baik dan sempurna lagi, baik dari segi isi/materi maupun cara penulisannya di masa mendatang.

Akhirnya, semoga Tuhan memberkati kita semua dan membalas segala kebaikan dan jasa semua pihak yang telah membantu penulis secara tulus dan ikhlas. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi setiap orang yang membacanya.

Medan, Januari 2014 Penulis

NIM.100200282 CHINTAMI MARANATA SIHOMBING


(4)

DAFTAR ISI

KATAPENGANTAR ….……….……….. i

DAFTAR ISI ………. iv

ABSTRAKSI ……… vii

BAB I PENDAHULUAN …………...….………...………. 1

A. Latar Belakang ……… ………...……… 1

B. Perumusan Masalah ………..………...………….….. 10

C. Tujuan Penulisan ……….……...…...……….…… 11

D. Manfaat Penulisan ………...……….. 12

E. Keaslian Penulisan ………..………...……...……….. 13

F. Metode Penulisan …. ………....…....……… 14

G. Sistematika Pembahasan ………..…………...………. 17

BAB II

TANGGUNG JAWAB BANK PENERBIT L/C

TERHADAP L/C YANG DITERBITKANNYA

... 19

A. Pihak-Pihak Yang Terlibat Di Dalam Penerbitan Letters Of Credit ... 19

1. Istilah Letters Of Credit …...……… 21

2. Bentuk dan jenis Letter Of Credit ...………. 26

3. Prosedur transaksi Letter Of Credit ……...……….. 29

4. Pihak-pihak terkait dalam Letter Of Credit .…...………… 37

B. Hubungan Hukum Antara Pihak-Pihak Yang Terlibat Dalam Penerbitan Letters Of Credit …....……….……… 44


(5)

1. Hubungan antara pemohon dengan penerima ………..… 44

2. Hubungan antara pemohon dengan bank penerbit ………. 46

3. Hubungan antara penerima dengan bank penerbit ……… 50

C. Tanggung jawab bank yang timbul terhadap dokumen-dokumen Letters Of Credit yang telah diterbitkan ……… 51

1. Tanggung jawab bank terhadap dokumen-dokumen yang terdapat dalam Letter Of Credit ………. 51

2. Hak dan kewajiban eksportir dan importir dalam penerbitan Letters Of Credit ………...……. 55

BAB III KEPILAITAN DALAM SUATU BANK ………...……… 60

A. Tinjauan Umum Mengenai Kepailitan ……….……..…….. 60

1. Filosofis lahirnya hukum kepailitan ………...…… 60

2. Pengertian kepailitan ………...……. 67

3. Syarat mengajukan kepailitan ………. 75

4. Prosedur permohonan pailit ………...………….. 86

B. Kepailitan Dalam Bank 1. Pihak-pihak dalam kepailitan bank ………. 89

2. Upaya penyelesaian bank bermasalah ………. 92

3. Hanya BI yang menjadi pemohon dalam kepailitan bank …... 98

BAB IV TANGGUNG JAWAB SERTA KETENTUAN PENYELESAIAN KEWAJIBAN BANK PENERBIT L/C TERHADAP EKSPORTIR DAN IMPORTIR APABILA BANK PENERBIT L/C DINYATAKAN PAILIT ATAU LIKUIDASI …………... 105


(6)

A. Tanggung jawab bank penerbit L/C yang sudah dinyatakan

pailit terhadap eksportir dan importir ………..… 105

1. Tanggung jawab bank terhadap perikatan antara importir dan eksportir ...… 107

2. Tanggung jawab bank terhadap perikatan antara bank penerbit dengan bank penerus ………... 108

B. Ketentuan penyelesaian kewajiban oleh bank penerbit L/C yang sudah diputus pailit terhadap eksportir dan importir ... 111

1. Ketentuan eksekusi harta bank penerbit L/C yang dinyatakan pailit …...… 111

2. Pihak-pihak yang terlibat dalam melakukan eksekusi terhadap harta pailit atau likuidasi bank …………... 113

3. Penggolongan kedudukan eksportir dan importir sebagai kreditur dalam rangka kepentingan penyelesaian utang menurut UU No. 37 Tahun 2004 ………...…. 115

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………...….… 119

A. Kesimpulan ………...…… 119

B. Saran ………...…… 120 DAFTAR PUSTAKA


Dokumen yang terkait

Tanggung Jawab PT. Eric Dirgantara Tour & Travel Terhadap Penumpang Pesawat Udara Ditinjau Dari Undang-Undang Penerbangan Nomor 1 Tahun 2009 Dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999

1 75 113

Kedudukan Dan Tanggung Jawab Komisaris Independen Pada Perseroan Terbuka Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 (Riset : PT. Central Proteinaprima Tbk.)

0 44 131

Tanggung Jawab Dewan Komisaris Perseroan Terbatas Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Berdasarkan Undang-Undang RI No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan

0 44 146

Wewenang Dan Tanggung Jawab Direksi Dalam Prinsip Corporate Opportunity Yang Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007

1 90 158

Tanggung Jawab Pengawasan Bank Indonesia Terhadap perbankan Syariah Menurut Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Studi : Kantor Bank Indonesia Medan)

0 36 133

Tanggung Jawab Pengelola Mal Terhadap Pelanggaran Hak Cipta yang Dilakukan oleh Penyewa Menurut Undang –Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta

0 54 127

TINJAUAN YURIDIS KEWENANGAN HAKIM PENGAWAS TERHADAP KURATOR YANG MERUGIKAN HARTA PAILIT BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004.

0 0 1

Tanggung Jawab Bank Penerbit Letter Of Credits (Issuing Bank) Yang Diputuskan Pailit Terhadap Eksportir Dan Importir Berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

0 0 2

Tanggung Jawab Bank Penerbit Letter Of Credits (Issuing Bank) Yang Diputuskan Pailit Terhadap Eksportir Dan Importir Berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

0 0 17

Tanggung Jawab Bank Penerbit Letter Of Credits (Issuing Bank) Yang Diputuskan Pailit Terhadap Eksportir Dan Importir Berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

0 2 38